Jumat, 30 April 2021

Mengingat Kematian

1. Manusia Paling Cerdas

Pada kesempatan ini perkenankan saya untuk mengangkat topik masalah kematian. Mengingat kematian adalah satu hal yang pasti dan sangat penting yang seharusnya dipersiapkan oleh orang-orang beriman.  Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda: ”

Manusia yang paling cerdas ialah yang paling banyak mengingat kematian, Dan yang paling hebat persiapannya untuk menghadapi kematian itu.” (HR. Ibnu Majah)

Jadi manusia yang paling cerdas itu bukan yang IQ nya tinggi hingga diatas 160 seperti Albert Einstein atau siapapun, tetapi yang paling cerdas adalah orang yang banyak mengingat kematian dan tentu menyiapkan bekal untuk mati.

2. Syakaratul Maut Nabi Musa

Peristiwa yang paling dahsyat dalam kehidupan manusia hingga kematian adalah syakaratul maut. Istilah syakaratul maut adalah ungkapan untuk menggambarkan betapa sakitnya saat malaikat izrail mencabut nyawa dari tubuh manusia.

Dalam sebuah kitab dikisahkan peristiwa syakaratul maut Nabiyullah Musa As. Pada suatu hari, malaikat Maut datang mendekati nabi Musa As.

Nabi Musa bertanya:  ”Wahai Izrail, ada apa engkau datang kemari? Untuk mengunjungiku atau untuk mencabut nyawaku?.  

Izrail menjawab : ”Mengambil nyawamu”

”Bisakah engkau beri kesempatan kepadaku untuk melakukan perpisahan dengan keluargaku?”

”Tidak ada waktu lagi untuk itu”

Musa bertanya lagi : ”Dari mana engkau akan mengambil nyawaku?”

Dari mulutmu

”Apakah engkau tega mengambil nyawa lewat mulut yang selalu berdzikir kepada Rabb?”

”Kalau begitu lewat tanganmu

”Apakah engkau akan mencabut nyawaku melalui tangan yang pernah membawa lembaran2 Taurat?”

”Kalau begitu lewat kakimu

”Apakah engkau akan mengambil nyawa lewat kaki yang pernah berjalan ke bukit Thursina untuk bermunajat kepada Tuhan?”

Kemudian malaikat Izrail memberikan buah jeruk yang harum kepada nabi Musa untuk dihirup, dan nabipun kemudian menghembuskan nafas yang terakhir.

Para malaikat kagum menyaksikan peristiwa syakaratul maut nabi Musa. Ketika nyawa nabi Musa terbang menuju alam barzah, para malaikat mendekat dan bertanya.

Ya ahwanal anbiya’ mautan - kaifa wajadta al maut ?

Wahai nabi yang paling ringan matinya, bagaimana rasanya syakaratul maut?

Musa menjawab :

Kasyatin Tuslaku  Wahiya Hayatun

Seperti kambing yang dikuliti hidup-hidup.

Bisa kita bayangkan bagaimana rasanya saat sakaratul maut.  Nabi Musa yang tergolong manusia pilihan merasakannya sakaratul mautnya bagaikan kambing yang dikuliti hidup-hidup.

Mengingat betapa sakitnya saat syakaratul maut, maka orang-orang shalihin selalu berdoa di sela-sela dzikirnya, dengan do’a :

Allahumma hawwin ‘alaina fii sakaratil maut,  Wal ‘afwa ‘indal hisaab. Wan najaata minan naar.

Ya Allah mudahkanlah kami pada waktu menjelang sakaratul maut, Dan kami mohon ampunan di hari penghisaban, Serta selamatkanlah kami dari siksa api neraka. 

3. Kematian adalah Keniscayaan

Syakaratul maut adalah peristiwa dahsyat yang sangat menyakitkan. Meski demikian tak seorangpun dapat menghindar dari kematian. Karena kematian adalah keniscayaan. 

Allah berfirman, ”Kullu Nafsin Dzaa ‘Iqatul Maut,” artinya, ”Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (QS. Al-Anbiyaa 35).

Waktu kematian itu sudah ditetapkan oleh Allah Swt, dan tak ada satupun yang tahu kapan datangnya kematian. Bila tiba saat kematian maka tak ada satupun yang mampu menangguhkan atau mendahulukannya meski hanya sesaat. (QS. Yunus 49).

Kematian tidak pandang umur maupun kondisi. Tua atau muda, miskin atau kaya, sehat maupun sakit, siap atau tidak, bila sudah tiba saatnya maka kematian akan datang tepat waktu sesuai yang ditentukan oleh Allah Swt. 

4. Apakah kematian itu ?

Menurut para filosof Islam, kematian adalah berpisahnya ruh meninggalkan jasad manusia. Setelah mati maka jasad manusia akan hancur dan kembali ke unsur alam yang membentuknya, yaitu tanah, air, api dan udara. Sedangkan Ruh akan hidup terus dan kembali menuju Sang Pencipta, Allah Swt.

Dengan demikian maka kematian itu bukanlah akhir dari kehidupan.  Tetapi kematian justru awal dari suatu kehidupan yang abadi.  Setelah kematian, manusia akan menjalani suatu kehidupan yang sangat panjang (kekal) di akhirat.        

Justru kehidupan di akhirat itulah merupakan kehidupan yang sesungguhnya, sementara kehidupan di dunia hanya bersifat sangat sementara.

5. Empat Fase Kehidupan

Manusia hidup dalam 4 fase (alam), yaitu (1) alam ruh, (2) alam dunia, (3) alam barzah, dan (4) alam akhirat.

a.  Alam Arwah.

Sebelum manusia terlahir ke dunia, Allah mengambil kesaksian ruh-ruh manusia yang berada di alam arwah.

Dalam QS. Al-A’raf 172, Allah bertanya, A lastu birabbikum, (bukankah Aku ini Tuhanmu?). Qaalụ balaa syahidnaa (mereka menjawab, betul Engkau Tuhan kami). “An taqụlụ yaumal-qiyaaqmati innaa kunnaa 'an haażaa gaafiliin”, (agar di hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap kesaksian ini)".

b. Alam Dunia.

Di alam dunia inilah manusia mendapat tugas untuk beribadah sebagai modal untuk bekal ke perjalanan berikutnya. Dunia dengan segala kesenangan ini merupakan ujian manusia yang akan dinilai oleh Allah SWT.

c. Alam Barzah (kubur). 

Di fase alam kubur ini ruh manusia akan hidup dengan amal perbuatannya selama di dunia. Ruh akan merasakan bahagia bila terus memperoleh pahala dari anaknya, ilmunya dan amal jariyahnya. Sementara ada ruh yang tersiksa dengan amal buruknya di dunia, sehingga ia tahubahwa ia akan ke neraka. Itulah siksa kubur.

d. Alam Akhirat.

Di alam akhirat inilah manusia akan hidup kekal. Apakah ia akan hidup bahagia di surga, ataukah di neraka terlebih dahulu sebagai pembersihan terhadap dosa-dosa yang diperbuatnya di dunia.

6. Menyikapi Datangnya Kematian

Dalam beberapa hadits dan riwayat disebutkan bahwa proses kematian atau sakaratul maut itu sangat-sangat menyakitkan. Meski demikian semua orang tidak bisa menghindari kematian dan pasti akan mengalaminya.

Para ulama menasehatkan, tidaklah terlalu penting memikirkan kapan kematian itu datang, dimana malaikat maut menjemput, dan bagaimana kita waktu mati.  Tetapi yang terpenting adalah, apa yang harus persiapkan agar kematian datang secara membahagiakan.

Kebanyakan manusia menyikapi akan datangnya hari kematian dengan sikap ”bagaimana nanti”,   sedangkan orang beriman menyikapinya dengan ”nanti bagaimana”, agar kematian itu membawa kebahagiaan.

Agar kematian datang secara membahagiakan, maka diperlukan bekal yang cukup untuk menghadapi kematian.  Apabila bekal kematian banyak maka kita bisa mati dengan tersenyum.

Mengumpulkan bekal untuk menyambut kematian haruslah sesegera mungkin, jangan ditunda-tunda, tidak bisa menunggu nanti.  Karena hari kematian adalah rahasia Illahi, dan tidak ada seorangpun yang tahu kapan kematian akan datang.  Kematian bisa datang secara tiba-tiba dan mendadak, nanti atau besok, tanpa gejala dan peringatan

7. Memperbanyak Bekal Kematian

Bekal untuk menghadapi kematian adalah taqwa.  Allah berfirman, ”Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. (maka) bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah 197).

Selain shalat dan puasa, amalan taqwa sebagai bekal kematian yang paling hebat adalah sedekah.

Setiap hamba Allah pada saat menghadapi kematian, yang sedang sakaratul maut, maka ia akan sangat menyesali satu hal. Apa itu?

Dalam QS. Al Munafiqun ayat 10, digambarkan bahwa seorang hamba Allah yang tengah menghadapi kematian ia memohon kepada Allah Swt agar waktu kematiannya ditunda.  Untuk apa?  

“Rabbi lau laa akhortanii ilaa ajalin qarib Fa ash shadaqa” , artinya : “Ya Tuhan-ku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku akan bersedekah.”

Ia ingin waktu kematiannya ditangguhkan bukan untuk mengerjakan shalat, bukan untuk puasa, dan bukan pula untuk berhaji, melainkan untuk bersedekah.

Shalat, puasa, dan haji merupakan ibadah mulia yang pahalanya sangat besar. Namun pahalanya hanya diberikan oleh Allah hanya saat itu, saat ia masih hidup.  Berbeda dengan  sedekah.  Sedekah jariyah akan dibalas dengan pahala yang terus mengalir meskipun ia sudah meninggal.

8. Empat Macam Sedekah

Dengan demikian maka marilah kita memperbanyak sedekah sebagai bekal kematian, agar tidak menyesal saat sakaratul maut.

Sedekah ada 4 macam. Sedekah yang paling utama adalah sedekah harta. Bagaimana kalau dia miskin? Maka ia bisa bersedekah dengan tenaga. Bagaimana kalau ia lemah, karena tua? Maka ia bisa bersedekah dengan ilmu atau nasehat. Bagaimana kalau dia tidak berilmu? Maka ia bisa bersedekah dengan senyum, yaitu bersikap ramah kepada sesama.

 

*****

 


Rasio Gini

Gini Ratio atau koefisien Gini adalah koefisien yang digunakan sebagai ukuran tingkat ketimpangan pendapatan agregat (secara keseluruhan) penduduk sebuah negara.
Gini Ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilità e mutabilità.
Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk.  Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.  Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.
Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Perhatikan gambar berikut:
 http://lesprivate-statistik.com/images/gini0.png
Dari gambar di atas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal di tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama dengan prosentase penerimaan pendapatan.
Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya makin mendekati satu. Perhatikan tabel 1.5.

http://lesprivate-statistik.com/images/gini01.png 

Kamis, 29 April 2021

Sifat Sombong

Sombong, Dosa Pertama yang Dilakukan Iblis

Kesombongan merupakan dosa pertama kali yang muncul kepada Allah, yang dilakukan oleh Iblis.

Hal ini bermula tatkala Allah mengumumkan kepada para mahluknya yaitu Malaikat dan Jin bahwa Allah akan menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi.

Kemudian Allah memerintahkannya untuk bersujud (memberi penghormatan) kepada manusia. Para malaikat patuh pada perintah Allah, tetapi sebagian dari golongan Jin yaitu Iblis menolak perintah Allah.

Iblis beranggapan bahwa mereka lebih mulia dari manusia. Manusia diciptakan dari tanah, malaikat dari cahaya, sedangkan Iblis dari api yang merupakan sumber dari cahaya.

Karena pembangkangan akibat sifat sombong inilah maka Iblis diusir oleh Allah dari Surga dan menjadi mahluk yang terkutuk.

Padahal Iblis, sebelumnya adalah mahluk yang sangat sholeh dan taat kepada Allah Swt, seperti Malaikat.

Tatkala hendak diusir dari surga, Iblis bersumpah akan selalu menggoda manusia agar kufur kepada Allah, salah satunya dengan cara membisikkan sifat sombong.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.” (Q.S. Al Baqarah: 34).

Bahaya Sombong

Sombong adalah salah satu akhlak buruk yang tidak disukai oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18).

Adapun Nabi Muhammad SAW menyebut kesombongan merupakan sifat yang dapat mengantarkan seseorang ke dalam neraka.  

Rasulullah bersabda,  “Maukah kalian aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Sombong itu Bagaimana.

Semua manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk sombong. Namun, ada perbedaan dalam derajat kesombongan itu sendiri.

Meskipun hanya perasaan kecil dan bahkan tidak terlihat, namun bila dibiarkan perasaan sombong pada akhirnya bisa tumbuh menjadi lebih besar dan mencelakakan. 

  §  Tadinya naik motor, kemudian bisa membeli mobil sementara teman2 nya masih naik motor. Maka ini bisa menjadi bangga dan kemudian sombong.

  §  Mengikuti test atau seleksi kemudian lulus, sementara teman2 nya tidak ada yang lulus. Maka inipun bisa menjadi bangga dan kemudian sombong.

  §  Mendapatkan rezeki banyak, kemudian membeli cincin, gelang dan kalung dari emas berlian. Sementara teman2 nya tidak ada yang memakai gelang. Maka inipun bisa menjadi bangga dan sombong. (kalau ada pertemuan berusaha utk ditunjukkan)

  §  Sebelumnya hanya sebagai jamaah biasa dalam shalat, kemudian menjadi imam, lalu tampil di mimbar menjadi khotib. Maka inipun bisa menjadi bangga dan sombong. (ini nyindir, tapi terimakasih telah mengingatkan)

Sesungguhnya kebanggaan dan kesombongan itu tipis. Dan disitulah menjadi celah bagi syetan untuk masuk dan menyesatkannya.

Beda bangga dan sombong

Bangga merupakan respon psikologis yang muncul akibat keberhasilan prestasi atau kepuasan atas hasil dari sebuah usaha. Sementara sombong merupakan sikap pamer untuk menunjukkan kelebihan pada orang lain. Sombong muncul dari rasa bangga yang berlebih. 

Bangga untuk diri sendiri, sementara sombong ditujukan kepada orang lain. 

Bangga memotivasi, sementara sombong memancing reaksi negatif

Tahapan: Bangga – sombong – takabur.

Sombong yang Sebenarnya

Secara umum sombong     dipahami sebagai perasaan atau sikap merasa lebih dibanding orang lain.   Akibatnya seseorang menjadi merendahkan atau meremehkan keberadaan orang lain.

Rasulullah bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. (HR. Muslim no. 91).

Level Kesombongan

Paling tidak, kesombongan itu mempunyai tiga level antara lain; 

Pertama, sombong disebabkan oleh faktor materi/penampilan. Pada level ini, biasanya seseorang menjadi sombong karena merasa lebih kaya, lebih terhormat, serta lebih gagah dan rupawan daripada orang lain. Indikasinya tidak mau mendekat.

Kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Dalam tahap ini, orang merasa sombong karena ia merasa lebih alim, lebih pintar, lebih berwawasan, lebih berkompeten dari orang lain, merasa menjadi orang yang paling benar dibandingkan orang lain. Indikasinya tidak mau mendengarkan.

Ketiga, sombong disebabkan oleh faktor perbuatan.  Pada level ini, orang menjadi sombong karena ia merasa dirinya lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih soleh dibandingkan dengan orang lain. Tanpa disadari banyak orang terjebak sombong karena merasa sudah berbuat baik kepada orang lain (sombong dalam kebaikan). Bisa jadi faktor kesombongan level ketiga ini sudah melekat lama pada diri kita tanpa sedikitpun disadari.

Kesombongan level ketiga ini sebenarnya jauh lebih halus dari dua level kesombongan lainnya. Mengapa? Karena orang yang sombong karena materi, maka ia mudah terlihat. Tapi, orang yang sombong karena pengetahuan apalagi sombong karena kebaikan sangat sulit terdeteksi. Sebab ia seperti benih-benih halus yang perlahan tapi pasti terus menjalar di hati seseorang.

 

Mengatasi Kesombongan

- Zuhud

- Tawadhu

 

Sombong Kepada Orang Sombong


Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.”  Penyataan di atas bukanlah hadis, melainkan hanya perkataan para ulama yang banyak tersebar di masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ajluni dalam kitabnya, Kasyful Khafa. Hanya saja, maknanya sesuai dengan keterangan beberapa ulama.”

Penulis kitab Bariqah Mahmudiyah mengatakan, “Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, karena jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dirinya terus-menerus berada dalam kesesatan.

Namun, jika kita bersikap sombong maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikaplah sombong kepada orang sombong sebanyak dua kali.’

Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia merupakan bagian ikatan Islam yang kokoh.’

Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang bersikap sombong kepadamu dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.'”

Sementara, ulama yang lain mengatakan, “Terkadang bersikap sombong kepada orang yang sombong, bukan untuk membanggakan diri, termasuk perbuatan terpuji. Seperti, bersikap sombong kepada orang yang kaya atau orang bodoh (yang sombong).”

Allahu a’lam. 

Minggu, 25 April 2021

Kekuatan Niat

1. Pengantar

Rasulullah bersabda: ‘Innamal a’malu binniah - wa innamal likullim ri’im maa nawa’

artinya “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).

 

2. Kisah Pohon

Ada sebuah cerita menarik dari kyai sepuh pesantren kampung, tentang kekuatan niat.  Dikisahkan ada seorang pemuda yang sangat shaleh. Selain shaleh ia adalah pemuda yang gagah, dan pemberani.

Suatu ketika ia mendengar kabar bahwa di kampung sebelah ada sebuah pohon yang didatangi oleh banyak orang untuk dipuja dan disembah.

Membuncahlah amarahnya. Dalam hatinya ia bergumam, “Kurang ajar!!. Allah yang memberi rizki setiap hari, tetapi mereka malah menyembah pohon.”

Segera ia mengambil kapak dan bergegas menuju kampung tetangga untuk menebang pohon agar tidak disembah lagi. 

Ketika ia sampai di bawah pohon itu, tiba-tiba terdengarlah suara dari atas pohon, “Hai pemuda, mau apa engkau datang kemari membawa kapak?”

“Aku hendak menebang pohon ini, pohon penyebab kemusrikan”, jawab pemuda.

“Tidak bisa, ini rumahku”

“Siapa engkau?” tanya pemuda.

“Aku adalah Jin penunggu pohon ini. Kembalilah daripada engkau menanggung resiko”

“Aku tak takut. Engkaulah yang harus pergi dari sini” tantang pemuda. 

Maka turunlah dari atas pohon sesosok mahluk menyerupai gorilla. Kemudian mereka berdua bertarung adu kekuatan. Mereka saling baku hantam dengan sengitnya sampai beberapa lama, karena sama-sama kuat.

Namun pada akhirnya pemuda sholeh itu dapat membekuk jin iblis hingga tak berdaya.

“Ampun… ampun aku mengaku kalah. Jangan sakiti aku lagi”, rintih sang iblis.

“Baik. Sekarang pergilah engkau dari sini. Tinggalkan pohon penyebab kemusrikan ini” perintah sang pemuda.

Sang iblis menawar, “Tolong beri aku waktu untuk pindah dari pohon ini beberapa hari. Sebagai imbalannya, engkau akan mendapatkan dua keping emas di bawah bantalmu setiap pagi.  Dari kepingan emas itu, engkau bisa membantu fakir miskin dan membangun mushalla di desamu”

“Betul juga, aku bisa membangun mushallah yang belum ada di desa. Dan bisa membantu para tetangga yang miskin. Bukankah itu perbuatan mulia” pikir sang pemuda.

“Baik. Aku beri engkau kesempatan selama tujuh hari. Setelah itu pergilah engkau dari sini” jawab sang pemuda.

 

Keesokan harinya, ketika bangun tidur sang pemuda mengangkat bantal tidurnya. Benar, ia mendapati dua keeping emas dibawah bantalnya.

Demikian pula esok hari dan esok harinya lagi ia mendapati dua keping emas di bawah bantalnya. Iapun sangat bergembira. 

Namun pada hari ke empat, ia tidak lagi mendapati kepingan emas itu di bawah bantalnya.

Pemuda itu kecewa dan menjadi sangat murka, “Kurang ajar … akan kuhabisi iblis laknat itu sekarang juga” 

Segera pemuda itu bergegas mendatangi sang iblis di pohon itu.

“Hai iblis laknat, rupanya engkau membohongiku”, bentak sang pemuda.

“Hohoho… enak sekali engkau mendapatkan kepingan emas tanpa bersusah payah” ejek sang iblis.

“Kalau begitu pergilah kau dari sini sekarang juga”

“Kalahkan aku dulu” tantang sang iblis. 

Maka mereka berdua kembali bertarung kembali adu kekuatan. Namun perkelahian tak berlangsung lama, karena sang iblis berhasil membekuk sang pemuda hingga tak berdaya.

“Ampun… ampun”, rintih sang pemuda.

“Baiklah engkau tidak aku lumpuhkan. Sekarang pergilah dari sini dan jangan kembali lagi”

“Baik … tapi aku ingin bertanya, kenapa sekarang aku sangat lemah” tanya sang pemuda.

“Tiga hari yang lalu engkau mempunyai kekuatan dahsyat karena niatmu lillahi ta’ala karena Allah. Tapi saat ini engkau lemah, karena niatmu ingin memndapatkan kepingan emas.”

3. Kekuatan Niat

Kisah itu memberikan gambaran bahwa motivasi atau niat yang kuat, apalagi dilandasi tekad semata-mata karena Allah akan mempunyai kekuatan yang luar biasa.

Hal ini terbukti pada perang Badar. Perang Badar adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan kaum kafir Quraisy, pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah, lokasinya di dekat sumur Badar.

Perang ini sesungguhnya tidak seimbang, karena pasukan umat Muslim yang hanya berjumlah 313 orang harus melawan pasukan kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang dengan perlengkapan perang yang jauh lebih baik.

Namun berkat motivasi dan niat karena Lillahi ta’ala, maka kaum muslimin mendapatkan kekuatan yang luar biasa dan berhasil memenangkan pertempuran Badar.

4. Berpuasa

Kekuatan niat juga kita rasakan pada saat berpuasa. Pada saat berpuasa kita dapat menahan lapar dan dahaga dari pagi hingga maghrib dengan tenang dan bahagia.

Tetapi saat tidak berpuasa, meskipun pagi hari kita sudah sarapan maka ketika lewat saatnya makan siang hingga jam 1 atau 2 siang dan ternyata belum tersedia makanan, maka apa yang terjadi? Kita akan merasa sangat lapar, gelisah dan tersiksa.

Artinya walaupun sama-sama lapar namun menjadi berbeda kondisinya karena perbedaan niat tadi. Lapar dengan niat puasa akan terasa indah, sementara lapar makanan tidak tersedia akan menjadi sebuah siksaan dan penderitaan.

Demikian pula bagi mereka yang mempunyai penyakit maag. Terlambat sarapan akan menyebabkan asam lambung naik, perut nyeri dan dada sesak. Tetapi bila diniatkan berpuasa maka jangankan terlambat makan, tidak makan sampai maghrib-pun asam lambung tidak naik. Itulah kekuatan niat, Subhanallah.

5. Meluruskan Niat Shalat.

Faktor terpenting dalam suatu amalah adalah niat, karena niat merupakan motivasi yang mendorong atau mendasari seseorang dalam melakukan perbuatan.

Rasulullah bersabda: Innamal a’malu binniah - wa innamal likullim ri’im maa nawa’  artinya “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim).

Apakah niat itu?

Niat merupakan kesadaran atau getaran hati/batin seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. 

Jadi niat itu adalah kesadaran atau kesengajaan. Orang yang melakukan sesuatu dengan tidak sadar atau tidak sengaja maka ia tidak akan memperoleh balasan pahala. 

Suatu contoh adalah seorang jamaah masjid yang memasukkan uang infaq ke dalam kotak amal 20 ribu rupiah, tetapi tanpa disadarai yg terambil adalah selembar uang 50 ribu rupiah. maka nilai pahalanya bukan kelipatan 50 ribu tetapi 20 ribu sesuai niatnya,

Kedua niat itu terletak di dalam hati, sehingga niat seringkali tidak terdeteksi melalui lisan atau gerakan. Yang pasti, Allah lah yang mengetahui apa-apa yang terbersit dalam hati dan pikiran manusia.

6. Menyempurnakan Niat Shalat.

Niat dalam hal ibadah shalat, para ulama sholeh selalu mengingatkan kita untuk meluruskan dan menyempurnakan niat, karena kualitas niat akan berpengaruh pada kekhusukan dan pahala shalat.

Beberapa ulama menasehatkan bahwa untuk menyempurnakan niat shalat, maka niat bisa dilakukan pada tiga keadaan, yaitu (1) dimulai dari saat berwudhu,(2) sebelum takbiratul ikhram, dan (3) setiap awal dalam perubahan sikap shalat. 

Pertama, saat berwudhu kita harus mempunyai niat atau kesadaran bahwa wudhu ini adalah untuk menyucikan diri dari hadats kecil menjelang pelaksanaan shalat. Bilamana wudhunya merupakan rutinitas, bukan kesadaran tinggi untuk persiapan shalat, bahkan terkesan asal-asalan, maka dapat dipastikan shalatnya kurang berkualitas.

Kedua, sesaat akan memulai shalat yaitu sebelum takbiratul ikhram. Kita harus mempunyai kesadaran sesadar-sadarnya bahwa kita akan berkomunikasi dengan Allah melalui shalat.

Ketiga, setiap awal dalam perubahan sikap shalat, yaitu ketika ruku’, sujud, duduk iftirasy dsb, juga didahului dengan niat atau kesadaran. Kesadaran spt ini bisa disebut dengan tuma’ninah, yaitu tenang sejenak satu dua detik setelah berubah sikap dengan menyadari dirinya sedang apa. Tanpa tuma’ninah maka antara lisan, pikiran dan hati bisa berbeda.

Apabila kita bisa menjaga kesadaran sepanjang shalat maka itulah khusu’Khusu’ merupakan aktivitas hati, bukan pikiran. Maka hakekat khusu’ adalah kesadaran, bukan konsentrasi karena konsentrasi adalah aktifitas pikiran.

 

*****