Perdebatan masyarakat
awam tentang tingkat kemakmuran negeri kita cukup beragam. Ada yang menilai
bahwa negeri kita semakin makmur, indikasinya: mal-mal semakin banyak berdiri,
jumlah kendaraan terus bertambah, perumahan-perumahan muncul di mana-mana,
demikian pula rumah-rumah di desa banyak yang dibangun ala minimalis.
Bahkan masyarakat di pelosok-pelosok desapun banyak yang telah memiliki
motor dan tidak asing lagi dengan handphone.
Namun sebagian lain
berpendapat sebaliknya, jaman sekarang semakin susah, mencari pekerjaan semakin
sulit, pengangguran semakin banyak, para sarjana sulit mendapatkan pekerjaan,
membuka usaha tidak semudah dulu, pedagang-pedagang kaki lima pada digusur,
banyak yang lari ke LN menjadi TKI, dan sebagainya. Perbedaan pandangan seperti itu wajar-wajar
saja dan cukup beralasan, tergantung dari sudut mana mereka memandang. Berbagai
pandangan itu tidak lepas dari pengetahuan dan pengalaman pribadi, serta
pengaruh lingkungan sosial masing-masing.
Lantas bagaimana
sesungguhnya kondisi negeri kita ini?. Penulis mencoba memberikan
pandangan berdasarkan data dan kajian. Setidaknya ada empat parameter
untuk menilai tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa, yaitu: (1) pendapatan
perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, serta (4) indek pembangunan
manusia (IPM).
1. Pendapatan
Per Kapita.
Pendapatan per kapita
adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara selama satu tahun.
Besaran pendapatan per kapita dapat
dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) suatu negara dengan jumlah penduduk negara yang bersangkutan.
Pendapatan per kapita merupakan
ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan
tingkat pembangunan sebuah negara. Semakin besar pendapatan per
kapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat, jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2016 mencapai
Rp 12.406,8 triliun dan Pendapatan per Kapita mencapai Rp 47,96 juta/tahun (senilai
US$ 3.605). Jadi pendapatan rata-rata
penduduk Indonesia di tahun 2016 sebesar Rp 4 juta per bulan.
International
Monetary Fund dalam laporannya yang dirilis akhir tahun lalu menyebutkan pendapatan
perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120 jauh berada dibawah Singapura (US$
93.680), Brunei (US$
77.700), dan Malaysia (US$
30.430). Namun sedikit
diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$
7.380).
Dari sebelas negara yang
ada di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima, dibawah Singapura,
Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Namun berada di atas Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar,
Timor Leste dan Kamboja.
2. Koefisien
Gini
Koefisien Gini atau Gini
Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan
antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara. Gini ratio dikembangkan oleh statistikus
Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilit
e mutabilit. Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz,
yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari
suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform
(seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.
Besaran angka koefisien
gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka
semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk. Angka 0
berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan
ketimpangan yang sempurna. Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan
ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
Berdasarkan laporan dari
Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, Indek Gini Ratio di Indonesia
berada di angka 0,397. Proporsi masyarakat Indonesia dengan kekayaan kurang
dari US$ 10.000 mencapai 84,30%, sedangkan kekayaan lebih dari US$ 1 juta hanya
0,1%. Besarnya kesenjangan juga terlihat
pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia
didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah
rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100
juta.
Ketimpangan kekayaan
antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei
lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya
menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara
ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia
menguasai 49,3 persen kekayaan nasional . Kondisi ini hanya lebih baik dibanding
Rusia, India, dan Thailand. Berdasar
laporan Credit Suisse, kekayaan rata-rata orang dewasa Indonesia yang
mencapai $10.772 dan menempati peringkat ke-4 kawasan ASEAN. Sedangkan
peringkat tertinggi adalah Singapura ($276.885), dan terendah Myanmar yang
hanya $2.221.
Namun dalam ketimpangan
kekayaan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dibawah Thailand.
Thailand adalah negara paling tinggi ketimpangan kepemilikan kekayaannya.
Sedangkan negara ASEAN paling merata kepemilikan kekayaannya adalah Brunei
dengan Indeks Gini mencapai 68%. Data
Kementerian Keuangan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan
pendapatan di indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski
meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang
(berada di rentang 0,3-0,5).
Secara teori ekonomi
dalam sebuah negara berkembang, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya
dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja. sementara 20% kekayaan
selebihnya harus dibagi-bagi ke sisanya yang 80% penduduk. Namun kenyataan di
Indonesia menyimpang jauh. Menurut ketua MPR, Zulkifli Hasan kesenjangan sosial
di Indonesia sangat tinggi sekali. Hal ini terjadi akibat distribusi kekayaan
negara yang sangat timpang dan tidak adil di Indonesia. Separuh lebih (85%)
kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang
(23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
Sedangkan Sekjen PBNU,
Helmy Faishal Zaini juga mengungkapkan bahwa jumlah dana yang berputar di
Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya
dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing
memiliki perusahaan raksasa di Indonesia. Terpuruknya ekonomi Indonesia
pada 1998 karena hanya bertumpu pada segelintir pengusaha atau
konglomerat.
3. Data
Kemiskinan
Kemiskinan di Indonesia
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 hingga 2016
ditunjukkan dalam prosentase dari populasi sebagai berikut: Tahun
2007=16,6% ; 2008=15,4% ; 2009=14,2% ; 2010=13,3% ; 2011=12,5% ; 2012=11,7% ;
2013=11,5% ; 2014=11,0% ; 2015=11,1% ; dan 2016=10,9%.
Data di atas menunjukkan
penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun beberapa
pihak mengkritisi, pemerintah Indonesia menggunakan patokan yang sangat rendah
mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang
lebih positif dari kenyataannya.
Tahun 2016 pemerintah
Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per
kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian
berarti standar hidup sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia
sendiri.
Namun jika kita menggunakan
nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan
penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $37.5 per bulan (setara Rp.
4.900,- ), maka prosentase data di atas akan kelihatan tidak akurat karena
nilainya seperti dinaikkan beberapa persen.
Lebih lanjut lagi, menurut
Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan
penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam
lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di
bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan
bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup
hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
4. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM).
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan indikator
penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun
kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM diperkenalkan oleh Badan
Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP)
pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human
Development Report (HDR).
Penentuan peringkat IPM
dilakukan melalui survei dengan obyek tiga dimensi utama yaitu: Standar Hidup
Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan untuk semua negara seluruh
dunia. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang
atau Negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup.
Dalam laporannya, UNDP
menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di
peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. Di ASEAN
saja Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (peringkat 9), Brunai (peringkat
30), dan Malaysia (peringkat 59). Juga masih dibawah Thailand (peringkat 93)
dan Filipina (peringkat 98). Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam
kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori
tinggi.
Bahkan yang memprihatinkan
lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun
2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015). Penurunan itu disebabkan antara
lain oleh faktor kesenjangan sosial yang tinggi, banyaknya kasus korupsi
(Indonesia peringkat 5 negara terkorup di dunia), dan sebagainya.
Catatan Akhir
Dari uraian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pembangunan kualitas hidup bangsa Indonesia tergolong sangat
rendah, dengan nilai IPM sebesar 0,689 yang berada di peringkat 113 dari 188
negara di dunia (berdasarkan penilaian UNDP). Sedangkan
tingkat ketimpangan kekayaan di Indonesia termasuk paling buruk di dunia,
dimana segelintir
(1 %) orang terkaya menguasai separuh (49,3
%) total asset negara. Dan sekitar
seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit
saja di atas garis kemiskinan, dengan pendapatan per bulannya (per kapita)
kurang dari Rp.798.000 (standar Bank Dunia).
Demikian catatan akhir
tentang tingkat kemakmuran bangsa tercinta ini. Ironis, negara dengan sumber kekayaan alam
melimpah didukung sumber daya manusia dengan intelektualitas tinggi namun
kualitas hidup bangsanya begitu memprihatinkan.
Semoga kita dapat segera meningkatkan pembangunan kualitas hidup
masyarakat lebih baik sehingga tercapai kemakmuran bangsa yang didambakan. Amin
&&&&&
Resume
&&&&&
Resume
EMPAT PARAMETER UNTUK MENILAI TINGKAT KEMAKMURAN BANGSA
yaitu:
(1) pendapatan perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, serta (4)
indek pembangunan manusia (IPM).
1.
Pendapatan Per Kapita.
·
Pendapatan per kapita adalah
besarnya pendapatan rata-rata penduduk selama satu tahun.
·
Besaran pendapatan per kapita dihitung
dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) dengan jumlah penduduk.
·
Pendapatan per kapita merupakan
ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan
tingkat pembangunan sebuah negara. Semakin besar pendapatan per kapitanya,
semakin makmur negara tersebut.
·
BPS : PDB tahun 2016 = Rp 12.406,8 triliun
; Pendapatan per Kapita = Rp 47,96 juta/tahun (senilai US$ 3.605). Jadi
pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulan di tahun 2016 sebesar Rp 4
juta.
·
International Monetary Fund : Pendapatan
perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120 jauh berada dibawah
Singapura (US$ 93.680), Brunei (US$ 77.700), dan Malaysia (US$ 30.430). Namun
sedikit diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$ 7.380).
2.
Koefisien Gini
·
Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan
indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk
miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.
·
Gini ratio dikembangkan oleh
statistikus Italia, Corrado Gin th. 1912, yg didasarkan pada kurva Lorenz.
·
Besaran angka koefisien gini
berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna,
sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
·
Di seluruh dunia, angka koefisien
kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70
(Namibia).
·
BPS per Maret 2016: Indek Gini Ratio
di Indonesia = 0,397.
·
Dana bank di Indonesia didominasi
oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di
bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.
·
Ketimpangan kekayaan antara orang
kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia.
·
Secara teori ekonomi, bahwa 80%
kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya
saja.
·
Ketua MPR, Zulkifli Hasan : Kesenjangan
sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa
Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23
konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
·
Helmy Faishal Zaini : Jjumlah dana
yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar
(85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang
masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
3.
Data Kemiskinan
·
BPS : Sejak 2007 sd 2016, data statistic
penurunan angka lemiskinan.
·
Pemerintah mendefinisikan garis
kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp.
325.000,- (atau sekitar USD $25) = standar hidup sangat rendah.
·
Standar Bank Dunia, penduduk miskin
penghasilannya kurang dari USD $2 per hari ($60 perbulan = Rp. 900 ribu per
bulan.
·
Sekitar seperempat jumlah penduduk
Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis
kemiskinan nasional.
4.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
·
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau Human Development Index (HDI) merupakan indikator penting untuk mengukur
keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia
(masyarakat/penduduk).
·
Tiga dimensi utama IPM: Standar
Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan.
·
IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang
atau Negara terbelakang
·
UNDP menempatkan IPM Indonesia masuk
kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di
dunia.
·
Dengan peringkat itu Indonesia masih
berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk
kategori tinggi.
·
Bahkan yang memprihatinkan lagi
peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014)
turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015).
&&&&&
Diktuip dari Forbes, Jumat (14/12/2018), ada 50 orang sebagai pemilik harta terbanyak di Indonesia. Berikut daftar 50 besar orang terkaya di Indonesia:
1. Budi dan Michael Hartono: US$ 35 miliar setara Rp 507,5 triliun
2. Susilo Wonowidjoyo: US$ 9,2 miliar setara Rp 133,4 triliun
3. Eka Tjipta Widjaja: US$ 8,6 miliar setara Rp 124,7 triliun
4. Sri Prakash Lohia: US$ 7,5 miliar setara Rp 108,75 triliun
5. Anthoni Salim: US$ 5,3 miliar setara Rp 98,05 triliun
6. Tahir: US$ 4,5 miliar setara Rp 65,2 triliun
7. Chairul Tanjung: US$ 3,5 miliar setara Rp 50,75 triliun
8. Boenjamin Setiawan: US$ 3,2 miliar setara Rp 46,4 triliun
9. Jogi Hendra Atmadja: US$ 3,1 miliar setara Rp 44,9 triliun
10. Prajogo Pangestu: US$ 3 miliar setara Rp 43,5 triliun
11. Low Tuck Kwong: US$ 2,5 miliar setara Rp 36,25 triliun
12. Mochtar Riady: US$ 2,3 miliar setara Rp 33,35 triliun
13. Putera Sampoerna: US$ 1,75 miliar setara Rp 25,4 triliun
14. Peter Sondakh: US$ 1,7 miliar setara 24,65 triliun
15. Martua Sitorus: US$ 1,69 miliar setara Rp 24,5 triliun
16. Garibaldi Thohir: US$ 1,67 miliar setara Rp 24,2 triliun
17. Theodore Rachmat: US$ 1,6 miliar setara 23,2 triliun
18. Kuncoro Wibowo: US$ 1,58 miliar setara Rp 22,9 triliun
19. Alexander Tedja: US$ 1,5 miliar setara Rp 21,75 triliun
20. Husain Djojonegoro: US$ 1,46 miliar setara Rp 21,2 triliun
21. Bachtiar Karim: US$ 1,45 miliar setara Rp 21,03 triliun
22. Murdaya Poo: US$ 1,4 miliar setara Rp 20,3 triliun
23. Eddy Katuari: US$ 1,35 miliar setara Rp 19,6 triliun
24. Djoko Susanto: US$ 1,33 miliar setara Rp 19,3 triliun
25. Sukanto Tanoto: US$ 1,3 miliar setara Rp 18,85 triliun
26. Eddy Kusnadi Sariaatmadja: US$ 1,29 miliar setara Rp 18,71 triliun
27. Ciputra: US$ 1,2 miliar setara Rp 17,4 triliun
28. Ciliandra Fangiono: US$ 1,19 miliar setara Rp 17,26 triliun
29. Husodo Angkosubroto: US$ 1,15 miliar setara Rp 16,68 triliun
30. Harjo Sutanto: US$ 1,1 miliar setara Rp 15,95 triliun
31. Hary Tanoesoedibjo: US$ 980 juta setara Rp 14,21 triliun
32. Sudhamek: US$ 920 juta setara Rp 13,34 triliun
33. Lim Hariyanto Wijaya Sarwono: US$ 910 juta setara Rp 13,2 triliun
34. Osbert Lyman: US$ 900 juta setara Rp 13,1 triliun
35. Hashim Djojohadikusumo: US$ 850 juta setara Rp 12,33 triliun
36. Sjamsul Nursalim: US$ 810 juta setara Rp 11,75 triliun
37. Kusnan dan Rusdi Kirana: US$ 800 juta setara Rp 11,6 triliun
38. Danny Nugroho: US$ 790 juta setara Rp 11,46 triliun
39. Soegiarto Adikoesoemo: US$ 780 juta setara Rp 11,31 triliun
40. Aksa Mahmud: US$ 775 juta setara Rp 11,24 triliun
41. Irwan Hidayat: US$ 750 juta setara Rp 10,88 triliun
42. Achmad Hamami: US$ 725 juta setara Rp 10,5 triliun
43. Tjokrosaputro Benny: US$ 670 juta setara Rp 9,7 triliun
44. Arini Subianto: US$ 665 juta setara Rp 9,64 triliun
45. Edwin Soeryadjaya: US$ 660 juta setara Rp 9,57 triliun
46. Arifin Panigoro: US$ 655 juta setara Rp 9,5 triliun
47. Sabana Prawirawijaya: US$ 640 juta setara Rp 9,28 triliun
48. Kardja Rahardjo: US$ 625 juta setara Rp 9,06 triliun
49. Kartini Muljadi: US$ 610 juta setara Rp 8,85 triliun
50. Abdul Rasyid: US$ 600 juta setara Rp 8,7 triliun
Diktuip dari Forbes, Jumat (14/12/2018), ada 50 orang sebagai pemilik harta terbanyak di Indonesia. Berikut daftar 50 besar orang terkaya di Indonesia:
1. Budi dan Michael Hartono: US$ 35 miliar setara Rp 507,5 triliun
2. Susilo Wonowidjoyo: US$ 9,2 miliar setara Rp 133,4 triliun
3. Eka Tjipta Widjaja: US$ 8,6 miliar setara Rp 124,7 triliun
4. Sri Prakash Lohia: US$ 7,5 miliar setara Rp 108,75 triliun
5. Anthoni Salim: US$ 5,3 miliar setara Rp 98,05 triliun
6. Tahir: US$ 4,5 miliar setara Rp 65,2 triliun
7. Chairul Tanjung: US$ 3,5 miliar setara Rp 50,75 triliun
8. Boenjamin Setiawan: US$ 3,2 miliar setara Rp 46,4 triliun
9. Jogi Hendra Atmadja: US$ 3,1 miliar setara Rp 44,9 triliun
10. Prajogo Pangestu: US$ 3 miliar setara Rp 43,5 triliun
11. Low Tuck Kwong: US$ 2,5 miliar setara Rp 36,25 triliun
12. Mochtar Riady: US$ 2,3 miliar setara Rp 33,35 triliun
13. Putera Sampoerna: US$ 1,75 miliar setara Rp 25,4 triliun
14. Peter Sondakh: US$ 1,7 miliar setara 24,65 triliun
15. Martua Sitorus: US$ 1,69 miliar setara Rp 24,5 triliun
16. Garibaldi Thohir: US$ 1,67 miliar setara Rp 24,2 triliun
17. Theodore Rachmat: US$ 1,6 miliar setara 23,2 triliun
18. Kuncoro Wibowo: US$ 1,58 miliar setara Rp 22,9 triliun
19. Alexander Tedja: US$ 1,5 miliar setara Rp 21,75 triliun
20. Husain Djojonegoro: US$ 1,46 miliar setara Rp 21,2 triliun
21. Bachtiar Karim: US$ 1,45 miliar setara Rp 21,03 triliun
22. Murdaya Poo: US$ 1,4 miliar setara Rp 20,3 triliun
23. Eddy Katuari: US$ 1,35 miliar setara Rp 19,6 triliun
24. Djoko Susanto: US$ 1,33 miliar setara Rp 19,3 triliun
25. Sukanto Tanoto: US$ 1,3 miliar setara Rp 18,85 triliun
26. Eddy Kusnadi Sariaatmadja: US$ 1,29 miliar setara Rp 18,71 triliun
27. Ciputra: US$ 1,2 miliar setara Rp 17,4 triliun
28. Ciliandra Fangiono: US$ 1,19 miliar setara Rp 17,26 triliun
29. Husodo Angkosubroto: US$ 1,15 miliar setara Rp 16,68 triliun
30. Harjo Sutanto: US$ 1,1 miliar setara Rp 15,95 triliun
31. Hary Tanoesoedibjo: US$ 980 juta setara Rp 14,21 triliun
32. Sudhamek: US$ 920 juta setara Rp 13,34 triliun
33. Lim Hariyanto Wijaya Sarwono: US$ 910 juta setara Rp 13,2 triliun
34. Osbert Lyman: US$ 900 juta setara Rp 13,1 triliun
35. Hashim Djojohadikusumo: US$ 850 juta setara Rp 12,33 triliun
36. Sjamsul Nursalim: US$ 810 juta setara Rp 11,75 triliun
37. Kusnan dan Rusdi Kirana: US$ 800 juta setara Rp 11,6 triliun
38. Danny Nugroho: US$ 790 juta setara Rp 11,46 triliun
39. Soegiarto Adikoesoemo: US$ 780 juta setara Rp 11,31 triliun
40. Aksa Mahmud: US$ 775 juta setara Rp 11,24 triliun
41. Irwan Hidayat: US$ 750 juta setara Rp 10,88 triliun
42. Achmad Hamami: US$ 725 juta setara Rp 10,5 triliun
43. Tjokrosaputro Benny: US$ 670 juta setara Rp 9,7 triliun
44. Arini Subianto: US$ 665 juta setara Rp 9,64 triliun
45. Edwin Soeryadjaya: US$ 660 juta setara Rp 9,57 triliun
46. Arifin Panigoro: US$ 655 juta setara Rp 9,5 triliun
47. Sabana Prawirawijaya: US$ 640 juta setara Rp 9,28 triliun
48. Kardja Rahardjo: US$ 625 juta setara Rp 9,06 triliun
49. Kartini Muljadi: US$ 610 juta setara Rp 8,85 triliun
50. Abdul Rasyid: US$ 600 juta setara Rp 8,7 triliun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar