Ajaran Islam menyesuaikan keadaan Jaman, sepanjang tidak
mengingkari AQ dan sunnah nabi. Contoh :
1. Adzan Shalat Jum’at 2 kali.
Keadaan masyarakat di jaman Khalifah Usman bin Affan sudah
berbeda dg di jaman Rasulullah. Dimana pd jaman itu keadaan demografi sdh
berkembang luas, dan tingkat keimanan umat Islam tdk setinggi saat Rasulullah
hidup.
Sehingga pada saat hampir masuk waktu dhuhur di hari jum'at,
dimana orang2 masih sibuk dengan aktifitas masing2 di tempat berbeda yg jauh
dari masjid, maka Usman bin Affan berinisiatif mengumandangkan adzan di lokasi
mereka sbg peringatan. Adzan dikumandangkan lagi di saat masuk waktu dan kaum
muslimin sudah berada di masjid.
2. Safar syarat shalat qashar.
Para ulama
sepakat bahwa dalam keadaan Safar (perjalanan jauh) shalat bisa diqashar maupun
di jamak. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai
batasan safar, ada yg ukuran jarak (85 km) dan ada yang ukuran waktu (2
hari) untuk perjalanan safar.
Ulama modern masa
kini berpendapat, bahwa Safar tidak diukur dari jarak maupun waktu, tetapi dari
tingkat kesulitan dalam perjalanan. Seiring dengan
kemajuan teknologi transportasi membuat jarak dan waktu tempuh perjalanan
menjadi relatif, sehingga jarak 1000 km bisa ditempuh dengan cara mudah dan waktu
yang relatif singkat.
Sebaliknya tingkat kemacetan lalu lintas juga bisa memaksa seorang berkendaraan
dengan waktu tempuh lama meski jarak tempuh pendek, sehingga memungkinkan ia menjamak
shalat.
---
---
Safar, Syarat Mengqashar Shalat
Dalam keadaan tertentu yang memberatkan, seperti Safar (perjalanan jauh) maka Islam memberikan jalan lain untuk memudahkan dalam pelaksanaan shalat, yaitu dengan Shalat Jamak dan Qashar.
Sholat Jamak adalah mengumpulkan dua sholat dalam satu waktu. Sedangkan sholat Qashar yaitu menjadikan sholat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
Para ulama sepakat bahwa dalam keadaan safar (perjalanan jauh) shalat bisa diqashar maupun di jamak. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai batasan safar, yang memungkinkan seseorang boleh mengqashar dan menjamak shalat (serta berbuka jika ia puasa.)
Secara garis besar ada tiga pendapat para ulama mengenai batasan Safar, yaitu:
a. Imam mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, bahwa disebut Safar jika seseorang melakukan perjalanan hingga mencapai jarak 4 burud, yaitu kurang lebih sama dengan 48 mil atau 85 km.
b. Imam Abu Hanifah dan para ulama Kufah berpendapat, bahwa disebut safar jika seseorang melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam. Pertimbangannya adalah di masa Rasulullah dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan ukuran mil atau kilometer. Perjalanan di masa itu menggunakan onta atau dengan berjalan kaki.
c. Ulama modern masa kini berpendapat, bahwa Safar tidak diukur dari jarak maupun waktu, tetapi dari tingkat kesulitan dalam perjalanan. Seiring dengan kemajuan teknologi transportasi membuat jarak dan waktu tempuh perjalanan menjadi relatif, sehingga jarak 1000 km bisa ditempuh dengan cara mudah dan waktu yang relatif singkat. Sebaliknya tingkat kemacetan lalu lintas juga bisa memaksa seorang berkendaraan dengan waktu tempuh lama meski jarak tempuh pendek, sehingga memungkinkan ia menjamak shalat.
Catatan:
Pendapat penulis bahwa dalam menyikapi persoalan ini, jalan yang terbaik adalah jujur pada diiri sendiri, apakah kita pantas mendapatkan keringanan (shalat dan puasa) dalam perjalanan kita atau tidak. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui suara hati kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar