Pengertian Nafsu
Para ahli dan
pakar ilmu kejiwaan sepakat bahwa dalam setiap diri manusia terdapat suatu
kekuatan yang disebut dengan motive, atau dalam
istilah psikologi adalah drive.
Motive atau
drive ini merupakan suatu kekuatan ruhaniah yang mendorong manusia untuk
berbuat sesuatu. Tanpa adanya drive manusia tidak mempunyai kemauan
untuk berbuat sesuatu. Dalam istilah umum, kekuatan tersebut kita
kenal dengan nafsu.
Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai
pendorong jasmani untuk melakukan suatu
perbuatan. Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena
tanpa nafsu manusia tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau
gairah untuk melakukan suatu perbuatan.
Dorongan nafsu bisa bersifat positif atau negatif, karena nafsu mempunyai dua sisi yang
bertolak belakang yaitu sisi positif dan negatif. Nafsu positif akan mendorong
ke arah kebajikan, sedangkan nafsu negatif akan mendorong kearah keburukan.
Dua kekuatan Nafsu
Nafsu merupakan kekuatan
yang akan mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan ke salah satu dari dua
arah yang bertolak belakang, yaitu kearah kebajikan atau kearah keburukan.
Nafsu yang mendorong kearah kebaikan disebut nafsu positif, sedangkan
fafsu yang mendorong kearah kearah keburukan disebut nafsu negatif.
Dalam khasanah
Islam, nafsu positif ini disebut dengan quwwah rabbaniyah (nafsu
ketuhanan), yaitu adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah
kebajikan. Sedangkan nafsu negatif disebut dengan Quwwah
syaitaniah (nafsu setan), yaitu nafsu yang cenderung mendorong
kearah kesesatan.
Dua potensi
nafsu itu, positif dan negatif akan saling beradu kekuatan untuk mempengaruhi
seseorang ketika akan melakukan suatu perbuatan. Dari dua potensi nafsu itu
mana yang lebih kuat? Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa nafsu negatif
lebih kuat pengaruhnya dibanding nafsu positif, karena nafsu negatif cenderung
mengarahkan ke perbuatan yang lebih mudah dan lebih menguntungkan.
Dalam al-Qur’an
Allah Swt berfirman, ”inna nafsa la ammaratum bissu’i - illa maa
rahimma rabbi” artinya, sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan
(QS. Yusuf : 53).
Nafsu Ibarat Api
Nafsu merupakan suatu kekuatan yang sangat bermanfaat, karena ia
berfungsi sebagai pendorong semangat hidup. Namun, di sisi
lain nafsu akan sangat berbahaya dan dapat mencelakakan manusia apabila
ia tidak dikendalikan dengan baik.
Maka bisa digambarkan
bahwa nafsu itu ibarat api. Ia
sangat berguna manakala kita dapat menguasainya (dimanfaatkan sebagai penerang,
untuk memasak, dsb). Namun api akan
sangat berbahaya dan bisa menjadi malapetaka apabila kita tidak dapat
mengendalikannya (karena ia dapat membakar apa saja yang bisa ia bakar dan
kemudian menyebabkan kebakaran yang sangat hebat).
Jadi
sesungguhnya nafsu akan sangat bermanfaat bila ia dapat dikendalikan dengan
baik, namun akan sangat berbahaya dan mencelakakan apabila kita tidak mampu
mengendalikannya.
Apabila kita
membiarkan apa adanya nafsu yang ada pada diri kita dan kita tidak mengelolanya
dengan baik, maka kita akan dikuasai oleh nafsu. Namun apabila
kita dapat mengendalikan nafsu secara baik, maka kita termasuk orang yang beruntung.
Allah berfirman,
”Fa
alhamahaa fujuurahaa wa taqwahaa - qad aflaha man zakhaa haa waqad
khaaba man dassaa haa” artinya ”Maka (Dia) mengilhamkan
kepada jiwa kita, (jalan) kejahatan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung
orang-orang yang mensucikannya (yaitu yang mampu
mengendalikannya). Dan sungguh merugi orang-orang yang
mengotorinya.” (QS. Asy-syams, ayat 8-10)
Empat Macam Nafsu
Dalam
khasanah Islam nafsu terbagi menjadi 4 macam, yaitu: nafsu lawwamah (biologis); nafsu sufiah (duniawi); nafsu amarah
(emosional); dan nafsu mutmainah (kebajikan).
(1) Nafsu amarah disebut juga
ego adalah nafsu yang paling rendah, paling buruk dan paling jahat. Nafsu ini muncul akibat beberapa sebab, antara lain perasaan tersinggung,
cemburu, iri dengki dan kekalahan yang menyebabkan hilangnya daya nalar sehat
sehingga melakukan Tindakan yang merugikan.
(2) Nafsu
sufiah merupakan nafsu cinta
terhadap masalah-masalah keduniawian (hubbud dun’ya) seperti kekayaan,
jabatan, dan kecantikan, yang menyebabkan seseorang cenderung bersikap pamer, kikir
dan rakus, sehingga mendorong untuk melakukan kecurangan, manipulasi dan korupsi.
(3) Nafsu lawwamah mengarah pada dorongan syahwat biologis, seperti makan, minum, seksual, dsb. Nafsu ini yang dominan pada hewan.
Berbeda dari
ketiga macam nafsu tersebut, (4) Nafsu
Mutmainah merupakan nafsu mulia, ia
mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan, seperti peduli, empati, menolong,
ibadah dan sebagainya. Nafsu ini membuat seseorang menjadi tenang, ramah dan bijaksana.
Nafsu mutmainah
inilah yang senantiasa berperang melawan ketiga
nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang hamba
Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih dipentingkan ,
maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.
Nafsu adalah Musuh Nyata
Nafsu adalah kekuatan
yang berasal
dari dalam diri kita. Ia berpotensi menjadi musuh
nyata yang dapat menghancurkan diri kita.
Usai pasukan umat Islam memenangkan perang Badar yang
sangat fenomenal, Rasulullah bersabda: “Raja’na min jihadil asghar - ila jihadil akbar.
Wahiya jihadun nafs (Kita
telah kembali dari peperangan yang kecil, menuju peperangan besar, yakni perang
melawan hawa nafsu.)
Nabi Muhammad
memperingatkan, bahwa melawan kekuatan dari dalam (nafsu) ternyata lebih
sulit dan berat bila dibandingkan melawan kekuatan luar. Musuh
dari luar dapat dideteksi dan diukur, tetapi musuh yang bersembunyi di
dalam diri susah dideteksi, dan seringkali kita mengikutinya tanpa sadar.
Nafsu adalah musuh dari
dalam. Apabila
nafsu duniawi telah menguasai seseorang, maka ia tidak akan pernah merasa puas
dengan apa yang telah diperolehnya.
Rasulullah SAW
bersabda: ''Seandainya
anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan
pernah penuh perut anak Adam, kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan
Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.'' (HR Ahmad).
Orang Kuat Bila Mampu Kendalikan Nafsu
Orang yang mampu
menguasai nafsunya dan kuat menahan amarahnya itu bermakna pula orang
yang sabar. Orang sabar adalah orang yang “memberi maaf ketika
marah.” (QS.42:37), dan yang mengucapkan kata-kata baik tatkala
orang-orang jahil
menghinanya (QS.25:63). Dan
bagi orang-orang yang sabar, sesungguhnya Allah akan selalu menyertainya (Innallaha ma’a
shabiriin).
Salah satu contoh
orang yang mampu mengendalikan nafsunya dengan sangat luar biasa adalah Ali bin Abi Thalib
RA.
Pada suatu peperangan, ketika
Ali telah berhasil menjatuhkan lawannya dan ketika hendak memenggal kepala
lawannya yang telah jatuh tak berdaya, tiba-tiba orang itu meludahi wajahnya.
Seketika itu Ali pergi meninggalkan orang tersebut dan mengurungkan niat
membunuhnya.
Sewaktu ditanya kenapa tak jadi
membunuh musuhnya itu, Ali menjawab, ”Ia telah meludahi mukaku, maka aku
khawatir nanti aku membunuhnya karena dilandasi kemarahan atas perbuatannya
itu. Sedangkan aku tak mau membunuh
karena marah kecuali karena ikhlas untuk
Allah SWT.”
Kesanggupan Ali
mengendalikan kemarahan membuatnya pantas menyandang gelar ”orang kuat”. Rasulullah bersabda: ”Bukannya
yang dikatakan kuat itu orang yang kuat bergulat. Sebenarnya yang dikatakan kuat itu yang dapat
mengendalikan nafsunya tatkala marah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Atas dasar hadis itu, berarti
orang yang kuat bukannya pegulat, bukannya petinju yang mampu meng-KO lawannya
hingga terkapar, bukan pula jagoan yang sanggup membuat lawannya tak berdaya
lalu menghabisinya. Orang yang kuat
adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya, yang sabar, dan yang mampu menguasai amarahnya, sebagaimana yang di contohkan
oleh shayidina Ali RA.
Dan bagi orang yang dapat
menguasai nafsunya, yaitu orang yang mampu menahan amarahnya, yang sabar dalam
menerima musibah, dan yang sanggup memberi maaf kepada orang yang menyakitinya,
maka Allah telah menyediakan baginya surga di akhirat kelak.
Allah berfirman dalam Al-Quran
surat An-Nazi’at ayat 40 : ”Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii - wa nahan nafsa
‘anil hawaa. Fa innal jannata hiyal
ma’waa.” Dan adapun orang yang takut akan
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal
(nya).
Empat Cara Mengendalikan Nafsunya
Untuk dapat
menguasai atau mengelola nafsu yang ada pada diri kita, para ulama menganjurkan
agar kita senantiasa berlatih (riyadhah) dengan melakukan hal-hal secara terus
menerus, yaitu: (1) Berpuasa, (2) Bersedekah, dan (3) Hidup sederhana, dan (4) Beristighfar.
Untuk mempermudah mengingat empat kiat atau cara mengendalikan nafsu
itu, para salik (murid yang sedang belajar dan menjalani tarekat tasawuf) membuat
”jembatan keledai” dengan kalimat singkatan PSSI, yaitu: Puasa, Sedekah, Sederhana, dan Istighfar.
(1) Puasa.
Rasulullah bersabda ; ”Perangilah nafsumu
dengan puasa”.
Pada dasarnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi
hakekat puasa adalah menahan hawa nafsu, atau pengendalian diri (self control).
Pengendalian diri atas ucapan (mulut), pendengaran (telinga) dan penglihatan (mata), serta perasaan (hati). Yaitu menahan diri untuk
tidak berghibah, tidak bicara kasar dan kotor yang menyakiti hati. Menahan diri
untuk tidak mendengarkan ghibah serta kata-kata jorok dan kotor. Menahan diri
untuk tidak melihat sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan diri untuk tidak
berprasangka buruk (su’udzan).
Dengan berpuasa
kita dilatih untuk mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap
dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar.
(2) Hidup Sederhana (Zuhud).
Hidup
sederhana merupakan konsep dari tasawuf yaitu
zuhud. Zuhud
bukanlah sikap hidup yang anti dunia, atau menghindari
kenikmatan duniawi, sehingga seseorang harus menjalani kehidupan
layaknya orang yang miskin.
Zuhud
adalah sikap atau upaya untuk membebaskan diri
dari pengaruh dan godaan duniawi berbentuk
kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang menjadi sombong dan membanggakan
diri.
Zuhud
terhadap dunia bukan pula berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat
duniawi, melainkan harta benda bukan menjadi kebanggaan
apalagi tujuan. Dengan begitu maka zuhud merupakan
cara untuk memerangi hawa nafsu.
Nabi
SAW bersabda bahwa hal yang dapat menyelamatkan diri
dari siksa api neraka diantaranya adalah hidup
sederhana, baik dalam keadaan fakir maupun di saat kaya
raya.
(3) Sedekah.
Salah satu sifat nafsu adalah menyeru kepada
hal-hal yang buruk, antara lain adalah sifat tamak, rakus dan tidak berempati.
Nafsu lauwamah adalah nafsu duniawi yang
cenderung menumpuk harta sebanyak-banyaknya, dengan pengeluaran
sekecil-kecilnya. Dengan nafsu ini maka seseorang akan cenderung rakus dan
kikir.
Agama kita menegaskan bahwa
pada harta kita ada hak untuk fakir miskin, sebesar 2,5%. Bagi orang kikir yang
tidak mau bersedekah 2,5% hartanya kepada fakir miskin maka ia tergolong
sebagai manusia pendusta agama.
Sedekah, selain sebagai sarana untuk menyucikan
harta dan memperoleh pahala besar, yaitu pahala jariyah, sedekah juga bertujuan
untuk mengendalikan nafsu duniawi. Semakin besar
nilai sedekah maka semakin besar pula kekuatan pengendalian nafsu.
(4) Istighfar
Istighfar adalah ungkapan
permohonan
ampunan kepada Allah atas kesalahan dan dosa yang dilakukan. Istighfar dilakukan
segera setiap kita menyadari melakukan kesalahan, dengan kesadaran dalam hati
dan diucapkan dengan lisan.
Namun istighfar
juga sangat baik bila dilakukan secara rutin dalam dzikir, meskipun kita
tidak merasa melakukan kesalahan. Istighfar sangat baik dilafalkan secara
berulang-ulang dalam satu kegiatan dzikir, yang dilakukan sehabis shalat atau
pada saat-saat tertentu di malam hari.
Dalam hadis riwayat
Bukhari dikatakan bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar minimal tujuh puluh kali dalam
sehari, meskipun beliau manusia yang terbebas dari kesalahan dan dosa (ma’shum).
Dalam satu Riwayat disebutkan
bahwa Allah Ta’ala menyukai gemuruhnya suara orang berdzikir, namun Allah lebih menyukai rintihan
penyesalan (istighfar) para pendosa.
Manfaat lain dari
dzikir istighfar adalah menghilangkan kesedihan dan mendatangkan rizki. Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka
Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap
kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap
kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka ,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan
Ahmad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar