Sabtu, 13 Februari 2021

Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memahami Islam berdasarkan pada al-Quran dan al-Sunnah. Tidak terikat dengan aliran teologis, mazhab fikih, dan tariqat sufiyah apapun.

Ciri Muhammadiyah manhajnya itu adalah tajdid, toleransi, terbuka, tidak bermazhab.

Muhammadiyah menempatkan Ulama sangat tinggi, dengan membedah kitab-kitab mereka sebagai rujukan.

Dalam proses penentuan hukum, ulama-ulama mazhab biasanya melakukan ijtihad secara personal. Sementara Muhammadiyah mengambil langkah ijtihad jama’i

ijtihad jama’i adalah aktivitas ijtihad yang dilakukan secara kolektif, yaitu kelompok ahli hukum Islam yang berusaha untuk mendapatkan hukum sesuatu atau beberapa masalah hukum Islam.

Ijtihad dengan model seperti ini memungkinkan setiap orang yang memiliki spesialisasi disiplin ilmu di bidang tertentu dapat ikut bergabung merumuskan fatwa hukum Islam. 

Posisi Imam Mazhab dalam Muhammadiyah sebagai referensi untuk dibaca dan mengambil pandangan mereka yang paling sesuai dengan al-Quran dan al-Sunah sekaligus aplikatif dengan tuntunan zaman.

Muhammadiyah hanya memposisikan pandangan imam mazhab sebagai option, bukan obligation. Pandangan mereka hanya sebatas pilihan, bukan sebagai keharusan.

Muhammadiyah memiliki seperangkat metode pengambilan hukum yang sering dinamakan dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah.

 

Muhammadiyah Nirmazhab.

Pak AR (KH. AR. Fachruddin) adalah Ketua PP Muhammadiyah paling lama (22 Tahun)

Sikap Muhammadiyah yang tidak bermazhab (Muhammadiyah nirmazhab) tersebut sangat mengagumkan karena sangat modern, sangat prospektif, dan menjanjikan untuk masa depan Islam.

Prof. Dr. Din Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan Dahlanisme. Artinya, meski didirikan KH Ahmad Dahlan, fikih Muhammadiyah akan terus berkembang, tidak terpaku pada fikih yang dipakai Muhammadiyah “AB-1” ini.

Majlis Tarjih (badan kajian fikih Muhammadiyah) selalu merespons masalah-masalah umat dengan pendekatan hukum teranyar sesuai dinamika zaman.

Orang Muhammadiyah bebas mencari rujukan pada mazhab mana pun

Ketika Pak AR ditanya tentang hukum dijilat anjing. Pak AR bertanya kembali kepada si penanya: Hukum berdasarkan mazhab mana?

Berdasarkan mazhab Syafi’i air liur anjing najis mughalladoh. Najis besar. Dalam mazhab Syafi’i ada nisbah fikih: Bila ada sebuah bejana dijilat anjing, maka harus dicuci air tujuh kali; salah satunya dengan air tanah (lumpur). Dari nisbah itu, najisnya anjing sangat besar. Dalam fikih disebut najis mughaladoh.

Tapi bila merujuk mazhab Maliki, air liur anjing tidak najis. Jadi jika anda dijilat anjing tidak perlu dicuci. Konon, di era Imam Maliki tak ada masalah dengan anjing. Beda dengan zaman Imam Syafi’i. Saat itu sedang ada wabah rabies. Penyakit ini penyebabnya gigitan anjing.

Artinya umat bisa memilih, mana yang sesuai dengan dirinya. Umat juga tidak terjebak pada fanatisme fikih. Umat akan tahu ternyata fikih tentang anjing berbeda-beda. Dan perbedaan itu ada rujukannya; ada yurisprudensinya.

Pesan Pak AR agar Islam disampaikan dengan enteng, ringan, dan menyenangkan hanya mungkin dilakukan jika orang tidak bermazhab dan mengambil sisi positif setiap mazhab. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang sangat bagus. Rasulullah saw bersabda, “yassiru wala tu’assiru wabasysyiru wala tunafiru”. Artinya: mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka lari. 

https://www.teropongsenayan.com/71808-pak-ar-dan-muhammadiyah-tanpa-mazhab

 

Ijtihad Muhammadiyah

Muhammadiyah memiliki suatu lembaga ijtihad yang disebut majelis tarjih. Majelis tarjih adalah salah satu lembaga Muhammadiyah yang membidangi dan mengurusi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum dalam bidang fiqih. Sesuai dengan namanya, tarjih ialah mengikuti hukum yang kuat, maka dalam berijtihad, Muhammadiyah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.

Muhammadiyah tidak terikat pada satu mazhab, dan bukan berarti tidak mengakui adanya mazhab. Bahkan, dalam beristinbath, Muhammadiyah tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah mazhab tersebut.

 

Muhammadiyah dan Kolaborasi Mazhab

Secara metodologis, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan sejumlah manhaj ushul fiqih yang ditawarkan oleh para imam mazhab. Hanya saja, para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan pendapat ulama mazhab tertentu.

Pola bermazhab seperti itudisebut dengan bermazhab dengan pola talfiqi yaitu memadukan pemikiran antarmazhab, dengan memilih yang paling layak dan kuat untuk dipilih.

Penggunaan qiyas, mengacu pada keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Pemilihan metode istihsan, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah. Pemilihan metode mashlahah mursalah dengan berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada Imam Malik. 

Pengadopsian metode istishhab, secara tidak langsung juga mengakui pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. 

Dalam mengikuti Wahabisme, Muhammadiyah cenderung anti sufisme seperti halnya di Saudi Arabia. Tasawuf dianggap banyak dipengaruhi oleh ajaran agama lain, misalnya Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal.

 

Haedar Nashir

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menilai, sebagian kecil umat sering mengkontruksi gerakan dan paham keagamaan Muhammadiyah dengan aliran Islam seperti Wahabi yang identik keras dan ancaman.

Buku-buku dan kitab-kitab yang dibaca Kiai Ahmad Dahlan (dalam daftarnya) tidak ada daftar Kitabut Tauhid karya Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Justru yang paling kuat adalah Risalah At-Tauhid karya Muhammad Abduh dan Kitab Al-Iman karya Ibnu Taimiyah yang perspektifnya sangat mendalam dan luas.  

"Kiai Dahlan seperti juga Kiai Hasyim Asy’ari biarpun lama bermukim di Makkah tidak terpengaruh, ya kira-kira seperti ikan di laut yang tidak terpengaruh menjadi asin, “ kata Haedar.

 

Muhammadiyah Tidak Condong Satu Mazhab dan Tidak Anti Mazhab

Sebagai organisasi dakwah yang menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka Muhammadiyah sesungguhnya tidak mengacu dan condong kepada salah satu mazhab yang selama ini dianut oleh umat Islam. Pada saat yang bersamaan, Muhammadiyah mampu menempatkan diriya dengan tidak memposisikan sebagai anti-mazhab. Dalam konteks ini, Muhammadiyah berada di tengah kedua kelompok tersebut.

Alasan utama Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan para imam mazhab, dikarenakan tidak adanya satu dalil pun dari Al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan umat Islam agar menganut salah satu mazhab. “Bahkan para imam tersebut justru menolak untuk diikuti, manakala pendapat yang disampaikannya ternyata bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah.

Kita ketahui, bahwa terdapat empat imam mazhab yang menjadi rujukan umat Islam di dunia, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Di Indonesia, rata-rata merujuk pada pendapatnya Imam Syafii sebagai rujukan utama. Sedangkan Muhammadiyah, senantiasa berupaya untuk mencari dalil yang paling kuat di antara empat ulama mazhab dan menyampaikan dalil tersebut kepada umat. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak mentah-mentah menerima pendapat imam mazhab di dalam berbagai perkara keagamaan dan keduniaan.

“Kita mempunyai Majelis Tarjih yang di dalamnya berisi pakar dari berbagai disiplin ilmu keagamaan dan senantiasa mengkaji berbagai dalil dalam hal aqidah, ibadah, syariah maupun muamalah,” tambah alumni Fakultas Dakwah Universitas Islam Madinah Arab Saudi.

Meski demikian, sebagai organisasi kemasyarakatan yang membawa pencerahan kepada Bangsa Indonesia, maka Muhammadiyah meletakkan toleransi internal sebagai salah satu upaya untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah. “Seringkali kita terjebak di dalam persoalan-persoalan yang sangat teknis dan bersifat cabang. Selama bukan merupakan permasalahan pokok, maka Muhammadiyah memberikan toleransi yang sangat besar

 

Seminar

Saya mengusulkan masjid Syuhada Yogyakarta mengadakan seminar membahas empat mazhab. Pemakalahnya dari Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan Syiah. Muhammadiyah bermazhab nirmazhab, NU bermazhab Syafi’i, Ahmadiyah bermazhab Ahmadi, dan Syiah bermazhab Ahlul-Bait. Seminar ini ternyata menarik minat jamaah dan kader-kader dakwah masjid Syuhada. Dari seminar itulah terbuka wawasan saya.

Saya kaget ketika pembicara dari Syiah, Jalaludin Rakhmat menyatakan bahwa pedoman Islam sepeninggal Rasulullah adalah Al-Qur’an dan Ahlul Bait. Bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ini karena Ahlul Bait adalah orang-orang yang kesuciannya dijamin Allah sesuai Surat Al-Ahzab 33. Sunah Rasul memang benar, tapi sepeningal Rasul masih ada rujukan umat yatitu ahlul bait.

Siapa saja ahlul bait? Menurut mazhab Syiah mayoritas (Itsna ‘Asyariah), ahlul bait terdiri atas dua belas imam. Pertama Sayyidina Ali (Imam Ali), ke-2 Hasan bin Ali, ke-3 Husein bin Ali, ke-4 Ali bin Husein, ke-5 Muhammad Al-Baqir, ke-6 Ja’far Ash-Shiddiq, ke-7 Musa Al-Kadzim, ke-8 Ali- Ar Ridho, ke-9 Muhammad Al-Jawad, ke-10 Ali Al-Hadi, ke-11 Hasan Al-Asykari, dan ke-12 Abu Al-Qashim (Imam Mahdi). Kedudukan para imam ini memang tidak sama dengan nabi; tapi mereka pembawa pesan atau penafsir hadist Rasulullah yang paling otoritatif.

Dari kedua belas imam di atas, Imam Mahdi yang paling terkenal. Ini karena di masyarakat Islam Jawa, khususnya NU, ada kepercayaan bahwa kelak di akhir zaman akan datang Imam Mahdi untuk menghakimi seluruh umat manusia dengan adil seadil-adilnya. Kepercayaan kepada mesianisme (Imam Mahdi) dan praktik ziarah kubur inilah yang menyebabkan Gus Dur menyatakan bahwa NU sebetulnya Islam berbau syiah.

Sedangkan pembicara Ahmadiyah menyatakan, sepeninggal Rasul, Allah masih menurunkan utusannya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan keturunannya. Yang menarik adalah, Mirza Ghulam Ahmad jika dirunut adalah keturunan Rasulullah juga. Sedangkan ulama Ahlul Bait diakui sebagai ulama yang paling otoritatif dalam menafsirkan Qur’an dan hadist.

Pendapat tersebut disepakati mayoritas ulama. Maklumlah ahlul bait adalah orang-orang yang punya keturunan langsung dari Rasulullah melalui putrinya Fatimah Az-Zahra, istri Ali Bin Abi Thalib. Kita tahu, Rasulullah pernah bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.” Hadist ini menjelaskan bahwa keluarga Nabi, Ahlul Bait, adalah orang-orang yang paling otoritatif dalam menjelaskan ilmu-ilmu agama. Yaitu ilmu-ilmu yang berdasarkan Qur’an dan hadist. Imam Ja’far As-Shadiq, misalnya, salah seorang Ulama Ahlul Bait adalah gurunya para imam pendiri empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi).

Empat mazhab inilah yang paling banyak diikuti di Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunai kaum muslim kebanyakan menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan di Saudi Arabia dan sekitarnya kebanyakan mazhab Hambali. Sementara di Hindustan (India dan Pakistan) memakai mazhab Hanafi dan di Magribi (Afrika Utara) kebanyakan mazhab Maliki. Menariknya, semua imam mazhab tersebut adalah murid Imam Ja’far As-Shadiq, seorang ulama Ahlul Bait yang bermazhab Syiah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar