Selasa, 24 Januari 2017

Mahabbah; Salah Satu dari Tiga Golongan Orang dalam Beribadah

Diceritakan bahwa ketika seluruh penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah SWT mengundang mereka.  Kemudian terjadilah dialog, kurang lebih sebagai berikut:
Allah ta’ala bertanya, “Wahai para penghuni surga, bagaimana kesanmu terhadap surga?”
Seluruh penghuni surga menjawab, “Duhai Allah, tidak mampu kami ungkapkan bagaimana kenikmatan surga” (surga sangat-sangatlah indah, nyaman, sejuk, segala kelezatan ada, yang tak pernah dijumpai di dunia, bahkan tak bisa dibayangkan oleh penduduk bumi).
Allah bertanya lagi, “Adakah sesuatu yang melebihi kenikmatan surga?”
Penghuni surga menjawab, “Tentu tidak ada ya Allah, tidak ada satupun yang melebihi kenikmatan surga”
Allah bertanya lagi, “Maukah kalian Aku tunjukkan suatu kenikmatan yang melebihi surga?”
Para penghuni surga terkejut mendengar tawaran Allah Ta’ala, dan bahkan mereka bertanya balik kepada Allah, “ Apakah ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya surga duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Ada”.
Penghuni surga bertanya lagi, “Apakah itu duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Memandang wajahKu”. 
Kemudian Allah membuka tabir (yang menutupi Wajah-Nya). Ketika para penghuni surga telah menatap wajah Allah, maka mereka lupa akan kenikmatan surga.

Cerita ini begitu mashur dan banyak dijadikan renungan dikalangan ulama tasawuf.  Rujukan cerita ini adalah hadis yang ditulis dalam Kitab Shahih Muslim dan beberapa ayat Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, bahwa kenikmatan melihat Wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling tinggi, yang melebihi segala kenikmatan di surga. Penuturan Nabi Muhammad ini sesuai dengan  Q.S. al-Qiyamah: 22-23, yaitu, “Wajah orang-orang beriman pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nya mereka melihat.”  *)

Kerinduan para kaum sufi akan menatap wajah Allah adalah sesuatu yang paling puncak, melebihi kerinduan akan surga. Menatap wajah Allah itulah cinta (mahabbah). Dalam beribadah mereka benar-benar mengharapkan ridha-Nya. Mengharapkan cinta-Nya. Beribadah bukan karena mengharapkan sorga atau takut akan siksa neraka , tetapi beribadah karena semata mengharapkan cinta Allah.
Dalam pandangan tasawuf, “mahabbah” berarti mencintai Allah, yang di dalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali hanya Allah. 

Dalam hal beribadah kepada Allah, kaum muslimin mempunyai motivasi dan kualitas yang berbeda-beda dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Ali bin Abi Thalib RA. menjelaskan bahwa motivasi kaum muslimin dalam beribadah dibagi menjadi 3  golongan. Ketiga golongan itu adalah: Pertama: Golongan budak (al-Abid). Kedua: Golongan  pedagang (At-Tujjar), dan Ketiga: Golongan pecinta (al-Mahabbah). Tentu saja kesemua golongan ini baik adanya dikarenakan ketaatan dalam menjalankan ibadah kepada Allah.

PertamaGolongan budak / karyawan (Al-'abid).
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seorang budak atau karyawan.  Ia bekerja karena melaksanakan tugas kewajibannya selaku karyawan, dan takut kemarahan majikan bila tidak patuh dengan perintahnya.
Seorang budak atau karyawan melakukan pekerjaan sebatas karena tugas kewajiban yang diembannya, tanpa ada upaya untuk memajukan perusahaan.  Motivasinya dalam bekerja tak lain adalah hanya sekedar untuk mendapatkan upah dan agar ia tidak dimarahi atau dipecat.
Seseorang yang melaksanakan shalat atau ibadah wajib lainnya karena alasan sebagai suatu kewajiban yaitu perintah Tuhan, yang apabila meninggalkannya akan terkena dosa, maka ia termasuk dalam golongan al-abid.  Mereka ini apabila telah selesai melaksanakan shalat maka ia akan merasa telah terbebas dari kewajiban yang membebaninya .
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah (1) shalat fardhu ia lakukan sekedarnya, (2) tanpa dzikir (atau dzikir sekedarnya), (3) tanpa tambahan shalat sunnah rawatib, (4) tanpa persiapan khusus (misalnya dalam hal berpakaian), dan (5) jarang ke masjid.  
Esensi beribadah golongan budak adalah mereka yang melaksanakan ibadah karena suatu kewajiban untuk menggugurkan kewajiban atau menghindari dosa.

KeduaGolongan Pedagang (At-Tujjar).
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seorang pedagang yang cenderung mempertimbangkan untung rugi.
Ia senantiasa menghitung sedikit banyaknya pahala pada setiap kegiatan ibadah, dan ia selalu  berupaya untuk mendapatkan pahala yang lebih besar. Rugi rasanya apabila ia melaksanakan ibadah yang hanya memperoleh pahala kecil. Dalam melaksanakan shalat misalnya, ia senantiasa berusaha untuk shalat berjamaah meskipun hanya dengan dua orang.   Dalam bersedekah ia mencari tempat, waktu dan obyek yang dapat melipatgandakan pahala, misalnya bulan Ramadhan  pahala dilipat 700 kali lipat.
Pertimbangan untung rugi lainnya adalah apabila ia melakukan suatu amalan ibadah maka ia akan memperoleh balasan kebaikan di dunia, misalnya kelimpahan rejeki, kesehatan badan, dipanjangkan umur, dijauhkan dari malapetaka, dimudahkan dapat pekerjaan, dan sebagainya.  
Agar mendapat pahala berlipat serta memperoleh balasan kebaikan di dunia, maka orang-orang di golongan ini takkan menyia-nyiakan kesempatan, mereka akan mengambil untung sebesar-besarnya dengan melakukan banyak ibadah dan beramal shaleh.
Beribadah sebagaimana seorang pedagang yang memperhitungkan untung rugi tentulah tidak keliru. Bahkan Allah sendiri yang menyatakan bahwa berniaga denganNya takkan pernah merugi.
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini antara lain adalah: (1) gemar shalat berjamaah di masjid, (2) gemar melakukan ibadah sunah, (3) intensitas ibadah di bulan Ramadhan makin tinggi, (4) banyak berdoa memohon kepada Allah (kebaikan dunia maupun akhirat), dan (5) gemar bersedekah.
Esensi beribadah golongan pedagang adalah mereka yang melaksanakan ibadah karena motivasi mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai tabungan akhirat agar memperoleh kemudahan memasuki surga kelak.

KetigaGolongan Pecinta (Al-mahabbah)
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seseorang yang berbuat sesuatu untuk sang kekasih atas dasar perasaan “cinta”.
Seseorang yang melakukan sesuatu untuk sang kekasih tentu tidak akan mengharapkan balasan apapun kecuali alasan cinta.  Seorang ibu rela melakukan apapun dengan tulus ikhlas demi anaknya tidak lain karena cinta. Seorang lelaki rela berkorban demi wanita pujaannya adalah karena cinta.
Orang yang beribadah pada Allah Swt dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan apapun kecuali ridho (cinta) Nya merupakan ibadah yang mempunyai derajat tertinggi.  Orang-orang termasuk kedalam golongan ini adalah mereka yang telah mempunyai ketaqwaan tinggi, yang tentu berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sehari-hari, yaitu jujur, sabar, rendah hati, bijaksana, sosial, penolong, dan toleran.
Ia beribadah bukan karena takut neraka atau menginginkan surga, tetapi lebih dari itu. Ibadah dirasakannya sebagai sebuah kenikmatan berjumpa dengan kekasih. Semua perintah Sang Kekasih adalah kebaikan. Ia melaksanakan ibadah dengan keikhlasan untuk mengharap ridha-Nya semata yang dilandasi oleh cinta. Di matanya tidak ada yang lain selain cinta pada Allah. Allah adalah keindahan, dan tidak ada yang lebih indah daripada Allah. Kematian pun dirasakannya bukan sebagai perpisahan dengan dunia, melainkan awal pula perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah: (1) mengutamakan khusu’ dalam shalat, (2) gemar melakukan ibadah sunah, (3) istiqamah dalam beribadah (di bulan ramadhan maupun bulan lainnya), (4) banyak berdzikir (bersyukur dan beristighfar, sedikit doa permohonan), dan  (5) gemar bersedekah (lapang maupun sempit).
Esensi beribadah golongan kekasih adalah mereka yang melaksanakan ibadah kepada Allah SWT tanpa mengharapkan apapun, termasuk pahala atau surga, melainkan karena semata mengharapkan cinta dan ridha Nya.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan.
Rabiah menulis syair cinta dalam doanya:
Tuhanku… Jika ibadah dan sujudku semata karena mengharapkan surga Mu, Maka jauhkanlah surga itu dariku. Jangan biarkan aku menghirup semerbak wangi bunga Firdaus 
Tuhanku… Jika ibadah dan sujudku karena aku takut akan siksa api neraka Mu. Maka biarkanlah api neraka membakar seluruh tubuhku.
Namun, ya Rabb …  Aku beribadah dan bersujud kepadaMu karena aku mengharapkan cinta-MU.  Singkapkan tabir yang menghalangi antara aku dan Kau. Sebab tiada bahagia melebihi perjumpaan dengan-Mu 

Ketiga golongan itu kesemuanya baik karena dilandasi oleh ketaatan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan dari ketiga golongan itu, menurut sayidina Ali bin Abi Thalib, kebanyakan kaum muslimin berada pada golongan budak dan sedikit yang masuk pada golongan pedagang.  Sedangkan golongan "kekasih" dilakukan oleh orang-orang yang zuhud, yaitu yang tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi.

*********
*) Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa tambahan kenikmatan yang akan diberikan kepada penduduk surga adalah melihat wajah Allah Yang Maha Agung.  Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seluruh penduduk surga telah masuk ke dalam surga semuanya, Allah berfirman kepada mereka, Apakah kalian menginginkan sesuatu yang Aku tambahkan untuk kalian?” Mereka berkata, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga? Dan menyelamatkan kami dan api neraka?’’. Kemudian Allah membuka tabir (yang menutupi Wajah-Nya). Tidaklah penduduk surga diberi dengan sesuatu yang lebih mereka senangi daripada melihat Rabb mereka ‘azza wa jalla.” Setelah bersabda demikian, beliau kemudian membaca ayat ke-26 dan surat Yunus di atas. (HR. Muslim, no. 266).
Atas dasar inilah, para ulama menjadikan ayat 26 dari surat Yunus ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa penduduk surga nanti akan diberi keutamaan bisa melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam ayat-Nya yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” (al-Qiyamah: 22-23)

************
Rabiah Al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena ilmu dan kezuhudannya. Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar abad ke delapan. Ia dijuluki sebagai The Mother of the Great Sufis (Ibu Para Sufi Besar). Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun Al-misri.  Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Ajaran.
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode Mahabbah (cinta tanpa pamrih) dan Uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam.
Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. 
Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan ath-ThawriRabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar

Pengaruh terhadap perkembangan sufisme

Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu Thalib al-MakkiAs-suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar