Diceritakan bahwa ketika seluruh penghuni
surga telah masuk ke dalam surga, Allah SWT mengundang mereka. Kemudian terjadilah dialog, kurang lebih
sebagai berikut:
Allah ta’ala bertanya, “Wahai para
penghuni surga, bagaimana kesanmu terhadap surga?”
Seluruh penghuni surga menjawab,
“Duhai Allah, tidak mampu kami ungkapkan bagaimana kenikmatan surga” (surga sangat-sangatlah
indah, nyaman, sejuk, segala kelezatan ada, yang tak pernah dijumpai di dunia,
bahkan tak bisa dibayangkan oleh penduduk bumi).
Allah bertanya lagi, “Adakah sesuatu yang
melebihi kenikmatan surga?”
Penghuni surga menjawab, “Tentu tidak ada
ya Allah, tidak ada satupun yang melebihi kenikmatan surga”
Allah bertanya lagi, “Maukah kalian
Aku tunjukkan suatu kenikmatan yang melebihi surga?”
Para penghuni surga terkejut mendengar
tawaran Allah Ta’ala, dan bahkan mereka bertanya balik kepada Allah, “ Apakah
ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya surga duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Ada”.
Penghuni surga bertanya lagi, “Apakah
itu duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Memandang
wajahKu”.
Kemudian Allah membuka tabir (yang
menutupi Wajah-Nya). Ketika para penghuni surga
telah menatap wajah Allah, maka mereka lupa akan kenikmatan surga.
Cerita ini begitu mashur dan banyak
dijadikan renungan dikalangan ulama tasawuf.
Rujukan cerita ini adalah hadis yang ditulis dalam Kitab Shahih Muslim dan beberapa ayat Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, bahwa kenikmatan melihat
Wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling tinggi, yang melebihi segala
kenikmatan di surga. Penuturan Nabi Muhammad ini sesuai dengan Q.S. al-Qiyamah: 22-23, yaitu, “Wajah orang-orang beriman pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhan-nya mereka melihat.” *)
Kerinduan para kaum
sufi akan menatap wajah Allah adalah sesuatu yang paling puncak, melebihi
kerinduan akan surga. Menatap wajah Allah itulah cinta (mahabbah). Dalam
beribadah mereka benar-benar mengharapkan ridha-Nya. Mengharapkan cinta-Nya.
Beribadah bukan karena mengharapkan sorga atau takut akan siksa neraka , tetapi
beribadah karena semata mengharapkan cinta Allah.
Dalam pandangan
tasawuf, “mahabbah” berarti mencintai Allah, yang di dalamnya mengandung arti
patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-Nya. Dalam
kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari
segala-galanya kecuali hanya Allah.
Dalam hal beribadah kepada Allah, kaum
muslimin mempunyai motivasi dan kualitas yang berbeda-beda dalam menjalankan
ibadah kepada Allah SWT.
Ali bin Abi Thalib RA. menjelaskan bahwa motivasi kaum
muslimin dalam beribadah dibagi menjadi 3 golongan. Ketiga golongan itu adalah:
Pertama: Golongan budak (al-Abid). Kedua: Golongan
pedagang (At-Tujjar),
dan Ketiga: Golongan pecinta (al-Mahabbah). Tentu saja kesemua golongan ini baik adanya
dikarenakan ketaatan dalam menjalankan ibadah kepada Allah.
Pertama; Golongan budak / karyawan (Al-'abid).
Orang-orang dalam golongan ini
beribadah pada Allah layaknya seorang budak atau
karyawan. Ia bekerja karena melaksanakan
tugas kewajibannya selaku karyawan, dan takut kemarahan majikan bila tidak
patuh dengan perintahnya.
Seorang budak atau karyawan melakukan
pekerjaan sebatas karena tugas kewajiban yang diembannya, tanpa ada upaya untuk
memajukan perusahaan. Motivasinya dalam bekerja tak lain adalah hanya
sekedar untuk mendapatkan upah dan agar ia tidak dimarahi atau dipecat.
Seseorang yang melaksanakan shalat
atau ibadah wajib lainnya karena alasan sebagai suatu kewajiban yaitu perintah
Tuhan, yang apabila meninggalkannya akan terkena dosa, maka ia termasuk dalam
golongan al-abid. Mereka ini
apabila telah selesai melaksanakan shalat maka ia akan merasa telah terbebas
dari kewajiban yang membebaninya .
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah
(1) shalat fardhu ia lakukan sekedarnya, (2) tanpa dzikir (atau dzikir
sekedarnya), (3) tanpa tambahan shalat sunnah rawatib, (4) tanpa persiapan
khusus (misalnya dalam hal berpakaian), dan (5) jarang ke masjid.
Esensi beribadah golongan budak adalah
mereka yang melaksanakan ibadah karena suatu kewajiban
untuk menggugurkan kewajiban atau menghindari dosa.
Kedua; Golongan Pedagang (At-Tujjar).
Orang-orang dalam golongan ini
beribadah pada Allah layaknya seorang pedagang yang cenderung mempertimbangkan untung rugi.
Ia senantiasa menghitung sedikit
banyaknya pahala pada setiap kegiatan ibadah, dan ia selalu berupaya
untuk mendapatkan pahala yang lebih besar. Rugi rasanya apabila ia melaksanakan
ibadah yang hanya memperoleh pahala kecil. Dalam melaksanakan shalat misalnya,
ia senantiasa berusaha untuk shalat berjamaah meskipun hanya dengan dua
orang. Dalam bersedekah ia mencari tempat, waktu dan obyek yang
dapat melipatgandakan pahala, misalnya bulan Ramadhan pahala dilipat 700
kali lipat.
Pertimbangan untung rugi lainnya
adalah apabila ia melakukan suatu amalan ibadah maka ia akan memperoleh balasan
kebaikan di dunia, misalnya kelimpahan rejeki, kesehatan badan, dipanjangkan
umur, dijauhkan dari malapetaka, dimudahkan dapat pekerjaan, dan sebagainya.
Agar mendapat pahala berlipat serta
memperoleh balasan kebaikan di dunia, maka orang-orang di golongan ini takkan
menyia-nyiakan kesempatan, mereka akan mengambil untung sebesar-besarnya dengan
melakukan banyak ibadah dan beramal shaleh.
Beribadah sebagaimana seorang pedagang
yang memperhitungkan untung rugi tentulah tidak keliru. Bahkan Allah sendiri
yang menyatakan bahwa berniaga denganNya takkan pernah merugi.
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca
Kitab Allah dan mendirikan sholat serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka
berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan
balasan untuk mereka dan Allah tambahkan keutamaan-Nya kepada mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini antara
lain adalah: (1) gemar shalat berjamaah di masjid, (2) gemar melakukan ibadah
sunah, (3) intensitas ibadah di bulan Ramadhan makin tinggi, (4) banyak berdoa
memohon kepada Allah (kebaikan dunia maupun akhirat), dan (5) gemar bersedekah.
Esensi beribadah golongan pedagang
adalah mereka yang melaksanakan ibadah karena motivasi
mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai tabungan akhirat agar
memperoleh kemudahan memasuki surga kelak.
Ketiga; Golongan Pecinta (Al-mahabbah)
Orang-orang dalam golongan ini
beribadah pada Allah layaknya seseorang yang berbuat
sesuatu untuk sang kekasih atas dasar perasaan “cinta”.
Seseorang yang melakukan sesuatu untuk
sang kekasih tentu tidak akan mengharapkan balasan apapun kecuali alasan
cinta. Seorang ibu rela melakukan apapun dengan tulus ikhlas demi anaknya
tidak lain karena cinta. Seorang lelaki rela berkorban demi wanita pujaannya
adalah karena cinta.
Orang yang beribadah pada Allah Swt
dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan apapun kecuali ridho (cinta) Nya
merupakan ibadah yang mempunyai derajat tertinggi. Orang-orang
termasuk kedalam golongan ini adalah mereka yang telah mempunyai ketaqwaan
tinggi, yang tentu berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sehari-hari, yaitu
jujur, sabar, rendah hati, bijaksana, sosial, penolong, dan toleran.
Ia beribadah bukan karena takut neraka
atau menginginkan surga, tetapi lebih dari itu. Ibadah dirasakannya sebagai
sebuah kenikmatan berjumpa dengan kekasih. Semua perintah Sang Kekasih adalah
kebaikan. Ia melaksanakan ibadah dengan keikhlasan untuk mengharap ridha-Nya
semata yang dilandasi oleh cinta. Di matanya tidak ada yang lain selain cinta
pada Allah. Allah adalah keindahan, dan tidak ada yang lebih indah daripada
Allah. Kematian pun dirasakannya bukan sebagai perpisahan dengan dunia,
melainkan awal pula perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah:
(1) mengutamakan khusu’ dalam shalat, (2) gemar melakukan ibadah sunah, (3)
istiqamah dalam beribadah (di bulan ramadhan maupun bulan lainnya), (4) banyak
berdzikir (bersyukur dan beristighfar, sedikit doa permohonan), dan (5)
gemar bersedekah (lapang maupun sempit).
Esensi beribadah golongan kekasih adalah
mereka yang melaksanakan ibadah kepada Allah SWT tanpa mengharapkan apapun,
termasuk pahala atau surga, melainkan karena semata mengharapkan
cinta dan ridha Nya.
Sufi yang termasyhur
dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang
bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam
kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya
ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga.
Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan.
Rabiah menulis syair cinta dalam doanya:
Tuhanku… Jika ibadah dan
sujudku semata karena mengharapkan surga Mu, Maka jauhkanlah surga itu
dariku. Jangan biarkan aku menghirup semerbak wangi bunga Firdaus
Tuhanku… Jika ibadah dan
sujudku karena aku takut akan siksa api neraka Mu. Maka biarkanlah api
neraka membakar seluruh tubuhku.
Namun, ya Rabb … Aku beribadah
dan bersujud kepadaMu karena aku mengharapkan cinta-MU. Singkapkan tabir
yang menghalangi antara aku dan Kau. Sebab tiada bahagia melebihi perjumpaan
dengan-Mu
Ketiga golongan itu kesemuanya baik
karena dilandasi oleh ketaatan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan dari
ketiga golongan itu, menurut sayidina Ali bin Abi Thalib, kebanyakan kaum
muslimin berada pada golongan budak dan sedikit yang masuk pada golongan
pedagang. Sedangkan golongan "kekasih" dilakukan oleh orang-orang
yang zuhud, yaitu yang tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi.
*********
*) Rasulullah SAW telah mengisyaratkan
bahwa tambahan kenikmatan yang akan diberikan kepada penduduk surga adalah
melihat wajah Allah Yang Maha Agung. Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seluruh penduduk surga
telah masuk ke dalam surga semuanya, Allah berfirman kepada mereka, Apakah
kalian menginginkan sesuatu yang Aku tambahkan untuk kalian?” Mereka berkata,
“Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah
memasukkan kami ke dalam surga? Dan menyelamatkan kami dan api neraka?’’. Kemudian
Allah membuka tabir (yang menutupi Wajah-Nya). Tidaklah penduduk surga diberi
dengan sesuatu yang lebih mereka senangi daripada melihat Rabb mereka ‘azza wa
jalla.” Setelah bersabda demikian, beliau kemudian membaca ayat
ke-26 dan surat Yunus di atas. (HR. Muslim, no. 266).
Atas dasar inilah, para ulama
menjadikan ayat 26 dari surat Yunus ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa
penduduk surga nanti akan diberi keutamaan bisa melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman: “Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka
melihat.” (al-Qiyamah:
22-23)
************
Rabiah Al-Adawiyah adalah
seorang sufi wanita yang dikenal karena ilmu dan kezuhudannya.
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar abad ke delapan. Ia dijuluki
sebagai The Mother of the Great Sufis (Ibu Para Sufi
Besar). Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu
al-Faridh dan Dhun
Nun Al-misri. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa
meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya.
Rabiah adalah sufi pertama yang
memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam)
atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain
Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah
adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia
tahun 604 H/1207 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui
syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Ajaran.
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan
aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal
ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau
penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan
metode Mahabbah (cinta tanpa pamrih) dan Uns (kedekatan dengan
Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan
banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar
luas di wilyah-wilayah negara Islam.
Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid
(tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta
pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap
demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia
yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu
itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang
kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak
memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu,
maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita
menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang
mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai
oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya
penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai
tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut
kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal
kepada-Nya.
Tingkat kehidupan zuhud yang
tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan
pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud
karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga
ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan
ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar
Pengaruh terhadap
perkembangan sufisme
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf
dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat
besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah
banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis
besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai
seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu
Thalib al-Makki, As-suhrawandi,
dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah
sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar