Minggu, 23 Juli 2017

Rabiah Al-Adawiyah; Sufi Wanita Pertama

Rabiah Al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena ilmu dan kezuhudannya. Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar abad ke delapan. Ia dijuluki sebagai The Mother of the Great Sufis (Ibu Para Sufi Besar). Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun Al-misri.  Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Ajaran.
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode Mahabbah (cinta tanpa pamrih) dan Uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam.
Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. 
Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan ath-ThawriRabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar

Pengaruh terhadap perkembangan sufisme
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu Thalib al-MakkiAs-suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar