Rabiah Al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena ilmu
dan kezuhudannya. Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar abad ke
delapan. Ia dijuluki sebagai The Mother of the Great Sufis (Ibu Para Sufi Besar). Ia juga menjadi panutan para ahli sufi
lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun
Nun Al-misri. Hal
ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis
riwayat hidupnya.
Rabiah adalah sufi
pertama yang memperkenalkan ajaran
Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui
oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi
lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair
yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan
konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i
Syam-I Tabriz.
Ajaran.
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah
mengembangkan aliran sufi yang
berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih
atas pahala, surga atau
penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode Mahabbah (cinta tanpa pamrih) dan Uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan
mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka
yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah
negara Islam.
Rabi'ah al-Adawiyah
terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah
mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa
ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta
sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi
pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan
kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang
kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki
begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah
kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari
para zahid atau sufi yang
mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah
karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada
nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai
kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang
Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase
dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi
cinta yang maksimal kepada-Nya.
Tingkat
kehidupan zuhud yang
tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai
ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah
sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan
ma'rifat Illahi sehingga ia
menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan
ath-Thawri, Rabah
bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar
Pengaruh terhadap perkembangan sufisme
Ajaran-ajaran Rabi'ah
tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat
dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan
sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis
penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip
syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka
adalah Abu Thalib al-Makki, As-suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang
mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar