Al-Ghazali telah berhasil menggagas kaedah-kaedah
tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din (The
Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan
syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.
Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’
usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa,
ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang
mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu.
Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas
dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat
sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush,
Iran, yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini
berada pada bagian timur laut negara Iran.
Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah
al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia
menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha
meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam.
Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang
masuk mengotori kemurnian ajaran Islam.
Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang
ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak
pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat
terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat,
“Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak
beri’tikad dengan wahdat al-wujud”.
Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya
menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan
Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami
(fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya Tasawuf
Falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in
(ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana
menitik beratkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, MAKA
kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu
melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu
kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian
harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan
dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak
seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu
ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan
dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang
kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh
Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan
syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah
tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak
dapat dipisahkan.
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas
maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari
taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada
satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang
dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak
dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh
para kaum filsafat. Al-Ghazali mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq
atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan
ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah
terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya.
Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh
cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk)
seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf
syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi
sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah
al-wujud.
Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di
dunia. Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau
yang terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin
(Menghidupkan ilmu-ilmu agama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar