Rabu, 08 Juli 2020

Muhasabah, Mulat Sarira Hangrasa Wani

Mulat sarira hangrasa wani” adalah ungkapan filosofi Jawa Kuno, yang secara harfiah berasal dari kata “mulat” berarti melihat, “sarira” berarti badan, “hangrasa” berarti merasa, dan “wani” berarti berani. Secara terminologi “mulat sarira hangrasa wani” mempunyai pengertian “berani melihat kekurangan diri sendiri,” yang dalam bahasa popular saat ini adalah introspeksi atau mawas diri.
Lebih mendalam dari makna introspeksi, ungkapan “mulat sarira hangrasa wani” itu mengandung unsur “hangrasa” (kesadaran) dan unsur “wani” (keberanian/kemauan), maknanya ada kesadaran dan kesungguhan hati untuk melihat kekurangan diri.

Kemauan untuk mencari dan menemukan kekurangan diri bukan hal mudah, karena umumnya manusia mempunyai sifat egois dan merasa dirinya selalu benar. Sekalipun ia tahu dirinya mempunyai kesalahan, namun biasanya ia selalu berusaha untuk mencari pembenaran. Karena umumnya orang malu hati kalau kesalahan atau kekurangannya, yang merupakan aib itu terungkap dihadapan orang lain.
Untuk bisa melakukan introspeksi diri, maka seseorang harus menempatkan diri pada posisi yang paling rendah. Dengan kerendahan hati, kita akan lebih mampu untuk menyadari kesalahan yang telah kita lakukan. Introspeksi diri yang dilakukan dengan kerendahan hati dapat memberikan hasil yang lebih mendalam.
Sebaliknya introspeksi diri tidak dapat dilakukan bilamana kita masih ada rasa sombong. Introspeksi tanpa menyingkirkan rasa sombong tidak akan mungkin bisa dilakukan. Orang yang sombong tidak mau melakukan introspeksi karena ia selalu merasa dirinya benar.
Dalam khasanah Islam, introspeksi disebut dengan “muhasabah” (bahasa Arab; hasiba-yahsabu-hisab) yang artinya melakukan perhitungan atau evaluasi.  Secara istilah keagamaan, muhasabah berarti suatu upaya dalam melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan melihat kebaikan dan keburukan dalam segala aspek. 
Dalam QS. Al Hasyr ayat 18 Allah Swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya (introspeksi) untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti  terhadap apa yang kamu kerjakan".
Umar bin Khattab memberi nasehat kepada kita dengan pesannya "Hisablah (evaluasilah) dirimu sebelum engkau dihisab (dievaluasi) oleh yang lain, karena hisab terhadap dirimu nanti akan lebih mudah jika engkau lakukan hisab diri sekarang"
Cara bermuhasabah (introspeksi) :
Melakukan muhasabah secara efektif haruslah dilakukan dengan konsep “mulat sarira hangrasa wani”, yaitu melakukan introspeksi (mulat sarira) dengan penuh kesadaran (hangrasa) dan kesungguhan hati (wani).  
Beberapa tips melakukan muhasabah adalah sebagai berikut:
1. Hindari mindset bahwa kita yang paling benar.
Sikap membuka diri akan melatih dan menjauhkan diri dari sifat egois. Kita harus berhenti egois dan membuka pikiran dengan mencoba melihat persoalan dari sisi orang lain. Bisa jadi ada hal yang luput dari pikiran kita. Introspeksi dilakukan melalui perenungan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, “Adakah cara yang lebih baik/bijak?
2.  Menerima masukan dari orang lain.
Kita harus membuka diri untuk menerima masukan dari orang lain. Bahkan akan lebih baik bila dilakukan dengan proaktif, yaitu meminta masukan dan kritik dari seorang sahabat tentang diri kita atau tentang hal apa yang telah kita perbuat. Tentu cara menyampaiannya harus dengan tulus dan rendah hati agar sahabat kita tidak segan memberikan masukan secara jujur, bukan untuk menyenangkan hati.
3.  Berkhalwat.
Secara harfiah pengertian khalwat adalah sepi tau menyepi. Dalam khasanah Islam, pengertian berkhalwat adalah mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan cara bertafakur, berdzikir, kontemplasi, menenangkan pikiran, dan sebagainya.
Berkhalwat adalah cara paling efektif untuk bermuhasabah (introspeksi), dengan aktifitas utamanya adalah tafakur (kontemplasi) dan istighfar.
Tafakur atau kontemplasi  merupakan suatu kegiatan berfikir atau perenungan yang melibatkan qalbu terhadap segala fenomena yang terjadi di alam semesta, baik yang menyangkut pada pengalaman pribadi maupun orang lain.  Sedangkan istighfar adalah yaitu ungkapan permohonan ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Aktifitas dalam berkhalwat lebih pada pemaksimalan daya indera dan rasa, bukan pada pemikiran. Karena pemikiran manusia sudah dipenuhi dengan hal-hal yang begitu banyak, bervariasi, dan dipenuhi egoisme.  Ketika berkhalwat kita berupaya meninggalkan segala nafsu keduniawian dengan lebih fokus pada  cara untuk memperoleh ketentraman jiwa.
Kekuatan memaafkan
Semua orang pasti tidak luput dari kesalahan baik sengaja maupun tak sengaja. Meminta maaf atas kesalahan terhadap orang lain adalah sikap yang baik. Namun memaafkan dengan tulus ikhlas atas kesalahan orang lain terhadap kita adalah sikap yang sangat mulia. Meminta maaf tidaklah sulit, tetapi memaafkan tidaklah mudah bahkan sangat berat.
Perlu dipahami bahwa orang yang sulit memaafkan tidak akan memperoleh kemuliaan, justru malah ketidak tenangan karena diliputi rasa kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar dari rasa kesal dan sesal, dan yang terpenting menjadi unsur untuk meraih kedudukan taqwa.
Orang bijak menasehati, “Memaafkan (mungkin) tidak bisa memperbaiki masa lalu, tetapi pasti memperindah masa depan”.  Dan salah satu cara untuk dapat melonjakkan kekuatan spiritual kita adalah dengan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepada kita. 
Untuk dapat menjadi pemaaf maka perlu latihan, salah satu cara dengan meluangkan waktu untuk memikirkan orang-orang yang pernah kita benci atau pernah menyakiti.   Kemudian ingatlah kata-kata mereka yang menyakitkan, dan kemudian tenangkan batin kita.  Katakan dengan lembut dan tulus, aku telah memaafkanmu!”.

Nabi Muhammad bersabda, “ Allah akan memuliakan dan meninggikan derajat orang yang mempunyai sifat Hilm (sabar di atas sabar), yaitu sabar  kepada orang yang membencinya, memaafkan orang yang mendzaliminya, mengasihani kepada orang yang memusuhinya, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim dengannya” (HR Thabrani).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar