“Mulat sarira hangrasa wani” adalah
ungkapan filosofi Jawa Kuno, yang secara harfiah berasal dari kata “mulat” berarti melihat,
“sarira” berarti badan, “hangrasa”
berarti merasa, dan “wani” berarti berani. Secara
terminologi “mulat sarira hangrasa wani”
mempunyai pengertian “berani melihat kekurangan diri sendiri,” yang dalam
bahasa popular saat ini adalah introspeksi atau mawas diri.
Lebih
mendalam dari makna introspeksi, ungkapan “mulat
sarira hangrasa wani” itu mengandung unsur “hangrasa” (kesadaran) dan unsur “wani” (keberanian/kemauan),
maknanya ada kesadaran dan kesungguhan hati untuk melihat kekurangan diri.
Kemauan
untuk mencari dan menemukan kekurangan diri bukan hal mudah, karena umumnya
manusia mempunyai sifat egois dan merasa dirinya selalu benar. Sekalipun ia
tahu dirinya mempunyai kesalahan, namun biasanya ia selalu berusaha untuk
mencari pembenaran. Karena umumnya orang malu hati kalau kesalahan atau kekurangannya,
yang merupakan aib itu terungkap dihadapan orang lain.
Untuk bisa melakukan
introspeksi diri, maka seseorang harus menempatkan diri pada posisi yang paling rendah. Dengan kerendahan hati,
kita akan lebih mampu untuk menyadari kesalahan yang telah kita lakukan.
Introspeksi diri yang dilakukan dengan kerendahan hati dapat memberikan hasil
yang lebih mendalam.
Sebaliknya
introspeksi diri tidak dapat dilakukan bilamana kita masih
ada rasa sombong. Introspeksi tanpa menyingkirkan rasa sombong tidak
akan mungkin bisa dilakukan. Orang yang sombong tidak mau melakukan introspeksi
karena ia selalu merasa dirinya benar.
Dalam khasanah Islam,
introspeksi disebut dengan “muhasabah” (bahasa Arab; hasiba-yahsabu-hisab) yang artinya
melakukan perhitungan atau evaluasi. Secara
istilah keagamaan, muhasabah berarti suatu upaya dalam melakukan evaluasi terhadap
diri sendiri dengan melihat kebaikan dan keburukan dalam segala aspek.
Dalam
QS. Al Hasyr ayat 18 Allah Swt berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya (introspeksi) untuk hari
esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti
terhadap apa yang kamu kerjakan".
Umar bin Khattab memberi nasehat kepada kita dengan
pesannya "Hisablah (evaluasilah) dirimu sebelum engkau dihisab
(dievaluasi) oleh yang lain, karena hisab terhadap dirimu nanti akan lebih
mudah jika engkau lakukan hisab diri sekarang"
Cara bermuhasabah (introspeksi) :
Melakukan muhasabah secara
efektif haruslah dilakukan dengan konsep “mulat
sarira hangrasa wani”, yaitu melakukan introspeksi (mulat sarira) dengan penuh kesadaran (hangrasa) dan kesungguhan hati (wani).
Beberapa tips
melakukan muhasabah adalah sebagai berikut:
1.
Hindari mindset bahwa kita yang paling benar.
Sikap
membuka diri akan melatih dan menjauhkan diri dari sifat egois. Kita harus berhenti
egois dan membuka pikiran dengan mencoba melihat persoalan dari sisi orang lain.
Bisa jadi ada hal yang luput dari pikiran kita. Introspeksi dilakukan melalui perenungan
dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, “Adakah
cara yang lebih baik/bijak?”
2. Menerima masukan dari orang lain.
Kita harus
membuka diri untuk menerima masukan dari orang lain. Bahkan akan lebih baik bila
dilakukan dengan proaktif, yaitu meminta masukan dan kritik dari seorang
sahabat tentang diri kita atau tentang hal apa yang telah kita perbuat. Tentu
cara menyampaiannya harus dengan tulus dan rendah hati
agar sahabat kita tidak segan memberikan masukan secara jujur, bukan untuk
menyenangkan hati.
3. Berkhalwat.
Secara
harfiah pengertian khalwat adalah sepi tau menyepi. Dalam khasanah Islam,
pengertian berkhalwat adalah mengasingkan diri di tempat yang sunyi
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan cara bertafakur, berdzikir, kontemplasi,
menenangkan pikiran, dan sebagainya.
Berkhalwat
adalah cara paling efektif untuk bermuhasabah (introspeksi), dengan aktifitas
utamanya adalah tafakur (kontemplasi) dan istighfar.
Tafakur atau kontemplasi merupakan suatu kegiatan berfikir atau perenungan yang melibatkan
qalbu terhadap segala fenomena yang terjadi di alam semesta, baik yang
menyangkut pada pengalaman pribadi maupun orang lain. Sedangkan istighfar adalah yaitu ungkapan permohonan ampunan kepada
Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Aktifitas dalam berkhalwat lebih pada
pemaksimalan daya indera dan rasa, bukan
pada pemikiran. Karena pemikiran manusia sudah dipenuhi dengan hal-hal yang
begitu banyak, bervariasi, dan dipenuhi egoisme. Ketika berkhalwat kita berupaya meninggalkan
segala nafsu keduniawian dengan lebih fokus pada cara untuk memperoleh ketentraman jiwa.
Kekuatan memaafkan
Semua orang pasti tidak luput dari kesalahan baik sengaja maupun
tak sengaja. Meminta maaf atas kesalahan terhadap orang lain adalah sikap yang
baik. Namun memaafkan dengan tulus ikhlas atas kesalahan orang lain terhadap
kita adalah sikap yang sangat mulia. Meminta maaf tidaklah sulit, tetapi memaafkan tidaklah mudah bahkan sangat berat.
Perlu dipahami bahwa orang yang sulit memaafkan tidak
akan memperoleh kemuliaan, justru malah ketidak tenangan karena diliputi rasa
kebencian. Sebaliknya, orang yang tulus memaafkan akan memperoleh kemuliaan, terhindar
dari rasa kesal dan sesal, dan yang terpenting menjadi unsur untuk meraih
kedudukan taqwa.
Orang bijak
menasehati, “Memaafkan (mungkin) tidak bisa memperbaiki masa lalu,
tetapi pasti memperindah masa depan”. Dan salah
satu cara untuk dapat melonjakkan kekuatan spiritual
kita adalah dengan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepada kita.
Untuk
dapat menjadi pemaaf maka perlu latihan, salah satu cara dengan meluangkan
waktu untuk memikirkan orang-orang yang pernah kita benci atau pernah menyakiti. Kemudian
ingatlah kata-kata mereka yang menyakitkan, dan kemudian tenangkan batin
kita. Katakan dengan lembut dan tulus, “aku telah memaafkanmu!”.
Nabi Muhammad bersabda, “ Allah akan memuliakan dan meninggikan
derajat orang yang mempunyai sifat Hilm (sabar di atas sabar),
yaitu sabar kepada orang yang membencinya, memaafkan orang yang mendzaliminya, mengasihani kepada orang yang
memusuhinya, dan menghubungi orang yang telah
memutuskan silaturrahim dengannya” (HR Thabrani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar