Dua Perang Besar.
Peperangan
yang terjadi antara kaum muslimin melawan kaum kafir sebanyak 80 kali. Dari sejumlah itu 19 kali peperangan
yang diikuti dan dipimpin langsung oleh Rasulullah.
Dalam sejarah tercatat ada dua peristiwa peperangan
yang mempunyai makna yang begitu dalam bagi kita umat Islam, yaitu perang Badar
dan perang Uhud.
1. Perang Badar adalah perang
yang sangat berat dan dahsyat. Perang yang tidak seimbang, Paukan Islam dipimpin
langsung oleh Rasulullah, musuh kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih
besar.
Pasukan Islam yang hanya berjumlah sekitar 300
prajurit dengan persenjataan sederhana, harus menghadapi pasukan musuh kafir
Quraisy yang berkekuatan sekitar 1000 prajurit dengan persenjataan
lengkap. Namun umat Islam secara spektakuler berhasil
memenangkan peperangan ini.
Rasulullah bersabda: “Raja’naa min
jihaadil ashghar - ila jihaadil akbar.” Artinya: ''Kita baru
menyelesaikan peperangan yang kecil dan akan menghadapi peperangan
yang besar.''
Dengan nada heran, mereka pun bertanya,
''Peperangan apa itu ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, “JIHAADUN NAAFSI” ('Perang
melawan hawa nafsu.)
2. Perang Uhud pasukan umat
Islam, dengan strategi yang bagus, segera dapat mematahkan kekuatan musuh dan
membuat mereka kocar-kacir sehingga meninggalkan medan
pertempuran.
Namun akhirnya umat Islam
mengalami kekalahan dalam perang ini. Banyak yang meninggal dalam pertempuran
ini, termasuk Hamzah, seorang panglima perang umat Islam yang gagah
berani. Bahkan Nabi sendiri mengalami luka yang cukup parah di bagian
wajahnya.
Dua peristiwa peperangan ini, menjadi cermin
yang sangat berguna bagi umat Islam.
Pada perang Badar, pasukan Muslim secara
spektakuler dapat memenangkan pertempuran karena dilandasi oleh semangat
jihad yang tinggi. Tetapi pada perang Uhud, pasukan Muslim yang
seharusnya memenangkan pertempuran itu akhirnya harus mengalami kekalahan
karena terpedaya
oleh nafsu (yaitu nafsu duniawi).
Nafsu
Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai pendorong jasmani untuk melakukan suatu perbuatan. Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena tanpa nafsu manusia tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau gairah untuk melakukan suatu perbuatan.
Pada diri manusia setidaknya terdapat 4 macam nafsu, yaitu: nafsu lauwwamah (biologis); nafsu sufiah (duniawi); nafsu amarah (emosional); dan nafsu mutmainah (kebajikan).
1. Nafsu Lauwamah (biologis)
adalah nafsu dasar yang ada
pada setiap diri manusia manusa, berupa kebutuhan makan, minum dan syahwat
seksual. Apabila berlebihan dan tidak bisa dikendalikan, terutama syahwat
seksual maka akan menjadi masalah dan petaka, yang dapat menjerumuskan
pelakunya menjadi hina.
2. Nafsu Sufiah (duniawi) merupakan nafsu cinta terhadap masalah-masalah keduniawian (hubbud dun’ya) seperti kekayaan, jabatan, dan kecantikan, dengan
harapan untuk mendapatkan pujian, sanjungan, penghargaan dan penghormatan. Nafsu ini menyebabkan seseorang cenderung
bersikap pamer, angkuh dan rakus, sehingga mendorong untuk melakukan
kecurangan, manipulasi dan korupsi.
3. Nafsu
Amarah (emosional) adalah nafsu yang paling
rendah. Nafsu ini selalu
mendorong untuk berbuat sesuatu di luar
pertimbangan akal yang tenang, sehingga
tidak mampu membedakan mana yang benar mana yang salah, mana baik mana buruk. Nafsu ini muncul akibat beberapa sebab, antara lain perasaan
tersinggung, cemburu, dan kekalahan yang menyebabkan hilangnya daya nalar sehat
sehingga melakukan tindakan yang merugikan.
4. Nafsu
Mutmainah (kebajikan) merupakan
nafsu mulia, ia mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan, seperti peduli,
empati, menolong, ibadah dan sebagainya. Nafsu ini membuat seseorang menjadi
tenang, ramah dan bijaksana.
Dari keempat macam nafsu tersebut, tiga nafsu pertama bisa berpengaruh positif dan bisa pula berpengaruh negatif. Nafsu amarah misalnya, seseorang yang tidak mempunyai emosi atau emosinya rendah akan cenderung santai dan apatis. Dan sebaliknya orang yang pemarah atau emosionalnya tinggi akan berbahaya.
Jadi
pada diri manusia terdapat dua potensi kekuatan nafsu yang saling
bertentangan, yaitu nafsu positif (yang mendorong
ke arah kebajikan) dan nafsu negatif (yang mendorong
ke arah kefasikan / kejahatan).
Dalam khasanah
Islam, potensi nafsu yang
cenderung mendorong kearah kesesatan itu disebut Quwwah
syaitaniah . Sedangkan potensi nafsu yang mendorong
kearah kebajikan disebut Quwwah rabbaniyah. Dari dua potensi
yang ada pada nafsu itu, ternyata potensi negatif lebih
kuat dibanding potensi positif.
Allah Swt berfirman: “Inna Nafsa La Amma
Ratum Bissu’i - Illa Maa Rahimma Rabbi” Artinya:
”Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
dirahmati oleh Tuhan, Rabbul alamin.” (QS. Yunus 53)
Nafsu ibarat Api.
Nafsu akan sangat bermanfaat bila ia dapat
dikendalikan dengan baik, namun akan sangat berbahaya dan mencelakakan apabila
kita tidak mempu mengendalikannya.
Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwahaa - qad
aflaha man zakhaa haa. Waqad khaaba man
dassaa haa (QS. Asy-syams ayat
8-10) Artinya : ”Maka (Dia) mengilhamkan kepada jiwa kita, (jalan) kejahatan
dan ketaqwaan. Sungguh beruntung
orang-orang yang mensucikannya (yaitu yang mampu
mengendalikannya). Dan sungguh merugi orang-orang yang
mengotorinya.”
Nafsu adalah kekuatan yang berasal dari
dalam diri kita. Ia berpotensi menjadi musuh nyata yang dapat
menghancurkan diri kita.
Nabi Muhammad memperingatkan, bahwa melawan kekuatan
dari dalam (nafsu) ternyata lebih sulit dan berat bila dibandingkan melawan
kekuatan luar. Musuh dari luar dapat dideteksi dan diukur,
tetapi musuh yang bersembunyi di dalam diri susah dideteksi, dan
seringkali kita mengikutinya tanpa sadar. Hal
itu terbukti pada peristiwa perang Uhud.
Apabila nafsu duniawi telah menguasai seseorang,
maka ia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya.
''Seandainya anak cucu Adam (manusia) mendapatkan
dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang
ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam, kecuali
ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.'' (HR Ahmad).
Orang yang mampu menguasai nafsunya dan kuat menahan
amarahnya itu bermakna pula orang yang sabar, yaitu orang yang ”memberi
maaf ketika marah.” (QS.42:37), dan yang mengucapkan kata-kata yang baik tatkala
orang-orang jahil menghinanya (QS.25:63). Dan
bagi orang-orang yang sabar, sesungguhnya Allah akan selalu menyertainya (Innallaha ma’a
shabiriin).
Salah satu contoh orang yang mampu mengendalikan
nafsunya dengan sangat luar biasa adalah Ali bin Abi Thalib RA.
Empat Cara Mengendalikan Nafsunya
Untuk dapat
menguasai atau mengelola nafsu yang ada pada diri kita, para ulama menganjurkan
agar kita senantiasa berlatih (riyadhah) dengan melakukan hal-hal secara terus
menerus, yaitu: (1) Berpuasa, (2) Bersedekah, dan (3) Hidup
sederhana, dan (4) Beristighfar.
Untuk
mempermudah mengingat empat kiat atau cara mengendalikan nafsu itu, para salik
(murid yang sedang belajar dan menjalani tarekat tasawuf) membuat ”jembatan
keledai” dengan kalimat singkatan PSSI, yaitu: Puasa,
Sedekah, Sederhana, dan Istighfar.
(1) Puasa.
Rasulullah
bersabda; ”Perangilah nafsumu dengan
puasa” (HR. Ahmad). Pada dasarnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi hakekat
puasa adalah menahan hawa nafsu, atau pengendalian diri (self control).
Pengendalian
diri atas ucapan (mulut), pendengaran (telinga) dan
penglihatan (mata), serta perasaan (hati). Yaitu menahan
diri untuk tidak berghibah, tidak bicara kasar dan kotor yang menyakiti hati.
Menahan diri untuk tidak mendengarkan ghibah serta kata-kata jorok dan kotor.
Menahan diri untuk tidak melihat sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan
diri untuk tidak berprasangka buruk (su’udzan).
Dengan berpuasa
kita dilatih untuk mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap
dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar.
(2) Hidup
Sederhana (Zuhud).
Hidup sederhana
merupakan konsep dari tasawuf yaitu zuhud. Zuhud
bukanlah sikap hidup yang anti dunia, atau menghindari
kenikmatan duniawi, sehingga seseorang harus menjalani kehidupan
layaknya orang yang miskin.
Zuhud adalah
sikap atau upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh dan godaan duniawi berbentuk
kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang menjadi sombong dan membanggakan
diri.
Zuhud terhadap dunia bukan
pula berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan harta
benda bukan
menjadi kebanggaan apalagi tujuan. Dengan begitu maka zuhud merupakan cara untuk memerangi hawa nafsu.
Nabi SAW
bersabda bahwa hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa
api neraka diantaranya adalah hidup sederhana, baik dalam
keadaan fakir maupun di saat kaya raya.
(3) Sedekah.
Salah satu sifat
nafsu adalah tamak, rakus, kikir dan tidak berempati. Nafsu ini
dinamakan nafsu lauwamah yaitu nafsu duniawi yang cenderung menumpuk harta
sebanyak-banyaknya, dengan pengeluaran sekecil-kecilnya.
Sedekah adalah
perbuatan yang mendatangkan pahala besar di sisi Allah, apalagi sedekah jariyah
yang pahalanya akan terus mengalir bila memberi manfaat yang Panjang.
Selain berpahala
besar, sedekah merupakan sarana untuk menyucikan harta dan juga bermanfaat untuk
mengendalikan
nafsu duniawi. Semakin besar nilai sedekah
maka semakin besar pula kekuatan pengendalian nafsu.
(4) Istighfar
Istighfar adalah ungkapan permohonan ampunan kepada Allah atas kesalahan dan dosa yang
dilakukan. Istighfar dilakukan segera setiap kita menyadari melakukan kesalahan,
dengan kesadaran dalam hati dan diucapkan dengan lisan.
Namun istighfar juga sangat baik bila
dilakukan secara rutin
dalam dzikir, meskipun kita tidak merasa melakukan kesalahan. Istighfar sangat baik dilafalkan
secara berulang-ulang dalam satu kegiatan dzikir, yang dilakukan sehabis shalat
atau pada saat-saat tertentu di malam hari.
Dalam hadis riwayat Bukhari dikatakan
bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar minimal tujuh puluh kali dalam sehari, meskipun beliau manusia yang
terbebas dari kesalahan dan dosa (ma’shum).
Dalam satu Riwayat disebutkan bahwa
Allah Ta’ala menyukai gemuruhnya suara orang berdzikir, namun Allah lebih menyukai rintihan penyesalan (istighfar) para pendosa.
Manfaat lain dari dzikir istighfar
adalah menghilangkan kesedihan dan mendatangkan rizki. Rasulullah
saw bersabda: ”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan
memberikan kegembiraan dari setiap
kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rizki dari arah
yang tiada disangka-sangka ,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar