Selasa, 23 Juni 2020

Filosofi Kejawen : Sangkan

Kejawen atau biasa dipanggil Kebatinan adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa (JawaWong Jawa, ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ; KramaTiyang Jawi , ꦠꦶꦪꦁꦗꦮꦶ) itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Kejawen atau dikenal juga dengan kebatinan adalah sebuah kepercayaan dari masyarakat Jawa.
Secara etimologi kata "kejawen" berasal dari kata "Jawa", sehingga kejawen dapat diartikan segala sesuatu yang berkenaan dengan Jawa, seperti adat dan kepercayaan.
Walaupun disebut kepercayaan, kejawen pada dasarnya adalah sebuah filsafat atau pandangan hidup.
Ini dibuktikan dari naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.
Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
Dari konsep ini, ajaran kejawen memiliki tujuan, bahwa setiap mereka yang menganut akan menjadi:
Mamayu Hayuning Pribadhi (rahmat bagi diri sendiri atau pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (rahmat bagi sesama manusia)
Mamayu Hayuning Bhuwana (rahmat bagi alam semesta)
Empat poin ini membuat ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan-aturan yang ketat dan lebih berfokus pada konsep tentang keseimbangan kehidupan. Dan mereka yang menganut kejawen hampir tidak pernah melakukan perluasan ajaran tapi lebih ke membuat pembinaan secara rutin.
Hal ini membuat para penganut ajaran kejawen tidak memandang ajaranya sebagai sebuah agama tetapi lebih sebagai cara pandang atau pandangan hidup.
naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.
Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.

Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya: Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)

Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
13. Wani Ngalah luhur wekasane
14. Adigang, adigung, adiguna
15. Aja Dumeh
16. Sapa sira sapa ingsun
17. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani 
18. Menang ora kondang kalah gawe wiring
19. Wani Ngalah Luhur Wekasane
20. Aja Gumunan, Aja Kagetan, lan Aja Getunan
21. Desa mawa cara Negara mawa tata
22. Mikul dhuwur, mendhem jero 
23. Asu gedhe menang kerahe 
24. Anak polah bapa kepradah 

ARTI:

Mamayu Hayuning Bhawana, Ambrasto dur hangkara 

   Menebar kebaikan dan Memberantas sifat kemungkaran (untuk kemakmuran dunia)

Ngunduh wohing pakarti

   Menuai hasil (akibat) dari perbuatannya

Ajining salira saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi

   Kehormatan raga berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku

Urip iku urup

   Hidup itu menyala/menerangi/memberi

Lembah manah lan Andhap asor. 

   bersikap rendah hati (tawadhu’)

Aja adigang, adigung, adiguna

   Jangan membanggakan kekuatan, kebesaran dan kepandaian

Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa

   jangan merasa bisa, tetapi bisalah ikut merasakan

Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji.

   Kaya tanpa harta kekayaan dan Sakti tanpa mantra/ajimat




Memayu Ngunduh Ajining Urip - Lembah Sawang Aja Sugih - Ngluruk Mati .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar