Sugih tanpa bandha,
sekti tanpa aji-aji,
artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan, dan menjadi sakti tanpa jimat ajian.
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak
harta, tetapi orang yang kaya hatinya. Sedangkan orang bisa menjadi Sekti (hebat) tidaklah dengan mantra dan
jimat, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Sugih
Tanpa Bandha
Sugih tanpa bandha artinya menjadi kaya tanpa harta
kekayaan. Sesungguhnya hakikat kaya itu bukanlah
banyak harta, tetapi kaya hati.
Pengertian kaya hati adalah mempunyai hati lapang sehingga dapat
menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, damai dan
sejahtera.
Tenang adalah hidup yang tidak
bergejolak (selalu tidak puas). Tenteram adalah tidak ada
kecemasan/ketakutan/kesedihan. Damai adalah rukun bersatu, tidak ada permusuhan,
dan tidak ada gangguan. Dan sejahtera adalah tidak kekurangan, tetapi berkecukupan
dan penuh keceriaan.
Bagi
kebanyakan orang (awam), kekayaan selalu identik dengan segala hal yang berbau materi atau benda, seperti uang melimpah, rumah
megah, mobil berderet, pakaian necis, dan sebagainya. Sedangkan orang miskin
berarti kebalikan dari semua itu.
Padahal sejatinya, “orang kaya”
adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga
dia terus berbagi. Sedangkan “orang miskin”, adalah orang yang selalu merasa kurang, sehingga dia terus mencari.
Jadi orang yang banyak harta tapi masih merasa kurang, dan ia
terus mencari (bahkan dengan korupsi) maka sejatinya ia itu miskin. Sedangkan orang yang tidak banyak harta
tetapi ia merasa cukup dan banyak bersedekah, maka sejatinya ia adalah orang
kaya.
Rasulullah
bersabda, "Kekayaan
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun, kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup."
(HR Bukhari).
Mahatma Gandhi berkata, "Kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita punya, tetapi
seberapa banyak kita bisa memberi".
Perlu dipahami, bahwa semua manusia dalam menjalani kehidupan
di dunia ini mempunyai satu keinginan yang sama, yaitu “hidup bahagia”.
Dan ternyata hidup bahagia atau “kebahagiaan” itu tidak dapat
diperoleh dengan harta, jabatan, kedudukan, maupun popularitas. Buktinya banyak
orang kaya, banyak orang yang berkedudukan tinggi, dan banyak pula orang yang
terkenal tetapi hidupnya tidak bahagia, menderita, tertekan, bahkan ada yang
sampai bunuh diri.
Dalam agama Islam, kebahagiaan hanya dapat direngkuh oleh
orang yang pandai bersyukur (merasa cukup) dan pandai bersabar (dalam menerima ujian).
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak
harta, tetapi orang yang kaya hatinya.
Sekti
Tanpa Aji-Aji
Pada jaman dulu kebanyakan orang ingin mempunyai kesaktian dan
punya kewibawaan sehingga terpandang bagi masyarakat. Agar bisa menjadi sakti
maka orang lantas berguru untuk mendapatkan ilmu kanuragan, lalu mengamalkan suatu
amalan seperti berpuasa, bersemedi, membaca rapalan doa, dan sebagainya.
Ada pula yang ingin sakti tetapi dengan mengandalkan benda-benda
keramat seperti wesi kuning, lembu sekilan, jimat dan sebagainya, sehingga ia kebal
terhadap senjata tajam, atau memperoleh kewibaan.
Namun adapula yang berpandangan lain, terutama di jaman modern
seperti sekarang ini, bahwa orang sakti adalah orang yang hebat atau sukses. Untuk
menjadi sakti (orang hebat) tidaklah dengan menggunakan jimat ajian atau perangkat kekebalan apapun, tetapi
dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Itulah makna “sekti tanpa aji-aji,” untuk menjadi orang yang sekti (hebat) maka tidak
lagi dengan aji-aji (jimat atau rapalan) tetapi dengan ilmu
dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Dalam ajaran Islam, orang dinilai sukses apabila ia mampu
memberi banyak manfaat kepada kebanyakan orang. Keberadaannya mampu memberi
ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Rasulullah
bersabda, “Khoirunnas anfa'uhum linnas” artinya sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lain (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar