Senin, 22 Juni 2020

Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji

Sugih tanpa bandha, sekti tanpa aji-aji, artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan, dan menjadi sakti tanpa jimat ajian. 
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya. Sedangkan orang bisa menjadi Sekti (hebat) tidaklah dengan mantra dan jimat, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.  
Sugih Tanpa Bandha
Sugih tanpa bandha artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan.  Sesungguhnya hakikat kaya itu bukanlah banyak harta, tetapi kaya hati.  Pengertian kaya hati adalah mempunyai hati lapang sehingga dapat menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, damai dan sejahtera.
Tenang adalah  hidup yang tidak bergejolak (selalu tidak puas). Tenteram adalah tidak ada kecemasan/ketakutan/kesedihan. Damai adalah rukun bersatu, tidak ada permusuhan, dan tidak ada gangguan. Dan sejahtera adalah tidak kekurangan, tetapi berkecukupan dan penuh keceriaan.
Bagi kebanyakan orang (awam), kekayaan selalu identik dengan segala hal yang berbau materi atau benda, seperti uang melimpah, rumah megah, mobil berderet, pakaian necis, dan sebagainya. Sedangkan orang miskin berarti kebalikan dari semua itu.
Padahal sejatinya, “orang kaya” adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga dia terus berbagi.  Sedangkan “orang miskin”, adalah orang yang selalu merasa kurang, sehingga dia terus mencari.
Jadi orang yang banyak harta tapi masih merasa kurang, dan ia terus mencari (bahkan dengan korupsi) maka sejatinya ia itu miskin.  Sedangkan orang yang tidak banyak harta tetapi ia merasa cukup dan banyak bersedekah, maka sejatinya ia adalah orang kaya.
Rasulullah bersabda, "Kekayaan bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun, kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR Bukhari).
Mahatma Gandhi berkata, "Kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita punya, tetapi seberapa banyak kita bisa memberi".
Perlu dipahami, bahwa semua manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini mempunyai satu keinginan yang sama, yaitu “hidup bahagia”.
Dan ternyata hidup bahagia atau “kebahagiaan” itu tidak dapat diperoleh dengan harta, jabatan, kedudukan, maupun popularitas. Buktinya banyak orang kaya, banyak orang yang berkedudukan tinggi, dan banyak pula orang yang terkenal tetapi hidupnya tidak bahagia, menderita, tertekan, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Dalam agama Islam, kebahagiaan hanya dapat direngkuh oleh orang yang pandai bersyukur (merasa cukup) dan pandai bersabar (dalam menerima ujian).
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya.
Sekti Tanpa Aji-Aji
Pada jaman dulu kebanyakan orang ingin mempunyai kesaktian dan punya kewibawaan sehingga terpandang bagi masyarakat. Agar bisa menjadi sakti maka orang lantas berguru untuk mendapatkan ilmu kanuragan, lalu mengamalkan suatu amalan seperti berpuasa, bersemedi, membaca rapalan doa, dan sebagainya.
Ada pula yang ingin sakti tetapi dengan mengandalkan benda-benda keramat seperti wesi kuning, lembu sekilan, jimat dan sebagainya, sehingga ia kebal terhadap senjata tajam, atau memperoleh kewibaan.
Namun adapula yang berpandangan lain, terutama di jaman modern seperti sekarang ini, bahwa orang sakti adalah orang yang hebat atau sukses.  Untuk menjadi sakti (orang hebat) tidaklah dengan menggunakan jimat ajian atau perangkat kekebalan apapun, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Itulah makna “sekti tanpa aji-aji,” untuk menjadi orang yang sekti (hebat) maka tidak lagi dengan aji-aji (jimat atau rapalan) tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Dalam ajaran Islam, orang dinilai sukses apabila ia mampu memberi banyak manfaat kepada kebanyakan orang. Keberadaannya mampu memberi ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.

Rasulullah bersabda, Khoirunnas anfa'uhum linnas”  artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar