Rabu, 08 September 2021

Menolak Ide Khilafah

Oleh: Moh Mahfud MD

"Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.

Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.

Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.

Sistem negara Pancasila Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku. Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri.

Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.

Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada. Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam.

”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya. Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.

Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.

Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).

Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku. Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda.

Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar. Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.

Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.

Berbahaya Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.

Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja.

Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia.

Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri. Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.

Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagaimietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia.

Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian. Moh Mahfud MD Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013

Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com dengan judul "Menolak Ide Khilafah", https://nasional.kompas.com/read/2017/05/26/15370351/menolak.ide.khilafah?page=all#page2.

 &&&&

 

Mahfud MD Sebut Khilafah Sudah Diberlakukan di Indonesia, Khilafah Felix Siauw Berbahaya

 

PROF Mohammad Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013, mengatakan Indonesia saat ini sejatinya telah menganut sistem khilafah. Khilafah yang diberlakukan di Indonesia, kata Mahfud MD, adalah hasil kajian atau musyawarah para ulama pendiri negara ini sebelum memerdekakan Indonesia.

Karena itu, menurut guru besar hukum tata negara Mahfud MD, khilafah yang berlaku di Indonesia bisa jadi berbeda dengan model khilafah yang dijalankan oleh negara-negara Islam di dunia ini. 

"Saya pastikan bahwa Indonesia dengan sistem Pancasila ini adalah juga khilafah. Khilafah dalam arti sistem pemerintahan yang khas bagi Indonesia. Al Khilafah al Indonesia, kira-kira,"  jar 
Mahfud MD dalam sebuah video yang ia share Selasa (2/10/2018) pagi ini.

 

Dalam video yang berisi potongan acara ILC itu, Mahfud MD tengah menjawab pernyataan ustaz Felix Siawu yang mengungkap sejarah khilafah.

Menurut Mahfud MD, berbicara khilafah bisa didekati dari dua perspektif, yaitu sebagai sistem atau sebagai sebutan kepemimpinan.

 

Khilafah sebagai sebuah sistem ketatanegaraan, kata Mahfud MD, tidak ada dalam Al Quran dan Hadits nabi Muhammad SAW.  Karena itu, kata Mahfud MD, sesudah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW kemudian lahir berbagai macam khilafah.

 

"Yang sekarang pun ada 57 jenis negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Ada 22 negara arab. Itu beda-beda lagi khilafahnya," ujar Mahfud MD.

Indonesia pun telah menganut sistem khilafah, tetapi model khilafah yang khas Indonesia yang didasarkan kepada Pancasila.

"Khilafah yang khas Indonesia. Al Khilafah al Indonesia, kira-kira. Ini produk itjihad para ulama. Seperti ulama-ulama di negara lain," kata 
Mahfud MD.  Berdasarkan kajiannya terhadap hukum tata negara di sejumlah negara Islam dan juga hakum Islam, kata Mahfud MD, tidak ada model khilafah baku yang harus diikuti. 

"Sewaktu saya kuliah, guru saya pimpinan Muhammadiyah mengatakan, tidak ada khilafah yang harus diikuti. Boleh bikin sendiri-sendiri. Bahkan beliau mengatakan indonesia ini sudah negara yang sangat sesuai dengan syariat Islam," katanya.

Karena itu, Mahfud tidak sependapat dengan model khilafah yang disampaikan oleh ustaz Felix Siauw.

"Khilafah dalam konsep
FPI dan HTI itu adalah sistem pemerintahan. Dan itu jelas-jelas ideologi yang bertentanngan dengan Pancasila. Kalau khilafah sebutan sebagai pemimpin, itu tidak menjadi soal. Tidak apa-apa. Tapi khilafah gerakan ideologi untuk mengganti sistem yang sudah disepakati yang bernama Pancasila itu jelas-jelas gerakan terlarang." kata Mahfud MD.

 

Mahfud MD mengaku sudah mendengar langsung penjelasan konsep khilafah dari para petinggi Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) sehingga ia berkesimpulan khilafah yang diusung HTI terkait dengan sistem pemerintahan.

 

"Oleh sebab itu mereka (HTI) menolak demokrasi. Menganggap demokrasi itu thogut. Menolak negara kebangsaan, mereka maunya transnasional. Satu negara yang berdasarkan Islam yang  meliputi berbagai bangsa menjadi satu negara," ujar Mahfud MD.

 

Jika khilafah dalam pengertian sistem tata pemerintahan yang terus diperjuangkan, maka itu sangat berbahaga bagi Indonesia.  "Oleh sebab itu tetap berbahaya gerakan khilafah itu sebagai sebuah gerakan alternatif ideologi," ujar Mahfud MD.

Sebelumnya diberitakan Wartakotalive.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai sistem khilafah tidak bisa lagi digunakan dalam sistem pemerintahan negara mana pun.

 

Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan, kerangka politik khilafah bertolak belakang dengan sistem demokrasi negara modern saat ini. Menurutnya, kekhalifahan sudah kehilangan legitimasinya di dunia.

 

Juga, tidak ada negara modern yang menggunakan sistem tersebut, bahkan di Timur Tengah.

"Kekhalifahan di dunia juga telah kehilangan legitimasi. Hilang sejak masa Ottoman terakhir di Turki. Jadi kita tidak relevan lagi bicara khilafah," kata Ikhsan saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (15/5/2017).

 

Pada zaman Kesultanan Ottoman berakhir, sistem khalifah juga sudah tidak digunakan lagi.

Kesultanan ini pun pecahannya memisahkan diri dan membentuk negara-negara bagian.

 

"Mereka membentuk negara yang mempunyai batas teritori. Sudah kehilangan legitimasi internasional. Bahkan kalau dihidupkan, ya amat sulit. Jangankan di Indonesia, di suku saja sulit. Sudah enggak ada lagi," katanya.

 

Begitu juga di Indonesia, Ikhsan menjelaskan, sistem khilafah tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun, jika hanya sebagai wadah pembelajaran dan sejarah, hal tersebut tentu tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah.

"Kalau khilafah itu berkaitan dengan sistem negara berkebangsaan kita sudah final, tidak ada lagi gagasan yang di luar NKRI. Jadi sebagai negara, kita sudah selesai, jangan lagi ada pemikiran atau ide yang ingin mengubah NKRI," tuturnya.

 

Ikhsan menambahkan, dari pengamatan sementara MUI, sebenarnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum menunjukkan ancaman dalam perspektif syiar agama dan dakwah.

Hanya, yang patut dikhawatirkan adalah apakah ada agenda mendirikan sistem khilafah di Indonesia.

Oleh karenanya, lanjut dia, MUI tengah membuka kajian khusus membahas HTI dengan menghadirkan sejumlah ahli dari luar, seperti pakar organisasi dan ahli sosiologi.

"Yang kita curigai dan waspadai, apakah yang dimaksud dengan khilafah di HTI itu hendak membangun negara yang di luar NKRI," katanya.

 

Langkah pembubaran HTI harus melewati proses peradilan. Sebelum ada keputusan, lanjut dia, pemerintah tidak boleh membubarpaksakan HTI, karena akan berdampak buruk pada sistem demokrasi.

 

"Kalau namanya pembubaran organisasi, juga harus ada terapinya, ada ketentuannya. Yaitu UU Ormas No 17 Tahun 2013. Kan itu menyangkut hak berserikat, berkumpul, dan berorganisasi yang legal. Jadi kalau pemerintah membubarkan HTI, yang harus dilakukan adalah dengan cara yang baik," paparnya. 

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan kajian untuk menggugat HTI ke pengadilan. HTI dianggap menyebarkan sistem khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD