Jumat, 27 Januari 2017

Orang-Orang Munafik di Negeri Ini

Bentrok Antar Umat Islam

Fenomena yang sedang marak dan kita saksikan bersama di negeri tercinta ini adalah benturan antar kelompok atau golongan atas nama “Demi Martabat Bangsa dan Negara”.  Hampir di setiap daerah sekarang ini muncul kelompok-kelompok masyarakat yang mengklaim “Demi Menjaga NKRI” dan kemudian mengecam kelompok lain yang dinilainya “Anti Kebhinekaan.”  Ironisnya masing -masing kelompok yang saling berhadap-hadapan itu justru anggotanya sama-sama mayoritas muslim.

Ketegangan antar kelompok ini tentu mengancam keutuhan bangsa dan negara, mengingat Indonesia adalah Negara Muslim terbesar didunia dengan populasi 207.000,105 jiwa (88,20%).   Ketegangan itu kalau tidak bisa dikendalikan dengan baik maka bakal terjadi bentrok antar umat muslim Indonesia dan tentu akan terjadi benturan antar masyarakat bangsa yang dahsyat. 

Bayangkan apa yang bakal terjadi bila sesama muslim yang mayoritas di negeri  ini saling bertikai.  Tentu tidak akan ada kelompok yang menang dalam pergolakan itu. Yang bakal terjadi adalah sama-sama babak belur, karena yang kalah pasti akan balas dendam untuk menyerang kemudian, begitu seterusnya.  Hal ini pasti akan meluluh lantakkan kehidupan bangsa dan negara kita.

Apakah gonjang ganjing  ini telah disadari oleh para pemimpin dan stake holder kita? Jawabannya bisa ya dan bisa juga tidak.  Bila ya, tentu ada vested interest. Tetapi bila tidak disadari, mungkin itu karena pihak asing telah begitu rapih dan canggihnya dalam merancang perang proksi pada negeri ini.


Keberadaan Orang Munafik

Dipandang dari kacamata Islam, fenomena ini terjadi karena adanya peran orang-orang munafik.   Surat Al Baqarah bercerita tentang tiga kelompok manusia, yaitu al-muttaqin (orang-orang taqwa), al-kafaru (orang-orang kafir) dan al-munafiqin (orang-orang munafik).  Dari ketiga kelompok tersebut, yang paling banyak diceritakan dalam Al-Qur’an adalah kelompok orang munafik.

Secara etimologi kata munafik berasal dari kata “nifak” yang berarti berpura-pura, atau menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk.   Secara sederhana istilah munafik mempunyai pengertian bermuka dua, atau adanya perbedaan sikap antara lahiriah dan batiniah.

Rasulullah SAW menyebut orang yang bermuka dua (al wajhain) adalah manusia yang paling buruk, seperti disebutkan di dalam hadits: “Manusia yang paling buruk adalah orang yang bermuka dua, yang mendatangi kaum dengan muka tertentu dan mendatangi lainnya dengan muka yang lain.” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).

Orang munafik lebih bahaya ketimbang orang-orang kafir. Bila orang kafir menentang dan melawan perjuangan Islam dengan terang-terangan, maka orang-orang munafik menggerogoti Islam dari dalam tubuh sendiri. Mereka adalah musuh dalam selimut. Oleh karenanya, siksa mereka di akhirat lebih pedih ketimbang orang-orang kafir.

Segala bentuk aktifitas orang-orang munafik sangat membahayakan dan merugikan umat Islam, karena secara langsung maupun tak langsung ia mendukung perjuangan orang-orang kafir.  Dalam sejarah peradaban Islam, peran orang-orang munafik sangat signifikan dalam meruntuhkan kejayaan Islam.


Ciri-ciri dan prilaku orang munafik.

Orang munafik adalah orang yang bermuka dua dan bermulut dua, yaitu adanya perbedaan antara sikap lahir dan sikap batin.   Dalam keseharian Nabi Muhammad memberikan ciri-ciri orang munafik, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, yaitu: (1) Apabila dipercaya ia berkhianat; (2) Apabila berkata ia berdusta; dan (3) Apabila berjanji ia ingkar.

Sedangkan prilaku orang munafik, antara lain adalah: (1) Bersekutu dengan orang-orang kafir; (2) Mengangkat orang kafir sebagai aulia (penolong/pemimpin); (3) Membantu orang-orang Kafir yang menentang Islam; (4) Tidak mau berperang karena takut mati; dan (5) Tidak mau membela kepentingan umat Islam.


Sebab menjadi munafik

Kenapa seseorang bisa menjadi munafik? Motivasi orang menjadi munafik, menurut DR. Rifa’ah Badwi Rafi’, sebab utamanya adalah karena lemahnya iman, yang bisa membuat dirinya: melacurkan akidah demi memperoleh keuntungan,  takut kehilangan kedudukan, takut kehilangan harga diri, menghindari rasa malu dan mencari muka atau pujian.  

Mencermati fenomena pergolakan antar kelompok (umat Islam) saat ini, nampak bahwa peristiwa itu tidak terjadi secara alamiah, tetapi sengaja diciptakan (by design).  Ada kesengajaan untuk mengadu domba antar kelompok yang ada.  Bahkan ironisnya di masing-masing kelompok itu (yang notabene orang-orang muslim juga) justru ada “ulama” nya, yang tentu motivasinya adalah kepentingan.  Bahkan bisa jadi pula aktor intelektualnya juga adalah orang Islam. Kalau benar demikian maka betapa ia benar-benar orang munafik sejati. Naudzubillahi min dzalik.

Untuk mencari ulama yang benar, Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Carilah ulama yang paling dibenci oleh orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan jadikanlah ia sebagai panutanmu”. 


Menyoal Intoleransi

Bagaimana Islam memandang toleransi?.  Dalam ajaran Islam istilah “toleransi” bukan hanya teori, tapi telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh nabi Muhammad melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of Human Rights tahun 1948 di Paris.  Piagam Madinah merupakan sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia, yang kehadirannya nyaris 6 abad mendahului Magna Charta, dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika ataupun Prancis.

Piagam Madinah disusun oleh Nabi Muhammad SAW,  berisi peraturan-peraturan tentang tatacara berkehidupan secara adil dan bermartabat antar penduduk di kota Madinah yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama.  Dengan Piagam itu penduduk Madinah yang multi golongan hidup berdampingan secara rukun dan damai.

Piagam Madinah terdiri daripada 47 pasal, kandungan berisi hal-hal seputar Pembentukan umat, Persatuan seagama, Persatuan segenap warga negara, Golongan minoritas, Tugas Warga Negara, Perlindungan Negara, Pimpinan Negara, dan Politik Perdamaian.


Prinsip Toleransi dalam Islam.

Prinsip toleransi dalam hubungan antar umat beragama diatur oleh Islam melalui ayat-ayat kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Setidaknya ada lima poin ketentuan toleransi, yakni: Pertama, Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. Al-Baqarah 256). Kedua, Mengakui eksistensi agama lain serta menghormati keyakinannya (Q.S. Al-Kafirun 1-6). Ketiga, Tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka (Q.S. Al-An'am).

Keempat, Tetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi (Q.S. Al-Mumtahanah 8-9).  Dan kelima, Memberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Sabda Nabi:  "Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi (non muslim yang berinteraksi secara baik), berarti dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah’" (diriwayatkan oleh Imam Thabrani)

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah pelopor toleransi. Bila ada kelompok yang intoleran yaitu yang prakteknya bertentangan dengan prinsip diatas maka ia bukanlah kelompok yang menyuarakan Islam.


Ulama Harus Bersatu

Bentrok antar kelompok atau golongan itu sesungguhnya adalah benturan antar umat Islam sendiri yang masing-masing mengklaim demi NKRI. Fenomena ini sangat mengancam keutuhan bangsa dan Negara.

Dipandang dari kacamata Islam, fenomena seperti ini terjadi sejak dulu kala yang disebabkan adanya orang-orang munafik.   Permasalahan itu bisa diselesaikan hanya oleh orang-orang Islam sendiri, yaitu dengan bertemu dan bersatunya para ulama untuk mencari solusi.


InsyaAllah….

Bisa dibaca di : http://www.kompasiana.com/kalimana/orang-orang-munafik-di-negeri-ini_588b4d1d929373ad08b1d850

Kamis, 26 Januari 2017

Orang-orang Munafik


Surat Al Baqarah bercerita tentang tiga kelompok manusia, yaitu Al-Muttaqin (orang-orang taqwa), Al-Kafaru (orang-orang kafir) dan Al- Munafiqin (orang-orang munafik). Dari ketiga kelompok tersebut, yang paling banyak diceritakan dalam Al-Qur’an adalah kelompok orang munafik.
Secara sederhana pengertian munafik adalah orang yang bermuka dua, atau adanya perbedaan antara hati dan perbuatan.  Rasulullah SAW menyebut orang yang bermuka dua (al wajhain) adalah manusia yang paling buruk, seperti disebutkan di dalam hadits: “Manusia yang paling buruk adalah orang yang bermuka dua, yang mendatangi kaum dengan muka tertentu dan mendatangi lainnya dengan muka yang lain.” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Segala bentuk aktifitas munafik menurut sudut pandang Al-Qur’an sangat membahayakan dan merugikan bagi umat Islam, karena perjuangan orang-orang kafir mendapatkan dukungan dari orang munafik.  Dalam sejarah peradaban Islam, peran orang-orang munafik sangat signifikan dalam meruntuhkan kejayaan Islam.
Orang munafik lebih bahaya ketimbang orang-orang kafir. Bila orang kafir menentang dan melawan perjuangan Islam dengan terang-terangan, maka orang-orang munafik menyerang dari dalam tubuh Islam sendiri. Mereka adalah musuh dalam selimut. Oleh karenanya, siksa mereka di Akhirat lebih pedih ketimbang orang-orang kafir, yaitu di neraka yang paling bawah, serta menjadi pembakar api neraka. Wallahu ‘A’laam bi Shawwab.

Pengertian Munafik.
Secara etimologi kata munafik berasal dari kata “nifak” yang berarti berpura-pura, atau menampakkan yang baik dan menyembunyikan yang buruk.  Nifaq dalam bahasa juga bermakna bertukar-tukar lebih daripada satu wajah dan  persembunyian.  Sedangkan menurut istilah munafik artinya bermuka dua, atau adanya perbedaan sikap lahiriah dan batiniah. Munafiq ialah orang yang dhzahirnya Islam dan mengikuti Rasulullah s.a.w. tetapi menyembunyikan kekufuran dan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Prilaku Munafik.
Prilaku orang munafik, antara lain adalah: (1) Menghalangi manusia untuk berhukum pada Al Qur’an dan hadist; (2) Mengangkat orang kafir sebagai aulia (kawan, kekasih, penolong, dan atau pemimpin); (3) Membantu orang-orang Kafir untuk menentang Islam; (4) Tidak mau berperang, karena takut mati; dan (5) Mengatakan Orang Beriman ditipu Agama.

Ciri-ciri orang munafik (HR. Al-Bukhari):
-   Apabila dipercaya, ia berkhianat
-   Apabila berkata, ia berdusta
-   Apabila berjanji, ia ingkar
-   Apabila bertengkar, ia berbuat keji


*********************************

TAQWA 
·         Taqwa.
Ketaqwaan adalah prestasi tertinggi yang diraih oleh seorang mukmin dalam pengabdiannya kepada Allah SWT.       Hanya dengan taqwa-lah seorang mukmin dapat memperoleh kemuliaan di sisi Allah, yakni surga.  Taqwa merupakan tingkatan tertinggi dalam ibadah.
inna akramakum ‘indallaahi atqaakum( ‘’...sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa ‘’) 

akmalul mu’miniina imaanan ahsanuhum khuluqan (Orang mukmin yang paling sempurna keimannya adalah orang yang sempurna akhlaknya  (HR. Tarmidzi))

Ciri-ciri orang yang bertaqwa, antara lain adalah :
a.   Suka shalat malam dan banyak ber istighfar. (QS. 51:18 ; 3:17)
b.   Sabar dalam penderitaan dan kesempitan (QS.2: 177)
c.   Menahan amarah, mudah memaafkan dan suka minta maaf. (QS. 3:134)

d.   Dermawan, yaitu suka menginfakkan apa saja yang paling disukainya kepada orang yang membutuhkannya, baik dalam keadaan lapang maupun susah. (QS. 2:3,177 ;  3:17,134 ; 51:19)

·         Karakteristik seorang Mukmin :
a.   Menghormati tetangganya
b.   Menyambung tali persaudaraan
c.   Berbicara benar, atau bila tak mampu maka berdiam diri.
d.   Tidak bisa tidur dalam (keadaan kenyang) bila tetangganya  kelaparan

Rabu, 25 Januari 2017

Piagam Madinah; Toleransi Dalam Islam

Toleransi, dalam bahasa Arab “tasamuh” mempunyai pengertian: "sama-sama berlaku baik, lemah lembut dan saling pemaaf."   Dalam pengertian istilah umum tasamuh   berarti "sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, di mana terdapat rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam."
Toleransi atau tasamuh (seperti yang dipraktekkan oleh Nabi SAW pada Piagam Madinah) didasarkan atas prinsip-prinsip : bertetangga baik; saling menghargai hak-hak selaku manusia; saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; membela mereka yang teraniaya; saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. 

Piagam Madinah; Praktek Toleransi Islam 
Dalam ajaran Islam toleransi bukan hanya teori, tapi telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh nabi Muhammad melalui "Piagam Madinah" tahun 622 Masehi, jauh sebelum PBB mencanangkan Declaration of Human Rights tahun 1948 di Paris.
Ahli hukum Islam Inggris berdarah India, Muhammad Hamidullah menyebut Piagam Madinah sebagai konstitusi demokratis modern pertama di dunia.
Mc. Donald menyebut Madinah sebagai negara Islam pertama yang memiliki dasar-dasar politik dan perundang-undangan. Muhammad SAW sebagai kepala negara kala itu telah menetapkan dasar-dasar dan sendi-sendi pemerintahan, dan berhasil menyatukan semua golongan (Ridha, 2003).
“Piagam Madinah” atau “Perjanjian Madinah” adalah sebuah dokumen formal yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW berisi peraturan-peraturan tentang berkehidupan secara adil dan bermartabat antar penduduk di kota Madinah yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama.
Piagam Madinah terdiri daripada 47 pasal, dimana 23 pasal membicarakan tentang hubungan antara umat Islam yaitu; antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, dan 24 pasal lain membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat lain, termasuk Yahudi.
Kandungan Piagam Madinah berisi hal Mukadimah, dilanjutkan oleh hal-hal seputar Pembentukan umat, Persatuan seagama, Persatuan segenap warga negara, Golongan minoritas, Tugas Warga Negara, Perlindungan Negara, Pimpinan Negara, Politik Perdamaian dan Penutup. 
Bentuk toleransi "Antar Umat Beragama" dalam Piagam Madinah ini tertulis dalam Pasal 24 yang berisi: "Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga".
Dengan Piagam Madinah itu penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama hidup berdampingan secara rukun dan damai. Piagam Madinah merupakan sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia.  Kehadiran Piagam Madinah nyaris 6 abad mendahului Magna Charta, dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika Serikat ataupun Prancis.
Melalui Piagam Madinah inilah bisa dilihat bagaimana peran dan fungsi dari seorang manusia yang bernama: Muhammad, dalam meletakkan dasar-dasar toleransi antar umat manusia.
Piagam Madinah (konstitusi Madinah) dapat juga disebut sebagai konstitusi suatu negara, sebab piagam madina telah memuat prinsip-prinsip minimal suatu  pemberintahan yang bersifat fundamental. 

Prinsip Toleransi dalam Islam.
Prinsip toleransi dalam hubungan antar umat beragama diatur dalam Islam melalui ayat-ayat kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Setidaknya ada lima poin ketentuan toleransi, yakni : 
PertamaTidak ada paksaan dalam agama. Q.S. Al-Baqarah 256: "Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah.
KeduaMengakui eksistensi agama lain serta menjamin adanya kebebasan beragama.  Q.S. Al-Kafirun 1-6: “Katakanlah : Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.
Ketiga, Tidak boleh mencela atau memaki sesembahan mereka. Q.S. Al-An'am : 108:  “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
KeempatTetap berbuat baik dan berlaku adil selama mereka tidak memusuhi.  Q.S. Al-Mumtahanah 8-9: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.  Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Dan Q.S. Fushshilat : 34: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”   
KelimaMemberi perlindungan atau jaminan keselamatan. Sabda Nabi (diriwayatkan oleh Imam Thabrani):  " Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi (non muslim yang berinteraksi secara baik), berarti dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah’"

Dari ayat-ayat Al qur’an dan hadits Nabi di atas, jelaslah bahwa toleransi yang diajarkan Islam bukanlah toleransi yang pasif, yang sekedar "menenggang, lapang dada dan hidup berdampingan secara damai", tetapi lebih luas lagi; bersifat aktif dan positif, yakni untuk berbuat baik dan berlaku adil.

Agama Islam juga mengakui adanya orang-orang ahli kitab yang baik dan perlunya perlindungan tempat-tempat ibadah agama lain (Q.S. Al-Ma'idah: 82; Q.S. Al-Hajj : 40).



Selasa, 24 Januari 2017

Mahabbah; Salah Satu dari Tiga Golongan Orang dalam Beribadah

Diceritakan bahwa ketika seluruh penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah SWT mengundang mereka.  Kemudian terjadilah dialog, kurang lebih sebagai berikut:
Allah ta’ala bertanya, “Wahai para penghuni surga, bagaimana kesanmu terhadap surga?”
Seluruh penghuni surga menjawab, “Duhai Allah, tidak mampu kami ungkapkan bagaimana kenikmatan surga” (surga sangat-sangatlah indah, nyaman, sejuk, segala kelezatan ada, yang tak pernah dijumpai di dunia, bahkan tak bisa dibayangkan oleh penduduk bumi).
Allah bertanya lagi, “Adakah sesuatu yang melebihi kenikmatan surga?”
Penghuni surga menjawab, “Tentu tidak ada ya Allah, tidak ada satupun yang melebihi kenikmatan surga”
Allah bertanya lagi, “Maukah kalian Aku tunjukkan suatu kenikmatan yang melebihi surga?”
Para penghuni surga terkejut mendengar tawaran Allah Ta’ala, dan bahkan mereka bertanya balik kepada Allah, “ Apakah ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya surga duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Ada”.
Penghuni surga bertanya lagi, “Apakah itu duhai Allah?”
Allah Ta’ala menjawab, “Memandang wajahKu”. 
Kemudian Allah membuka tabir (yang menutupi Wajah-Nya). Ketika para penghuni surga telah menatap wajah Allah, maka mereka lupa akan kenikmatan surga.

Cerita ini begitu mashur dan banyak dijadikan renungan dikalangan ulama tasawuf.  Rujukan cerita ini adalah hadis yang ditulis dalam Kitab Shahih Muslim dan beberapa ayat Al-Qur’an.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, bahwa kenikmatan melihat Wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling tinggi, yang melebihi segala kenikmatan di surga. Penuturan Nabi Muhammad ini sesuai dengan  Q.S. al-Qiyamah: 22-23, yaitu, “Wajah orang-orang beriman pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nya mereka melihat.”  *)

Kerinduan para kaum sufi akan menatap wajah Allah adalah sesuatu yang paling puncak, melebihi kerinduan akan surga. Menatap wajah Allah itulah cinta (mahabbah). Dalam beribadah mereka benar-benar mengharapkan ridha-Nya. Mengharapkan cinta-Nya. Beribadah bukan karena mengharapkan sorga atau takut akan siksa neraka , tetapi beribadah karena semata mengharapkan cinta Allah.
Dalam pandangan tasawuf, “mahabbah” berarti mencintai Allah, yang di dalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali hanya Allah. 

Dalam hal beribadah kepada Allah, kaum muslimin mempunyai motivasi dan kualitas yang berbeda-beda dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Ali bin Abi Thalib RA. menjelaskan bahwa motivasi kaum muslimin dalam beribadah dibagi menjadi 3  golongan. Ketiga golongan itu adalah: Pertama: Golongan budak (al-Abid). Kedua: Golongan  pedagang (At-Tujjar), dan Ketiga: Golongan pecinta (al-Mahabbah). Tentu saja kesemua golongan ini baik adanya dikarenakan ketaatan dalam menjalankan ibadah kepada Allah.

PertamaGolongan budak / karyawan (Al-'abid).
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seorang budak atau karyawan.  Ia bekerja karena melaksanakan tugas kewajibannya selaku karyawan, dan takut kemarahan majikan bila tidak patuh dengan perintahnya.
Seorang budak atau karyawan melakukan pekerjaan sebatas karena tugas kewajiban yang diembannya, tanpa ada upaya untuk memajukan perusahaan.  Motivasinya dalam bekerja tak lain adalah hanya sekedar untuk mendapatkan upah dan agar ia tidak dimarahi atau dipecat.
Seseorang yang melaksanakan shalat atau ibadah wajib lainnya karena alasan sebagai suatu kewajiban yaitu perintah Tuhan, yang apabila meninggalkannya akan terkena dosa, maka ia termasuk dalam golongan al-abid.  Mereka ini apabila telah selesai melaksanakan shalat maka ia akan merasa telah terbebas dari kewajiban yang membebaninya .
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah (1) shalat fardhu ia lakukan sekedarnya, (2) tanpa dzikir (atau dzikir sekedarnya), (3) tanpa tambahan shalat sunnah rawatib, (4) tanpa persiapan khusus (misalnya dalam hal berpakaian), dan (5) jarang ke masjid.  
Esensi beribadah golongan budak adalah mereka yang melaksanakan ibadah karena suatu kewajiban untuk menggugurkan kewajiban atau menghindari dosa.

KeduaGolongan Pedagang (At-Tujjar).
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seorang pedagang yang cenderung mempertimbangkan untung rugi.
Ia senantiasa menghitung sedikit banyaknya pahala pada setiap kegiatan ibadah, dan ia selalu  berupaya untuk mendapatkan pahala yang lebih besar. Rugi rasanya apabila ia melaksanakan ibadah yang hanya memperoleh pahala kecil. Dalam melaksanakan shalat misalnya, ia senantiasa berusaha untuk shalat berjamaah meskipun hanya dengan dua orang.   Dalam bersedekah ia mencari tempat, waktu dan obyek yang dapat melipatgandakan pahala, misalnya bulan Ramadhan  pahala dilipat 700 kali lipat.
Pertimbangan untung rugi lainnya adalah apabila ia melakukan suatu amalan ibadah maka ia akan memperoleh balasan kebaikan di dunia, misalnya kelimpahan rejeki, kesehatan badan, dipanjangkan umur, dijauhkan dari malapetaka, dimudahkan dapat pekerjaan, dan sebagainya.  
Agar mendapat pahala berlipat serta memperoleh balasan kebaikan di dunia, maka orang-orang di golongan ini takkan menyia-nyiakan kesempatan, mereka akan mengambil untung sebesar-besarnya dengan melakukan banyak ibadah dan beramal shaleh.
Beribadah sebagaimana seorang pedagang yang memperhitungkan untung rugi tentulah tidak keliru. Bahkan Allah sendiri yang menyatakan bahwa berniaga denganNya takkan pernah merugi.
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini antara lain adalah: (1) gemar shalat berjamaah di masjid, (2) gemar melakukan ibadah sunah, (3) intensitas ibadah di bulan Ramadhan makin tinggi, (4) banyak berdoa memohon kepada Allah (kebaikan dunia maupun akhirat), dan (5) gemar bersedekah.
Esensi beribadah golongan pedagang adalah mereka yang melaksanakan ibadah karena motivasi mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai tabungan akhirat agar memperoleh kemudahan memasuki surga kelak.

KetigaGolongan Pecinta (Al-mahabbah)
Orang-orang dalam golongan ini beribadah pada Allah layaknya seseorang yang berbuat sesuatu untuk sang kekasih atas dasar perasaan “cinta”.
Seseorang yang melakukan sesuatu untuk sang kekasih tentu tidak akan mengharapkan balasan apapun kecuali alasan cinta.  Seorang ibu rela melakukan apapun dengan tulus ikhlas demi anaknya tidak lain karena cinta. Seorang lelaki rela berkorban demi wanita pujaannya adalah karena cinta.
Orang yang beribadah pada Allah Swt dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan apapun kecuali ridho (cinta) Nya merupakan ibadah yang mempunyai derajat tertinggi.  Orang-orang termasuk kedalam golongan ini adalah mereka yang telah mempunyai ketaqwaan tinggi, yang tentu berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sehari-hari, yaitu jujur, sabar, rendah hati, bijaksana, sosial, penolong, dan toleran.
Ia beribadah bukan karena takut neraka atau menginginkan surga, tetapi lebih dari itu. Ibadah dirasakannya sebagai sebuah kenikmatan berjumpa dengan kekasih. Semua perintah Sang Kekasih adalah kebaikan. Ia melaksanakan ibadah dengan keikhlasan untuk mengharap ridha-Nya semata yang dilandasi oleh cinta. Di matanya tidak ada yang lain selain cinta pada Allah. Allah adalah keindahan, dan tidak ada yang lebih indah daripada Allah. Kematian pun dirasakannya bukan sebagai perpisahan dengan dunia, melainkan awal pula perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Ciri-ciri dari orang-orang golongan ini adalah: (1) mengutamakan khusu’ dalam shalat, (2) gemar melakukan ibadah sunah, (3) istiqamah dalam beribadah (di bulan ramadhan maupun bulan lainnya), (4) banyak berdzikir (bersyukur dan beristighfar, sedikit doa permohonan), dan  (5) gemar bersedekah (lapang maupun sempit).
Esensi beribadah golongan kekasih adalah mereka yang melaksanakan ibadah kepada Allah SWT tanpa mengharapkan apapun, termasuk pahala atau surga, melainkan karena semata mengharapkan cinta dan ridha Nya.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan.
Rabiah menulis syair cinta dalam doanya:
Tuhanku… Jika ibadah dan sujudku semata karena mengharapkan surga Mu, Maka jauhkanlah surga itu dariku. Jangan biarkan aku menghirup semerbak wangi bunga Firdaus 
Tuhanku… Jika ibadah dan sujudku karena aku takut akan siksa api neraka Mu. Maka biarkanlah api neraka membakar seluruh tubuhku.
Namun, ya Rabb …  Aku beribadah dan bersujud kepadaMu karena aku mengharapkan cinta-MU.  Singkapkan tabir yang menghalangi antara aku dan Kau. Sebab tiada bahagia melebihi perjumpaan dengan-Mu 

Ketiga golongan itu kesemuanya baik karena dilandasi oleh ketaatan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan dari ketiga golongan itu, menurut sayidina Ali bin Abi Thalib, kebanyakan kaum muslimin berada pada golongan budak dan sedikit yang masuk pada golongan pedagang.  Sedangkan golongan "kekasih" dilakukan oleh orang-orang yang zuhud, yaitu yang tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi.

*********
*) Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa tambahan kenikmatan yang akan diberikan kepada penduduk surga adalah melihat wajah Allah Yang Maha Agung.  Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seluruh penduduk surga telah masuk ke dalam surga semuanya, Allah berfirman kepada mereka, Apakah kalian menginginkan sesuatu yang Aku tambahkan untuk kalian?” Mereka berkata, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga? Dan menyelamatkan kami dan api neraka?’’. Kemudian Allah membuka tabir (yang menutupi Wajah-Nya). Tidaklah penduduk surga diberi dengan sesuatu yang lebih mereka senangi daripada melihat Rabb mereka ‘azza wa jalla.” Setelah bersabda demikian, beliau kemudian membaca ayat ke-26 dan surat Yunus di atas. (HR. Muslim, no. 266).
Atas dasar inilah, para ulama menjadikan ayat 26 dari surat Yunus ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa penduduk surga nanti akan diberi keutamaan bisa melihat wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam ayat-Nya yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat.” (al-Qiyamah: 22-23)

************
Rabiah Al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena ilmu dan kezuhudannya. Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak sekitar abad ke delapan. Ia dijuluki sebagai The Mother of the Great Sufis (Ibu Para Sufi Besar). Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun Al-misri.  Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Ajaran.
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode Mahabbah (cinta tanpa pamrih) dan Uns (kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam.
Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. 
Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan ath-ThawriRabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar

Pengaruh terhadap perkembangan sufisme

Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu Thalib al-MakkiAs-suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

Rabu, 18 Januari 2017

Makna Integritas


PROLOG

Kata integritas berasal dari bahasa Inggris yakni integrity, yang berarti menyeluruh, lengkap atau segalanya. Kamus Oxford menghubungkan arti integritas dengan kepribadian seseorang yaitu jujur dan utuh. Ada juga yang mengartikan integritas sebagai keunggulan moral dan menyamakan integritas sebagai “jati diri”.

Integritas juga diartikan sebagai bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kode etik, Dengan kata lain integritas diartikan sebagai “satunya kata dengan perbuatan”

Paul J. Meyer menyatakan bahwa “integritas itu nyata dan terjangkau dan mencakup sifat seperti: bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia. Jadi, saat berbicara tentang integritas tidak pernah lepas dari kepribadian dan karakter seseorang, yaitu sifat-sifat seperti: tanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, loyal/setia, komitmen dan disiplin.

Konon, di Tiongkok kuno orang menginginkan rasa damai dari kelompok Barbar utara, itu sebabnya mereka membangun tembok besar. Tembok itu begitu tinggi sehingga mereka sangat yakin tidak seorang pun yang bisa memanjatnya dan sangat tebal sehingga tidak mungkin hancur walau pun didobrak. Sejak tembok itu dibangun dalam seratus tahun pertama, setidaknya Tiongkok telah diserang tiga kali oleh musuh-musuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil masuk karena temboknya yang tinggi, tebal dan kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Apa yang terjadi kemudian? Musuh berhasil masuk. 

Orang Tiongkok berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan, tetapi gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap itu yang tidak hanya menghancurkan dirinya tapi juga orang lain. 

Betapa sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah integritas. Padahal, walaupun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi sebuah integritas, akan lebih banyak risiko dan akibat fatal yang terjadi jika harus mengorbankan integritas. Bila kita tidak memperhatikan sikap dan tindakan, kenikmatan sesaat seringkali berujung pada akibat buruk yang berkepanjangan.

MAKNA INTEGRITAS

Suatu penelitian menyatakan bahwa perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada usia negara itu. Contohnya negara India dan Mesir, yang usianya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin). Di sisi lain Negara seperti Singapura, Kanada, Australia dan New Zealand, negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun, saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia, dan penduduknya tidak lagi miskin. 

Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin Jepang mempunyai area yang sangat terbatas, di mana daratannya delapan puluh persen berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan 
Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara “industri terapung” yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya. 

Swiss tidak mempunyai perkebunan coklat tetapi sebagai segara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya sebelas persen daratannya ang bisa ditanami. Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik. (Nestle adalah salah satu perusahaan makanan terbesar di dunia). Bank-bank di Swiss juga saat ini menjadi bank yang sangat disukai di dunia. 

Para eksekutif dari negara maju yang berkomunikasi dengan temannya dari negara terbelakang akan sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju dan kaya di Eropa. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. 

Lalu, apa perbedaannya? Perbedaannya adalah pada sikap atau perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti dan mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan yang salah satu dari prinsip dasar itu adalah integritas diri.

Apakah makna integritas bagi kita? 


Pertama, integritas berarti komitmen dan loyalitas. Apakah komitmen itu? Komitmen adalah suatu janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati sebuah janji dan mempertahankan janji itu sampai akhir, walau pun harus berkorban. Banyak orang gagal dalam komitmen. Faktor pemicu mulai dari keyakinan yang goyah, gaya hidup yang tidak benar, pengaruh lingkungan, hingga ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Gagal dalam komitmen menujukkan lemahnya integritas diri

Kedua, integritas berarti tanggung jawab. Tanggung jawab adalah tanda dari kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. Peluang menuju sukses terbuka bagi mereka. Sementara itu, orang yang melarikan diri dari tanggung jawab merasa seperti sedang melepaskan diri dari sebuah beban (padahal tidak demikian). Semakin kita lari dari tanggung jawab, semakin kita kehilangan tujuan dan makna hidup. Kita akan semakin merosot, merasa tidak berarti dan akhirnya menjadi pecundang (penghasut).

Ketiga, integritas berarti dapat dipercaya, jujur dan setia. Kehidupan kita akan menjadi dipercaya, apabila perkataan kita sejalan dengan perbuatan kita; tentunya dalam hal ini yang kita pandang baik atau positif. Sebuah pribahasa mengatakan “Kemarau setahun akan dihancurkan oleh hujan sehari”, yang artinya segala kebaikan kita akan runtuh dengan satu kali saja kita berbuat jahat. 

Keempat, integritas berarti konsisten. Konsisten berarti tetap pada pendirian. Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk melakukan apa yang benar dengan tidak bimbang, karena keputusan yang diambil beradasrkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang bijak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah konsistensi dimulai dari penguasaan diri dan sikap disiplin.

Kelima, berintegritas berarti menguasai dan mendisiplin diri. Banyak orang keliru menggambarkan sikap disiplin sehingga menyamakan disiplin dengan bekerja keras tanpa istirahat. Padahal sikap disiplin berarti melakukan yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar hal yang ingin dilakukan. Disiplin mencerminkan sikap pengendalian diri, suatu sikap hidup yang teratur dan seimbang. 

Keenam, berintegritas berarti berkualitas. Kualitas hidup seseorang itu sangat penting. Kualitas menentukan kuantitas. Bila kita berkualitas maka hidup kita tidak akan diremehkan. Kitab Suci menuliskan dengan gamblang tentang kehidupan para tokoh Alkitab, ada yang gagal ada yang berhasil. Integritas hidup berkualitas adalah kehidupan yang membiarkan orang luar menilai diri kita. Pada saat menyenangkan ataupun pada saat tidak menyenangkan. 

EPILOG

Di dalam bukunya You and Your Family, Dr. Tim La Haye memberikan diagram silsilah dua orang yang hidup pada abad 18. Yang pertama adalah Max Jukes, seorang penyelundup alkohol yang tidak bermoral. Yang kedua adalah Dr. Jonathan Edwards, seorang pendeta yang saleh dan pengkhotbah kebangunan rohani. Jonathan Edwards ini menikah dengan seorang wanita yang mempunyai iman dan filsafat hidup yang baik. 


Melalui silsilah kedua orang ini ditemukan bahwa dari Max Jukes terdapat 1.026 keturunan: 300 orang mati muda, 100 orang dipenjara, 190 orang pelacur, 100 orang peminum berat. Dari Dr. Edwards terdapat 729 keturunan: 300 orang pengkhotbah, 65 orang profesor di universitas, 13 orang penulis, 3 orang pejabat pemerintah, dan 1 orang wakil presiden Amerika. Dari diagram tersebut kita bisa melihat bahwa kebiasaan, keputusan dan nilai-nilai dari generasi terdahulu sangat mempengaruhi kehidupan generasi berikutnya.

Sekitar tahun 65 M silam, Rasul Paulus menasehati pemimpin muda Timotius agar menjadi teladan “dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”. Keteladan ini adalah syarat paling penting bagi Paulus maupun Timotius sebagai pemimpin Kristen pada masa itu. Kata “teladan” ini dalam bahasa Yunani adalah “tufos” yang berarti “model, gambar, ideal, atau pola”. Menurut pengertian ini orang Kristen harus menjadi teladan dalam perkataan dan tindakan. Menjadi teladan dalam perkataan dan perbuatan inilah yang sekarang ini kita sebut sebagai “integritas”, karena pada dasarnya integritas adalah “satunya kata dengan perbuatan”. Amin.


Makna Sebuah Integritas, Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.; http://artikel.sabda.org/makna_sebuah_integritas


&&&&



INTEGRITAS

Integritas juga diartikan sebagai bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kode etik, Dengan kata lain integritas diartikan sebagai “satunya kata dengan perbuatan”. 

Paul J. Meyer menyatakan bahwa “integritas itu nyata dan terjangkau dan mencakup sifat seperti: bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia. 

Jadi, saat berbicara tentang integritas tidak pernah lepas dari kepribadian dan karakter seseorang, yaitu sifat-sifat seperti: Bertanggung jawab, Jujur/benar, dapat dipercaya, setia, komitmen, dan disiplin..

Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat.

KBBI; integritas : mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.

Integritas nasional: wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara

--- 

INTEGRITAS diartikan dengan konsisten dalam memegang teguh kebenaran yang dipercayai dan mengamalkan kebenaran tersebut. 

Integritas = Karakter & Nilai Moral : Tangjur - Caset – Komplin