Rabu, 30 Agustus 2017

Ibadah Haji; Napak Tilas Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim

Haji (/hædʒ/;[1] bahasa Arabحج‎ Ḥaǧǧ "ziarah") adalah ziarah Islam tahunan ke Mekkah, kota suci umat Islam, dan kewajiban wajib bagi umat Islam yang harus dilakukan setidaknya sekali seumur hidup mereka oleh semua orang Muslim dewasa yang secara fisik dan finansial mampu melakukan perjalanan, dan dapat mendukung keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka.[2][3][4] Ini adalah satu dari lima Rukun Islam, di samping SyahadatSalatZakat, dan Sawm. Haji adalah pertemuan tahunan terbesar orang-orang di dunia.[5][6] Keadaan yang secara fisik dan finansial mampu melakukan ibadah haji disebut istita'ah, dan seorang Muslim yang memenuhi syarat ini disebut mustati. Haji adalah demonstrasi solidaritas orang-orang Muslim, dan ketundukan mereka kepada Tuhan (Allah).[7][8] Kata Haji berarti "berniat melakukan perjalanan", yang berkonotasi baik tindakan luar dari perjalanan dan tindakan ke dalam niat.[9]
Ziarah terjadi dari tanggal 8 sampai 12 (atau dalam beberapa kasus ke 13 [10]) dari Zulhijjah, bulan terakhir kalender Islam. Karena kalender Islam adalah bulan dan tahun Islam kira-kira sebelas hari lebih pendek daripada kalender Gregorian, tanggal haji Gregorian berubah dari tahun ke tahun. Hram adalah nama yang diberikan pada keadaan spiritual khusus dimana peziarah mengenakan dua lembar putih kain halus. Dan menjauhkan diri dari tindakan tertentu.[7][11][12]
Haji dikaitkan dengan kehidupan nabi Islam Muhammad dari abad ke-7, namun ritual ziarah ke Mekkah dianggap oleh umat Islam untuk meregangkan ribuan tahun sampai Ibraham. Selama haji, peziarah bergabung dalam prosesi ratusan ribu orang, yang secara bersamaan berkumpul di Mekkah selama minggu haji, dan melakukan serangkaian ritual: setiap orang berjalan berlawanan arah jarum jam tujuh kali di sekitar Ka'bah (berbentuk kubus Bangunan dan arah doa untuk kaum Muslim), berjalan bolak-balik antara bukit-bukit Al-Safa dan Al-Marwah, minuman dari Sumur Zamzam, sampai ke dataran Gunung Arafah untuk berjaga-jaga, menghabiskan satu malam di Dataran Muzdalifah, dan melakukan rajam simbolis iblis dengan melemparkan batu ke tiga pilar. Para peziarah kemudian mencukur kepala mereka, melakukan ritual pengorbanan hewan, dan merayakan festival global tiga hari Idul Adha.[13][14][15][16]
Jamaah haji juga bisa pergi ke Mekkah untuk melakukan ritual di lain waktu sepanjang tahun. Ini kadang disebut "ziarah yang lebih rendah", atau Umrah.[17] Namun, biarpun mereka memilih untuk melakukan umrah, mereka masih diwajibkan untuk melakukan ibadah haji di lain waktu dalam hidup mereka jika mereka memiliki sarana untuk melakukannya, karena Umrah bukan pengganti haji.[18]

Ibadah Haji
Ibadah Haji adalah salah satu ibadah utama yang diwajibkan bagi umat Islam yang telah mempunyai kemampuan baik fisik maupun finansial (istita’ah), untuk melakukan perjalanan atau ziarah ke Baitullah (Ka’bah) di kota Mekah dan beberapa kegiatan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Firman Allah yang menjadi dasar kewajiban ibadah haji adalah : “Allah telah mewajibkan ibadah haji ke Baitullah  atas orang-orang yang telah mampu dalam perjalanannya” (QS. Ali Imran 97).
Kegiatan inti ibadah haji dilaksanakan pada tanggal 8, 9 & 10 Dzulhijah, yang diawali dengan kegiatan mabit (bermalam) di Mina (8 Dzulhijah), wukuf (berdiam diri) di padang Arafah (9 Dzulhijah), dan lontar Jumrah di Mina (10 Dzulhijah).
Sementara ibadah tambahannya adalah  tawaf (mengelilingi Ka'bah), serta  sa’i (berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwa) di Mekah.  
Sedangkan puncak dari ibadah haji adalah Wukuf di padang Arafah.  “Al-Hajju Arafah” artinya “(puncak) ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah”. Demikian jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh sekelompok orang yang datang dari Nejed saat beliau sedang “wukuf” di padang Arafah.
Haji merupakan pertemuan tahunan terbesar bagi orang-orang Islam dunia dengan mengedepankan kesetaraan antar orang-orang Muslim dalam ketundukan kepada Allah, Tuhan semesta alam.


Napak Tilas Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim
Ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan spiritual nabi Ibrahim, untuk mengenang kisah ketaatan beliau atas perintah Allah SWT melalui mimpi-mimpinya untuk menyembelih (mengorbankan) anak yang sangat dicintainya, Ismail.  Itu adalah ujian yang “maha berat” bagi seorang manusia.  Tidak ada satu ujianpun yang lebih berat ketimbang harus menyembelih anak semata wayang yang sangat dicintainya.
Bermula dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk melakukan perjalanan dari Mekah menuju Arafah bersama keluarganya, yaitu Siti Hajar (istrinya) dan Ismail (putra tercintanya).
Dalam perjalanan dari Mekah ke Arafah itu, selama tiga malam berturut-turut Nabi Ibrahim bermimpi dengan mimpi yang sama yaitu menyembelih putranya, Ismail.  Dari ketiga mimpinya itulah Nabi Ibrahim sangat yakin bahwa itu adalah perintah Allah untuk mengorbankan anak kesayangannya. 
Mimpi pertama.  Dalam perjalanan dari Mekah ke Arafah itu mereka bermalam di Mina.  Pada malam 8 Dzulhijah itu Ibrahim bermimpi dengan sangat jelas menyembelih anaknya, Ismail. Segera ia tergeragab bangun dari tidurnya, dan termenung memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas itu. Sampai pagi datang ia tidak mampu memejamkan kembali karena galau. Ia meragukan mimpi itu sebagai perintah Allah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Penyayang, tak pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.
Kelak, termenungnya Ibrahim di Mina ini menjadi Hari Tarwiyah, dimana jamaah haji berkumpul dan bersiap-siap menuju Arafah. Kata “Tarwiyah” bermakna “merenung dan memikirkan”. Menunjuk kepada saat-saat awal Ibrahim memperoleh perintah lewat mimpinya, yang ia sempat termenung dan merenunginya.
Keesokan harinya keluarga Ibrahim meneruskan perjalanannya menuju Arafah.  Ibrahim tidak bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Mereka sampai di padang Arafah sore hari menjelang malam.  Disanalah Ibrahim membuka tenda untuk bermalam.
Mimpi kedua.  Pada malam 9 Dzulhijah di Arafah, kembali Ibrahim bermimpi.  Mimpi keduanya itu sama persis dengan mimpi pertama saat di Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail.  Ia tergeragab kembali, terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia tidak bisa memejamkan matanya kembali sampai pagi. Mimpi itu membuat keraguannya akan perintah Allah mulai luntur.
Tak kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang. Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun menghentikan segala aktivitasnya, melakukan Wukuf di dalam tenda sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Ia berkontemplasi, berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga sore, menjelang matahari tenggelam.
Ia dapatkan rasa tenteram, dan menjadi lebih tenang karenanya. Hatinya menjadi lebih jernih dalam menangkap tanda-tanda dari Allah. Dan iapun memohon kepada-Nya untuk memperjelas perintah itu agar ia mantab dan tidak ragu-ragu dalam menjalaninya.
Mimpi ketiga. Mimpi yang sama kembali terjadi pada malam 10 Dzulhijah di Arafah.  Seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya, dengan sangat jelas nabi Ibrahim menyembelih Ismail, putranya.  Ibrahim-pun menjadi yakin bahwa  mimpi itu adalah perintah Allah kepadanya untuk mengorbankan putranya sebagai bukti ketaatan kepada-Nya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah itu keesokan harinya. Sehingga tanggal 10 Dzulhijah dikenal sebagai Hari Nahar alias Hari Berkorban. Sedangkan tanggal 9 Dzulhijah dikenal sebagai Hari Arafah alias Hari Pengetahuan dimana Ibrahim memperoleh pencerahan atas makna ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Malam itu, Ibrahim dan keluarganya melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju ke Mina. Tengah malam mereka berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail. Tapi, Ibrahim sudah mantab hati, dan teguh pada keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.
Bagi jamaah haji kini, malam hari di Muzdalifah itu, disunahkan mengambil batu kerikil untuk melempar jumrah keesokan harinya, sebagai simbol menghalau setan.
Siang hari Ibrahim sampai di Mina. Kemudian Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang kemudian dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah mengurbankan Ismail.  Iapun minta ijin kepada Hajar untuk naik bukit, sedangkan Hajar diminta untuk menunggu di bawah.
Dalam perjalanan ke atas bukit di Mina itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan, lagi-lagi merayu agar membatalkan niat kurban itu. Tetapi, Ibrahim sekali lagi melemparinya dengan bebatuan sampai setan itu pergi. Dan begitulah lagi sampai kali yang ketiga. Kelak, pelemparan batu terhadap setan itu dikenang sebagai lempar Jumrah ,yakni Jumrah Aqabah, Jumar Wustho dan Jumlah Ula.

Suatu ujian yang nyata
Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpinya yang datang berturut-turut dalam tidurnya selama tiga hari. Betapa beratnya pergulatan batin yang terjadi dalam menyikapi perintah yang sangat berat itu.
Terjadi dialog yang sangat menyentuh hati, antara seorang Ibrahim yang saleh dengan anaknya,  Ismail yang santun dan penyabar.  Dan akhirnya mereka memutuskan untuk membenarkan mimpi tersebut sebagai ujian yang datang dari Allah.  Kisah itu dibadikan Allah dalam firman-firman-Nya pada QS. Ash Shafaat (37) ayat 100 sampai dengan 110
QS.37:100. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. ; 37:101. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. ; 37:102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". ; 37:103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). ; 37:104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, ; 37:105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. ; 37:106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. ; 37:107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. ; 37:108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ; 37:109. (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". ; 37:110. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Karena nabi Ibrahim (dan juga Ismail) telah menunjukkan ketaatan akan perintah-Nya dan berserah diri, maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengganti anaknya dengan seekor domba sebagai simbol ketaatan pengorbanannya.
Bagi kita yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji, maka sangat dianjurkan untuk berkurban seekor hewan berupa domba, sapi atau onta. Ibadah kurban itu sebagai symbol ketaatan kepada Allah, meneladani ketaatan nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra kesayangannya meski akhirnya diganti dengan seekor domba.
Berkorban dengan seekor domba atau sapi bukanlah sesuatu yang berat dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang kita cintai, berupa harta, kekayaan, dan sebagainya. Apalah artinya bila dibandingkan dengan harus mengorbankan anak yang sangat dicintainya.


Keluarga Ibrahim adalah keluarga teladan yang kisahnya diabadikan Allah sampai akhir zaman. Khususnya, berupa ritual haji yang bermula dari Arafah dan kemudian berakhir di bukit Marwah, di Mekah.  Keduanya diabadikan-Nya sampai akhir zaman sebagai ikon hamba yang berserah diri kepada-Nya.

Selasa, 29 Agustus 2017

Mertua Langka

_“Mah, ada nenek datang.” Suara anakku terdengar sampai ke dapur._
_“Mampus dah gue, ibu mertua datang aku nggak punya apa-apa. Beras habis, kulkas kosong, apa yang akan aku katakan padanya.”_
_Saat suamiku masih bekerja aku selalu mengiriminya uang. Pun saat suamiku dipecat saat pandemi aku tetap mengiriminya uang hasil aku jualan dagangan orang lain dan hasil ngojek suamiku, agar ibuku tidak tahu anaknya sedang susah._
_Biarlah ibu mertuaku tahunya kami hidup enak terus._
_“Eh ibu, mari masuk, Bu...” aku bawakan tasnya ke dalam kamar setelah aku salim._
_Anakku pun salim dan langsung mengajak neneknya bermain di depan._
_Sepertinya mertuaku akan menginap lama, karena tas yang dibawa agak banyak._
_“Sebentar ya Bu, Nisa bikinin minum dulu.”_
_Saat itulah kesempatan aku lari ke warung._
_“Teteh mau ngebon dulu ya, nanti saya bayar kalau mas Wawan udah pulang.”_
_“Iya, Mbak selow aja.”_
_Untung teteh warungnya orangnya baik banget. Aku ngebon beras, minyak, gula, teh, kopi._
_“Teh, nanti yang ambil mas Wawan ya, saya nitip dulu.”_
_“Siap Mbak.”_
_Tak lupa aku kirim pesan ke mas Wawan._
_[Mas, nanti ambil belanjaan di warung Teh Murni, aku ngebon dulu, ibu kamu datang, sebelum pulang copot dulu jaket ngojek kamu ya, pura-pura kamu pulang kerja terus habis belanja juga]._
_[Ok]_
_Aku lalu pulang lewat pintu belakang dan membuat minum untuk ibu mertuaku, aku gorengin pisang kebetulan kemarin dikasih sama yang punya kontrakan._
_“Ayo Bu diminum dulu sama goreng pisang mumpung anget.”_
_“Iya, gimana keadaan kalian? Ibu mau nginep di sini seminggu boleh ya? Lagi jenuh di rumah.”_
_“Iya boleh, Bu.”_
_Itu artinya aku sama mas Wawan harus acting selama seminggu._
_“Wawan belum pulang kerja ?”_
_“Sebentar lagi Bu, tuh dia.”_
_Mas Wawan pulang dengan membawa belanjaan yang tadi aku bon di warung, dia juga membeli soto ayam Sokaraja kesukaan ibu mertua dan tentunya pulang tanpa jaket ojek._
_Ibu mertua tampak bangga banget melihat anaknya pulang kerja membawa belanjaan. Sementara aku sibuk whatsApp teman untuk meminjam uang, karena seminggu di rumah artinya aku harus punya stok uang yang banyak._
_Alhamdulillah aku dapat pinjaman dari ibu kontrakan. Sebenarnya bukan pinjaman tetapi aku mengambil lagi uang yang udah aku bayarkan untuk kontrakan sebulan separuh. Aku janji akan menggantinya setelah aku dapat komisi dagangan orang._
_Selama seminggu mas Wawan selalu berangkat dengan baju rapih dan pulang saat jam kantor juga pulang, agar ibu tidak curiga._
_Aku pun masak makanan yang enak-enak agar ibu tahu anaknya tak susah di rantauan._
_“Enak nih kalau ada nenek, makannya enak-enak mulu!” ujar anakku polos._
_“Emang biasanya makannya nggak enak ?”_
_Aku senggol anakku agar menengok lalu aku kedipin mataku._
_“Enak sih, tapi lebih enak kalau ada nenek,” jawab anakku setelah aku kedipin._
_Aku takut dia jujur bahwa selama pandemi makannya seadanya yang penting masih tiga kali sehari._
_“Wan, itu kasur kamu keras banget, ibu sakit badannya, beliin kasur inoac dong biar nyaman tidurnya.”_
_Aduh, uang dari mana buat beli kasur dadakan, padahal itu aku udah ngalah tidur di kasur lantai. Akhirnya aku mendatangi tukang kredit yang bisa kasih kasur dengan sistem arisan bulanan._
_Aku sama mas Wawan izin pergi bilang mau beli kasur padahal aku ambil di tukang kredit, yang penting ibu bisa tidur nyaman._
_“Asik kasur baru, aku tidur sama nenek lagi ya ?” ujar anakku kegirangan._
_Ibu mertuaku terlihat bangga banget dengan anaknya yang bisa memenuhi keinginannya. Pagi-pagi sebelum mas Wawan berangkat._
_“Wan, ibu pengen banget makan steak yang kata orang-orang dagingnya empuk itu loh.”_
_“Iya Bu nanti pulang kerja Wawan bawain.”_
_Mas Wawan bicara padaku tentang keinginannnya. Aku kasih persediaan uang yang aku punya._
_“Beliin aja Mas, belum tentu besok-besok dia kepengin.”_
_Aku selalu menuruti apa pun keinginan mertuaku, bagaimana pun dia sudah melahirkan dan membesarkan mas Wawan, giliran anaknya sudah dewasa malah menghidupi aku yang jelas-jelas orang lain makanya aku merasa perlu membalas budi._
_Selama di kontrakan ibu sering aku tinggal pergi karena aku harus mengantar dagangan pesanan orang menggunakan sepeda._
_Ibu tidak keberatan karena ada anakku yang menemaninya._
_“Pokoknya ibu jangan ngapa-ngapain ya, jangan megang kerjaan apa pun, tunggu saya pulang ya bu, Nisa antar dagangan dulu.”_
_“Iya hati-hati, Nis.”_
_Saat malam hari kita lagi ngobrol-ngobrol._
_“Wan, besok kamu kan libur, ibu pengin jalan-jalan ke pantai sambil makan ikan bakar, enak banget kayanya.”_
_Aku dan mas Wawan saling pandang, harus ke mana lagi aku pinjam uang._
_“Iya Bu besok kita jalan ya ?” ujarku. Sekarang ibu istirahat ya biar besok seger, pantainya agak jauh soalnya,” lanjutku._
_Setelah ibu tidur aku dan mas Wawan sibuk mencari pinjaman, akhirnya aku gadaikan cincin lima gram mahar menikah dulu, nanti aku tebus, yang penting saat ini aku dapat uang._
_Esoknya aku pesan taksi online menuju pantai, melihat ibu bahagia rasanya aku dan mas Wawan pun ikut bahagia, belum tentu ketika kita banyak uang ada kesempatan menyenangkan beliau._
_Seminggu sudah ibu mertuaku di kontrakanku. Saatnya ibu pulang, aku membelikannya tiket untuk pulang dan tak lupa aku memberinya uang untuk pegangan._
_Aku dan mas Wawan mengantar sampai pool bis jurusan kota asal kami._
_“Hati-hati ya bu, handphone jangan sampai nggak aktif, kabari kalau ada apa-apa, kalau sudah sampai juga kabari ya, Bu,” ujarku khawatir._
_Aku catat nomer Bis, takut ada apa-apa aku bisa melacaknya._
_Aku pulang dengan mas Wawan dan langsung berhitung hutang yang harus aku bayar dan jumlahnya tidak sedikit._
_“Maafkan ibu ya, Nis,” ucap mas Wawan merasa bersalah._
_“Ngapain minta maaf Mas, ibumu ya ibuku juga, smoga Allah memberi kita jalan keluar untuk membayar hutang-hutang ini.”_
_Saat aku membersihkan kamar, aku melihat ada kertas di meja dan sebuah amplop._
_‘Untuk anakku dan menantuku yang tukang bohong’_
_Terima kasih sudah membahagiakan ibu selama tinggal di tempat kalian. Semoga Allah memberkahi hidup kalian._
…………Tertanda…………
_Ibu dan mertua kalian._
_Aku membacanya keras-keras membuat aku dan mas Wawan menahan tangis._
_Aku buka amplop di bawah kertas tadi. Ada uang lima juta di dalamnya. Seketika aku menangis._
_“Ibuuuu.... “_
_Mas Wawan pun menangis._
_“Maafkan Wawan, Bu.”_
_Aku segera menuju warung teh Murni mau membayar hutang sembako kemarin._
_“Loh sudah dibayar sama ibu mertua mu Mbak, kemarin beliau ke sini di antar sama Adi anakmu.”_
_“Ya Allah.”_
_Aku pun bergegas ke ibu kontrakan mau melunasi bayaran kontrakan._
_“Udah nggak usah, ibu mertuamu sudah melunasinya, malah itu kontrakanmu sudah dibayar setahun.”_
_Aku terduduk lemas._
_“Ya Allah ibu maafkan menantumu sempat mengeluhkan kedatanganmu.”_
_Aku pulang dan menceritakan kepada mas Wawan. Dia pun menangis dan berlari mengambil handphone._
_Segera dia telpon ibunya yang baru saja menuju pulang._
_Tetapi mas Wawan tak bisa bicara apa-apa dia hanya menangis di telfon._
_[Sudah jangan menangis, ibu nggak pernah mengajari anak ibu berbohong tetapi kali ini kebohongan anak dan menantu ibu sungguh membuat ibu bahagia]._
_[Makasih ya Bu ...]_
😭😭😭
*****
“Seseorang datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Ibumu!’
Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Lalu siapa lagi?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Ibumu!’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Lalu siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Ayahmu.”
(HR. Bukhari Muslim).
*****

Rabu, 23 Agustus 2017

4 Kitab Agama


KITAB TAURAT

Kitab Taurat telah diturunkan oleh Allah SWT  kepada Nabi Musa AS. dalam
bahasa Ibrani.
Dalam Kitab Taurat ini terkandung hukum syarak (yang berkaitan dengan perbuatan manusia) dan keyakinan yang betul. Ia juga menerangkan bahwa seorang nabi akhir zaman (Muhammad SAW.) akan lahir dari keturunan Nabi Ismail AS.
Kitab Taurat yang asli tidak ditemui lagi pada masa sekarang karena isinya telah dirubah dan ditambah oleh orang-orang yahudi.

KITAB ZABUR


Kitab Zabur telah diturunkan oleh Allah SWT  kepada Nabi Daud AS. dalam
bahasa Qibthi.
Kitab Zabur tidak mengandung hukum perundangan. Kandungannya hanya mengenai dakwah, cerita, zikir, doa serta hikmah-hikmah. Oleh sebab itu Nabi Daud tidak mempunyai syariat tersendiri, ia dan umatnya hanya mengikut syariat yang dibawa oleh Nabi Musa.

KITAB INJIL


Kitab Injil diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Isa AS. dalam
bahasa Suryani.
Diantara kandungannya yang utama ialah menyeru umat manusia agar mengEsakan Allah SWT. Kitab Injil juga memberitakan akan kelahiran seorang nabi dan rasul diakhir zaman yaitu Nabi Muhammad sSAW. Orang-orang Yahudi telah mengingkari akan kebenaran Allah SWT.
Mereka telah menghimpunkan kitab-kitab ini menjadi satu yang diberi nama "Bible" kemudian mereka ubah isi kandungannya mengikut kehendak hati mereka agar disesuaikan dengan kehidupan mereka seharian.
Bible ini terbagi kepada dua bagian besar. Pertama bagian Taurat yang dinamakan dengan Perjanjian Lama (Old Testament), dan kedua bagian Injil yang dinamakan dengan Perjanjian baru (New Testament).

KITAB SUCI AL QURAN


Kitab suci Al Quran adalah sebuah kitab yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam
Bahasa Arab. Al-Quran diturunkan untuk menyempurnakan wahyu-wahyu Allah dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu Taurat (Nabi Musa), Zabur (Nabi Daud) dan Injil (Nabi Isa)
Di dalam Al Quran mengandungi hukum-hukum serta peraturan yang lengkap meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, sama ada untuk mencapai kemakmuran hidup di dunia maupun untuk kebahagiaan hidup di akhirat.
Ajaran yang disampaikan di dalam Al Quran sesuai untuk seluruh umat manusia dipermukaan bumi ini tidak mengira bangsa dan keturunannya.
Ajaran yang termuat di dalam Al Quran lengkap dan sempurna, ia tidak akan berubah dan kekal selama-lamanya bahkan ia tetap dipelihara oleh Allah SWT.

Antara 4 Pilar Umat & 4 Pilar Bangsa


Kali ini kita coba untuk mengenal golongan Islam lebih jauh dengan memahami bagaimana cara memperkuat masyarakat Islam. Teori ini disarikan dari sebuah hadist Rasulullah yang bisa kita kenal sebagai “Empat Pilar Umat Islam” yang isinya berbeda dengan Empat Pilar Kebangsaan-nya golongan nasionalis. Adapun keempat pilar itu adalah:
“Sabda Rasulullah SAW, tegaknya Negara ditunjang empat pilar. Pertama bi’ilmil ulama (dengan ilmu ulama), kedua bi-adillatil umaro (dengan keadilan para pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa), ketiga bisaqoowatil aghniyaa (peran para aghniya/orang-orang kaya), keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin (doanya orang-orang lemah).”
Bagaimanakah cara kita membumikan pesan Nabi itu? Jika tidak ada pemuda muslim yang melakukan penerjemahan bukan mustahil bila petunjuk Rasul ini akan menjadi nasihat sambil lalu saja. Adalah tugas kaum revousioner Islam untuk menilaigunakan hadist ini agar bisa dipakai dalam perpolitikan golongan Islam. Hal penting dari pemaknaan hadist ini adalah penghapusan ‘asosiasi simbolik’ yang sebelumnya sudah tertanam dalam benak kita bahkan sebelum kita mendengar sabda Rasul ini. Berikut ini akan diterangkan apa itu asosiasi simbolik yang harus dihapus dalam penjabaran masing-masing pilar di atas.
Pilar pertama bi’ilmil ulama
Bila mendengar kata ulama, asosiasi simbolik dalam pikiran kita akan otomatis menunjuk pada sosok orang bersorban yang bekerja mengurus pesantren dan sibuk menghafal Al Quran. Artinya, jika kita menilai diri kita bukan ulama, bukan ustad, maka saya tidak termasuk pilar pertama. Inilah kesalahan pertama. Kita harus menterjemahkan bi’ilmil ulama sebagai ilmu pengetahuannya orang berilmu. Artinya siapapun yang merasa berkepentingan menambah ilmunya demi kualitas hidupnya maka secara bersamaan ia tergolong dalam pilar pertama. Tidak cuma ulama dan ustad namun mereka dari pilar-pilar lainnya juga bisa termasuk dalam pilar pertama ini. Seorang amir umaro tidak mungkin menegakkan keadilan jika ia tidak punya pengetahuan tentang menjalankan organisasi dan pemahaman atas anggotanya. Seorang aghniya tidak akan berguna jika ia tidak punya ilmu soal bagaimana memperoleh dan menafkahkan hartanya secara halal dan benar. Demikian pula seorang dhuafa tidak akan memperoleh jalan untuk merubah nasibnya tanpa ilmu. Singkat kata dapat dikatakan kalau semua ilmu yang ditunjukkan Allah kepada kita, entah itu ilmu agama, sains, ilmu sosial, maupun ilmu keterampilan pasti berguna untuk menegakkan negara. Selama kita bersedia mempelajari ilmu karena kegunaannya maka kita tergolong pilar pertama masyarakat Islam.
Pilar kedua bi-adillatil umaro
Asosiasi simbolik kita akan menunjuk pada sosok berjas yang menjadi pemimpin/pejabat/pemerintah/penguasa negara ini. Hal ini tidak berlaku jika kita sadari konsep kepemimpinan itu berjenjang dan bisa dipecah ke dalam tingkat nukleus dasar. Semua tingkat kelompok organisasi butuh kepemimpinan dan setiap kepemimpinan diharuskan paham apa itu adil. Keadilan dibutuhkan semua tingkat kelompok manusia demi keutuhan kelompok itu sendiri. Situasi tidak adil dalam suatu kelompok manusia akan menimbukan ketidakpercayaan pada anggota kelompok lainnya dan ketidakpercayaan kepada pemimpin kelompok. Bila sudah demikian, situasi tidak adil akan menyebabkan anggota tidak nyaman dan berusaha untuk memisahkan diri dari kelompok. Organisasi seperti itu akan kehilangan persatuan dan niscaya akan bubar. Segala bentuk kepemimpinan entah itu pemimpin kantor, pimpinan perkumpulan, bahkan sebuah keluarga selalu butuh keadilan kepala rumah tangganya. Semua orang selama memikul tanggung jawab atas orang lain dalam kepemimpinannya adalah pilar kedua masyarakat Islam.
Pilar ketiga bisaqoowatil aghniyaa
Banyak para pihak bahkan para ulama fiqih sendiri melakukan asosiasi simbolik atas para aghniya sebagai orang-orang kaya/para konglomerat yang memberikan kontribusi kepada pemerintah negara. Umat Islam yang merasa bukan konglomerat, yang merasa penghasilannya pas-pasan akan menganggap mereka uzur sebagai aghniya. Inilah bentuk kesalahan berikutnya. Pengertian aghniya harus diperluas menjadi orang yang memiliki harta, sesedikit apapun selama ia sadar Allah telah memberikan harta kepadanya. Dari sini mekanisme sedekah bekerja dalam masyarakat Islam. Kita tidak perlu menunggu jadi kaya terlebih dulu sebelum menyumbang baitul maal. Sekecil apapun pendapatan kita, selama kita menyadari pentingnya bersedekah, entah itu melalui zakat maupun infak, akan menggugah kita menyisihkan sebagian harta kita demi kepentingan ad Diin (agama). Setelah menyisihkan harta untuk kepentingan Islam mungkin kita akan berpikir betapa sedikitnya hak yang kita terima selaku pemilik harta. Barulah disadari betapa konsepsi kebutuhan itu sesuatu yang amat ulet (fleksibel). Di tengah kesempitan materi, kita tetap bisa memenuhi kebutuhan kita secara wajar dengan pola hidup amat sederhana (austerity). Tradisi asketik malah berkesesuaian dengan sikap kaum Revolusioner Islam yang zuhud. Dalam Islam sendiri kita kenal bahwa muslim yang mau berjihad dengan jiwa dan harta mereka akan mendapat ganjaran surga. Ini berkebalikan dengan pengertian aghniya sebagai orang-orang kaya. Sebelum merasa kaya atau berkelebihan harta orang akan enggan bersedekah membantu keuangan masyarakat Islam. Ini bisa menimbulkan gejala ke-bakhil-an. Jiwa yang selalu mengejar status kekayaan akan selalu cenderung menaikkan batas harta yang terkumpul. Dia selalu merasa dalam kekurangan karena belum semua keinginannya terpenuhi sementara apa yang ia inginkan selalu ditambahkan ke dalam daftar keinginan tanpa henti. Karena status ‘kaya’ belum pernah tercapai sebanyak apapun harta yang dikumpulkan, ia tidak akan pernah merasa perlu untuk bersedekah ke baitul maal.
Pilar keempat bidu’aail fuqoroo-i wal masaakiin
Bila kita mendengar istilah dhuafa, asosiasi simbolik kita langsung menunjuk pada sosok miskin atau golongan yang berkondisi di bawah kita. Padahal tidak demikian. Kalau kita punya pandangan bahwa selalu ada yang lebih baik dari kita, selalu ada manusia lain yang lebih baik dari kita maka akan terbentuk pikiran bahwa kita selalu dalam posisi lebih lemah. Atau katakanlah bila kita makhluk terbaik di muka bumi, masih ada Allah di atas kita selaku dzat terbaik. Artinya kita ini sebenarnya senantiasa dalam posisi dhaif, pada dasarnya kita dhuafa. Pemikiran macam ini harus dianut oleh setiap diri Revolusioner Islam sebagai prasyarat untuk hidup rendah hati sekaligus menjauhkan diri dari kesombongan (takabur) yang membuat-buat sistem derajat dalam masyarakat. Dalam kesadaran sebagai dhuafa, setiap doa yang kita panjatkan adalah doa yang bermakna bagi kehidupan umat. Terutama doa mengenai nasib kaum mukmin, doa tentang masa depan umat Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan lagi kalau doa yang menyangkut nasib banyak orang, yang dipanjatkan oleh kaum yang menyadari ke-dhaif-annya, doa yang penuh harap kepada Allah, akan menjadi salah satu pilar umat sebagaimana maksud hadist di atas.
Dari ulasan singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa perluasan arti yang dianjurkan kaum Revousioner Islam malah berpotensi menyatukan umat muslim dan menjadikan semua orang bisa mengambil peran dari nasihat Rasulullah tersebut. Coba bayangkan sebaliknya jika kita tidak melakukan perluasan arti. Akan kita dapati orang-orang yang berpikir sempit dan simplistik macam: “Saya bukan kyai ulama karena tak punya pesantren sehingga bukan pilar pertama, saya bukan pemimpin atau pejabat sehingga tidak perlu adil seperti pilar kedua, saya juga bukan aghniya karena bukan konglomerat bahkan penghasilan saya pas-pasan, tetapi saya bukanlah dhuafa karena saya bukan gelandangan miskin!” Jika ada yang berpikir demikian maka ia merasa tidak termasuk keempat pilar umat dan tidak mengambil peran apa-apa atas kehidupan masyarakat Islam. Dengan kata lain, nasihat baginda Rasulullah tentang empat pilar umat bisa sia-sia karena sikap ‘asosiasi simbolik’.
Pembedaan empat pilar umat ternyata mutlak dalam teori namun harus cair dalam kenyataan. Sudah menjadi tugas kaum revolusioner untuk membaurkan pembagian itu hingga tidak ada kesenjangan dan mewujudkan hadist itu dalam realitas umat. Masyarakat Islam harus cinta ilmu pengetahuan karena yakin hanya dengan jalan itulah kualitas hidup dapat ditingkatkan, dan tatanan negeri bersendi syariat bisa didirikan. Kemudian keadilan adalah saudara kembar dari kepemimpinan. Persatuan umat akan terancam tanpa keadilan karena tiada kelompok manusia yang bisa selamat tanpa menegakkan keadilan. Dengan bersedekah dibangun kesadaran untuk membentuk perbendaharaan harta bersama. Semua level organisasi terjamin pemenuhan kebutuhan materinya lewat kas bersama atau baitul maal. Sedekah juga mempererat persatuan (solidaritas) antar anggota kelompok sekaligus cermin keadilan sang pemimpin. Lalu akhirnya semua amalan duniawi itu harus disampaikan maksudnya kepada Allah lewat doa yang penuh kerendahan hati. Jadi fungsi Empat Pilar Umat sangatlah jelas: ilmu untuk berkembang, adil untuk utuh bersatu, urunan harta untuk bertahan hidup, dan doa untuk pelihara harapan kepada Allah.
Sekarang akan kita coba selidiki Empat Pilar Kebangsaan yang belakangan gencar disosialisasikan kepada seluruh komponen rakyat indonesia. Empat pilar bangsa adalah konsep tambahan dalam suatu ‘paham kebangsaan’ mengenai unsur-unsur yang dianggap mampu menopang tegaknya ide eksistensi bangsa Indonesia. Menurut konsep ini keempat pilar itu adalah: Undang-Undang Dasar 45, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UUD 45 dipandang sebagai suatu landasan yuridis formal untuk semua tindakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Semua aktifitas berbangsa harus merujuk pada aturan hukum ini.
Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang dianut, diakui, dan yang boleh hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tercantum dalam lambang negara Indonesia. Dicantumkannya semboyan ini sebagai pilar bangsa karena kedudukannya sebagai dasar sosiologis dalam pergaulannya bangsa Indonesia.
NKRI dipandang sebagai satu-satunya wujud fisik atau realitas bangsa Indonesia. Yaitu menunjuk pada suatu bangsa yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara, diantara dua samudera dan diantara dua benua.
Sebagai kaum yang menghargai pihak lain dan tidak anti perdebatan obyektif, kami selaku Revolusioner Islam punya pandangan lain atas konsep Empat Pilar Bangsa. Adapun pandangan itu adalah:
  • Bangsa Indonesia tidak homogen. Ini bukan pengulangan pernyataan salah satu pilar soal ke-bhinneka-an tetapi penegasan kalau cara pandang diatas dibangun atas asumsi ide ‘bangsa Indonesia’ sudah solid, sudah utuh, dan final. ‘Bangsa Indonesia’ adalah ‘mereka yang nasionalis’. Mereka yang tidak nasionalis dianggap sudah menyimpang dari ide bangsa Indonesia. Realitasnya sampai sekarang adalah bangsa Indonesia tidak semuanya berpaham nasionalis. Secara de facto ada golongan Islam sebagai salah satu golongan dominan dalam ‘bangsa Indonesia’. Kamipun menghormati eksistensi kaum nasionalis dan kaum sosialis di dalam konsep kebangsaan ini.
  • Pancasila bukan ‘ideologi bersama’ bahkan tidak bisa jadi ideologi karena ketidaklengkapannya. Sesuai wujudnya, Pancasila harus bisa diperas menjadi Trisila yang menunjuk pada ‘subjek orisinal’ kekuatan politik bangsa Indonesia, yang kemudian bisa diperas lagi menjadi Ekasila yang menunjuk pada ‘objek yang dikerjakan ketiga kekuatan politik bangsa’ yakni Gotong-royong. Dari sini jelas bahwa Pancasila lebih memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian daripada sebagai sebuah ideologi. Perjanjian antara golongan Nasionalis, Islam, dan Sosialis. Perjanjian yang berisi pengakuan ideologi-ideologi yang dianut ketiga golongan. Logika gotong-royong adalah aktifitas yang dilakukan oleh subjek jamak, sehingga mustahil dikerjakan oleh ‘mereka yang nasionalis saja’.
  • Konsep bhinneka harus merujuk pada pluralitas bukan pluralisme. Pluralitas adalah kondisi sementara pluralisme adalah aktifitas. Pluralitas itu diam sementara pluralisme itu dinamis. Kami harus menolak pluralisme karena wujudnya berupa ajaran, tentu saja ajaran yang diusung sang subjek. Bisa saja ajarannya kaum nasionalis atau kaum internasionalis (sosialis), bahkan ajarannya golongan liberal. Yang jelas ini bukan ajaran kami dan kami secara tegas tidak perlu menyemaikan ajaran golongan lain di tubuh golongan Islam. Bagi kami, pluralitas punya starting point, punya titik mula yang lebih netral. Pluralitas ialah pengakuan atas kenyataan kalau Indonesia dihuni oleh kelompok manusia yang memiliki perbedaan prinsipil, termasuk perbedaan konsekuensi politik yang menyertainya. Golongan Islam punya kebebasan untuk memberi cara pandang dan penilaian atas pluralitas Indonesia. Demikian pula golongan lain juga punya hak yang sama atas pluralitas Indonesia. Penilaian kami adalah bahwa tiada konsep ‘unity through diversity’ sebagaimana diterjemahkan banyak pihak pada ke-bhinneka-an. Persatuan tak bisa diperoleh dari inventarisasi banyaknya perbedaan. Sebaliknya, secara alami persatuan cuma bisa diperoleh dari persamaan. Persamaan cara pandang atas suatu hal. Menambah panjang daftar perbedaan hanya akan memperparah disintegrasi sosial, yang berujung pada banyaknya variasi konflik. Perbedaan suku dan etnis tidak perlu lagi ditampilkan karena sudah diatasi evolusi paham nasionalis dari ‘nasionalisme fisik’ menjadi ‘nasionalisme sosiologis’ berupa Marhaenisme. Sementara perbedaan agama juga sudah sampai pada realitas bahwa umat Islam menjadi kekuatan paling dominan di negeri ini sehingga aspirasi umat agama minoritas harus berafiliasi pada kekuatan politik dominan lainnya, atau bahkan berafiliasi pada keadilan yang diberikan politik Islam. Kami selalu terbuka untuk hal itu. Menunjuk pluralitas sebagai ‘kumpulan begitu banyak perbedaan’ adalah berpikir mundur karena cuma kembali menampilkan proto-nasionalisme yang sudah diatasi sebelumnya. Sesungguhnya perbedaan itu sudah mengerucut pada tiga kekuatan yang diwakili dalam Trisila, yang diidentifikasi Soekarno sebagai Nasakom.
  • Memandang Empat Pilar Kebangsaan sebagai harga mati adalah penutupan pintu dialog yang menyebabkan golongan Islam seperti kami merasa diabaikan. Pandangan bahwa bangsa Indonesia itu hanya terdiri dari golongan nasionalis saja adalah ilusi congkak yang menganggap golongan kami sudah ‘diatasi’. Kaum nasionalis masih harus banyak berkompromi dengan golongan lain seperti kami maupun kelompok sosialis. Bukannya malah melenggang naik podium sambil mengaku sebagai ahli waris tunggal NKRI. Kami tak akan punah hanya karena diabaikan, dan tak akan sudi ditaklukkan tanpa pertarungan. Pencampuran ideologi seperti jargon ‘nasionalis relijius’ akan tak berguna samasekali karena mencurangi pengabdian dan kesetiaan, bahkan mengingkari siapa sebenarnya diri kita. Perlakuan macam ini tidak bisa diterima kaum Revolusioner Islam dan akan dianggap sebagai penghinaan.
  • Bagi kebanyakan awam rakyat Indonesia, konsepsi Empat Pilar Bangsa ini hanya menjejali teori filsafat Pancasila yang sebelumnya sudah rumit menjadi berputar-putar tanpa tujuan. Sungguh aneh bila kita berusaha memberi penerangan namum malah mempersulit keinsyafan.
Apabila telah memahami perbedaan yang diuraikan di atas, kini kaum Revolusioner Islam punya hujjah (argumen) untuk menolak Empat Pilar Bangsa dan secara bersamaan menjadikan Empat Pilar Umat sebagai miliknya umat Islam di negeri ini. Tujuan Empat Pilar Umat jauh lebih mudah dipahami yaitu untuk mengetahui unsur utama umat Islam bisa dibangkitkan di belahan dunia manapun ia berada: Pengetahuan, Keadilan, Harta, dan Doa. Sementara konsep Empat Pilar Bangsa masih dibangun di atas asumsi-asumsi keliru pada sosok bangsa Indonesia. Konsep yang tidak dibangun di atas realitas jelas tidak akan bisa bertahan karena berfungsi tak lebih daripada fantasi atau takhayul. Kaum Revolusioner Islam sebenarnya punya kesadaran soal ‘kebangsaan Indonesia’ dengan penjelasan yang jauh lebih sederhana. Kebangsaan Indonesia adalah kerjasama, adalah gotong-royongnya kekuatan-kekuatan ideologis yang hidup di dalam negeri Nusantara itu sendiri. Kami tidak akan mungkin bekerjasama jika kami tidak diakui. Kami adalah kelompok yang hidup dengan kebudayaan Islam, yang menginginkan syariat Islam sebagai way of life-nya, yang merumuskan kemajuannya dengan Revolusi Islamnya sendiri. Pemaksaan yang menginginkan kami berideologi dengan ideologi selain Islam adalah penghianatan sesungguhnya atas persatuan bangsa. Dan hanya dengan pengakuan atas semua itu sajalah kaum Revolusioner Islam bersedia bekerjasama dengan komponen bangsa Indonesia lainnya.(Goy)
Wallahu a’lam bishawab’
Posted by Nyala