Kamis, 30 Mei 2019

Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak tercantum dalam Al Quran maupun hadis (dilakukan oleh orang yg berilmu).

Tidak semua persoalan dalam muamalah diatur dlm Al-quran maupun hadis.

Al-quran dan hadis hanya mengatur hukum secara garis besar, sedangkan masalah teknis pelaksanaannya diatur dlm ijtihad para ulama.

Fungsi utama dari Ijtihad adalah untuk menetapkan suatu solusi hukum atas suatu masalah yang belum ada dalilnya di dalam Al-quran dan hadits.

Jadi ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-quran dan hadis.

Misal:

1.  Penentuan I Syawal dan awal Ramadhan dg teknologi yg canggih

2.  Persoalan hukum terhadap bayi tabung

3. Bagaimana cara manusia melaksanakan shalat dan puasa di wilayah yg waktu siang dan malam tdk menentu (negara2 skandinavia)

4. Bisakah membayar zakat fitrah dg beras atau uang

5. Berapakah besaran zakat penghasilan bagi advokat atau pebisnis on line.

6. Sahkah membersihkan najis yg menempel di badan dg sabun

7. Hukum minuman beralkohol, spt bir, minuman soda, air tape, dsb.

8. Dan masih banyak lagi

Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan Mujtahid dimana orang tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.

Adapun beberapa manfaat Ijtihad adalah sebagai berikut ini:

•     Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui hukumnya.

•     Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan keadaan, waktu, dan perkembangan zaman.

•     Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang tidak berhubungan dengan halal-haram.

     Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada hukumnya dalam Islam..

Selasa, 28 Mei 2019

Perusak Islam

Umar bin Khatab: ”Maa yahdinul Islam tsalasah”, yang merusak islam ada 3, yaitu:

1. Zallatul ’alim, Tergelincirnya ulama (tetapi tetap diikuti walaupun dia dalam keadaan salah).

2. Jidalul munafik bil Quran , Orang munafik tetapi mendebat orang yang diatas kebenaran dg memakai al-Quran (yang menguntungkan orang kafir)

3. Hakama ’aimatul mudillin (Berkuasanya pemimpin2 yg menyesatkan)


Note : Pendusta Agama

1. Kisah Syarifah Janda Miskin.
Diceritakan di dalam kitab Rasyafatus Shoodi, karya Alhabib Muhammad Alhaddar. Ada seorang Syarifah janda ditinggal wafat suaminya dan meninggalkan 3 orang anak perempuan.
Syarifah meminta pertolongan seorang guru besar Islam beserta para muridnya. Sang guru berucap: "berikan aku bukti bahwa kau janda miskin yang sengsara,"
Syarifah minta bantuan saudagar kaya, seorang Majusi (penyembah matahari).
Pada malam itu sang guru besar Islam bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat hari kiamat, dan melihat ada istana megah luar biasa di surga.  Kaum muslimin masuk surga atas perintah Rasulullah SAW. Akan tetapi Rasul berpaling muka atas sang guru besar Islam.
Maka Nabi SAW menjawab: "berikan aku bukti bahwa kau memang muslim!"   Kemudian Rasul SAW berucap: "Ingatkah engkau di dunia pernah berkata sedemikian pada cucuku". 
Sang guru besarpun menangis terisak-isak dan sangat menyesali perbuatannya. Barangkali ia merasa bahwa dirinya adalah Pendusta Agama


2.  Pendusta Agama
Pendusta agama dijelaskan oleh Al Qur’an pada surah Al-Ma’un, yaitu surat yang ke-107.  Tiga ayat pertama surah ini menjelaskan siapa yang termasuk sebagai pendusta agama, yaitu: (1) Araitalladzi yukaddzibu biddiin, (2) Fa’dzaalikal ladzii yadu’ul yatiim, (3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin.  Artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Pendusta agama adalah orang yang tidak peduli atau apatis terhadap anak yatim, dan fakir miskin (kaum dhuafa).
Kebanyakan orang hanya berhenti pada pemahaman siapa pelakupendusta agama, tetapi tidak sampai pada pemahaman apa konsekuensi” bagi pendusta agama.

3. Konsekuensi bagi Pendusta Agama
Menurut Prof. Dr. Hamka, hakekat pendusta agama adalah orang-orang yang “mendustai agamanya” atau “mengingkari pilar-pilar agama”.
Pilar agama Islam itu ada 5. Rasulullah Saw : buniyal Islamu ‘ala khomsin.” bahwa Islam dibangun di atas lima pilar utama,  yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.­
Jadi pendusta agama adalah orang yang mendustai pilar-pilar agama.
Bagi orang-orang yang tidak peduli (apatis) terhadap nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin (meskipun ia rajin shalat, rajin puasa, rajin dzikir, dsb) maka mereka adalah pendusta agama.   Ibadah shalatnya, zakatnya, puasanya, dan hajinya menjadi sia-sia,

4. Banyak kita yang pendusta Agama
Berdasarkan survei kebanyakan orang Islam sudah tahu dan hafal surat Al-Maun.  Tetapi ternyata hanya sedikit orang yang memahami dan mengamalkannya. 
Indikator tentang kepedulian terhadap nasib anak-2 yatim dan orang-orang miskin adalah dari pengeluaran Zakat Mal (harta), bukan zakat fitrah.  Zakat Mal merupakan sedekah harta yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5 persen dari penghasilan.
Hasil survei yang dilakukan oleh beberapa  mahasiswa di kota Medan, menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat menunaikan zakat (mal) hanya sebesar 3,21 persen.  Berarti orang yang tidak mengeluarkan zakat mal adalah 96, 79 persen. Dengan kata lain, diantara 100 orang hanya 3 orang  yang menunaikan zakat (mal). 
Bahkan Imam Besar Masjid Istighlal Jakarta, Prof. DR. KH Nasaruddin Umar menyebut bahwa terlalu pelit jika orang Islam hanya mengeluarkan zakat yang 2,5 persen, tanpa sedekah lainnya.

5.  Kesimpulan
Surat Al-Ma’un menjadi pelengkap bagi ayat-ayat dari surat yang lain dalam Al-Qur’an berkaitan dengan kewajiban manusia untuk peduli terhadap nasib anak yatim, dan fakir miskin (kaum dhuafa).
Orang yang tidak peduli atau apatis terhadap nasib kaum dhuafa disebut sebagai “Pendusta Agama”.
Konsekuensi bagi pendusta agama adalah ibadah shalatnya, zakatnya, puasanya, dan hajinya menjadi sia-sia, karena tak berdampak baik bagi akhlaknya.
Salah satu indikator tentang pendusta agama adalah seberapa besar seseorang mengeluarkan sedekah harta, yaitu zakat mal yang 2,5% dari rizki yang diperolehnya.
Hasil survei menunjukkan kebanyakan kita (96 persen) adalah pendusta agama, yaitu orang yang tidak menunaikan zakat mal.
Imam Besar Masjid Istighlal Jakarta, Prof. DR. KH Nasaruddin Umar menyebut bahwa jika orang Islam hanya mengeluarkan zakat yang 2,5 persen, tanpa sedekah lainnya ia terolong orang yang pelit.
Semoga uraian diatas bisa menjadikan renungan bagi kita. Apakah kita termasuk ke dalam golongan orang peduli terhadap nasib anak yatim dan kaum dhuafa, atau justru sebaliknya termasuk kedalam golongan orang yang mendustakan agama.
Astaghfirullah hal adzim.

*******


Pendusta agama” : Tahukah kamu orang yang mendustakan agama; Itulah orang yg menghardik anak yatim ;  Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
 (QS. Al Maun, 107 : 1-3)

Prof. Dr. Hamka  menjelaskan makna “pendusta agama” adalah meskipun ia rajin shalat, ia rajin puasa dan ia rajin melaksanakan ibadah lainnya, namun apabila ia yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan  orang miskin maka ketaqwaannya diragukan.

Tingkat ketaqwaan seseorang diukur dari seberapa besar kepeduliannya terhadap anak yatim dan fakir miskin. Banyak hadis nabi yang menyatakan bahwa untuk mengukur ketaqwaan seseorang adalah dari akhlaknya (prilaku sosial). 

Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas , ”Manusia yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala),  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)

Salah satu ciri orang yang bertaqwa antara lain adalah menafkahkan sebagian rizki.  Mereka yang bertaqwa, yaitu yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 2-3)

Ketika Rasulullah ditanya, ”Amal apa yang paling utama?”.  Nabi menjawab, ”Seutama-utama amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, yaitu melepaskannya dari rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan hutang-hutangnya.”  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)

Kamis, 23 Mei 2019

Panduan Iktikaf

1.  Pengertian Iktikaf.
a.  Iktikaf adalah berdiam diri dalam masjid dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b.  Orang yang beriktikaf disebut MUTAKIF
2.  Rukun iktikaf
a.  Niat  (apabila hanya berdiam diri di masjid tanpa berniat itikaf, maka ia tidak i’tikaf)
b.  Berdiam diri di dalam masjid (selain di masjid bukan iktikaf)
3.  Waktu Iktikaf
a. Waktu iktikaf : Tidak ada ketentuan (bisa dilakukan di malam atau di siang hari)
b. Lama waktu iktikaf : Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya  (lahzhoh), artinya boleh cuma sesaat.
c.  Waktu i’tikaf yang lebih afdhal, (sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah) adalah pada10 hari terakhir bulan Ramadhan, disaat turunnya Lailatul Qadar.
4.   Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, mutakif menyibukkan diri dengan melakukan amalan ibadah,  seperti:
a.  Berdzikir (tasbih, tahmid, takbir & tahlil),
b.  Beristighfar (memohon ampun kepada Allah)
c.  Berdo’a /bermunajad
d.  Membaca /tadarus Alquran
e.  Mengkaji Al Qur’an dan hadits.
f.  Membaca buku-buku agama.
g.  Shalat sunah
f.  Dimakruhkan : melakukan perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat apalagi tercela.
5.  Hal-hal yang membatalkan iktikaf
a.  Keluar masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.
b.  Jima’ (Berhubungan biologis suami istri)
c.  Haid dan nifas.
6.  Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif
a.  Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga ketenangan, kesucian dan kebersihan masjid.
b.  Menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama
c. Keluar dari tempat iktikaf untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil ke toilet.

Ajaran Islam tentang Hubungan Sosial


Ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial antar umat manusia, antara lain adalah:
·         Islam memerintahkan untuk hidup berdampingan dan menghormati pemeluk agama lain. (Qur’an 3: 159)
·         Islam tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain. (Qur’an 2: 256 ; 109: 6 ; 34: 25 ; 16: 125)
·         Islam memerintahkan untuk taat pada hukum aturan pemerintah (Qur’an 4: 59)
·         Islam memerintahkan bersikap toleran kepada sesama manusia (Qur’an 60: 8 & Qur’an 109: 6)
·         Islam memerintahkan bersikap baik terhadap tetangga, orang miskin, dan fakir miskin (Qur’an 4: 36).
·         Islam memerintahkan untuk senantiasa memperhatikan keadaan/nasib tetangga (hadits nabi).
·         Islam memerintahkan peduli terhadap nasib kaum ‘dhuafa’, yaitu fakir miskin, orang lemah dan yatim piatu (Qur’an 107: 1-3)
·         Islam menilai kemuliaan manusia bukan pada status sosial tetapi pada ketaqwaan (Qur’an 49:13).
·         Islam melarang sikap sombong dan angkuh (Qur’an 31: 18)
·         Islam melarang manusia hidup secara berlebih-lebihan (Qur’an 7: 31)
·         Islam melarang menumpuk harta  (Qur’an 9: 34-35).

Rabu, 22 Mei 2019

Beribadah Sampai Ikhlas

Beribadahlah sampai ikhlas, bukan menunggu ikhlas untuk beribadah

Bersedekahlah sampai kaya, bukan menunu kaya baru bersedekah

Pergilah ke masjid sampai tua, bukan menungu tua untuk pergi ke masjid

Kesalehan Sosial

1. Kisah Saad bin Abi Waqash, Pemuda Ahli Surga
Ada seorang lelaki Anshar, ia bisa dikatakan bukan sebagai ahli ibadah.  Shalat rawatibnya biasa saja. Shalat tahajut dan dhuhanya pun tidak tekun. Dzikirnya juga tidak nampak panjang.  Demikian pula dengan iktikaf dan puasa sunnahnya yang tidak kelihatan istiqamah.   Tetapi pemuda ini dikatakan oleh Rasulullah sebagai Ahli Surga.  Kenapa demikian?  Karena ia melakukan tiga amalan (sosial) istimewa.
Yang membuat Saad dikatakan oleh Rasulullah sebagai ahli surga BUKANLAH karena ia tekun shalat malam, rajin shalat dhuha, rajin iktikaf, dan sering puasa Sunnah. 
Tetapi Saad dikatakan oleh Rasulullah sebagai ahli surga disebabkan lantaran ia istiqamah melakukan tiga hal yaitu:  Ia selalu (1) bersikap jujur, (2) tidak menyakiti hati orang lain, dan (3) menjaga tali silaturahim.  Sedangkan amalan ibadah mahdhahnya, seperti shalat malam, shalat dhuha, puasa, dan iktikafnya ia lakukan biasa-biasa saja.

2.  Hablum Minallah dan Hablum Minannas
Dalam kisah diatas, sesungguhnya Saad bin Abi Waqash telah melakukan ibadah secara seimbang antara hablum minallah dengan hablum minannas.
Ibadah dalam Islam dibagi dalam dua dimensi, yaitu: ibadah Mahghah  (ibadah berdimensi ritual/individual) dan ibadah Ghair-mahdhah (ibadah berdimensi sosial).  Kedua dimensi ibadah tersebut harus dilakukan secara keseluruhan oleh setiap Muslim.  
Allah Swt memerintahkan kita agar beragama Islam secara kaffah (menyeluruh)Udkhulu fis-silmi kaffah (QS. Al Baqarah: 208), artinya “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”.  Tidak dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja,  sementara mengabaikan ibadah sosial. Demikian pula sebaliknya.  Ibadah ritual dan sosial harus dilaksanakan secara keseluruhan dan berimbang.
Allah SWT justru memerintahkan kita untuk berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas):  “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu  illaa  bi hablim minallahi  wa hablim minan naas  (QS. Ali Imran 112: Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).  
Dengan begitu maka Hablum Minannas itu sangat penting, karena ia sangat menentukan kualitas Hablum Minallah.    Shalat, puasa, dzikir, dan ibadah vertikal lain seharusnya berdampak baik terhadap ibadah sosial.  Tetapi ibadah vertikal tidak akan mempunyai nilai apabila ibadah sosialnya masih buruk. 
Allah ta’ala berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

3.  Akhlakul Karimah
Banyak hadis yang menyatakan bahwa untuk mengukur keimanan seseorang itu adalah diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari kesalehan individual (ibadah mahdhah).
Pertama.   Seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan bertanya dua pertanyaan, yaitu (1) siapakah orang yang paling diicintai Allah dan (2) amalan apakah yang paling dicintai Allah.   Rasulullah Saw menjawab :
(1) ”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia lainnya. Dan (2) Amal yang paling dicintai Allah adalah memasukan kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, atau menghilangkan kesusahannya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan kelaparannya. 
Kemudian Rasulullah Saw meneruskan sabdanya: "Dan sesungguhnya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi kebutuhannya itu lebih aku sukai daripada aku BERITIKAF di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan lamanya.”   (HR. Ath Thabrani 6/139, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/575).
Mencermati hadis nabi tersebut, maka ada 2 poin penting, yaitu:
a. Orang mukmin yang paling dicintai oleh Allah BUKANLAH orang yang rajin beribadah ritualnya (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi adalah orang banyak memberi manfaat bagi masyarakat (kesalehan sosial).
b. Amalan yang paling dicintai Allah adalah menolong saudara muslim yang mengalami kesulitan hidup.  Amalan itu  lebih baik daripada iktikaf di masjid Nabawi selama sebulan.

Kedua.  Dalam suatu hadis lain Rasulullah Saw bersabda, “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Dari dua hadits, diatas dapat disimpulkan bahwa orang mukmin yang ber- AKHLAK MULIA adalah yang : (1) BERMANFAAT bagi manusia lain, (2) suka MENOLONG kesulitan orang lain, dan (3) bersikap RAMAH terhadap sesama.
Misi atau tugas utama Nabi Muhammad diturunkan ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak. Rasulullah bersabda : Innama Buits’tu Li Utammima Ma Karimal Akhlak (Sesungguhnya aku diutus oleh Allah tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak. - HR. Ahmad & Baihaqi). 

4.  Akhlak Ukuran Tingkat Keimanan
Tingkat keimanan seseorang diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. 
Pendusta Agama. Dalam al-Qur’an, Allah SWT mencap bagi orang-orang yang tidak peduli terhadap nasib fakir miskin sebagai  pendusta agama”.  Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin    fadzaalikalladzi  yadu’ – ’ulyatiim   walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin  (QS. Al-Ma’un: 1-3), artinya:  ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”   
Prof. Dr. Hamka memaknai “pendusta agama”  adalah orang yang mendustai agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai zakatnya, mendustai puasanya, juga mendustai ibadah hajinya. Karena ibadah spiritual yang ia lakukan (shalat, zakat, puasa, dan haji) tidak berdampak baik pada ibadah sosialnya, yaitu tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan  orang miskin.
Manusia yang paling baik.  Banyak hadis yang menyatakan bahwa untuk mengukur keimanan seseorang itu adalah dari akhlaknya (prilaku sosial).  Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas ”Manusia yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala),  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Amal yang paling utama. Ketika Rasulullah ditanya, ”Amal apa yang paling utama?”.  Nabi yang mulia menjawab, Seutama-utama amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, yaitu melepaskannya dari rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan hutang-hutangnya.”  (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Sedekah ciri orang bertaqwa. Salah satu ciri orang yang bertaqwa antara lain adalah menafkahkan sebagian rizki.  ”Hudallil muttaqiin – alladziina yu’minuuna bil ghaibi - wa yuqiimuunash shalaata- wa mim maa razaqnaahum yunfiquun”  (QS. Al-Baqarah: 2-3), artinya: ”(Al Qur’an) merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Jadi tingkat keimanan seseorang itu, justru diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata.  Namun kita sering mengukur ketaqwaan seseorang dari ritualnya ketimbang sosialnya.   Prof.  Mukti Ali : Orang-orang Muslim banyak yang lebih peka terhadap masalah-masalah ritual keagamaan, daripada masalah-masalah sosial. Padahal Allah memerintahkan untuk Hablu minallah wa habluminannnas secara seimbang.

5.  Nilai Ibadah Sosial Lebih Besar daripada Ibadah Ritual
Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual.    Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran untuk mendahulukan yang sosial.
Ketika nabi sedang shalat di rumah, beliau berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang, kemudian beliau melanjutkan shalatnya kembali.
Seseorang datang kepada rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang shalatnya rajin tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya.    Apa kata Rasulullah?, ”Perempuan itu di neraka”. (HR. Ahmad, Hakim).
Tidak beriman kamu, kalau kamu tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetanggamu kelaparan. (HR. Al-Bukhary) 
Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah ketimbang ahli ibadah yang pelit. (HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Dalam suatu riwayat, Nabi pernah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang bangkrut.  Rasulullah menjelaskan, sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang rajin menjalankan ritus-ritus ibadah (shalat, shaum, zakat, dan lain sebaginya), tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik, dia sering merampas hak orang lain, sering menyakiti hati orang, sering berbuat zalim, dsb.    Sehingga pahala amalnya habis berpindah ke orang lain dan dosanya bertambah banyak.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa ada seorang wanita yang rajin shalat, berdzikir, dan berpuasa. Namun Rasulullah berkata bahwa wanita itu akan masuk neraka, karena ia jahat terhadap tetangganya.  Sebaliknya, Rasulullah bercerita tentang wanita lain yang shalatnya biasa, puasanya biasa, dan tidak begitu banyak shalat sunnah, Namun kata Nabi, ia akan masuk surga karena  sangat baik dan sangat sopan kepada tetangganya

6. Ibadah Yang Membuat Allah Senang

Dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al Ghazali, diceritakan dialog antara Nabi Musa As dengan Allah SWT.  Nabi Musa menanyakan diantara Shalat, Puasa, Dzikir, dsb, maka ibadah manakah yang membuat Allah senang.   
Allah berfirman :
-  Sholat itu untuk dirimu sendiri, yang membuat engkau terpelihara dari keji dan munkar.
-  Dzikir itu agar membuat hatimu menjadi tenang.
-  Puasa itu untuk melatih dirimu memerangi hawa nafsu
Sedekah itulah yang membuat Aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, Aku berada disampingnya. 
Oleh karenanya, para ulama memberi WARNING ; Bila seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), maka jangan dulu merasa puas dan bangga.  Karena itu tandanya ia hanya mencintai dirinya sendiri, dan belum sepenuhnya mencintai Allah. Padahal dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali memerintahkan hambanya untuk bersedekah.  Bila seseorang mengabaikan perintah Allah untuk bersedekah maka itu berarti ia tidak mencintai Allah.

7.  Antara Shalat, Puasa & Sedekah
Abdul Aziz bin Umair Ra berkata,  “Shalat hanya mengantarkanmu sampai setengah perjalanan surga. Puasa mengantarkanmu hingga ke depan pintu surga. Dan sedekah memasukanmu ke dalamnya (surga)”
Menurut Abdul Aziz, bahwa seseorang yang hanya tekun shalat dan puasa tetapi tidak bersedekah, maka ia belum memenuhi syarat untuk masuk surga. Orang seperti ini hanya layak sampai di pintu surga saja. Dan sedekah merupakan ibadah penyempurna untuk memasukkannya ke dalam surga.
Shalat dan zakat. Di dalam Al-Qurankata “shalat” pada umumnya digandengkan dengan kata zakat”.   Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS. Al-Baqarah: 83).
Iman dan amal shaleh. Di dalam Al-Quran, kata imanpada umumnya digandengkan dengan kata “amal saleh”.  
(1) QS. Al-Baqarah: 82 ; “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”.

(2) QS. Thaha: 75 ; “Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia)”.