Minggu, 29 Desember 2019

Ketakutan Sudah Menenggelamkan Kejujuran

Al Kisah, Abu Nawas berjalan di tengah pasar, sambil melihat ke dalam topinya, lalu tersenyum bahagia. Orang-orang pun heran, lalu bertanya;
“Wahai saudaraku Abu Nawas apa gerangan yang engkau lihat ke dalam topimu yang membuatmu tersenyum bahagia?”
“Aku sedang melihat surga yang dihiasi barisan bidadari.” Kata Abu Nawas dengan ekspresi meyakinkan.
“Coba aku lihat?” Kata salah seorang yang penasaran melihat tingkah Abu Nawas.
“Tapi saya tidak yakin kamu bisa melihat seperti apa yang saya lihat.” Kata Abu Nawas.
“Mengapa?” Tanya orang-orang di sekitar Abu Nawas yang serempak, karena sama-sama semakin penasaran.
“Karena hanya orang beriman dan sholeh saja, yang bisa melihat surga dengan bidadarinya di topi ini.” Kata Abu Nawas meyakinkan.
Salah seorang mendekat, lalu berkata; “Coba aku lihat.”
“Silahkan” kata Abu Nawas”
Orang itu pun bersegera melihat ke dalam topi, lalu sejenak menatap ke arah Abu Nawas, kemudian menengok ke orang di sekelilingnya.
“Benar kamu, Aku melihat surga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah!” Kata orang itu berteriak.
Orang-orang pun heboh ingin menyaksikan surga dan bidadari di dalam topi Abu Nawas, tetapi Abu Nawas mewanti-wanti, bahwa hanya orang beriman yang bisa melihatnya, tetapi tidak bagi yang kafir.
Dari sekian banyak yang melihat ke dalam topi, banyak yang mengaku melihat surga dan bidadari tetapi ada beberapa di antaranya yang tidak melihat sama sekali, dan berkesimpulan Abu Nawas telah berbohong. Mereka pun melaporkan Abu Nawas ke Raja, dengan tuduhan telah menebarkan kebohongan di tengah masyarakat.
Akhirnya, Abu Nawas dipanggil menghadap Raja untuk diadili.
“Benarkah di dalam topimu bisa terlihat surga dengan bidadarinya?”
“Benar paduka Raja, tetapi hanya orang beriman dan sholeh saja yang bisa melihatnya. Sementara yang tidak bisa melihatnya, berarti dia belum beriman dan masih kafir. Kalau paduka Raja mau menyaksikannya sendiri, silahkan..” Kata Abu Nawas.
“Baiklah, kalau begitu saya mau menyaksikannya sendiri.” Kata Raja. Tentu, Raja tidak melihat surga apalagi bidadari di dalam Topi Abu Nawas. Tapi Raja lalu berpikir, kalau ia mengatakan tidak melihat surga dan bidadari, berarti ia termasuk tidak beriman.
Akibatnya bisa merusak reputasinya sebagai Raja. Maka, Raja itu pun berteriak girang: “Engkau benar Abu Nawas aku menyaksikan surga dan bidadari di dalam topimu.
Rakyat yang menyaksikan reaksi Rajanya itu, lalu diam seribu bahasa dan tak ada lagi yang berani membantah Abu Nawas. Mereka takut berbeda dengan Raja, karena khawatir dianggap dan di cap kafir atau belum beriman.
Akhirnya, konspirasi kebohongan yang ditebar oleh Abu Nawas, mendapat legitimasi dari Raja. Boleh jadi, dalam hati, Abu Nawas tertawa sinis sambil bergumam; beginilah akibatnya kalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan pun akan merajalela.
Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang kangkung sebagai sesuatu yang “benar.”
Ketakutan untuk berbicara jujur, juga karena faktor gengsi. Gengsi dianggap belum beriman, atau dengan alibi/alasan lainnya. Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuh kebohongan.
Kepercayaan diri sebagai pribadi yang mandiri untuk berkomitmen pada kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran, telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang sesungguhnya sangat subyektif dan semu. Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran.
Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah kecerdikan yang dilakonkan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu adalah kebohongan yang nyata.
Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas, bisa saja telah terjadi disekitar kita. Tentu, dengan aneka versinya.

Senin, 04 November 2019

Dagelan Jagat


Ngger anakku ...
Sawangen kae dagelan jagat
Sing lagi padha rebutan ndonya lan pangkat
Rumangsane wis paling kuat
Nganti lali yen ndhonya iki bakale kiamat

Ngger anakku ...
Sawangen kae dagelan jagat
Sing padha lali ngrumat wasiat
Gaman aji kanggo ndonya akhirat

Ngger anakku ...
Sing kok sawang kae ojo ditiru
Rungakna lan elinga marang pituturku
Kanggo ugeman lakon uripmu

Ngger anakku ...
Ayumu dudu saka wedhak pupur
Kang gampang luntur
Ananging saka resike ati sing nampa pitutur luhur

Sugihmu dudu emas picis raja brana
Sing gampang sirna
Ananging jembare ati sing kaya segara
Sing isa nampa pesthining Kang Maha Kuwasa

Ngger anakku ...
Eling ta dieling-eling
Ojo nganti imanmu ngguling

Sekarat pati iku banget larane
Nalika jaman uripe akeh dosa lan lali marang tobate
Ngumbar terus hawa nafsu lan angkara murkane

Ngger anakku ...
Saiki cedakna atimu marang Gusti Kang Murbehing Dumadi
Mesti ing ndhonya lan akherat uripmu bakal mukti
Dalam khasanah agama Islam, pitutur ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 185: “Wamaa Alhayawaa Tuddun-Yaa Illa Mataa’ul Ghuruur ” artinya ”Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Nabi Muhammad juga pernah bersabda, “Akan datang pada umatku suatu masa, dimana mereka mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara. (1) Mereka mencintai dunia dan melupakan akhirat. (2) Mereka mencintai kehidupan dan melupakan kematian. (3) Mereka mencintai gedung-gedung dan melupakan kubur. (4) Mereka mencintai harta benda dan melupakan hisab (perhitungan di hari kiamat). (5) Mereka mencintai mahluk dan melupakan penciptanya.” (Hadits Riwayat Ibnu Hajar)

Sabtu, 02 November 2019

Pitutur Leluhur; Dadiya

Dadiya gedhe sing ora ngebot-boti. (jadilah besar yang tidak membebani)
Dadiya santosa sing ora gawe wedi. (
jadilah perkasa yang tidak menakutkan)
Dadiya lancip sing ora nglarani. (
jadilah runcing yang tidak menyakiti)
Dadiya landhep sing ora natoni. (jadilah tajam yang tidak melukai)
Dadiya sugih sing ora gawe rugi. (jadilah kaya yang tidak merugikan)
Dadiya pinunjul sing ora gawe meri. (
jadilah unggul namun tidak menimbulkan iri hati)
Dadiya padhang sing ora mblerengi. (
jadilah terang namun tidak mengaburkan)
Dadiya sumunar sing ora nyulapi. (
jadilah bersinar namun tidak menyilaukan)
Dadiya talanging banyu rahmating Gusti Allah kanggo sasamaning titah
(Jadilah talang air bagi rahmat Tuhan untuk sesama hambaNya)
Falsafah jawa lain yang sangat masyhur adalah, "Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara."  Yang artinya: "Menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia, serta memberantas kemungkaran."
Maknanya, dalam kehidupan dunia manusia harus menebarkan kemakmuran (kedamaian dan kesejahteraan) bagi alam semesta; serta memberantas sifat angkara murka, keserakahan dan ketamakan.

Senin, 28 Oktober 2019

Orang Pandai, Cerdik, Beruntung & …


Orang BODOH dikalahkan orang pandai
Orang PANDAI dikalahkan orang cerdik
Orang CERDIK dikalahkan orang beruntung
Orang BERUNTUNG dikalahkan orang sukses
Orang SUKSES dikalahkan orang bahagia
BAHAGIA adalah cita-cita semua orang, tetapi tidak banyak yang memahami hakikatnya.

Kamis, 17 Oktober 2019

Gus Baha'


Membaca peta intelektual muslim, biasanya dilihat dari tempat mereka belajar, yakni alumni dari Timur Tengah dan Barat. Alumni Timteng seperti Mesir dan Saudi Arabia lebih populis dan berpengaruh.  Sedangkan alumni Eropa, Amerika atau Australia biasanya yang lebih akademis dan elitis.
K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha merupakan seorang ulama atau intelektual muslim muda produk pesantren dalam negeri. Ia belum pernah belajar di Timteng dan Barat, tetapi kapasitas keilmuannya tidak diragukan dan popularitas serta pengaruhnya mulai diperhitungkan.
Gus Baha' dikenal sebagai salah satu Ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, K.H. Maemun Zubair, Rembang. 
Gus Baha atau Bahauddin adalah putra Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim adalah murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar.
Bersama Kiai Nur Salim inilah Gus Miek (KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling. Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.
Mencermati kesan dari para muhibbin atau fans Gus Baha, mengikuti pengajiannya itu menyenangkan. Islam menjadi terasa begitu mudah dan lapang. Ger-geran menjadi bagian tak terpisahkan dari isi ceramahnya yang mendalam dan luas.
Diam-diam, Gus Baha juga menjadi inspirasi bagi para santri pesantren salafiyah (tradisional), bahwa kedalaman ilmu seorang santri, pada akhirnya akan melampaui gelar-gelar akademik.
Gus Baha adalah sosok yang sederhana. Ada cerita tentang pernikahannya yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para “pejuang Islam” yang masih sorangan wae (jomblo). Ia dijodohkan oleh pamannya untuk menikahi seorang Ning, putri salah seorang pengasuh pesantren Sidogiri.
Sebelum akad nikah, Gus Baha menghadap calon mertuanya untuk meyakinkan bahwa beliau tak salah pilih menantu. Ia menjelaskan dirinya yang jauh dari kemewahan dan hanya bergumul dengan dunia keilmuan. Dijelaskan seperti itu mertuanya malah semakin yakin tak salah pilih. “Klop,” katanya dengan mantap.
Saking sederhanya, sampai saat ini hanya ada satu artikel tentang Gus Baha yang lumayan lengkap dan di-copy paste dalam berbagai media termasuk dirujuk dalam artikel ini. Belum tersedia semacam biografi yang komprehensif yang menjelaskan sosok kiai pesantren yang alim ini.
Kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai tempatnya memulai pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya.
Mereka menyewa rumah yang tak jauh dari kediamannya. Ketika ayahnya wafat pada 2005, ia harus kembali ke Kragan, tetapi pengajiannya di Yogyakarta tetap berlangsung sebulan sekali. Para muhibbin Gus Baha dengan tekun mengikuti pengajian bulanan itu di Pesantren Izzati Nuril Qur’an Bedukan, Pleret, Bantul.
Ia juga mengampu pengajian tafsir di Bojonegoro. Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudh, Gus Baha juga mengajar ushul fiqih di Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati.
Pilihannya memulai “karir” di Jogja sungguh tepat. Di Kota Gudeg ini ia bersua intelektual dari berbagai disiplin ilmu yang semakin mengasah kepakarannya. Kadang ia diledek juga, “Kiai, Anda ini bacaannya luas kok tetap memilih NU?”
Gus Baha menjawabnya ringan, “Memangnya kalau saya tetap NU, jadi problem?”
Di Kota Pelajar ini ia misalnya membentuk “Kajian Kematian” bersama para doktor dan profesor. Karena hidup di dunia yang sebentar saja dipersiapkan begitu serius, maka kehidupan akhirat yang jauh lebih lama, tentu harus dibahas dan dikaji lebih serius lagi.
Tanpa terekam media, termasuk di lingkungan NU, Gus Baha “keluyuran” dari satu pesantren ke pesantren lain, memberikan paparan tentang tafsir dan hadis. Misalnya di Pesantren Sidogiri, ia mengisi Pengaruh Israiliyat terhadap Penafsiran Alquran.
Kali lain ia menyampaikan paparan dalam seminar tafsir dan hadits di Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Kediri. Di Ma’had Ali Pesantren Maslakul Huda ia mengkaji Kontekstualisasi Ayat-Ayat Perang dalam sebuah Muhadloroh ‘Ammah (kuliah umum).
Dalam pengajiannya ia menegaskan sebagai bukan penceramah atau mubalig. Ia mengaji. Sambil membaca kitab Jalalain misalnya, ia membacakan juga sejumlah rujukan yang relevan dengan tema yang dibahas.
Awalnya ia menolak untuk muncul di saluran Youtube, tapi membolehkan para santrinya untuk merekam. Para santri ini lalu berhimpun dalam aplikasi telegram untuk saling berbagai rekaman pengajian Gus Baha. Ada juga yang menggunakan media dan aplikasi lain.
Baru belakangan Gus Baha berkenan pengajian atau ceramahnya tayang di Youtube. Itulah sebabnya dalam tampilan di Youtube, pengajiannya kebanyakan masih berupa audio. Kutipan di awal artikel ini menjadi contoh muhibbin Gus Baha berkomunikasi dan berbagi informasi
Dari sebuah link, saya mendapati sejumlah rekaman pengajian Gus Baha yang bisa diunduh, antara lain: Kajian tafsir JalalainArbain fi UshuliddinHayatus ShohabahMusnad AhmadNashoihul Ibadal-Hikam, dan lain-lain.
Penguasaanya ilmunya khas pesantren, tidak hanya alim di satu bidang, tapi lintas bidang, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadis, dan tentunya tasawuf. Ini berbeda dengan sarjana kampus, baik dari Barat ataupun Timur.
Saya menghargai pilihan medium dakwahnya. Seorang kiai tidak bisa dipaksakan untuk menggunakan saluran media tertentu. Biarlah pilihan-pilihan media itu berkembang seiring waktu dan kebutuhan sang kiai. Jangan sampai saluran-saluran itu justru membuatnya tidak nyaman dan terkekang.
Beri keleluasan kepadanya untuk menempatkan dirinya dalam peta intelektual muslim Indonesia, sesuai karya dan kepakarannya. Dan jadwal ngaji yang padat seperti yang ditunjukkan di paragraf awal ini pun harus “diwaspadai”. Biasanya, kalau sudah sibuk, mulai jarang sendiri, padahal sendiri itu penting.
Ala kulli hal, tulisan ini hanyalah berupa amatan dari jauh dari seorang penggemar baru. Tentu belum cukup untuk menjelaskan sosok Gus Baha secara lengkap. Untuk itu, para santri Gus Baha sendiri yang lebih tepat untuk menuliskannya. Wallahu a’lam.

Jumat, 11 Oktober 2019

Menyikapi Zaman Edan


Kebanyakan dari kita (terutama bagi orang jawa) tentu pernah mendengar sebuah syair Zaman Edan yang berbunyi :
·         Jaman edan (Zaman edan/gila)
·         Yen ora melu edan ora keduman (Tak ikut gila tak bakalan kebagian)
·         Sak beja bejane wong edan (Seberuntungnya orang yang edan)
·         Luwih beja wong sing eling lan waspodo. (Lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada).
Karya Rangga Warsita
Syair jaman edan merupakan karya sastra jawa yang ditulis oleh seorang pujangga Kasunanan Surakarta  bernama  Raden Ngabehi Rangga Warsita pada sekitar tahun 1860 Masehi.
Syair Rangga Warsito saat itu dikenal dengan nama Serat Kalatidha. Kalatidha artinya Zaman Ketidak pastian.
Dalam bahasa aselinya, bunyi Serat Kalatidha sebagai berikut:
·         Amenangi  jaman édan (berada pada zaman edan) ; 
·         Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam bertindak); 
·         Mélu ngédan nora tahan (mau ikut edan tidaklah sampai hati); 
·         Yén tan mélu anglakoni boya kéduman melik (tetapi kalau tidak ikut edan tidak bakal kebagian); 
·         Begja-begjaning édan (namun seberuntungnya orang yang edan);  
·         Luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih beruntung/bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Syair yang Sangat Mashur
Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai negeri Belanda.  Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis pada tembok di sebuah museum, di kota Leiden Belanda.
Situasi Penuh Kecemasan dan Kebimbangan
Konon Rangga Warsita menulis serat ini karena adanya satu kegalauan terhadap situasi sosial masyarakat saat itu.  Situasinya saat itu penuh ketidak adilan dan penuh ketidak pastian, sehingga masyarakat diliputi kecemasan dan kebimbangan
Dalam pandangan Rangga Warsita, situasi seperti itu membuat masyarakat serba susah dalam bertindak (éwuhaya ing pambudi).  Mau mengikuti arus kegilaan hatinya tidak tega (mélu ngédan nora tahan), Namun kalau tidak ikut-ikutan edan maka tak bakal kebagian rejeki (boya kéduman mélik).
Di zaman itu orang pandai (berilmu) belum tentu hidup nyaman, dan orang bodoh belum tentu juga sengsara. Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, yang bisa mengambil hati penguasa.  Sedangkan orang jujur, meski pekerja keras hidupnya tetap sengsara. 
Pepatah Jawa Lain tantang Zaman Edan
Situasi di zaman ketidak pastian seperti itu, kemudian diungkapkan dalam beberapa pepatah jawa antara lain:
>    Wong jujur ajur – Wong ala mulya, yang maknanya adalah orang jujur bisa bernasib sial (ajur), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar rusak moralnya, karena dianggap tidak bisa diajak kerjasama.  Sedangkan orang  ala  yaitu orang yang rendah moralnya justru kehidupannya bisa jadi baik (mulya), karena berani menghalalkan segala cara.
>    Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat. Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat  justru mendapat kedudukan .
>    Wong mulyo dikunjoro - wong lugu kebelenggu. Orang berilmu (mulya) justru dipenjara, dan orang yang jujur kehidupannya terbelenggu.
>    Podho wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.
>    Podho seneng nyalahke.  (Untuk memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.
>    Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi taat dan takut terhadap aturan Tuhan.
Tanda-tanda Zaman Edan 
Di antara tanda-tanda zaman edan yang termuat dalam Serat Kalatidha sebagai berikut: Pertama, derajat suatu negara demikian merosot karena tidak adanya kewibawaan. Keduarusaknya pelaksanaan undang-undang. Banyak dari masyarakat yang melanggar aturan-aturan, dan dari penguasa sendiri tidak menjalankan aturan yang mereka buat.
Ketiga, tidak adanya sosok yang dijadikan panutan. Para penguasa dan rakyat sama bejatnya. Mereka korupsi, rebutan kekuasaan dan merasa benar sendiri.  Keempat, banyak rakyat yang menderita dan sengsara. Kelaparan dan kemiskinan merajalela. Kehidupan amat hina dan suram. Tanda-tanda kehidupan masa depan yang samar dan tak ada kepastian. 
Kelima, Di mana-mana banyak terjadi bencana, musibah, dan malapetaka yang silih berganti dan bertubi-tubi. Hal itu baik dari murkanya alam atau kelalaian manusia yang rakus dan angkara. Keenam, banyak kabar bohong, kabar angin dan tipu muslihat, hanya untuk kepentingan pribadi.
Ketujuh, banyak aparatur negara yang menanam benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, dan hal itu menyebabkan perkara hukum. Kedelapan, orang pandai belum tentu sukses, dan orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara.
Kesembilan, banyak terjadi peristiwa aneh, ajaib dan tidak masuk akal. Banyak orang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga sulit untuk bertindak. Kemudian hal itu menjadikan masyarakat menjadi edan dan tidak waras. Rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien dengan gangguan jiwa.
Dampak Zaman Edan
Akibat dari situasi zaman edan, orang kaya makin kaya sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan yang layak. Untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka tak heran bila hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpinggirkan.
Ramalan Jayabaya
Zaman Edan telah diramalkan oleh Prabu Jayabaya (abad 12) dengan menyebutnya sebagai Kalabendu (zaman kekacauan).  Di zaman kalabendu, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Menurut Jayabaya, zaman kalabendu  terlihat seperti Jaman Kasukan, yaitu zaman yang menyenangkan karena penuh kenikmatan dunia, tetapi sebenarnya zaman itu dirasakan oleh sebagian besar orang lainnya sangat berat.  Zaman kalabendu merupakan zaman kehancuran dan rusaknya tatanan dunia (jaman ajur lan bubrahing donya).
Jayabaya menasehati kita, meski pada zaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap tabah dan tegar.  Nasehatnya, Jo kepranan ombyak ing jaman (Jangan terbawa dan terbuai oleh arus zaman yang memabokkan). Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman kemuliaan yaitu Zaman Ratu Adil.
Peringatan dari Nabi Muhammad
Jauh berabad-abad sebelum Raden Rangga Warsita dan Prabu Jayabaya, pada abad ke 6 Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita umatnya tentang situasi zaman edan. 
Melalui hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah bersabda,  “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Orang bodoh turut campur dalam urusan masyarakat luas.
Inikah Zaman Edan?
Saat sekarang ini kita saksikan bersama situasi bangsa kita, banyak pejabat melanggar sumpahnya sendiri, mereka mudah mengumbar janji namun tidak ditepati. Banyak orang suka menebar fitnah dan kebencian. Orang jujur terpinggirkan, orang berilmu (kritis) dipenjara.  Korupsi terus terjadi dimana-mana, keserakahan telah menutupi hati nuraninya.  Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya.  Mereka sudah tidak lagi taat dan takut terhadap aturan Tuhan.  Inikah jaman edan?.
Menyikapi Zaman Edan
Menyikapi zaman edan, Rangga Warsita menasehati  dengan kalimat “begja-begjaning kang edan  luwih begja kang éling klawan waspada”, sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih baik orang yang senantiasa “ingat” dan waspada.
Sementara Jayabaya menasehati dengan kalimat: Jo kepranan ombyak ing jaman (Jangan terbawa dan terbuai oleh arus zaman yang memabokkan). Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan Jaman Kamulyan yaitu Zaman Ratu Adil.
Dalam berbagai hadis nabi terkait dengan penyikapan terhadap masalah atau ujian, nabi Muhammad Saw meminta kepada umat Islam untuk melakukan empat hal, yaitu sabar, do’a, ikhtiar (usaha), dan tawakal.  Tawakal adalah berserah diri pada Allah setelah kita berusaha, karena Allah lah yang mengetahui mana yang terbaik bagi kita.
>  QS. Al Baqarah ayat 153:  “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
>  QS. Al-Mukmin, ayat 60 : "Berdoalah kepada-Ku, akan Kupenuhi (doamu)"
>  QS. Ar-Ra’ad, ayat 11 : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah (ikhtiar) apa yang ada pada diri mereka."
>  QS. Ali-Imran, ayat 159 : “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertwakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal pada-Nya.

Selasa, 24 September 2019

Harta Kekayaan Pejabat


Dari data yang diumumkan KPU (2019), tercatat harta kekayaan yang dilaporkan:
>  Joko Widodo, sebesar Rp 50.248.349.788.
>  Prabowo Subianto, sebesar Rp 1.952.013.493.659.
>  Sandiaga Uno mencapai Rp 5.099.960.524.965.

>  Tri Rismaharini, (walikota Surabaya), sebesar Rp 1,88 miliar (LHKN 2017).
>  Irjen Tito Karnavian, Asrenum Kapolri (2016) mencapai Rp. 10,29 miliar (termasuk Rumah di Singapura)

Harta Kekayaan 9 Jenderal Polisi (Irjen) yang Daftar Capim KPK 2019.
1. Dharma Pongrekum, sebesar Rp 9.775.876.500.
2. Antam Novambar, sebesar Rp 6.647.673.793.
3. Coki Manurung, sebesar 4.815.000.000.
4. Bambang Sri Herwanto, sebesar Rp 3.204.555.162.
5. Muhammad Iswandi Hari, sebesar Rp 1.279.526.166.
6. Sri Handayani, sebesar Rp 1.413.146.729. 
7. Abdul Ghofur, sebesar Rp 1.130.000.000.
8. Juansih, sebesar Rp 1.008.613.000.
9. Agung Makbul, sebesar Rp 993.384.425.

Ket : Rata-rata Irjen Polri Rp 3,3 miliar.


Beredar Nama-Nama Jenderal Polisi Yang Tersangkut Rekening Gendut
KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi selang satu hari menjalani uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon tunggal Kapolri di DPR.

Berikut 17 nama jenderal Polri yang dikabarkan berekening gendut:
1. Da'i Bachtiar, mantan Kapolri  Rp 1,2 triliun
2. Adang Dorodjatun Rp 1,1 triliun
3. Makbul Padmanegara Rp 800 miliar
4. Saleh Saaf Rp 800 miliar
5. Firman Gani Rp 800 miliar
6. Iwan Supanji Rp 600 miliar
7. Rasyid Ridho Rp 600 miliar
8. Dedi S Komaruddin Rp 500 miliar
9. Eddy Garnadi Rp 400 miliar
10. Budi Gunawan, calon Kapolri Rp 400 miliar
11. Mathius Salempang Rp 300 miliar
12. Heru Susanto Rp 300 miliar
13. Cuk Sugiarto Rp 250 miliar
14. Syafrizal Rp 200 miliar
15. Sujitno Landung Rp 200 miliar
16. Dadang Garnida Rp 150 miliar
17. Indra Satria Rp 144 miliar