Selasa, 30 Juni 2020

Penyebutan Keturunan dalam Bahasa Jawa

Dalam Keluarga Jawa biasanya anak menyebut orang tuanya dengan sebutan Bapak dan Ibu. Orang tua Bapak dan ibu disebut Eyang (Kakek/Nenek dlm bhs Indonesia). Orang tua Eyang disebut apa? dst.

Berikut adalah istilah untuk level keturunan (ke bawah) dan level leluhur (ke atas) sampai urutan ke-18 dalam Bahasa Jawa.

URUTAN KE ATAS :

Moyang ke-18. Eyang Trah Tumerah
Moyang ke-17. Eyang Menyo-menyo
Moyang ke-16. Eyang Menyaman
Moyang ke-15. Eyang Ampleng
Moyang ke-14. Eyang Cumpleng
Moyang ke-13. Eyang Giyeng
Moyang ke-12. Eyang Cendheng
Moyang ke-11. Eyang  Gropak Waton
Moyang ke-10. Eyang Galih Asem
Moyang ke-9. Eyang Debog Bosok
Moyang ke-8. Eyang Gropak Senthe
Moyang ke-7. Eyang Gantung Siwur
Moyang ke-6. Eyang Udeg-udeg
Moyang ke-5. Eyang Wareng
Moyang ke-4. Eyang Canggah
Moyang ke-3. Eyang Buyut
Moyang ke-2. Eyang (kakek/nenek dlm bhs Indonesia)
Moyang ke-1. Bapak/Ibu

DILIHAT DARI POSISI KITA :

Urutan ke bawah :
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu
Keturunan ke-3. Buyut
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udeg-udeg
Keturunan ke-7. Gantung siwur
Keturunan ke-8. Gropak Senthe
Keturunan ke-9. Debog Bosok
Keturunan ke-10. Galih Asem
Keturunan ke-11. Gropak waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menyo2
Keturunan ke-18. Tumerah

Monggo disimpen .. niki peninggalan leluhur yang nyaris terlupakan...
[31/3 12.02] Asi: JAWA JOWO JAWI.
Kagem pangenget-enget kula aturaken sebutan wulan lan dinten basa Jawi, Piyantun Jawi sampun ngantos ninggalaken Jawinipun.

A. Wulan utawi Sasi:

01. Wadana (Januari)
02. Wijangga (Februari)
03. Wiyana (Maret)
04. Widada (April)
05. Widarpa (Mei)
06. Wilapa (Juni)
07. Wahana (Juli)
08. Wanana (Agustus)
09. Wurana (September)
10. Wujana (Oktober)
11. Wujala (Nopember)
12. Warana (Desember)

B. Dinten:

01. Radite (Ahad)
02. Soma (Senin)
03. Hanggara (Selasa)
04. Buda (Rabu)
05. Respati (Kamis)
06. Sukra (Jumat)
07. Tumpak (Sabtu)

Neptunipun dinten:*

01. Ahad: 5
02. Senin: 4
03. Selasa: 3
04. Rabu: 7
05. Kamis: 8
06. Jum'at: 6
07. Sabtu: 9


C. PEKENAN/WETON

Pon = Jenar
Wage = Cemengan.
Kliwon = Kasih.
Legi     =. Manis
Pahing = Abritan

D. Neptu Weton:

01. Pahing: 9
02. Pon: 7
03. Wage: 4
04. Kliwon: 8
05. Legi: 5

Mugi-mugi wonten paedahipun, sinambi nguri-uri budaya adiluhung kita, menawi kirang utawi lepat nyuwun koreksi, Matur nuwun.

E. Arane Wuku

Sawuku umure saminggu, cacahe Wuku ana 30, yaiku :

Wuku Shinta

Wuku Landhep

Wuku Wukir

Wuku Kuranthil

Wuku Tolu

Wuku Gumbreng

Wuku Warigalit

Wuku Warigagung

Wuku Julungwangi

Wuku Sungsang

Wuku Galungan

Wuku Kuningan

Wuku Langkir

Wuku Arandhasiya

Wuku Julungpujut

Wuku Pahang

Wuku Kuruwelut

Wuku Marakeh

Wuku Tambir

Wuku Medhangkungan

Wuku Maktal

Wuku Wuye

Wuku Manakil

Wuku Prangbabat

Wuku Bala

Wuku Wungu

Wuku Wayang

Wuku Kulawu

Wuku Dhukut

Wuku Watugunung

 F. Arane Sasi Masehi:

Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember

G. Arane Sasi Arab:

Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiutsani, Jumadil Ula, Jumadil Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqadah, Dzulhijjah

H. Arane Sasi Jawa:

Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah/Selo, Besar

I. Arane Taun

Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jinakir

J. Arane Windu

Adi, Kuntara, Sangara, Sancaya

K. Arane Wilangan

Siji = Eka

Loro = Dwi

Telu = Tri

Papat = Catur

Lima = Panca

Nem = Sad

Pitu = Sapta

Wolu = Asta

Sanga = Nawa

Sepuluh = Dasa

Satus = Sata

Sewu = Sasra

Sepuluh ewu = Saleksa

Satus uwe = Sakethi

Sayuta = Sayuta

L. Arane Wayah

Jam 03:00 : Wayah Fajar Sidik (Bang-Bang Wetan)

Jam 04:00 : Wayah Bedhug Subuh

Jam 05:00 : Wayah Saput Lemah

Jam 06:00 : Wayah Byar

Jam 09:00 : Wayah Tengange

Jam 10:00 : Wayah Wisan Gawe

Jam 12:00 : Wayah Bedhug

Jam 13:00 : Wayah Luhur

Jam 15:00 : Wayah Lingsir Kulon

Jam 16:00 : Wayah Asar

Jam 17:00 : Wayah Tunggang Gunung

Jam 17:30 : Wayah Tribalayu

Jam 18:30 : Wayah Surub/Candrikala

Jam 19:00 : Wayah Bakda Magrib

Jam 19:30 : Wayah Isya’

Jam 20:00 : Wayah Bakda Isya’

Jam 21:00 : Wayah Sirep Bocah

Jam 23:00 : Wayah Sirep Wong

Jam 24:00 : Wayah Tengah Wengi

Jam 01.00 : Wayah Lingsir Wengi

M. Arane Kiblat

Lor = Utara

Kidul = Daksina

Wetan = Purwa

Kulon = Pracima

Mugi2 manfaat awit  rumiyin nalika wonten SR/SD   kita dipun wulang nyinau Jawi menika
Nuwun.....🙏🙏

Kamis, 25 Juni 2020

Fungsi Masjid, Islam Tidak Melarang Sampaikan Politik di Masjid

Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengatakan tidak ada larangan dalam ajaran agama Islam untuk menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan politik untuk masyarakat, sepanjang yang disampaikan itu adalah nilai dan etika berpolitik.

Sementara, Wasekjen MUI, Amiryah Tambunan mengatakan (6 Mei 2018), bicara politik di tempat ibadah itu diperbolehkan tetapi ada batasannya. Tetapi menjadikan tempat ibadah sbg arena politik praktis itu dilarang, itu jelas sudah ada di peraturan undang-undangnya.  Rumah ibadah tidak boleh dijadikan tempat berkampanye untuk kepentingan politik, baik pemilihan kepala daerah, legislatif, maupun presiden.

Sedangkan Wapres Jusuf Kalla (JK) juga menegaskan, berpolitik dan berbicara politik di masjid tidak dilarang, yang dilarang adalah berkampanye di masjid.

Dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincang masalah kepolitikan, selain untuk ceramah dan salat atau sembahyang.

Namun untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis.

Apalagi menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.

Fungsi Masjid zaman Nabi

Pada zaman Nabi SAW fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah juga difungsikan sebagai pusat dakwah dan pemerintahan.

Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim, seperti diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Pendeknya, masjid pada zaman Rasulullah SAW merupakan pusat seluruh kegiatan kaum Muslim.

Secara garis besar Masjid mempunyai 4 fungsi, yaitu :

1.  Fungsi Keagamaan : Ritual Shalat, I’tikaf, dzikir, membaca al-Qur,an, dsb

2.  Fungsi Pendidikan : Khotbah, Tausiah, diskusi, seminar, pelatihan, perpustakaan, dsb.

3.  Fungsi Sosial : Pusat kegiatan sosial, seperti pengumpulan dan penyaluran dana (ZIS) bagi dhuafa, tempat singgah bagi musafir, asrama (tidak tepat jika dilakukan saat ini), serta sarana silaturahmi persaudaraan, dsb

4.  Fungsi Polkam  :   Diskusi, musyawarah, rapat dan menyusun kekuatan umat Islam.

https://www.beritasatu.com/politik/490269-mui-islam-tidak-melarang-sampaikan-politik-di-masjid

https://fokus.tempo.co/read/1086392/bicara-politik-di-masjid-untuk-kesejahteraan-umat-bukan-kampanye/full&view=ok

https://news.detik.com/berita/d-4080741/jk-politik-di-masjid-tidak-dilarang-yang-dilarang-kampanye

https://www.dw.com/id/mari-hentikan-bicara-politik-praktis-di-masjid-apalagi-jelang-pemilu-2019/a-44140177

https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html

Rabu, 24 Juni 2020

Ngluruk tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake, Landhep tanpa Natoni


Ngluruk tanpa bala, Menang tanpa ngasorake, Landhep tanpa natoni, arti harfiahnya: Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, dan Tajam tapi tak melukai.
Makna gramatikalnya adalah, bahwa dalam menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan. 
Mereka mampu melawan tanpa membawa massa atau pasukan. Dan mampu memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun mengakui kekalahannya tanpa terluka.
Falsafah ini mengajarkan bagaimana menaklukkan lawan dengan cara yang sangat luhur penuh kebajikan.

Mati Sajroning Urip

Mati sajroning urip, arti harfiahnya mati dalam hidup.  Mati di dalam hidup maksudnya bukan mati secara jasad tetapi mematikan hawa nafsu (buruk) dalam menjalani kehidupan. Dalam diri manusia terdapat empat macam nafsu. Keempatnya disebut Amarah, Lauwwamah,  Mulhimah (supiah) dan Mutmainah.
Nafsu amarah disebut juga ego adalah nafsu yang paling rendah, paling buruk dan paling jahat.  Nafsu ini cenderung mengarah pada keirihatian. Nafsu lauwwamah memperturuti keinginan duniawi sehingga cenderung rakus dan tak mempunyai kepedulian terhadap orang lain. Adapun nafsu mulhiyah (sufiyah) mengarah pada dorongan syahwat biologis. 
Berbeda dari ketiga macam nafsu tersebut, nafsu Mutmainah merupakan nafsu mulia yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan beritikat selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih dipentingkan , maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.

Ada satu nasehat dari Rasulullah yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati” Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.


https://www.dewisundari.com/falsafah-jawa-mati-sajroning-urip-mati-di-dalam-hidup/

Urip Iku Urup

Urip iku Urup, arti harfiahnya hidup itu menyala.  Maksudnya adalah hidup itu haruslah memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya, bagaikan lentera yang menerangi alam sekitarnya.
Menurut Aristoteles, kodrat manusia diciptakan sebagai makluk sosial, yaitu mahluk yang bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan.
Manusia tidak bisa hidup menyendiri, antara manusia yang satu dengan yang lain saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling bekerja sama.  Sehingga setiap individu manusia haruslah memberi manfaat kepada yang lainnya. Semakin banyak manfaat bagi yang lain tentu akan semakin baik dan tinggi nilainya.
Andai kita belum mampu memberikan manfaat kecil kepada orang lain, maka jangan sampai kita membebani, atau bahkan meresahkan masyarakat. 
Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas artinya manusia yang paling baik  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.

Selasa, 23 Juni 2020

Filosofi Kejawen : Sangkan

Kejawen atau biasa dipanggil Kebatinan adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa (JawaWong Jawa, ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ; KramaTiyang Jawi , ꦠꦶꦪꦁꦗꦮꦶ) itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Kejawen atau dikenal juga dengan kebatinan adalah sebuah kepercayaan dari masyarakat Jawa.
Secara etimologi kata "kejawen" berasal dari kata "Jawa", sehingga kejawen dapat diartikan segala sesuatu yang berkenaan dengan Jawa, seperti adat dan kepercayaan.
Walaupun disebut kepercayaan, kejawen pada dasarnya adalah sebuah filsafat atau pandangan hidup.
Ini dibuktikan dari naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.
Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
Dari konsep ini, ajaran kejawen memiliki tujuan, bahwa setiap mereka yang menganut akan menjadi:
Mamayu Hayuning Pribadhi (rahmat bagi diri sendiri atau pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (rahmat bagi sesama manusia)
Mamayu Hayuning Bhuwana (rahmat bagi alam semesta)
Empat poin ini membuat ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan-aturan yang ketat dan lebih berfokus pada konsep tentang keseimbangan kehidupan. Dan mereka yang menganut kejawen hampir tidak pernah melakukan perluasan ajaran tapi lebih ke membuat pembinaan secara rutin.
Hal ini membuat para penganut ajaran kejawen tidak memandang ajaranya sebagai sebuah agama tetapi lebih sebagai cara pandang atau pandangan hidup.
naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.
Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
naskah-naskah kuno kejawen, terlihat bahwa kejawen lebih berupa kegiatan adat istiadat, ritual, seni, sikap, budaya, dan filosofi orang Jawa.
Agama-agama tersebut di antaranya seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luar kawasan nusantara. Sebelum agama-agama tersebut masuk masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau praktik perdukunan.
Pada umumnya mereka (orang Jawa) yang menganut kejawen dalam praktik keagamaanya entah itu Hindu, Budha, Kristen, atau Islam akan cenderung lebih taat.
Akan tetapi para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa, karena pada dasarnya ajaran kejawen yang dianut oleh masyarakat Jawa mendorong untuk para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Oleh karenanya konsep ini tidak bertentangan dengan konsep dari agama-agama seperti sebelumnya disebutkan.
Karena memang sudah sejak lama, masyarakat Jawa telah mengenal konsep keesaan Tuhan atau monoteisme.
Hal ini seperti yang ada pada salah satu konsep ajaran kejawen yang sering dikenal dengan "Sangkan Paraning Dumadhi" atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah asal dari semua kejadian atau kehidupan.
Kedua adalah "Manunggaling Kawula Lan Gusthi" yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah kesatuan antara hamba dan Tuhan.

Konsep kesatuan di sini tidak berarti Tuhan itu sendiri, melainkan bahwa manusia itu adalah bagian dari Tuhan sang pencipta alam semesta dan seisinya.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya: Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)

Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
13. Wani Ngalah luhur wekasane
14. Adigang, adigung, adiguna
15. Aja Dumeh
16. Sapa sira sapa ingsun
17. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani 
18. Menang ora kondang kalah gawe wiring
19. Wani Ngalah Luhur Wekasane
20. Aja Gumunan, Aja Kagetan, lan Aja Getunan
21. Desa mawa cara Negara mawa tata
22. Mikul dhuwur, mendhem jero 
23. Asu gedhe menang kerahe 
24. Anak polah bapa kepradah 

ARTI:

Mamayu Hayuning Bhawana, Ambrasto dur hangkara 

   Menebar kebaikan dan Memberantas sifat kemungkaran (untuk kemakmuran dunia)

Ngunduh wohing pakarti

   Menuai hasil (akibat) dari perbuatannya

Ajining salira saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi

   Kehormatan raga berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku

Urip iku urup

   Hidup itu menyala/menerangi/memberi

Lembah manah lan Andhap asor. 

   bersikap rendah hati (tawadhu’)

Aja adigang, adigung, adiguna

   Jangan membanggakan kekuatan, kebesaran dan kepandaian

Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa

   jangan merasa bisa, tetapi bisalah ikut merasakan

Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji.

   Kaya tanpa harta kekayaan dan Sakti tanpa mantra/ajimat




Memayu Ngunduh Ajining Urip - Lembah Sawang Aja Sugih - Ngluruk Mati .


Becik Ketitik Ala Ketara


Ungkapan selaras dengan ngunduh wohing pakarti adalah Becik ketitik - Ala ketara, yang artinya perbuatan baik akan tampak, dan perbuatan buruk akan terungkap. 
Maknanya, setiap perbuatan yang baik pasti akan diketahui oleh orang meskipun ia tidak menampakkannya. Pepatah asing mengatakan, “Kebaikan adalah bahasa yang dapat didengar oleh orang tuli dan dapat dilihat oleh orang buta.”
Pun sebaliknya, perilaku busuk cepat atau lambat juga pasti terungkap. Serapat atau seketat apa pun seseorang menutupi prilaku busuknya, pada akhirnya pasti akan ketahuan juga.
Maka ungkapan “Becik Ketitik Ala Ketara” ini mengingatkan manusia untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari prilaku busuk, karena perbuatan yang baik dan buruk semua akan nampak dan mendapatkan ganjaran yang setimpal sesuai dengan perbuatannya sendiri.

Gula Merah Sekilo

Alkisah, Seorang lelaki miskin menjual gula merah yang dibuat isterinya ke kota.

Isterinya selalu membuat gula merah dengan bentuk bulat dan beratnya 1 kg. Dia selalu menjual gula merah  itu ke salah satu toko dan membeli kebutuhan-kebutuhan harian mereka untuk sekadar makan.

Suatu ketika pemilik toko itu curiga dengan berat gula merah itu dan dia pun menimbangnya. Ternyata beratnya tidak sampai 1 Kg, hanya 900 Gram. Tangannya gemetar dan dadanya terasa seperti ingin meledak. “Jadi selama ini dia membohongiku. Berapa banyak kerugian yang aku alami. Penipu !” teriaknya dalam hati.

Hari itu lelaki miskin itu di datanginya dengan membawa gula merahnya. “Kamu telah menipu saya ! Kamu bilang gula merah ini 1 Kg ternyata hanya 900 Gram saja !” teriak penjual toko.

Lelaki miskin itu menundukkan kepalanya dan berkata: “ Kami orang miskin. Kami tidak punya timbangan di rumah. Kami membeli beras di toko Bapak seberat 1 Kg dan itulah yang kami jadikan timbangan untuk menimbang gula merah”

Senin, 22 Juni 2020

Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa


“Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa” artinya jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa.
Ungkapan “aja rumangsa bisa(jangan merasa bisa), maknanya adalah dalam menghadapi suatu permasalahan atau pekerjaan yang belum pernah dijalani hendaknya kita jangan merasa sok bisa, yang terkesan meremehkannya. Dalam menghadapi pekerjaan yang belum pernah dijalani hendaknya kita serius memahami persoalannya dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjalaninya.
Dalam peribahasa ini, “rumangsa bisa” dianggap sebagai sikap yang gegabah, dikarenakan “merasa bisa” sama saja dengan “belum tentu bisa”. Lebih berbahaya lagi bila “mengaku/sok bisa”, dan kemudian berani mengatakanpasti bisa”.
Pada sisi lain, ungkapan “bisa rumangsa” (bisa merasa) mempunyai makna kemampuan memahami perasaan orang lain.  Merupakan landasan sikap tenggang rasa antar sesama.
Ungkapan ini merupakan anjuran agar kita bisa merasakan kesulitan apa yang dialami oleh orang lain dalam menghadapi suatu permasalahan. Sikap ini adalah wujud empati dan mendatangkan simpati dari orang lain.
Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa merupakan sikap rendah hati (andhap asor) yang sangat ditekankan terhadap orang Jawa, karena sikap dan sifat ini akan mendatangkan ketenangan hidup.

Jer Basuki Mawa Beya


Jer basuki mawa beya, artinya untuk bahagia (berhasil) dibutuhkan biaya.  Maknanya bahwa untuk meraih kesuksesan maka dibutuhkan sebuah perjuangan dan pengorbanan (biaya).
Jer Basuki Mawa Beya, bahwa segala sesuatu membutuhkan biaya. Sekilas, orang akan beranggapan bahwa pepatah ini sangat bersifat materiil. Akibatnya, ada yang kemudian membuat “sindiran” dengan pernyataan: “Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang.
Tak salah memang. Tapi, pepatah Jawa tersebut sebenarnya punya nilai yang jauh dari sekadar materi. Nilainya sungguh luhur, yakni, bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ada proses, ada pengorbanan yang diberikan, ada kerja keras, ada keringat yang harus dikucurkan. Dan, inilah kesejatian hidup yang kita jalani. Tanpa kerja, hidup akan sia-sia. Tanpa bertindak, hidup tak akan jadi apa-apa.
Ada idiom berbahasa Inggris yang kerap kita dengar, “There’s no free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis. Hal itu bisa diartikan, bahwa di setiap hal yang kita lakukan, pasti butuh pengorbanan.
Jer basuki mawa beya, semua butuh “biaya”. Untuk itu, mari kita siapkan diri, agar selalu mampu membayar apa pun keinginan kita dengan perjuangan sepenuh hati. Sehingga, dengan kesiapan “bayar harga” itu, kita akan lebih optimis dalam perjuangan sepanjang tahun.

Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa hampir semua peristiwa besar di tanah air tak lepas dari keterlibatan militer. Dua peristiwa mutakhir yang masih segar dalam ingatan publik adalah Peristiwa Mei 1998 dan Peristiwa 27 Juli 1996. Dua peristiwa terakhir ini selalu aktual untuk dibahas karena menandai akhir sebuah era.

Rezim Soeharto memang berakhir pada Mei 1998, tapi rintisan atau pemanasan menuju kejatuhan itu sudah dimulai sejak Peristiwa 27 Juli 1996. Khusus untuk Peristiwa 27 Juli—atau dikenal 'Kudatuli' ('Kerusuhan 27 Juli)—meski sudah 22 tahun berlalu, tapi jejaknya masih kuat hingga kini. Hal itu bisa terjadi karena dua entitas “produk” (output) peristiwa, yaitu PDIP (baca Megawati Soekarno) dan sekelompok purnawirawan jenderal Angkatan Darat, adalah pihak yang berkuasa hari ini.

Pasca-27 Juli hingga memasuki era reformasi, dua entitas itu tak selamanya berjalan seiring. Dengan cara masing-masing, mereka mencari jalan menuju kekuasaan. Baru di era Presiden Jokowi inilah dua entitas itu kembali bertemu dalam panggung kekuasaan yang membahana.

Dalih Menuju Kekuasaan

Ada banyak kepentingan yang bermain sehubungan Peristiwa 27 Juli, salah satunya untuk menghentikan laju karier Letjen Soeyono (Akmil 1965), Kasum ABRI (kini TNI) saat itu. Ketika itu nama Soeyono santer disebut sebagai calon KSAD berikutnya untuk menggantikan Jenderal Hartono (Akmil 1962). Mengapa Soeyono harus dihentikan? Penjelasannya mungkin agak panjang dan rumit.

Ringkasnya begini: Memasuki 1990-an, dalam peta elite militer khususnya di tubuh Angkatan Darat, berkembang isu ada polarisasi antara dua faksi, yang kemudian diberi label “merah” dan “hijau”. Label merah merujuk sekumpulan perwira “nasionalis” dan (dalam batas tertentu) dianggap sekuler. Yang lebih penting untuk disampaikan, kelompok ini acapkali dianggap di bawah bayang-bayang Jenderal Benny Moerdani.

Sementara label hijau—kita sudah bisa menebaknya—adalah kelompok perwira yang dianggap dekat dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), organisasi (instan) yang saat itu berkibar. Figur dari kelompok ini adalah Pangab Jenderal Feisal Tanjung (Akmil 1961) dan KSAD Jenderal Hartono.


Setelah dua dekade berlalu, kita baru bisa menilai argumentasi pemberian label “merah” dan “hijau” terbilang sumir. Faksi hijau misalnya, tak sama dengan ideologi ala Masyumi yang sanggup menginspirasi gerakan PRRI di masa lalu. Demikian juga faksi merah: ideologi nasionalis tak bisa diklaim milik kelompok ini saja. Terlebih bila dihubungkan TNI hari ini ketika ideologi nasionalis semakin mengkristal sesuai semboyan generik “NKRI Harga Mati”.

Sejatinya, pengelompokan berdasarkan ideologi yang sumir itu adalah cara pragmatis menggapai kekuasaan. Ini sangat jelas pada kasus naiknya Jenderal Hartono sebagai KSAD. Feisal Tanjung adalah contoh lain. Ia dianggap bagian dari kelompok hijau karena kebetulan berlatar belakang keluarga Muhammadiyah dan dekat dengan figur Habibie. Selain itu, Feisal kebetulan menempuh Seskoad di Jerman.

Mustahil pula Hartono dihubungkan dengan ideologi hijau, terlebih bila hijau yang dimaksud adalah ideologi seperti Masyumi. Latar belakang etnis Hartono adalah Madura, umumnya adalah kaum nahdliyin. Kemudian, bila menilik jalur karier Hartono (sebelumnya) sebagai Kassospol ABRI, jabatan ini secara tradisi bukanlah jalur menuju KSAD, mengingat posisi Kassospol adalah implementasi “sayap politik” dari doktrin Dwifungsi—yang tidak dikenal dalam nomenklatur posisi pimpinan tentara di negara mana pun. Sementara untuk KSAD sebelumnya lebih sering direkrut dari posisi operasional (pasukan) seperti Pangkostrad atau Wakil KSAD.

Bila menelusurinya lagi, Soeyono hanyalah “tumbal” dari konflik internal dalam tubuh elite TNI AD. Posisi Soeyono yang tidak bisa diidentikkan dengan salah satu kubu menyebabkan kedudukannya rentan. Soeyono hanya bermodal kesetiaan (tanpa batas) pada figur Soeharto. Untuk ukuran jenderal bintang tiga, sikap tersebut terbilang naif.

Dalam kasus Soeyono, polarisasi itu bisa ditelusuri hingga di tingkat mikro, dalam hal ini lulusan Akmil 1965, yang tak lain adalah angkatan Soeyono. Lulusan Akmil 1965 terbilang besar (sekitar 400 perwira) sehingga banyak yang masuk jajaran perwira tinggi. Dari sekian jenderal, beberapa muncul sebagai figur kuat seperti Yunus Yosfiah, Theo Sjafei, Tarub, dan Syamsir Siregar.


Dengan kata lain, pada generasi ini telah muncul faksi, semacam satelit polarisasi di luar. Pada faksi merah, terdapat nama Theo Sjafei yang sejak lama dikenal sebagai perwira yang sangat dekat dengan Benny Moerdani. Sehingga pada level rekan setara, Soeyono sudah diadang Theo Sjafei. Dan, uniknya lagi, yang menggantikan Soeyono sebagai Kasum adalah Tarub, yang sama-sama tak bisa dikategorikan masuk dalam faksi tertentu. Kelompok merah memang seolah tidak memperoleh apa-apa terkait distribusi jabatan strategis TNI, tapi mereka memiliki agenda lain.

Theo Sjafei, sebagai bagian dari kelompok Benny, berperan penting dalam menggerakkan operasi intelijen tingkat tinggi di belakang Peristiwa 27 Juli. Operasi ini punya agenda utama melambungkan nama Megawati sebagai simbol perlawanan mereka terhadap Soeharto.

Bila kemudian Theo Sjafei begitu dipercaya oleh Megawati (ketika Megawati mulai menyongsong kekuasaan), hal itu karena hubungan keduanya sudah lama dibina, bahkan dari jauh-jauh hari sebelum Peristiwa 22 Juli.

Solidaritas Kujang I

Saya sendiri menduga pemberian label "tentara merah" dan "tentara hijau" adalah cara yang memudahkan para pengamat (termasuk jurnalis) dalam membaca peta militer saat itu. Para perwiranya sendiri justru tidak sadar bahwa mereka diidentifikasi dalam faksi tertentu, mengingat motivasi para perwira berkelompok sejatinya bukan dalam konteks ideologis, tapi lebih pada pragmatisme untuk mencapai karier vertikal.

Jika mengingat kembali masa itu, sebenarnya, ada variabel lain yang juga signifikan dalam promosi perwira. Variabel ini adalah solidaritas tipikal pada perwira yang pernah bertugas di lingkungan Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, satuan legendaris Kostrad yang sejak dua tahun terakhir telah berganti nama menjadi Brigade Infanteri Para Raider 17/Kujang I.

Asumsi terakhir ini bisa diuji di lapangan berdasarkan keterkaitan tiga perwira yang pernah menjadi komandan brigade tersebut: Feisal Tanjung (Komandan Brigade 1975-1977), Agus Widjoyo (1990-1991), dan Susilo Bambang Yudhoyono (1993-1994).

Saat Peristiwa 27 Juli, Brigjen SBY menjabat sebagai Kasdam Jaya. Sekitar sebulan setelahnya, pada akhir Agustus 1996, SBY dipromosikan sebagai Pangdam II/Sriwijaya (Palembang) dengan pangkat mayjen. SBY memang seperti mendapat tempat khusus dalam TNI. Kira-kira mirip Prabowo (Akmil 1974) yang begitu mudah meniti karier sebagai militer.

Saat diangkat sebagai Pangdam Sriwijaya, SBY menggantikan senior jauhnya, yaitu Mayjen Karyono (Akmil 1965). Pergantian itu adalah lompatan sangat luar biasa dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Biasanya pejabat baru adalah adik kelas satu atau dua angkatan. Namun, lompatan itu sempat “memakan” korban, yakni Brigjen Agus Widjoyo (Akmil 1970) yang saat itu menjabat Kasdam Sriwijaya.


Bila mengikuti kebiasaan, seharusnya Agus Widjoyo yang lebih diprioritaskan untuk menduduki posisi Pangdam Sriwijaya karena lebih senior dari SBY. Bisa saja ini skenario lanjutan dari polarisasi kelompok merah dan hijau, ketika Agus Widjoyo tidak masuk gerbong salah satu faksi tersebut. Pada titik ini Feisal Tanjung berperan menyelamatkan karier Agus dengan menariknya ke Mabes TNI (d/h ABRI) sebagai Staf Ahli Pangab bidang Polkam, menggantikan Mayjen Agum Gumelar (Akmil 1968). Dalam posisi terakhir ini, Agus Widjoyo menjadi setara dengan SBY: sama-sama bintang dua.

Promosi bagi SBY adalah satu rangkaian dengan digesernya Letjen Soeyono selaku Kasum dan diangkatnya Wiranto sebagai Pangkostrad dengan pangkat letjen. Rangkaian mutasi ini tentu bisa ditafsirkan politis, khususnya bagi Wiranto. Karena baru pada Wiranto-lah posisi Pangkostrad ditetapkan sebagai pos bintang tiga (letjen).

Dalam hal faksi, Soeyono dan Wiranto condong ke grup Cendana, yakni tegak lurus bersama figur Soeharto. Grup Cendana bisa disebut sebagai penyeimbang ketika terjadi polarisasi ekstrem antara kelompok hijau dan merah. Dengan kata lain, mereka berperan sebagai “poros ketiga”.

Reuni di Istana

Frasa jawa klasik wolak walike ing jaman (“pasang surut kehidupan”) sangat pas untuk menggambarkan perjalanan nasib dua entitas output Peristiwa 27 Juli 1996, dalam hal ini PDIP (baca Megawati Soekarnoputri) dan sekelompok perwira anak-didik Jenderal Benny Moerdani (Hendropriyono, Agum Gumelar, Luhut Panjaitan). Dua dekade setelah Kudatuli, mereka bertemu kembali di Istana dan menikmati manisnya madu kekuasaan.


Bisa jadi mereka sempat selisih jalan, tetapi kini bisa bersatu kembali memperkuat rezim Jokowi. Seperti Agum Gumelar, yang pada 2004 sempat coba-coba maju sebagai cawapres, seolah “menantang" Megawati, yang saat itu maju kembali sebagai capres periode kedua. Agum kalah, sebagaimana Megawati dan Wiranto. Namun, Agum juga gagal ketika maju sebagai cagub di Jabar (yang diusung PDIP) pada 2008.

Pengalaman pahit Agum (dan Wiranto) ini bisa menjadi pelajaran bagi para purnawirawan lain yang masih memiliki aspirasi kekuasaan: Lebih baik nempel pada kekuasaan yang sedang berlangsung daripada maju sendiri tanpa kepastian berhasil.

Tak heran, langkah untuk beredar di orbit kekuasaan yang sekarang diambil purnawirawan seperti Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Wiranto, dan seterusnya adalah cara tepat dan bisa menjadi model bagi purnawirawan lain yang sekiranya kurang percaya diri untuk maju sendiri sebagai capres atau cawapres.

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji

Sugih tanpa bandha, sekti tanpa aji-aji, artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan, dan menjadi sakti tanpa jimat ajian. 
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya. Sedangkan orang bisa menjadi Sekti (hebat) tidaklah dengan mantra dan jimat, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.  
Sugih Tanpa Bandha
Sugih tanpa bandha artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan.  Sesungguhnya hakikat kaya itu bukanlah banyak harta, tetapi kaya hati.  Pengertian kaya hati adalah mempunyai hati lapang sehingga dapat menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, damai dan sejahtera.
Tenang adalah  hidup yang tidak bergejolak (selalu tidak puas). Tenteram adalah tidak ada kecemasan/ketakutan/kesedihan. Damai adalah rukun bersatu, tidak ada permusuhan, dan tidak ada gangguan. Dan sejahtera adalah tidak kekurangan, tetapi berkecukupan dan penuh keceriaan.
Bagi kebanyakan orang (awam), kekayaan selalu identik dengan segala hal yang berbau materi atau benda, seperti uang melimpah, rumah megah, mobil berderet, pakaian necis, dan sebagainya. Sedangkan orang miskin berarti kebalikan dari semua itu.
Padahal sejatinya, “orang kaya” adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga dia terus berbagi.  Sedangkan “orang miskin”, adalah orang yang selalu merasa kurang, sehingga dia terus mencari.
Jadi orang yang banyak harta tapi masih merasa kurang, dan ia terus mencari (bahkan dengan korupsi) maka sejatinya ia itu miskin.  Sedangkan orang yang tidak banyak harta tetapi ia merasa cukup dan banyak bersedekah, maka sejatinya ia adalah orang kaya.
Rasulullah bersabda, "Kekayaan bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun, kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR Bukhari).
Mahatma Gandhi berkata, "Kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita punya, tetapi seberapa banyak kita bisa memberi".
Perlu dipahami, bahwa semua manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini mempunyai satu keinginan yang sama, yaitu “hidup bahagia”.
Dan ternyata hidup bahagia atau “kebahagiaan” itu tidak dapat diperoleh dengan harta, jabatan, kedudukan, maupun popularitas. Buktinya banyak orang kaya, banyak orang yang berkedudukan tinggi, dan banyak pula orang yang terkenal tetapi hidupnya tidak bahagia, menderita, tertekan, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Dalam agama Islam, kebahagiaan hanya dapat direngkuh oleh orang yang pandai bersyukur (merasa cukup) dan pandai bersabar (dalam menerima ujian).
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya.
Sekti Tanpa Aji-Aji
Pada jaman dulu kebanyakan orang ingin mempunyai kesaktian dan punya kewibawaan sehingga terpandang bagi masyarakat. Agar bisa menjadi sakti maka orang lantas berguru untuk mendapatkan ilmu kanuragan, lalu mengamalkan suatu amalan seperti berpuasa, bersemedi, membaca rapalan doa, dan sebagainya.
Ada pula yang ingin sakti tetapi dengan mengandalkan benda-benda keramat seperti wesi kuning, lembu sekilan, jimat dan sebagainya, sehingga ia kebal terhadap senjata tajam, atau memperoleh kewibaan.
Namun adapula yang berpandangan lain, terutama di jaman modern seperti sekarang ini, bahwa orang sakti adalah orang yang hebat atau sukses.  Untuk menjadi sakti (orang hebat) tidaklah dengan menggunakan jimat ajian atau perangkat kekebalan apapun, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Itulah makna “sekti tanpa aji-aji,” untuk menjadi orang yang sekti (hebat) maka tidak lagi dengan aji-aji (jimat atau rapalan) tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Dalam ajaran Islam, orang dinilai sukses apabila ia mampu memberi banyak manfaat kepada kebanyakan orang. Keberadaannya mampu memberi ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.

Rasulullah bersabda, Khoirunnas anfa'uhum linnas”  artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).