SANGKAN PARANING DUMADI ; Telah menjelajahi kehidupan lebih dari 50 tahun, saatnya merenungi dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk "hari kemudian"
Selasa, 30 Juni 2020
Penyebutan Keturunan dalam Bahasa Jawa
Berikut adalah istilah untuk level keturunan (ke bawah) dan level leluhur (ke atas) sampai urutan ke-18 dalam Bahasa Jawa.
URUTAN KE ATAS :
Moyang ke-18. Eyang Trah Tumerah
Moyang ke-17. Eyang Menyo-menyo
Moyang ke-16. Eyang Menyaman
Moyang ke-15. Eyang Ampleng
Moyang ke-14. Eyang Cumpleng
Moyang ke-13. Eyang Giyeng
Moyang ke-12. Eyang Cendheng
Moyang ke-11. Eyang Gropak Waton
Moyang ke-10. Eyang Galih Asem
Moyang ke-9. Eyang Debog Bosok
Moyang ke-8. Eyang Gropak Senthe
Moyang ke-7. Eyang Gantung Siwur
Moyang ke-6. Eyang Udeg-udeg
Moyang ke-5. Eyang Wareng
Moyang ke-4. Eyang Canggah
Moyang ke-3. Eyang Buyut
Moyang ke-2. Eyang (kakek/nenek dlm bhs Indonesia)
Moyang ke-1. Bapak/Ibu
DILIHAT DARI POSISI KITA :
Urutan ke bawah :
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu
Keturunan ke-3. Buyut
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udeg-udeg
Keturunan ke-7. Gantung siwur
Keturunan ke-8. Gropak Senthe
Keturunan ke-9. Debog Bosok
Keturunan ke-10. Galih Asem
Keturunan ke-11. Gropak waton
Keturunan ke-12. Cendheng
Keturunan ke-13. Giyeng
Keturunan ke-14. Cumpleng
Keturunan ke-15. Ampleng
Keturunan ke-16. Menyaman
Keturunan ke-17. Menyo2
Keturunan ke-18. Tumerah
Monggo disimpen .. niki peninggalan leluhur yang nyaris terlupakan...
[31/3 12.02] Asi: JAWA JOWO JAWI.
Kagem pangenget-enget kula aturaken sebutan wulan lan dinten basa Jawi, Piyantun Jawi sampun ngantos ninggalaken Jawinipun.
A. Wulan utawi Sasi:
01. Wadana (Januari)
02. Wijangga (Februari)
03. Wiyana (Maret)
04. Widada (April)
05. Widarpa (Mei)
06. Wilapa (Juni)
07. Wahana (Juli)
08. Wanana (Agustus)
09. Wurana (September)
10. Wujana (Oktober)
11. Wujala (Nopember)
12. Warana (Desember)
B. Dinten:
01. Radite (Ahad)
02. Soma (Senin)
03. Hanggara (Selasa)
04. Buda (Rabu)
05. Respati (Kamis)
06. Sukra (Jumat)
07. Tumpak (Sabtu)
Neptunipun dinten:*
01. Ahad: 5
02. Senin: 4
03. Selasa: 3
04. Rabu: 7
05. Kamis: 8
06. Jum'at: 6
07. Sabtu: 9
C. PEKENAN/WETON
Pon = Jenar
Wage = Cemengan.
Kliwon = Kasih.
Legi =. Manis
Pahing = Abritan
D. Neptu Weton:
01. Pahing: 9
02. Pon: 7
03. Wage: 4
04. Kliwon: 8
05. Legi: 5
Mugi-mugi wonten paedahipun, sinambi nguri-uri budaya adiluhung kita, menawi kirang utawi lepat nyuwun koreksi, Matur nuwun.
E. Arane Wuku
Sawuku umure saminggu, cacahe Wuku ana 30, yaiku :
Wuku Shinta
Wuku Landhep
Wuku Wukir
Wuku Kuranthil
Wuku Tolu
Wuku Gumbreng
Wuku Warigalit
Wuku Warigagung
Wuku Julungwangi
Wuku Sungsang
Wuku Galungan
Wuku Kuningan
Wuku Langkir
Wuku Arandhasiya
Wuku Julungpujut
Wuku Pahang
Wuku Kuruwelut
Wuku Marakeh
Wuku Tambir
Wuku Medhangkungan
Wuku Maktal
Wuku Wuye
Wuku Manakil
Wuku Prangbabat
Wuku Bala
Wuku Wungu
Wuku Wayang
Wuku Kulawu
Wuku Dhukut
Wuku Watugunung
F. Arane Sasi Masehi:
Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember
G. Arane Sasi Arab:
Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiutsani, Jumadil Ula, Jumadil Tsaniyah, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqadah, Dzulhijjah
H. Arane Sasi Jawa:
Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah/Selo, Besar
I. Arane Taun
Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jinakir
J. Arane Windu
Adi, Kuntara, Sangara, Sancaya
K. Arane Wilangan
Siji = Eka
Loro = Dwi
Telu = Tri
Papat = Catur
Lima = Panca
Nem = Sad
Pitu = Sapta
Wolu = Asta
Sanga = Nawa
Sepuluh = Dasa
Satus = Sata
Sewu = Sasra
Sepuluh ewu = Saleksa
Satus uwe = Sakethi
Sayuta = Sayuta
L. Arane Wayah
Jam 03:00 : Wayah Fajar Sidik (Bang-Bang Wetan)
Jam 04:00 : Wayah Bedhug Subuh
Jam 05:00 : Wayah Saput Lemah
Jam 06:00 : Wayah Byar
Jam 09:00 : Wayah Tengange
Jam 10:00 : Wayah Wisan Gawe
Jam 12:00 : Wayah Bedhug
Jam 13:00 : Wayah Luhur
Jam 15:00 : Wayah Lingsir Kulon
Jam 16:00 : Wayah Asar
Jam 17:00 : Wayah Tunggang Gunung
Jam 17:30 : Wayah Tribalayu
Jam 18:30 : Wayah Surub/Candrikala
Jam 19:00 : Wayah Bakda Magrib
Jam 19:30 : Wayah Isya’
Jam 20:00 : Wayah Bakda Isya’
Jam 21:00 : Wayah Sirep Bocah
Jam 23:00 : Wayah Sirep Wong
Jam 24:00 : Wayah Tengah Wengi
Jam 01.00 : Wayah Lingsir Wengi
M. Arane Kiblat
Lor = Utara
Kidul = Daksina
Wetan = Purwa
Kulon = Pracima
Mugi2 manfaat awit rumiyin nalika wonten SR/SD kita dipun wulang nyinau Jawi menika
Nuwun.....🙏🙏
Kamis, 25 Juni 2020
Fungsi Masjid, Islam Tidak Melarang Sampaikan Politik di Masjid
Sementara, Wasekjen MUI, Amiryah Tambunan mengatakan (6 Mei 2018), bicara politik di tempat ibadah itu diperbolehkan tetapi ada batasannya. Tetapi menjadikan tempat ibadah sbg arena politik praktis itu dilarang, itu jelas sudah ada di peraturan undang-undangnya. Rumah ibadah tidak boleh dijadikan tempat berkampanye untuk kepentingan politik, baik pemilihan kepala daerah, legislatif, maupun presiden.
Sedangkan Wapres Jusuf Kalla (JK) juga menegaskan, berpolitik dan berbicara politik di masjid tidak dilarang, yang dilarang adalah berkampanye di masjid.
Dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincang masalah kepolitikan, selain untuk ceramah dan salat atau sembahyang.
Namun untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis.
Apalagi menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.
Fungsi Masjid zaman Nabi
Pada zaman Nabi SAW fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah juga difungsikan sebagai pusat dakwah dan pemerintahan.
Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim, seperti diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.
Pendeknya, masjid pada zaman Rasulullah SAW merupakan pusat seluruh kegiatan kaum Muslim.
Secara garis besar Masjid mempunyai 4 fungsi, yaitu :
1. Fungsi Keagamaan : Ritual Shalat, I’tikaf, dzikir, membaca al-Qur,an, dsb
2. Fungsi Pendidikan : Khotbah, Tausiah, diskusi, seminar, pelatihan, perpustakaan, dsb.
3. Fungsi Sosial : Pusat kegiatan sosial, seperti pengumpulan dan penyaluran dana (ZIS) bagi dhuafa, tempat singgah bagi musafir, asrama (tidak tepat jika dilakukan saat ini), serta sarana silaturahmi persaudaraan, dsb
4. Fungsi Polkam : Diskusi, musyawarah, rapat dan menyusun kekuatan umat Islam.
https://www.beritasatu.com/politik/490269-mui-islam-tidak-melarang-sampaikan-politik-di-masjid
https://fokus.tempo.co/read/1086392/bicara-politik-di-masjid-untuk-kesejahteraan-umat-bukan-kampanye/full&view=ok
https://news.detik.com/berita/d-4080741/jk-politik-di-masjid-tidak-dilarang-yang-dilarang-kampanye
https://www.dw.com/id/mari-hentikan-bicara-politik-praktis-di-masjid-apalagi-jelang-pemilu-2019/a-44140177
https://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html
Rabu, 24 Juni 2020
Ngluruk tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake, Landhep tanpa Natoni
Mati Sajroning Urip
Urip Iku Urup
Selasa, 23 Juni 2020
Filosofi Kejawen : Sangkan
Mamayu Hayuning Bhawana, Ambrasto dur hangkara
Menebar kebaikan
dan Memberantas sifat kemungkaran (untuk kemakmuran dunia)
Ngunduh wohing pakarti
Menuai hasil
(akibat) dari perbuatannya
Ajining salira saka busana, Ajining diri saka lathi lan
budi
Kehormatan raga
berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku
Urip iku urup
Hidup itu
menyala/menerangi/memberi
Lembah manah lan Andhap asor.
bersikap rendah
hati (tawadhu’)
Aja adigang, adigung, adiguna
Jangan
membanggakan kekuatan, kebesaran dan kepandaian
Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa
Rumangsa
jangan merasa bisa, tetapi bisalah ikut merasakan
Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji.
Kaya tanpa
harta kekayaan dan Sakti tanpa mantra/ajimat
Becik Ketitik Ala Ketara
Gula Merah Sekilo
Isterinya selalu membuat gula merah dengan bentuk bulat dan beratnya 1 kg. Dia selalu menjual gula merah itu ke salah satu toko dan membeli kebutuhan-kebutuhan harian mereka untuk sekadar makan.
Suatu ketika pemilik toko itu curiga dengan berat gula merah itu dan dia pun menimbangnya. Ternyata beratnya tidak sampai 1 Kg, hanya 900 Gram. Tangannya gemetar dan dadanya terasa seperti ingin meledak. “Jadi selama ini dia membohongiku. Berapa banyak kerugian yang aku alami. Penipu !” teriaknya dalam hati.
Hari itu lelaki miskin itu di datanginya dengan membawa gula merahnya. “Kamu telah menipu saya ! Kamu bilang gula merah ini 1 Kg ternyata hanya 900 Gram saja !” teriak penjual toko.
Lelaki miskin itu menundukkan kepalanya dan berkata: “ Kami orang miskin. Kami tidak punya timbangan di rumah. Kami membeli beras di toko Bapak seberat 1 Kg dan itulah yang kami jadikan timbangan untuk menimbang gula merah”
Senin, 22 Juni 2020
Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
Jer Basuki Mawa Beya
Peristiwa 27 Juli: Konflik Para Jenderal AD, lalu Merapat ke Jokowi
Rezim Soeharto memang berakhir pada Mei 1998, tapi rintisan atau pemanasan menuju kejatuhan itu sudah dimulai sejak Peristiwa 27 Juli 1996. Khusus untuk Peristiwa 27 Juli—atau dikenal 'Kudatuli' ('Kerusuhan 27 Juli)—meski sudah 22 tahun berlalu, tapi jejaknya masih kuat hingga kini. Hal itu bisa terjadi karena dua entitas “produk” (output) peristiwa, yaitu PDIP (baca Megawati Soekarno) dan sekelompok purnawirawan jenderal Angkatan Darat, adalah pihak yang berkuasa hari ini.
Pasca-27 Juli hingga memasuki era reformasi, dua entitas itu tak selamanya berjalan seiring. Dengan cara masing-masing, mereka mencari jalan menuju kekuasaan. Baru di era Presiden Jokowi inilah dua entitas itu kembali bertemu dalam panggung kekuasaan yang membahana.
Dalih Menuju Kekuasaan
Ada banyak kepentingan yang bermain sehubungan Peristiwa 27 Juli, salah satunya untuk menghentikan laju karier Letjen Soeyono (Akmil 1965), Kasum ABRI (kini TNI) saat itu. Ketika itu nama Soeyono santer disebut sebagai calon KSAD berikutnya untuk menggantikan Jenderal Hartono (Akmil 1962). Mengapa Soeyono harus dihentikan? Penjelasannya mungkin agak panjang dan rumit.Ringkasnya begini: Memasuki 1990-an, dalam peta elite militer khususnya di tubuh Angkatan Darat, berkembang isu ada polarisasi antara dua faksi, yang kemudian diberi label “merah” dan “hijau”. Label merah merujuk sekumpulan perwira “nasionalis” dan (dalam batas tertentu) dianggap sekuler. Yang lebih penting untuk disampaikan, kelompok ini acapkali dianggap di bawah bayang-bayang Jenderal Benny Moerdani.
Sementara label hijau—kita sudah bisa menebaknya—adalah kelompok perwira yang dianggap dekat dengan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), organisasi (instan) yang saat itu berkibar. Figur dari kelompok ini adalah Pangab Jenderal Feisal Tanjung (Akmil 1961) dan KSAD Jenderal Hartono.
Setelah dua dekade berlalu, kita baru bisa menilai argumentasi pemberian label “merah” dan “hijau” terbilang sumir. Faksi hijau misalnya, tak sama dengan ideologi ala Masyumi yang sanggup menginspirasi gerakan PRRI di masa lalu. Demikian juga faksi merah: ideologi nasionalis tak bisa diklaim milik kelompok ini saja. Terlebih bila dihubungkan TNI hari ini ketika ideologi nasionalis semakin mengkristal sesuai semboyan generik “NKRI Harga Mati”.
Sejatinya, pengelompokan berdasarkan ideologi yang sumir itu adalah cara pragmatis menggapai kekuasaan. Ini sangat jelas pada kasus naiknya Jenderal Hartono sebagai KSAD. Feisal Tanjung adalah contoh lain. Ia dianggap bagian dari kelompok hijau karena kebetulan berlatar belakang keluarga Muhammadiyah dan dekat dengan figur Habibie. Selain itu, Feisal kebetulan menempuh Seskoad di Jerman.
Mustahil pula Hartono dihubungkan dengan ideologi hijau, terlebih bila hijau yang dimaksud adalah ideologi seperti Masyumi. Latar belakang etnis Hartono adalah Madura, umumnya adalah kaum nahdliyin. Kemudian, bila menilik jalur karier Hartono (sebelumnya) sebagai Kassospol ABRI, jabatan ini secara tradisi bukanlah jalur menuju KSAD, mengingat posisi Kassospol adalah implementasi “sayap politik” dari doktrin Dwifungsi—yang tidak dikenal dalam nomenklatur posisi pimpinan tentara di negara mana pun. Sementara untuk KSAD sebelumnya lebih sering direkrut dari posisi operasional (pasukan) seperti Pangkostrad atau Wakil KSAD.
Bila menelusurinya lagi, Soeyono hanyalah “tumbal” dari konflik internal dalam tubuh elite TNI AD. Posisi Soeyono yang tidak bisa diidentikkan dengan salah satu kubu menyebabkan kedudukannya rentan. Soeyono hanya bermodal kesetiaan (tanpa batas) pada figur Soeharto. Untuk ukuran jenderal bintang tiga, sikap tersebut terbilang naif.
Dalam kasus Soeyono, polarisasi itu bisa ditelusuri hingga di tingkat mikro, dalam hal ini lulusan Akmil 1965, yang tak lain adalah angkatan Soeyono. Lulusan Akmil 1965 terbilang besar (sekitar 400 perwira) sehingga banyak yang masuk jajaran perwira tinggi. Dari sekian jenderal, beberapa muncul sebagai figur kuat seperti Yunus Yosfiah, Theo Sjafei, Tarub, dan Syamsir Siregar.
Dengan kata lain, pada generasi ini telah muncul faksi, semacam satelit polarisasi di luar. Pada faksi merah, terdapat nama Theo Sjafei yang sejak lama dikenal sebagai perwira yang sangat dekat dengan Benny Moerdani. Sehingga pada level rekan setara, Soeyono sudah diadang Theo Sjafei. Dan, uniknya lagi, yang menggantikan Soeyono sebagai Kasum adalah Tarub, yang sama-sama tak bisa dikategorikan masuk dalam faksi tertentu. Kelompok merah memang seolah tidak memperoleh apa-apa terkait distribusi jabatan strategis TNI, tapi mereka memiliki agenda lain.
Theo Sjafei, sebagai bagian dari kelompok Benny, berperan penting dalam menggerakkan operasi intelijen tingkat tinggi di belakang Peristiwa 27 Juli. Operasi ini punya agenda utama melambungkan nama Megawati sebagai simbol perlawanan mereka terhadap Soeharto.
Bila kemudian Theo Sjafei begitu dipercaya oleh Megawati (ketika Megawati mulai menyongsong kekuasaan), hal itu karena hubungan keduanya sudah lama dibina, bahkan dari jauh-jauh hari sebelum Peristiwa 22 Juli.
Solidaritas Kujang I
Saya sendiri menduga pemberian label "tentara merah" dan "tentara hijau" adalah cara yang memudahkan para pengamat (termasuk jurnalis) dalam membaca peta militer saat itu. Para perwiranya sendiri justru tidak sadar bahwa mereka diidentifikasi dalam faksi tertentu, mengingat motivasi para perwira berkelompok sejatinya bukan dalam konteks ideologis, tapi lebih pada pragmatisme untuk mencapai karier vertikal.Jika mengingat kembali masa itu, sebenarnya, ada variabel lain yang juga signifikan dalam promosi perwira. Variabel ini adalah solidaritas tipikal pada perwira yang pernah bertugas di lingkungan Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, satuan legendaris Kostrad yang sejak dua tahun terakhir telah berganti nama menjadi Brigade Infanteri Para Raider 17/Kujang I.
Asumsi terakhir ini bisa diuji di lapangan berdasarkan keterkaitan tiga perwira yang pernah menjadi komandan brigade tersebut: Feisal Tanjung (Komandan Brigade 1975-1977), Agus Widjoyo (1990-1991), dan Susilo Bambang Yudhoyono (1993-1994).
Saat Peristiwa 27 Juli, Brigjen SBY menjabat sebagai Kasdam Jaya. Sekitar sebulan setelahnya, pada akhir Agustus 1996, SBY dipromosikan sebagai Pangdam II/Sriwijaya (Palembang) dengan pangkat mayjen. SBY memang seperti mendapat tempat khusus dalam TNI. Kira-kira mirip Prabowo (Akmil 1974) yang begitu mudah meniti karier sebagai militer.
Saat diangkat sebagai Pangdam Sriwijaya, SBY menggantikan senior jauhnya, yaitu Mayjen Karyono (Akmil 1965). Pergantian itu adalah lompatan sangat luar biasa dan mungkin satu-satunya yang pernah terjadi. Biasanya pejabat baru adalah adik kelas satu atau dua angkatan. Namun, lompatan itu sempat “memakan” korban, yakni Brigjen Agus Widjoyo (Akmil 1970) yang saat itu menjabat Kasdam Sriwijaya.
Bila mengikuti kebiasaan, seharusnya Agus Widjoyo yang lebih diprioritaskan untuk menduduki posisi Pangdam Sriwijaya karena lebih senior dari SBY. Bisa saja ini skenario lanjutan dari polarisasi kelompok merah dan hijau, ketika Agus Widjoyo tidak masuk gerbong salah satu faksi tersebut. Pada titik ini Feisal Tanjung berperan menyelamatkan karier Agus dengan menariknya ke Mabes TNI (d/h ABRI) sebagai Staf Ahli Pangab bidang Polkam, menggantikan Mayjen Agum Gumelar (Akmil 1968). Dalam posisi terakhir ini, Agus Widjoyo menjadi setara dengan SBY: sama-sama bintang dua.
Promosi bagi SBY adalah satu rangkaian dengan digesernya Letjen Soeyono selaku Kasum dan diangkatnya Wiranto sebagai Pangkostrad dengan pangkat letjen. Rangkaian mutasi ini tentu bisa ditafsirkan politis, khususnya bagi Wiranto. Karena baru pada Wiranto-lah posisi Pangkostrad ditetapkan sebagai pos bintang tiga (letjen).
Dalam hal faksi, Soeyono dan Wiranto condong ke grup Cendana, yakni tegak lurus bersama figur Soeharto. Grup Cendana bisa disebut sebagai penyeimbang ketika terjadi polarisasi ekstrem antara kelompok hijau dan merah. Dengan kata lain, mereka berperan sebagai “poros ketiga”.
Reuni di Istana
Frasa jawa klasik wolak walike ing jaman (“pasang surut kehidupan”) sangat pas untuk menggambarkan perjalanan nasib dua entitas output Peristiwa 27 Juli 1996, dalam hal ini PDIP (baca Megawati Soekarnoputri) dan sekelompok perwira anak-didik Jenderal Benny Moerdani (Hendropriyono, Agum Gumelar, Luhut Panjaitan). Dua dekade setelah Kudatuli, mereka bertemu kembali di Istana dan menikmati manisnya madu kekuasaan.Bisa jadi mereka sempat selisih jalan, tetapi kini bisa bersatu kembali memperkuat rezim Jokowi. Seperti Agum Gumelar, yang pada 2004 sempat coba-coba maju sebagai cawapres, seolah “menantang" Megawati, yang saat itu maju kembali sebagai capres periode kedua. Agum kalah, sebagaimana Megawati dan Wiranto. Namun, Agum juga gagal ketika maju sebagai cagub di Jabar (yang diusung PDIP) pada 2008.
Pengalaman pahit Agum (dan Wiranto) ini bisa menjadi pelajaran bagi para purnawirawan lain yang masih memiliki aspirasi kekuasaan: Lebih baik nempel pada kekuasaan yang sedang berlangsung daripada maju sendiri tanpa kepastian berhasil.
Tak heran, langkah untuk beredar di orbit kekuasaan yang sekarang diambil purnawirawan seperti Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Agum Gumelar, Wiranto, dan seterusnya adalah cara tepat dan bisa menjadi model bagi purnawirawan lain yang sekiranya kurang percaya diri untuk maju sendiri sebagai capres atau cawapres.
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.