Sabtu, 27 Oktober 2018

Hakekat Jasad, Jiwa dan Ruh


Manusia terdiri atas 3 unsur utama yaitu Jasad atau jasmani, Ruh dan Jiwa (Nafs)  . Banyak orang yang menyangka jiwa dan ruh itu hal sama.  Didalam Al Qur’an banyak ayat yang menjelaskan bahwa Ruh dan Jiwa  (Nafs) itu tidak lah sama.
Ruh adalah bagian yang suci dan yang memberi kehidupan pada  manusia , ia ditiupkan langsung oleh Allah kedalam Rahim ibu dan memberi kehidupan pada janin yang ada didalam Rahim itu .
Berbeda denga  Ruh, Jiwa atau Nafs tumbuh dan berkembang selama hidup didunia . Dia bisa keluar masuk tubuh manusia  tanpa mendatangkan kematian pada manusia . Ketika tidur jiwa atau nafs keluar dari tubuh berkelana mencari pengalaman sendiri , ketika jaga dia masuk kembali kedalam tubuh memberi kesadaran pada orang yang bersangkutan sebagaimana disebutkan didalam surat Az-Zumar ayat  42
Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.
Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia , biasa juga jatuh kederajat yang amat hina , lemah tidak berdaya.  Jiwa (Nafs) manusia secara umum cenderung mengikuti hawa nafsu yang hina dan perbuatan mungkar  sebagaimana disebutkan didalam Qur’an surat Yusuf : 53
Tugas utama kita adalah menjaga dan merawat jiwa agar tetap bersih dan kuat sampai datang saat ajal nanti
Dengan begitu maka dapat kita pahami bahwa manusia terdiri atas tiga unsur yang menjadi satu yaitu Jasad, Ruh dan Jiwa.  Jasad manusia diciptakan dari tanah . setelah datang kematian akan kembali ketanah pula. Jasad manusia tidak akan hidup tanpa Ruh .
Ruh berasal dari Allah bersifat netral dan suci ia memberi kehidupan pada manusia selama hidup didunia. Ruh hanya keluar dari tubuh ketika datang saat ajal yang telah ditetapkan Allah.
Jiwa merupakan bagian dari ruh yang bisa keluar masuk tubuh manusia tanpa menimbulkan kematian bagi manusia.  Jiwa merupakan kesadaran manusia yang bisa tumbuh berkembang menjadi kuat sehat  atau menjadi lemah dan sakit.  Kwalitas hidup seseorang tergantung pada keadaan jiwanya ini.
Jika jiwa keluar dari tubuh maka orang yang bersangkutan akan hilang kesadarannya, ia tidak bisa diajak berkomunikasi  seperti biasa.  Ia hadir berupa tubuh yang kosong dari kesadaran, ia bergerak kesana kemari tanpa kesadaran. Apa saja yang dilakukan tidak bisa dipertanggung jawabkan . Pandangan matanya kosong tanpa makna.
Orang yang jiwanya lemah kadang kala jiwanya dapat  dipaksa keluar oleh bangsa jin dan posisinya dan posisi jiwanya digantikan oleh jin yang memasuki tubuh nya itu.  Dalam kondisi ini biasanya kita kenal dengan istilah kesurupan. Orang yang kesurupan jin berbicara dan bertindak sesuai perilaku jin yang memasukinya.
Orang yang jiwanya sakit dan lemah juga amat rawan mendapat gangguan dari bangsa jin , yang berupa bisikan bisikan atau penampakan yang menyebabkan seseorang jadi linglung, bingung, ketakutan dan sering melakukan hal hal yang diluar control dan kendali dirinya .
Orang yang jiwanya sehat dan kuat tidak bisa diinterfensi oleh bangsa jin, bahkan jin takut pada orang yang berjiwa kuat ini.  Kita bisa memiliki jiwa yang sehat dan kuat dengan melakukan latihan dan bimbingan yang diberikan Allah dan Rasulullah , antara lain :
·         Lakukan shalat dengan benar dan khusuk.
·         Perbanyak mengerjakan shalat sunah yang dianjurkan seperti sunah rawatib, tahajud dll
·         Mengerjakan puasa sunah yang dianjurkan Rasulullah
·         Berzikir pada Allah didalam hati setiap saat dimanapun berada
·         Rutin membaca qur’an setiap hari dengan memahami maknanya.
·         Memperbanyak amal saleh seperti infak, sedekah, menolong sesama  dll
·         Menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah seperti zinah, mabuk, judi , dll
·         Dengan jiwa yang sehat dan kuat insya Allah kita akan mendapatkan kesejahteraan hidup didunia maupun akhirat .

&&&&&

Ruh itu bungkusnya jiwa, sedangkan jiwa bungkusnya raga. Jadi di dalam raga kita yang kita llihat sehari-hari ini terdapat jiwa dan ruh, dua entitas yang berbeda. Sebelum jiwa bersama-sama ruh ditiupkan ke dalam raga manusia dipanggil dulu ke hadapan Allah Ta’ala di suatu saat yang peristiwa itu terekam dalam Al Quran Surat Al A’raaf [7] ayat 172. Dikatakan sbb: Allah mengambil kesaksian atas anfus (jiwa-jiwa) mereka,

Dengan demikian entitas utama manusia adalah jiwanya. Adapun ruh berfungsi untuk menghidupkan jiwa dan raga. Sedangkan raga adalah kendaraan jiwa selama berada di alam dunia dan alam mulkiyah. Jadi jiwa kita yang berjalan sejak di alam alastu (alam persaksian), alam rahim, alam dunia, di alam barzakh dan seterusnya Jiwa kita dan seluruh manusia dipanggil ke hadapan Allah ta’ala. Allah bertanya, Bukankah Aku Rabbmu ? Dan kita pun dulu menjawab Iya, dan kami bersaksi (balaa syahidna) Dialog ini menunjukkan bahwa kita sudah mengenal Tuhan disana.
Rasulullah saw bersabda ‘man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu’ Siapa yang mengenal nafs (jiwa) nya maka akan mengenal Tuhannya. Perhatikan bahwa sang jiwa di sini yang menjadi titik fokus bukan ‘man arafa ruuhu’.

Jumat, 26 Oktober 2018

Filosofi : Sangkan Paraning Dumadi (3)

Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan.
Dalam bahasa Jawa kuno, sangkan  berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi (segala yang diciptakan), yang menjadikan atau pencipta.  Dengan begitu bahwa yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang Dari mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.“
Keberadaan manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sang Hyang Widhi, yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa.   Kelak pada akhirnya seluruh alam semesta akan kembali kepada-Nya.
Sangkan Paraning Dumadi  dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan.  Nilai-nilai luhur ketuhanan antara lain adalah jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin dan komitmen.
Karena itu, ada sebagian orang yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan Paraning Dumadi dengan filosofi ‘Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un, yang artinya "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali." (QS. Al-Baqarah 155-157).
Sangkan Paraning Dumadi  adalah konsep tauhid Islam dalam pengamalan ilmu kejawen.  Tauhid dalam bahasa arab diambil dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan. Arti dari term tersebut adalah menjadikan sesuatu jadi satu saja. Secara istilah, tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan sesembahan.
Filosofi Sangkan Paraning Dumadi
Tubuh manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh, dan ruhaniah sebagai isinya.
a.  Jasmani sebagai materi benda diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air, udara dan api (panas). Karena asalnya dari bahan sari pati alam, maka kelak jasmani akan kembali ke alam lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang udara kembali kepada udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan menyatu kembali kepada air.
b.  Ruh yang didalamnya terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak berwujud materi, terdiri dari tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan hati/perasaan.  Dari unsur2 itulah diri manusia bisa melihat, mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih sayang,  berfikir dan sebagainya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu”.(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).
Ruh atau jiwa tidak akan bisa hancur seperti jasmani. Ia akan tetap utuh sampai kapanpun. Lantas kemana kembalinya ruh apabila seseorang telah meninggal dunia?  Ilmu Jawa Kuno mempercayai bahwa bila manusia telah meninggalkan kehidupan dunia maka ruhnya akan kembali lagi kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Tuhan YME.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan di-ridhai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Ruh dan jiwa memang sejatinya hanya milik Allah semata dan Dia-lah yang menjaganya. Hal ini bisa kita lihat pada kondisi tertidur. Dalam tidur jiwa kita pergi mengembara meninggalkan jasad, sementara ruh tetap tinggal bersama jasad untuk menghidupinya. Kemudian jiwa kembali lagi saat kita terbangun.
Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.  Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia, bisa juga jatuh kederajat yang amat hina, lemah tidak berdaya. 
Untuk mendapatkan jiwa yang mulia dan berderajat tinggi, maka manusia harus membiasakan diri dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Metode atau cara seperti ini disebut Lelaku.  Metode yang lebih intensif untuk mencapai tujuan ini dilakukan dengan Tirakat, yaitu serangkaian kegiatan untuk mengendalikan hawa nafsu dengan cara puasa, bersemedi, dan sebagainya.

Sepuluh Filosofi Kejawen
Dalam ajaran ilmu falsafah tradisional Jawa kuno, Sangkan Paraning Dumadi  merupakan ajaran filosofi kejawen tertinggi dan sebagai muara dari seluruh pitutur luhur (nasehat) berupa pepatah atau pribahasa jawa yang jumlahnya mencapai ratusan.
Dari pepatah falsafah Jawa kuno, terdapat sepuluh falsafah yang menjadi pedoman bagi orang jawa dalam mensikapi kehidupan, yaitu :
1.  Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Memayu hayuning bawana, secara harfiah memayu artinya memperindah, hayuning artinya keindahan, dan bawana artinya dunia. Sehingga makna gramatikal memayu hayuning bawana adalah menebar kebaikan untuk kemakmuran duniaSedangkan ungkapan ambrasta dur hangkara mempunyai makna memberantas sifat kemungkaran.
Memayu hayuning bawana.
Dunia ini dihuni oleh mahluk-mahluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan dan alam. Dari mahluk-mahluk itu hanya manusialah yang dilengkapi oleh Tuhan dengan akal, nafsu, dan hati nurani. Dengan ketiga potensi itu manusia mempunyai kemampuan untuk memelihara atau bahkan sebaliknya merusak (kehidupan) dunia.
Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) atas mahluk lain di bumi ini, dan memberi tugas kepada manusia untuk mengelola dan mamakmurkan dunia agar tercipta suasana kehidupan yang tenang, tenteram, dan damai (hayuning bawana).
Agar tercipta suasana yang ideal itu (hayuning bawana) maka setiap manusia diminta untuk senantiasa berbuat baik terhadap sesama manusia maupun terhadap sesama mahluk hidup lainnya, yaitu hewan, tumbuhan dan alam.  Manusia tidak boleh bersikap sewenang – wenang terhadap mahluk hidup lainnya.  Manusia harus menjaga hak binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam.
Sebagai contoh manusia tidak boleh membunuh hewan dengan cara yang dapat merusak kelangsungan hidupnya, seperti meracun, bom ikan, dan sebagainya. Demikian pula dalam hal menebang pohon tidak boleh sembarangan.

Jika manusia tidak menjaga kesejahteraan dan keselarasan mahluk hidup justru akan menimbulkan dampak negatif pada manusia.  Dalam khasanah agama Islam, Memayu Hayuning Bawono dikenal dengan Rahmatan lil ‘alamin, yaitu keberadaan manusia menjadi rahmat bagi alam semesta.
Ambrasta dur hangkara.
Ambrasta dur hangkara (memberantas sifat kemungkaran) mempunyai makna bahwa untuk dapat menjalani kehidupan dengan aman dan damai maka manusia hendaknya menjauhi serta mencegah kemungkaran (sifat negatif) yang merugikan, seperti perbuatan jahat, serakah, tamak, dan sebagainya.
Dalam agama Islam, dikenal dengan Amar makruf nahi munkarSecara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih ditekankan pada upaya menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utama menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat agar tidak menyakiti atau merugikan satu sala lainnya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Makna dari “Memayu hayuning bawana, Ambrasta dur hangkara” adalah bahwa agar tercipta suasana aman, tenteram, damai dan sejahtera dalam kehidupan di dunia ini, maka manusia harus menjalankan prilaku kebajikan, serta menjauhi dan memberantas sifat kemungkaran.  Memang tidaklah mudah untuk dilaksanakan, namun itulah pitutur yang baik sebagai pedoman hidup bagi seluruh manusia.
2.  Ngunduh wohing pakarti 
Ngunduh wohing pakarti arti harfiahnya adalah menuai hasil dari perbuatannya.  Makna gramatikalnya adalah bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat balasan atau akibat yang sesuai apa yang telah diperbuatnya.  
Dalam pribahasa melayu kita kenal dengan pepatah, “Siapa menabur angin, akan menuai badai” artinya siapa yang melakukan perbuatan (buruk), maka ia akan menanggung akibatnya.  Dan tentu berlaku kebalikannya, siapa yang melakukan perbuatan baik, maka ia akan mendapatkan hasilnya.
Maka dari itu hendaknya setiap orang senantiasa berbuat kebajikan secara ikhlas tanpa pamrih, karena harus diyakini bahwa setiap kebajikan itu pasti akan berbuah manis sebagai balasan atas perbuatannya.
Sebaliknya semua orang hendaknya menghindari tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan merugikan orang lain, karena cepat atau lambat ia pasti akan mendapatkan balasan tidak menyenangkan dari apa yang telah ia perbuat. 
Allah SWT berfirman: “Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah - Wa man Ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah  artinya barangsiapa yang mengerjakan kebaikan atau keburukan meski sebesar zahrah (debu/atom), niscaya ia akan memperoleh balasannya (QS. Al-Zalzalah: 7-8)
Becik ketitik - Ala ketara
Ungkapan selaras dengan ngunduh wohing pakarti adalah Becik ketitik - Ala ketara, yang artinya perbuatan baik akan tampak, dan perbuatan buruk akan terungkap
Maknanya, setiap perbuatan yang baik pasti akan diketahui oleh orang meskipun ia tidak menampakkannya. Pepatah asing mengatakan, “Kebaikan adalah bahasa yang dapat didengar oleh orang tuli dan dapat dilihat oleh orang buta.”
Pun sebaliknya, perilaku busuk cepat atau lambat juga pasti terungkap. Serapat atau seketat apa pun seseorang menutupi prilaku busuknya, pada akhirnya pasti akan ketahuan juga.
Maka ungkapan “Becik Ketitik Ala Ketara” ini mengingatkan manusia untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari prilaku busuk, karena perbuatan yang baik dan buruk semua akan nampak dan mendapatkan ganjaran yang setimpal sesuai dengan perbuatannya sendiri.
3.  Ajining salira saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi
Ajining salira saka busana, ajining diri saka lathi lan budi artinya : Kehormatan raga berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku. 
Maknanya, kehormatan sosial seseorang bisa dilihat dari cara berpakaian, apakah bersih, rapih, dan sopan atau sebaliknya. Sedangkan kehormatan diri (akhlak) bisa diketahui dari cara berkomunikasi serta cara bersikap dan berperilaku. 
Ajining salira saka busana
Kehormatan fisikal (sosial) seseorang bisa dilihat dari cara ia berpakaian. Semakin tinggi kelas sosial seseorang biasanya ia berpakaian yang lebih baik.
Pakaian seseorang bukan dinilai dari mewah tidaknya, atau mahal murahnya, tetapi dari kebersihan, kerapihan, kesopanan, dan kepantasan. Apabila seseorang mengenakan pakaian yang mewah dengan harga mahal, tetapi apabila tidak baik dipandang dari etika kesopanan, maka disitulah orang akan mengaitkan dengan nilai etika moral.
Seseorang yang mengenakan pakaian mewah dan mahal tetapi tidak sesuai dengan tempatnya, misal di arisan ibu-ibu RT atau ke pasar, maka orang akan menilai bahwa ia adalah orang yang sombong.
Demikian pula sebaliknya, seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, namun hanya mengenakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu ia bisa menjadi perhatian dan pembicaraan negatif. Tentu ia bisa dianggap tidak menghargai atau meremehkan tuan rumah pengundang dan tamu lainnya.
Dalam hal berpakaian, Allah SWT berfirman, "Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS. Al-A’raf ayat 26) 
Selanjutnya pada surat yang sama ayat 31 Allah menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan."
Ajining diri saka ing lathi lan budi
Kehormatan diri (akhlak) seseorang bisa diketahui dari cara ia berkomunikasi serta cara ia bersikap dan berprilaku
Orang yang berakhlaq mulia (berilmu), dalam berkomunikasi ia akan menggunakan bahasa yang santun dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Sedangkan orang yang berakhlaq rendah biasanya bicaranya kasar, suka bergunjing, dan menyakiti perasaan orang lain.
Pepatah Jawa lain mengatakan “Wong apik seneng ngomongke apike liyan, Wong ala seneng ngomongke alane liyan
Pepatah melayu juga mengatakan “mulutmu harimaumu”, artinya ucapan-ucapan buruk dan salah akan berakibat buruk (menerkam) diri orang yang mengucapkannya.
Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, “orang beriman itu hendaklah berkata yang baik-baik, apabila tidak maka hendaklah ia diam” (HR. Bukhari).

Rasulullah bersabda, “Hiyaa Rukum ’Akhaa Sinukum akhlaaq”, Sebaik-baik orang diantara kalian ialah orang yg baik akhlaknya. (HR. Bukhari & Muslim).
4.  Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji
Sugih tanpa bandha, sekti tanpa aji-aji, artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan, dan menjadi sakti tanpa jimat ajian. 
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya. Sedangkan orang bisa menjadi Sekti (hebat) tidaklah dengan mantra dan jimat, tetapi dengan ilmu, ketrampilan dan kejujuran.  
Sugih Tanpa Bandha
Sugih tanpa bandha artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan.  Sesungguhnya hakikat kaya itu bukanlah banyak harta, tetapi kaya hati.  Pengertian kaya hati adalah mempunyai hati lapang sehingga dapat menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, damai dan sejahtera.
Tenang adalah  hidup yang tidak bergejolak (selalu tidak puas). Tenteram adalah tidak ada kecemasan/ketakutan/kesedihan. Damai adalah rukun bersatu, tidak ada permusuhan, dan tidak ada gangguan. Dan sejahtera adalah tidak kekurangan, tetapi berkecukupan dan penuh keceriaan.
Bagi kebanyakan orang (awam), kekayaan selalu identik dengan segala hal yang berbau materi atau benda, seperti uang melimpah, rumah megah, mobil berderet, pakaian necis, dan sebagainya. Sedangkan orang miskin berarti kebalikan dari semua itu.
Padahal sejatinya, “orang kaya” adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga dia terus berbagi.  Sedangkan “orang miskin”, adalah orang yang selalu merasa kurang, sehingga dia terus mencari.
Jadi orang yang banyak harta tapi masih merasa kurang, dan ia terus mencari (bahkan dengan korupsi) maka sejatinya ia itu miskin.  Sedangkan orang yang tidak banyak harta tetapi ia merasa cukup dan banyak bersedekah, maka sejatinya ia adalah orang kaya.
Rasulullah bersabda, "Kekayaan bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun, kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR Bukhari).
Mahatma Gandhi berkata, "Kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita punya, tetapi seberapa banyak kita bisa memberi".
Perlu dipahami, bahwa semua manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini mempunyai satu keinginan yang sama, yaitu “hidup bahagia”.
Dan ternyata hidup bahagia atau “kebahagiaan” itu tidak dapat diperoleh dengan harta, jabatan, kedudukan, maupun popularitas. Buktinya banyak orang kaya, banyak orang yang berkedudukan tinggi, dan banyak pula orang yang terkenal tetapi hidupnya tidak bahagia, menderita, tertekan, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Dalam agama Islam, kebahagiaan hanya dapat direngkuh oleh orang yang pandai bersyukur (merasa cukup) dan pandai bersabar (dalam menerima ujian).
Bahwa orang kaya (sugih) itu bukanlah orang yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya.
Sekti Tanpa Aji-Aji
Pada jaman dulu kebanyakan orang ingin mempunyai kesaktian dan punya kewibawaan sehingga terpandang bagi masyarakat. Agar bisa menjadi sakti maka orang lantas berguru untuk mendapatkan ilmu kanuragan, lalu mengamalkan suatu amalan seperti berpuasa, bersemedi, membaca rapalan doa, dan sebagainya.
Ada pula yang ingin sakti tetapi dengan mengandalkan benda-benda keramat seperti wesi kuning, lembu sekilan, jimat dan sebagainya, sehingga ia kebal terhadap senjata tajam, atau memperoleh kewibaan.
Namun adapula yang berpandangan lain, terutama di jaman modern seperti sekarang ini, bahwa orang sakti adalah orang yang hebat atau sukses.  Untuk menjadi sakti (orang hebat) tidaklah dengan menggunakan jimat ajian atau perangkat kekebalan apapun, tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Itulah makna “sekti tanpa aji-aji,” untuk menjadi orang yang sekti (hebat) maka tidak lagi dengan aji-aji (jimat atau rapalan) tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Dalam ajaran Islam, orang dinilai sukses apabila ia mampu memberi banyak manfaat kepada kebanyakan orang. Keberadaannya mampu memberi ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Rasulullah bersabda, Khoirunnas anfa'uhum linnas”  artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). 
5.  Jer Basuki Mowo Beya
Jer basuki mawa beya, artinya untuk bahagia (berhasil) dibutuhkan biaya.  Maknanya bahwa untuk meraih kesuksesan maka dibutuhkan sebuah perjuangan dan pengorbanan (biaya).
Jer Basuki Mawa Beya, bahwa segala sesuatu membutuhkan biaya. Sekilas, orang akan beranggapan bahwa pepatah ini sangat bersifat materiil. Akibatnya, ada yang kemudian membuat “sindiran” dengan pernyataan: “Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang.
Tak salah memang. Tapi, pepatah Jawa tersebut sebenarnya punya nilai yang jauh dari sekadar materi. Nilainya sungguh luhur, yakni, bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ada proses, ada pengorbanan yang diberikan, ada kerja keras, ada keringat yang harus dikucurkan. Dan, inilah kesejatian hidup yang kita jalani. Tanpa kerja, hidup akan sia-sia. Tanpa bertindak, hidup tak akan jadi apa-apa.
Ada idiom berbahasa Inggris yang kerap kita dengar, “There’s no free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis. Hal itu bisa diartikan, bahwa di setiap hal yang kita lakukan, pasti butuh pengorbanan.
Jer basuki mawa beya, semua butuh “biaya”. Untuk itu, mari kita siapkan diri, agar selalu mampu membayar apa pun keinginan kita dengan perjuangan sepenuh hati. Sehingga, dengan kesiapan “bayar harga” itu, kita akan lebih optimis dalam perjuangan sepanjang tahun.
6. Lembah manah lan Andhap asor.  
Dalam bahasa jawa pengertian  "lembah manah” dan “andhap asor”   mempunyai pengertian yang mirip, yaitu bersikap rendah hati
Sikap andhap asor atau rendah hati dalam Islam dikenal dengan istilah "tawadhu". Sedangkan lawan dari kata tawadhu’ atau rendah hati adalah membanggakan diri, sombong atau takabur.
Tawadhu adalah rendah hati, bukan rendah diri.  Rendah hati itu seperti dalam pepatah: "Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk” artinya: semakin tinggi ilmu seseorang semakin rendah hatinya.  Sedangkan rendah diri itu minder, tidak percaya diri, takut dan pesimis.
Orang yang tawadhu’ itu adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan tetapi tidak menyombongkan diri dan tidak meremehkan orang lain.  Dia penuh percaya diri, berani dan optimis, namun tetap menghargai orang lain.
Ciri-ciri orang yang memiliki karakter tawadhu diantaranya ialah ia sangat bersahaja dalam penampilan.  Selain itu ia tidak berambisi menjadi orang terkenal, mau bergaul dengan fakir miskin bahkan tulus mencintai mereka dan ringan tangan membantu orang lain, serta menerima kebenaran dari siapapun.  Karakter lain dari sifat tawadhu’ adalah ia tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji, dan sebaliknya tidak merasa terhina ketika dicaci.
Hikmah seseorang yang memiliki sikap tawadhu adalah ia senantiasa akan hidup tenang, damai dan lebih bahagia.  Karena tawadhu dapat menghilangkan kebencian, kecemburuan, iri, dengki, dan dendam, sehingga  mendatangkan persahabatan dan menjauhkan ketidak sukaan.  Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barang siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya."
Islam memerintahkan umatnya agar berendah hati tetapi melarang kita berendah diri. Allah SWT berfirman, "Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman," (QS 15: 88).
Rasulullah SAW juga bersabda: "Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu, sehingga seseorang tidak merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan tidak pula berlaku aniaya kepada orang lain." (HR Muslim)
Adapun lawan dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu an-nas). Rasulullah bersabda: Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki harta melimpah, kedudukan terhormat, berilmu tinggi, gelar mentereng, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.
7.  Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
“Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa” artinya jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa.
Ungkapan “aja rumangsa bisa(jangan merasa bisa), maknanya adalah dalam menghadapi suatu permasalahan atau pekerjaan yang belum pernah dijalani hendaknya kita jangan merasa sok bisa, yang terkesan meremehkannya. Dalam menghadapi pekerjaan yang belum pernah dijalani hendaknya kita serius memahami persoalannya dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjalaninya.
Dalam peribahasa ini, “rumangsa bisa” dianggap sebagai sikap yang gegabah, dikarenakan “merasa bisa” sama saja dengan “belum tentu bisa”. Lebih berbahaya lagi bila “mengaku/sok bisa”, dan kemudian berani mengatakan “pasti bisa”.
Pada sisi lain, ungkapan “bisa rumangsa” (bisa merasa) mempunyai makna kemampuan memahami perasaan orang lain.  Merupakan landasan sikap tenggang rasa antar sesama.
Ungkapan ini merupakan anjuran agar kita bisa merasakan kesulitan apa yang dialami oleh orang lain dalam menghadapi suatu permasalahan. Sikap ini adalah wujud empati dan mendatangkan simpati dari orang lain.
Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa merupakan sikap rendah hati (andhap asor) yang sangat ditekankan terhadap orang Jawa, karena sikap dan sifat ini akan mendatangkan ketenangan hidup.
8. Urip iku urup
Urip iku Urup, arti harfiahnya hidup itu menyala.  Maksudnya adalah hidup itu haruslah memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya, bagaikan lentera yang menerangi alam sekitarnya.
Menurut Aristoteles, kodrat manusia diciptakan sebagai makluk sosial, yaitu mahluk yang bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan.
Manusia tidak bisa hidup menyendiri, antara manusia yang satu dengan yang lain saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling bekerja sama.  Sehingga setiap individu manusia haruslah memberi manfaat kepada yang lainnya. Semakin banyak manfaat bagi yang lain tentu akan semakin baik dan tinggi nilainya.
Andai kita belum mampu memberikan manfaat kecil kepada orang lain, maka jangan sampai kita membebani, atau bahkan meresahkan masyarakat. 
Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas artinya manusia yang paling baik  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.
9.  Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni.  
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni, arti harfiahnya: Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, dan Tajam tapi tak melukai.
Makna gramatikalnya adalah, bahwa dalam menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan
Mereka mampu melawan tanpa membawa massa atau pasukan. Dan mampu memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun mengakui kekalahannya tanpa terluka.
Falsafah ini mengajarkan bagaimana menaklukkan lawan dengan cara yang sangat luhur penuh kebajikan.
10.  Mati sajeroning urip
Mati sajroning urip, arti harfiahnya mati dalam hidup.  Mati di dalam hidup maksudnya bukan mati secara jasad tetapi mematikan hawa nafsu (buruk) dalam menjalani kehidupan. Dalam diri manusia terdapat empat macam nafsu. Keempatnya disebut Amarah, Lauwwamah,  Mulhimah (supiah) dan Mutmainah.
Nafsu amarah disebut juga ego adalah nafsu yang paling rendah, paling buruk dan paling jahat.  Nafsu ini cenderung mengarah pada keirihatian. Nafsu lauwwamah memperturuti keinginan duniawi sehingga cenderung rakus dan tak mempunyai kepedulian terhadap orang lain. Adapun nafsu mulhiyah (sufiyah) mengarah pada dorongan syahwat biologis. 
Berbeda dari ketiga macam nafsu tersebut, nafsu Mutmainah merupakan nafsu mulia yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan beritikat selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih dipentingkan , maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.

Ada satu nasehat dari Rasulullah yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati” Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.