Selasa, 24 Oktober 2017

Ajaran Nabi Muhammad (Tidak) Sempurna ?

Judul diatas saya kutip dari statemen seorang kawan yang ditujukan kepada rekannya saat bincang-bincang santai (tapi serius) di mushallah kantor waktu Ishoma.  Dia menanggapi pandangan salah seorang rekannya tentang kesempurnaan ajaran Islam dengan kalimat, “kalau begitu cara pandangmu maka ajaran Nabi Muhammad tidaklah sempurna”. Perbincangan yang menjurus debat kecil itu cukup menarik untuk saya ikuti, karena bagi saya dapat menambah wawasan dalam menggali dan mengembangkan agama Islam.

Praktik bid’ah
Awalnya seorang kawan menyampaikan pandangan kepada rekan sekantor tentang banyaknya praktik bid’ah di kalangan masyarakat kita. Ia berdalih bahwa, “Islam itu sudah sempurna,  tidak boleh ditambah dan dikurangi; Kewajiban umat Islam adalah ittiba’ (mengikuti);  Apabila menambah-nambah atau mengada-ada sesuatu yang tidak ada tuntunannya itu namanya bid’ah;  Setiap bid’ah adalah kesesatan yang tempatnya di neraka; Apabila berselisih maka kembali pada al-Qur’an dan hadis”Ia menyampaikan pandangannya itu dengan mantab dan bersemangat, disertai dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang disampaikan dalam bahasa Arab.
Sontak, pandangan itu direspon oleh seorang kawan lainnya yang lebih senior dengan pertanyaan,  “Menurutmu, bagaimanakah pengaturan waktu shalat dan puasa di negara-negara Skandinavia, yang berada di dekat lingkar Kutub Utara?”. Dijelaskannya bahwa di kawasan itu waktu siangnya sangat panjang, rata-rata diatas 20 jam dan waktu malamnya sangat pendek, rata-rata kurang dari 4 jam.
Bahkan di Lapland (bagian provinsi Finlandia paling utara), pada suatu musim panas tahun 2008, matahari terlihat tidak pernah tenggelam selama beberapa minggu (siang terus). Fenomena alam itu dikenal dengan istilah Midnight Sun.  Nah, kalau demikian bagaimana pengaturan waktu shalatnya?  Kapan saat shalat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya?.
Ditambahkannya lagi, pada tahun 2015 yang lalu, di Islandia matahari terbit pukul 02.30 dinihari dan terbenam pada 23.50 tengah malam. Sehingga muslim di Islandia menjalani puasa dengan durasi waktu terlama di dunia (21,5 jam).  Mereka hanya memiliki waktu 2,5 jam untuk berbuka puasa, shalat magrib, shalat isya, shalat tarawih, dan makan sahur sebelum waktu subuh tiba.  Bagaimana pengaturannya? Apakah ada penjelasan di al-Qur’an dan hadis?
Mendengar pertanyaan itu kawan yunior-pun terdiam.  Ia nampak bingung, tak mampu menjawab.  Mungkin ia baru tahu kalau ada kawasan di belahan dunia ini yang mengalami situasi malam terus menerus. Bahkan mungkin juga ia mulai menyadari bahwa AQ dan hadis tidak mengatur pelaksanaan puasa dan shalat di sana.  Ia kehilangan dalilnya, “Apabila berselisih maka kembali pada al-Qur’an dan hadis”. 

Ajaran Nabi (Tidak) Sempurna.
Kemudian pertanyaanpun berlanjut, “Kenapa bisa terjadi perbedaan pendapat dalam penafsiran dalil-dalil AQ maupun hadis?”  Dan “kenapa timbul banyak mazhab atau golongan dalam Islam?”  Logikanya, kalau masih timbul perbedaan pendapat, itu berarti ajaran Nabi Muhammad belum sempurna. Semestinya, kalau sempurna tentu tidak bakal terjadi perbedaan pendapat, yang akhirnya memunculkan banyak mazhab atau golongan dalam Islam.
Terjadinya perbedaan pendapat itu disebabkan karena Nabi Muhammad, dalam menyampaikan ajarannya, “tidak menjelaskan secara rinci” seluruh teknis pelaksanaan ibadah maupun berbagai amalan lainnya dalam aspek kehidupan. 
Salah satu contoh kecil adalah masalah pelaksanaan shalat. Nabi mengajarkan shalat dengan mengatakan, “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”, artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”. Hadis itu shahih diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Karena Nabi mengajarkan shalat dengan cara menyuruh para sahabatnya melihat cara beliau shalat, akibatnya timbul banyak ragam cara umatnya melakukan shalat.  Beberapa orang sahabat melihat nabi shalat dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Seperti, dimana meletakkan tangan waktu berdiri, kemana pandangan mata diarahkan, bagaimana niat shalat, apakah imam mengeraskan bacaan basmalah, shalat tarawih berapa rakaat, dan seterusnya.
Coba seandainya nabi mengajarkan cara shalat dengan memberikan petunjuk secara teknis dan rinci, tentu tidak bakal timbul perbedaan pendapat tentang tata cara shalat.  Dengan demikian maka logikanya, cara nabi mengajarkan shalat hanya dengan “Shallu kama ra’aitumuni ushalli” adalah tidak sempurna, karena menimbulkan perbedaan pendapat.
Namun itu adalah sebuah logika sederhana yang menyangkal pandangan sempit, bahwa “Islam itu sudah sempurna,  tidak boleh ditambah dan dikurangi. Apabila menambah-nambah atau mengada-ada sesuatu yang tidak ada tuntunannya adalah bid’ah.  Setiap bid’ah adalah kesesatan yang tempatnya di neraka”.  Kawan tadi menambahkan, “kalau begitu cara pandangmu maka ajaran Nabi Muhammad tidaklah sempurna”.

Kesempurnaan ajaran Islam.
Menilai kesempurnaan ajaran Islam itu bukanlah pada “lengkap tidaknya” teks al-Qur’an dan hadis dalam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.  Pengaturan seluruh aspek kehidupan secara lengkap dalam teks al-Qur’an dan hadis tidaklah mungkin alias mustahil. 
Al-Qur’an dan hadis tidak mungkin dapat sempurna seperti keinginan manusia yang dapat mengatur secara lengkap dan rinci. Sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt, sebagai satu-satunya dzat yang maha sempurna.  Pandangan terhadap Islam sebagai agama yang paling sempurna adalah karena 4 alasan, yaitu:
Pertama, ajaran Islam telah merangkum seluruh ajaran agama yang disampaikan oleh para nabi sebelumnya.
Kedua, Islam mengajarkan nilai-nilai “kebajikan” universal yang sangat luas dan menyeluruh, mencakupi seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun keamanan.
Ketiga, ajaran Islam bersifat fleksibel dan mudah dilaksanakan. Ia memberikan keleluasaan bagi pemeluknya, khususnya para ulama, untuk ber-ijtihad dalam mengambil keputusan perkara yang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam al-Qur’an maupun hadis.
Keempat, ajaran Islam bersifat universal, berlaku sepanjang jaman dan bagi seluruh umat manusia di manapun berada.
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad sebagai manusia paling sempurna. Kesempurnaan nabi Muhammad bukan berarti beliau sebagai manusia tidak pernah lupa, keliru ataupun sedih. Justru kekeliruan, lupa dan kesedihan nabi mengandung hikmah dan pelajaran bagi umatnya.
Kalau dijabarkan lebih jauh lagi, bahwa nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam meliputi pedoman  berperilaku, baik secara personal maupun sosial.  Islam mengajarkan bagaimana adab (tata karma) prilaku manusia, sejak bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. 
Demikian juga dalam hubungan sosial.  Islam memberikan panduan dalam konteks hubungan dalam keluarga, dengan tetangga dan dengan masyarakat luas.  Islam mengatur hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, dan sebaliknya. Kemudian juga mengajarkan tentang etika, warisan, pernikahan, dan sebagainya. Dalam hubungan sosial dengan tetangga dan masyarakat luas, Islam mengajarkan masalah toleransi, hak asasi, jual beli, hutang piutang, hingga sanksi pidana. Kesemuanya aturan itu ada dalam Islam, dan (barangkali) tidak ada dalam agama selain Islam.
Namun, jangan berharap Islam mengatur kesemuanya itu secara lengkap dan rinci. Islam hanya memberikan panduan aturan secara garis besar berupa nilai-nilai, bukan teknis.  Kalau Nabi Muhammad dituntut untuk mengajarkan risalah Islam secara lengkap dan rinci hingga teknis pelaksanaan sekecil-kecilnya, maka durasi waktu 11 tahun (efektif sejak hijrah hingga wafat) tidaklah cukup.  Dan kalau ditulis dalam sebuah risalah maka bisa jadi tebalnya mencapai berjuta halaman.

Praktik Bid’ah
Sepeninggal Nabi, para sahabat banyak yang mempraktikkan bid’ah. Seperti praktik shalat tarawih berjamaah, pembukuan al-Qur’an, Adzan shalat jum’at 2 kali, shalat sunah usai wudlu, do’a al-fatihah untuk mengobati penyakit, dan masih banyak lagi. Itu semua dilakukan oleh para sahabat semata untuk tujuan yang baik, dan tentu tidak menyimpang dari garis yang pernah dilakukan oleh Nabi. Yang demikian itu oleh para ulama disebut sebagai bid’ah hasanah.
Praktik-praktik bid’ah juga banyak dilakukan oleh umat saat ini, seperti: zakat fitrah dengan beras, zakat profesi, qurban dikirim ke pelosok desa, shalat jama’ qashar dalam perjalanan pesawat terbang, dzikir berjamaah, halal bi halal, peringatan maulid, dan sebagainya.  Praktik-praktik ibadah itu semua tidak ditemukan dalam hadis Nabi, dan tentu tergolong bid’ah. 
Sebagian amalan, zakat misalnya,  apabila harus mengikuti yang dicontohkan persis oleh Nabi (berupa gandum, kurma, anggur kering, atau keju) dan tidak boleh dalam bentuk uang, tentu akan timbul permasalahan. Oleh karenanya para ulama ber-ijtihad memperbolehkan zakat dalam bentuk uang, karena pertimbangan faktor kemudahan dalam penerimaan dan penyaluran, serta nilai kemanfaatannya. Asalkan tidak menyimpang secara hakekat. Itulah bid’ah hasanah.
Para ulama besar seperti Imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibnu Hambal), serta ulama besar lainnya adalah para ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama, amal dan akhlak yang tinggi.  Mereka hafal al-Qur’an dan mempunyai pengetahuan yang sangat dalam tentang sunah rasul.  Dalam ber-ijtihad untuk menetapkan sebuah hukum, mereka sangat bersungguhsungguh. Tetapi hasilnya ada perbedaan diantara mereka.  Dan tentu diantara ketetapan hukumnya ada unsur bid’ah.  Apakah mereka sesat?

Perbedaan pendapat adalah rahmat
Sesungguhnya, perbedaan pendapat yang timbul di antara kaum muslim adalah hal wajar dan merupakan sunatullah.  Timbulnya  Iktilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama dalam memahami AQ dan hadist disebabkan oleh : (1) Ayat AQ dapat mengandung banyak makna. (2) Hadis beredar dari mulut ke mulut selama hampir dua ratus tahun di antara perawi hadis, sehingga dalam penulisannya memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan. (3) Kecerdasan, pengalaman dan sosio-kultural para ulama yang berbeda, menyebabkan berbeda dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dan hadis, serta berbeda dalam menyusun metode Ijtihad.
Namun demikian, dibalik perbedaan pendapat diantara para ulama justru mengandung hikmah. Karena dari perbedaan tersebut kaum muslim diberikan kesempatan untuk berpikir menggunakan akalnya sehingga memperoleh kebenaran.  Rasulullah bersabda, “Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi). Meski hadis ini dinyatakan dhaif (lemah) oleh para ulama, namun Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, pendiri Madzhab Hambali, berpendapat bahwa hadis dha’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (baik) bukan untuk menentukan hukum.
Perbedaan pendapat pada tataran teknis tentang pelaksanaan shalat bukanlah menjadi masalah, asalkan tidak menyimpang dari rukun (aturan pokok), seperti keberadaan sikap berdiri, rukuk, sujud, tahyat, dan salam, atau jumlah rakaat pada shalat fardhu.
Maksud perintah Nabi “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat” adalah untuk memberikan kebebasan berkreasi bagi umatnya dalam memperbanyak amalan shalat sesuai rukunnya (aturan pokok).  Bukan dalam rangka mengatur bagaimana posisi tangan waktu bersedekap, apakah di dada, perut, antara dada dan perut, dan sebagainya.
Demikian juga pada masalah pelaksanaan puasa, dzikir, dan zakat.  Asal tidak menyimpang dari hakekat dan rukunnya, umat nabi Muhammad diberi keleluasaan untuk berijtihad sesuai situasi dan permasalahan lapangan yang selalu berkembang.  Hal itu janganlah dibilang bid’ah.  Karena nabi telah memberi sinyal secara tegas mana yang diperintah dan yang dilarang.
Sesungguhnya ajaran agama Islam itu memang sempurna.   Tetapi apabila dalil-dalil al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara sempit, maka akan hilanglah makna kesempurnaannya.  Pengertian “sempurna” tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang lengkap, rinci dan tanpa penafsiran.   
Kesempurnaan ajaran Islam justru terletak pada fleksibilitas dalam pengamalan aturan hukumnya yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia dengan segenap nilai-nilai “kebajikan” universal.  Fleksibilitas itu ada pada Ijtihad, sebagai salah satu dari tiga sumber hukum selain al-Qur’an dan hadis. Dasar hukum yang menguatkan ijtihad berasal dari hadis Nabi juga.

4 Madzhab dalam Ilmu Fiqih

Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid.
Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.
Madzhab Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.
Madzhab Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul.
Madzhab Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.
Madzhab Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.
Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Kamis, 19 Oktober 2017

Pitutur Jowo

Wong nrimo, uripe dowo
Wong sabar, rejekine jembar *
Wong ngalah, uripe bakal berkah

Sopo sing jujur, uripe makmur
Sopo sing suloyo, uripe sengsoro
Sopo sing sombong, amale bakal kobong
Sopo sing telaten, bakal panen

Ojo podo nggresulo, mundak gelis tuwo
Sing wis lungo, lalekno
Sing durung teko, entenono
Sing wis ono, syukurono
  
Mulyo kuwi yen:
🔸Awake waras,
🔹Nduwe beras,
🔸Utange lunas,
🔹Mangan enak..
🔸Turu kepenak..
🔹Ngibadah jenak..
🔹Keluarga cedhak..

🔸Tonggo semanak..

Rabu, 18 Oktober 2017

Empat Sumber Ajaran Islam

Sumber ajaran Islam ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan acuan, pedoman, dasar dalam menjalankan syariat islam.

Sumber ajaran Islam sesuai yang disepakati oleh para jumhur ulama ada empat macam, yaitu:
(1) Al-Qur’an,  (2) Sunah Rasul (3) Ijma’ dan (4) Qiyas

Dari kalangan para Ulama, sumber paling utama itu adalah Qur’an dan Hadis  sebagai sumber hukum pokok (Primer).  Sedangkan Ijma’ dan Qiyas merupakan sumber hukum pelengkap (Sekunder) 

SUMBER POKOK (PRIMER)

1.   AL QUR'AN

Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, sebagai pedoman hidup serta petunjuk bagi seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupan. 

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menyempurnakan wahyu-wahyu Allah dalam kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu Taurat (Nabi Musa), Zabur (Nabi Daud) dan Injil (Nabi Isa).

Kandungan Al-Qur’an berisi petunjuk dan peraturan tentang hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia dan mahluk hidup lainnya, serta sejarah atau kisah mengenai orang-orang yang terdahulu.

2.   SUNAH RASUL ATAU HADIS 

Sunah Rasul adalah segala perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Hadis (Al-Hadits) adalah dokumen yang memuat informasi tentang perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad, yang ditulis oleh para ulama berdasarkan informasi dari para sahabat atau orang-orang yang mengalami, melihat dan mendengar prilaku Rasul.

Para ahli agama yang membukukan sunah Rasul secara sistematis adalah:  Imam Bukhari (lahir di Bukhara Uzbeksitan, 194 H), Imam Muslim (lahir di Naisabur, 206 H), Imam Abu Dawud (lahir di Sijistan, 202 H), Imam At-Tirmizi (lahir di Turmudz Iran, 209 H), dan Ibnu Majah (lahir di Qazvin Iran, 207 H.)

Dalam konteks hokum fiqih, hadis berfungsi untuk memperjelas, menafsirkan isi atau kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan memperkuat pernyataan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengembangkan segala sesuatu yang samar-samar atau bahkan tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an.

Hal itu dimungkinkan karena Alquran tak hanya berisi ayat-ayat yang qath’i (jelas), tetapi juga banyak yang zhanni (samar) sehingga membutuhkan penjelasan terperinci. 

Dalam menetapkan sebuah hukum fiqih, biasanya para ahli dalam ilmu fiqih mencari hukum fiqih itu dari Al-‘Qur’an terlebih dahulu, baru kemudian diperkuat dengan Sunnah atau hadis. 
Jadi Sunah Rasul atau Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an

Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam dijelaskan oleh Rasulullah saat wukuf di Padang Arafah, 9 Dzulhijah tahun 10 H. Rasulullah bersabda, “Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara dan tidak akan tersesat kalian selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yakni kitabullah (Alquran) dan sunah Rasulullah.” (HR Imam Malik).

Seiring perjalanan waktu, perkataan, perbuatan, ketetapan, atau akhlak Rasulullah diterjemahkan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda pula dari berbagai generasi. Akibatnya, hadis-hadis yang memiliki kualitas rendah, bahkan hadis palsu.

Rendahnya kualitas hadis ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimiliki, berkaitan dengan cara menukilkan atau meriwayatkan hadis Nabi SAW, baik dari sisi perawinya (orang yang meri wayatkan hadis) maupun makna yang terkandung dari hadis tersebut.

Untuk mengetahui kualitas suatu hadis digunakan ilmu yang disebut ilmu musthalah al-hadits. Ini adalah ilmu yang mempelajari periwayatan hadis dan kualitas dari hadis yang diriwayatkan.

Karena itu, para ulama mengklasifikasikan hadis dalam beberapa kelompok. Ada yang disebut hadis mutawatir, ahad, sahih, hasan, dhaif, maudhu, matruk, marfu’, dan sebagainya.

Macam-macam Hadis atau Sunnah

a.    Dari segi bentuknya, diantaranya:
·   Qauliyah yakni semua perkataan Rasulullah
·    Fi’liyah yakni semua perbuatan Rasulullah
·    Taqririyah yakni penetapan, persetujuan dan pengakuan Rasulullah
.    Hammiyah yakni sesuatu yang telah direncanakan oleh Rasulullah dan telah disampaikan kepada para sahabatnya untuk dikerjakan namun belum sempat dikerjakan dikarenakan telah datang ajalnya.

b.     Dari segi jumlah orang yang menyampaikannya, diantaranya:
.    Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak.
.    Masyhur yaitu diriwayatkan oleh banyak orang, namun tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat mutawatir.
.    Ahad yaitu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja.

c.     Dari segi kualitasnya, diantaranya:
.     Shahih yakni hadits yang benar dan sehat tanpa ada keraguan atau kecacatan.
.     Hasan yakni hadits yang baik, memenuhi syarat seperti hadits shahih, letak perbedaannya hanya dari segi kedhobitannya (kuat hafalan). Hadits shahih kedhobitannya lebih sempurna daripada hadits hasan.
.     Dhaif yakni hadits yang lemah.
.     Maudhu yakni hadits yang palsu atau dibuat-buat.

SUMBER PELENGKAP (SEKUNDER) 

IJTIHAD.   Dalam hal perkara hukum yang belum atau tidak secara tegas dinyatakan dalam Al-Quran dan Hadis, maka para ulama melakukan sebuah upaya dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu dan pikirannya untuk menetapkan sebuah hukum (hukum Syar’i). Upaya para ulama (mujtahid) itu itu disebut dengan Ijtihad.

Secara sederhana pengertian Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh untuk menetapkan sebuah hukum yang tidak secara tegas ditetapkan dalam Al-Quran maupun Hadis.

Dalam melakukan Ijtihad, para ulama mempunyai beberapa cara yaitu: Ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah,  Sududz Dzariyah, Istishab, dan Urf.

Macam-macam Ijtihad
1.   IJMA’ 
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan para ulama (mujathid) dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam suatu perkara yang terjadi yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan Hadis. Hasil kesepakatan bersama para ulama itu kemudian dijadikan suatu keputusan yang dinamakan Fatwa, yang bisa dijadikan pedoman untuk diikuti seluruh umat. 
Dalam Islam, Ijma sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.  Ijma’ kedudukannya sudah disepakati oleh para jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an, dan Hadis.
2.   QIYAS
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan.  Qiyas adalah menetapkan suatu hukum atau suatu perkara yang baru muncul, yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.   Contoh qiyas antara lain adalah membayar zakat fitrah dengan beras, yang besarannya disamakan dengan gandum.  
Dalam Islam, Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.   Qiyas kedudukannya sudah disepakati oleh para jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’.
3.   Istihsan  yaitu tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam. Istihsan ini adalah salah satu cara yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja.
4.   Maslahah Mursalah  merupakan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan.
5.   Sududz Dzariah merupakan tindakan dalam memutuskan sesuatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan dan kemaslahatan umat.
6.   Istishab merupakan menetapkan ssuatu keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. Atau menetapkan berdasarkan hukum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
7.   Urf merupakan segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan, adat atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

Jadi jelaslah bahwa sumber ajaran Islam telah di rumuskan oleh Rasuluallah SAW, yakni terdiri dari empat sumber pokok yang dijadikan acuan, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadits), Ijma' dan Qiyas.

Sabtu, 14 Oktober 2017

Ajaran Nabi Muhammad (Tidak) Sempurna

Judul diatas jangan direspon secara serius, karena saya hanya mengutip statemen seseorang yang ditujukan kepada rekannya saat bincang-bincang santai di beranda masjid.
Awalnya seorang kawan menyampaikan pandangannya kepada rekannya tentang banyaknya praktik bid’ah. Ia berdalih: Islam itu sudah sempurna  tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’ (mengikuti).  Apabila menambah-nambah atau mengada-ada yang tidak ada tuntunannya itu bid’ah.  Setiap bid’ah adalah kesesatan dan tempatnya di neraka. Apabila berselisih maka kembali pada al-Qur’an dan hadis.[1]
Pandangan tersebut disambut dengan pertanyaan, bagaimana pemahaman saudara tentang sempurna itu? Tolong jelaskan, (1) Kenapa terjadi banyak penafsiran terhadap dalil-dalil dalam AQ maupun hadis? (2) Kenapa terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama terhadap suatu masalah hukum? (3) Kenapa dalam Islam muncul banyak mazhab dan golongan? (4) Dan masih banyak pertanyaan “kenapa”
Ohhh… kalau itu sih karena banyak orang yang tidak mau tunduk pada sunah rasul.
Menurut saya, jawabannya adalah : Karena Ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad “tidak sempurna” , dalam tanda petik ya.
Salah satu contoh adalah masalah tata cara pelaksanaan shalat. Nabi mengajarkan, “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”, artinya : Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat. (Shahih Bukhari).
Ajaran Rasul itiu menimbulkan banyak ragam cara orang melakukan shalat.  Seperti dimana meletakkan tangan waktu berdiri, bagaimana sikap pada posisi sujud, kemana pandangan mata diarahkan, bagaimana niat itu, dan seterusnya.
Seandainya nabi mengajarkan cara shalat secara detail, dimana meletakkan tangan waktu berdiri, bagaimana sikap pada posisi sujud, kemana pandangan mata diarahkan, bagaimana niat itu, dan seterusnya, maka tidak akan timbul perbedaan pendapat tentang tata cara shalat.  Nah itu baru sempurna.
Dengan demikian maka cara nabi mengajarkan shalat dengan cara “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”  adalah tidak sempurna.
Tetapi menurut saya beragam cara pelaksanaan shalat tidaklah masalah, asalkan tidak mengubah aturan pokok, seperti jumlah rakaat, adanya sikap berdiri, rukuk, sujud, tahyat, dan salam. Itulah maksud Nabi “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”.  Jika hanya masalah posisi tangan waktu bersedekap, itu bukanlah masalah.
Demikian juga masalah puasa, dzikir, dan zakat.  Asal tidak menyimpang dari aturan pokok taka da masalah. Jangan dibilang bid’ah.

Sesungguhnya ajaran agama Islam itu telah sempurna.   Dalil diatas juga jangan diterjemahkan secara sempit.  Pengertian “sempurna” tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang lengkap, detail dan tanpa penafsiran.    Ajaran Islam yang disampaikan Nabi hanya bersifat garis besar berupa aturan pokok, tidak detail dan teknis.
Kesempurnaan disini bermakna, ajaran Islam telah merangkum seluruh ajaran yang disampaikan oleh para nabi sebelumnya. Ajaran Islam telah meliputi semua aspek kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, hubungan antar manusia, keluarga, bertetangga, dan sebagainya.
Sepeninggal nabi, para sahabat juga banyak mempraktikkan bid’ah. Seperti shalat tarawih berjamaah, pembukuan al-Qur’an, Adzan shalat jum’at 2 kali, shalat sunah usai wudlu, do’a al-fatihah untuk mengobati penyakit, shalat dua rakaat sebelum dihukum mati, dan sebagainya.

Praktik-praktik bid’ah saat ini yang tidak ada tuntunan nabi juga banyak, seperti: Zakat fitrah dengan beras, zakat profesi, halal bi halal, dan sebagainya.  






[1] Setidaknya ada 3 dalil yang mendasarinya:
(a) Al-Maidah ayat 3: “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …”.
(b) Hadis : “Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i)
© QS. An-Nisa 59: “jika kalian berselisih maka kembalikan pada Allah dan Rasul-Nya”.

Manusia Terbaik Menurut Islam (Dalil2)

1. Orang beriman dan beramal shalih
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. (QS. Al Bayyinah: 7)

2. Manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath No. 5787. Al Qudha’i, Musnad Syihab No. 129. Dihasankan Syaikh Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ No. 6662)

3. Paling Bagus Akhlaknya
Sesungguhnya  yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya. (HR. Bukhari No. 3559, dari Ibnu Umar, Muslim No. 2321, dari Ibnu Amr. Ini lafaz Bukhari).
Akmalul mu’minina imanuhum ahsanuhum khuluqa” , Sebaik-baik keimanan orang mukmin ialah yang paling baik akhlaknya. (HR. At Tirmidzi, dari Abu Hurairah Ra)

4. Manusia yang tidak suka mengusik dan menyakiti saudaranya
Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama? Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari Abu Musa Al Asy’ari)

5. Orang Yang Ditimpa ujian (penyakit, miskin, musibah) tapi Bersabar dan Taat
Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya). (QS. Shad: 44)

6. Orang kaya tapi taat kepada Allah Ta’ala
Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shad: 30)

7. Manusia yang paling  tenang, khusyu, dan tuma’ninah  ketika shalat
Sebaik-baiknya kamu adalah yang paling lentur bahunya ketika shalat. (HR. Abu Daud No. 672. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 672).  Ket: Maksud hadits ini adalah mereka yang shalatnya tenang, tuma’ninah, khusyu, dan tidak mengganggu  bahu saudaranya.

8. Suami yang terbaik sikapnya terhadap istrinya
Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku. (HR. At Tirmidzi No. 3895)

9. Mempelajari Al Quran dan Mengajarkannya
Sebaik-baiknya kalian adalah yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya. (HR. Bukhari No. 5027, dari Utsman)

10. Gigih dalam amar ma’ruf, nahi munkar & bersilaturahmi
Sahabat Durrah binti Abi Lahab radhiyallaahu ‘anha berkata: “Seorang laki-laki berdiri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang di atas Mimbar, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling mengerti terhadap isi al-Qur’an, paling bertakwa, paling gigih dalam amar ma’ruf, paling gigih dalam nahi munkar, dan paling semangat dalam bersilaturrahmi.”  (HR Ahmad [27434], al-Thabarani dalam al-Kabir dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

11. Paling konsisten terhadap kewajiban
Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu adalah yang paling bagus qadha-nya. (HR. Bukhari No. 2305, Muslim No. 1601, dari Abu Hurairah)
Maksud “qadha” adalah yang  paling konsisten menepati kebenaran yang wajibkan kepadanya. (Ta’liq Mushthafa Al Bugha, 2/809)

12. Manusia yang panjang umur dan amalnya semakin baik
Maukah aku tunjukkan manusia terbaik di antara kalian? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Manusia terbaik di antara kamu adalah yang paling panjang usianya dan semakin baik amalnya.” (HR. Ahmad No. 7212, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Al Hakim, Al Mustadrak No. 1255, katanya: shahih sesuai syarat Syaikhan (Bukhari-Muslim))

13. Terbaik pada masa jahiliyah dan Islam
Sebaik-baiknya kalian pada masa jahiliyah adalah yang terbaik di antara kalian pada masa Islam, jika mereka paham agama. (HR. Bukhari No. 3384, dari Abu Hurairah)

14. Para sahabat nabi dan orang yang mengikuti jejak mereka
Kalian adalah umat yang terbaik dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran: 110)

Sebaik-baiknya manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya. (HR. Bukhari No. 2652)



SEBELAS GOLONGAN MANUSIA TERBAIK MENURUT RASULULLAH
1. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.
2. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang terbaik akhlaknya.
3. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang terbaik pembayaran hutangnya.
4. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang diharapkan kebaikannya dan selamat daripada kejahatannya.
5. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang terbaik terhadap isterinya.
6. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang suka memberi makan dan menjawab salam.
7. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang lemah lembut bahunya dalam sholat (dalam saf sholat dengan memberi ruang kepada saudaranya).
8. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.
9. Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang paling memberi kemanfaatan kepada orang lain.
10. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah yang terbaik terhadap sahabatnya, sebaik-baik bertetangga ialah yang terbaik terhadap tetangganya.
11. Sebaik-baik manusia ialah yang memiliki hati yang sejahtera (suci, taqwa, jauh dari dosa, jauh dari dendam, jauh dari dengki) dan lidah yang benar.


Semoga Allah menjadikan kita semua menjadi sebaik-baik manusia. Aamiin