Kamis, 30 April 2020

LASTRI (37-38)

*LASTRI  37*

Lastri mengangkat kepalanya, terpana, dilihatnya Bayu masih memegangi kepalanya, dan lirih memanggil namanya.

Lastri mengucek kedua matanya, menatap tubuh yang semula diam itu membuka matanya, dan sedang mengelus kepalanya.
"Mas Bayu.." kata Lastri pelan, bergetar penuh keharuan.

Bayu melepas alat penyalur oksigen yang menutupi mulutnya sehingga membuat suaranya tidak jelas.

"Kamu Lastri bukan?"
"Aku Lastri mas, aku Lastri..." kata Lastri sambil menggoyang-goyangkan tangan Bayu.

"Lastri… " rona bahagia itu menghiasi wajah bercambang yang semula membuat Lastri ragu-ragu.

"Kamu jelek sekali mas, wajahmu serem," goda Lastri sambil menatap bahagia kekasihnya dan mengelus cambang lebat diwajahnya.  Bercambangpun tidak buruk kok, pikir Lastri.

Bibir tipis itu tersenyum. Senyum yang seperti dulu, yang selalu menggetarkan hatinya. Lastri memeluknya dan menangis didada bidang itu.

Bayu mengelus kepalanya.
"Aku dimana ?"
"Mas, kamu itu sakit, membuat semua orang sedih, membuat aku menangis tak henti-hentinya."

"Kamu Lastri bukan?" kembali Bayu mengulang pertanyaannya.
"Mas Bayu, tatap mataku, pandangi wajahku, dari tadi kamu belum yakin kalau aku Lastri?" kata Lastri sambil mengangkat kepalanya.

Bayu menatap wajah yang tak jauh dari wajahnya sendiri. Menatapnya lekat,  lalu dielusnya pipi Lastri dengan sebelah tangannya. Hal yang belum pernah dilakukannya sejak dia jatuh cinta kepada perempuan dusun nan rupawan ini.

Mana mau Lastri disentuhnya? Mengapa sekarang menyerah? Takut aku mati? Atau benar-benar ingin menyerahkan cintanya untukku? Pikir Bayu.
Namun Bayu tak butuh jawaban. Apa yang dilakukan Lastri ini sudah mengatakan semuanya.

"Lastri, jangan pergi... " bisik Bayu sambil terus menatap Lastri. Ada kekhawatiran kalau Lastri akan meninggalkannya lagi.
"Aku tidak akan pergi, aku akan selalu ada disisimu."

"Itu benar Bayu, Lastri akan selalu ada didekatmu.."
Tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Seorang laki-laki setengah tua sudah berdiri disamping Lastri. Lastri menoleh dan tersipu. Ia berdiri dan mempersilahkan pak Marsudi duduk.

"Bapak.."
"Anakku, bapak tak ingin kehilangan kamu. Kamu anakku satu-satunya. Bapak hanya ingin kamu bahagia. Kalau bahagiaanmu bersama Lastri, bapak akan merestuinya," dan mata tua itu berkaca-kaca, kemudian dipeluknya Bayu.

Dokter yang kemudian datang, memeriksa kembali keadaan Bayu.

"Bapak, kalau keadaan ini stabil, mas Bayu boleh dipindahkan keruang inap, tapi kami akan terus memantau kesehatannya."
"Terimakasih dokter, terimakasih banyak," kata pak Marsudi terharu.
 *

Pak Marsudi yang baru saja menemui dokter dengan bersemangat memilihkan kamar terbaik bagi Bayu.
"Kata dokter, kalau sehari ini normal, Bayu akan segera dipindahkan ke kamar inap. Kamu harus pulang dan mengambil baju-baju untuk Bayu. Biar aku menunggu disini dulu." kata pak Marsudi dengan kegembiraan yang meluap.

Bu Marsudi bersiap untuk pulang, Timan bersedia  mengantarkannya.
Tapi sebelum pulang pak Marsudi menghampirinya.

"Bu, jangan lupa mampir ke toko, belikan baju ganti untuk Lastri, dan semua keperluannya selama disini. Dia kan tidak membawa apapun ketika datang dari desa."
Bu Marsudi mengangguk. Bahagia mendengar suaminya mulai perhatian kepada Lastri.

"Kalau keadaan mas Bayu sudah baik, saya juga akan mengambil mobil saya yang saya tinggalkan dirumah pak lurah. Nanti saya juga akan mengambil baju-baju Lastri dan barang-barang yang masih tertinggal disana," kata Timan.

 "Lastri  bagaimana aku bisa mengambil barang-barangmu?" tanya Timan kepada Lastri yang kebetulan ada diluar karena Bayu masih diperiksa dokter.

"Barang-barang Lastri apa saja sih? Nanti baju dan sebagainya beli saja lagi disini. Nanti kalau Bayu sudah sembuh biar diambilnya sendiri," kata pak Marsudi.

"Jadi merepotkan pak, " kata Lastri.
"Tidak, mengapa kamu bilang begitu? Kamu itu kan calon menantuku, yang juga akan menjadi anakku. Mana ada orang tua merasa repot meenuhi kebutuhan anaknya?"

"Tapi dompet saya hilang entah kemana. Semua surat-surat ATM dan uang tak seberapa..."
"Sudah, nanti diurus, gampang, sekarang rawatlah calon suamimu. Begitu Bayu sembuh, kalian akan menikah." kata pak Marsudi bersungguh-sungguh.

Latri tertunduk, terharu. Badai di keluarga Marsudi telah berlalu. Bu Marsudi menatap Lastri dan tersenyum bahagia.

 "Terimakasih bapak," bisik Lastri sambil terisak.

Duuh, mengapa Lastri gampang sekali menangis sih? Tapi sungguh Lastri tak bisa menahannya, ketika sedih, ketika bahagia, air matanya tak mau berhenti mengalir.. Cengengkah Lastri? Tidak, Lastri adalah seorang perempuan perkasa yang tak takut menghadapi apapun. Rela berkorban untuk siapapun, manis budi dan karenanya disukai banyak orang.
*

Malam itu mBah Kliwon sedang menitipkan semua uang penjualan sayur kepada bu lurah Marni, ketika Timan datang.
Melihar wajah yang berseri, mereka yakin bahwa Timan pasti membawa kabar baik.

"Bagaimana Lastri dan kekasihnya mas?" tanya Marni tak sabar lagi.
"Baik, bu lurah, mas Bayu juga sudah sadar walau belum banyak bicara."
Semua yang hadir menarik nafas lega.

"Benar-benar luar biasa Lastri itu,  dia juga bisa menyembuhkan seorang kekasih yang sakit parah. " kata Marni sambil tersenyum senang.

"Bilang sama Lastri, rumahnya mbah Kliwon yang ngurusin, jangan memikirkan apapun. Semuanya beres," kata mbah Kliwon bersemangat.

"Baiklah pak, nanti saya sampaikan, yang jelas Lastri tampak bahagia, nungguin Bayu tanpa mau beranjak dari sampingnya," ujar Timan lagi.

"Itu kan cinta yang dipendam selama setahun, tapi kami bersyukur, Semoga bapaknya mas Bayu bisa menerima Lastri.

"Syukurlah bapaknya mas Bayu menerima Lastri dengan sangat baik. Ketika saya ingin mengambilkan baju-baju Lastri, beliau bilang bahwa tak usah diambil, beli disana saja berikut semua kebutuhan Lastri."
"Ah, syukurlah mas, senang mendengarnya."

"Oh ya mas, bukankah ada yang menemukan dompet Lastri? Sampai lupa aku, sebentar," Marni bergegas masuk kedalam dan menyerahkan dompet Lastri kepada Timan.

"Tadi sebelum pergi Lastri juga bilang kalau dompetnya hilang. Nanti saya kabari dia supaya tidak memikirkannya lagi." kata Timan.

"Mas Timan mau menginap lagi dirumah Lastri?" tanya mbah Kliwon.
"Saya kira tidak pak, terimakasih banyak, saya harus kembali, karena saya juga punya pekerjaan disana."

"Baiklah mas, yang penting semuanya sudah baik, kami hanya ikut berdo'a semoga mas Bayu segera pulih."
"Aamiin, pak lurah."

Pak Kliwon yang juga berpamit, ditegur oleh Timan.
"Pak, kalau mau pulang mari saya antar sekaliyan."
"Nggak usah nak, saya sama cucu saya kok."

Ketika sampai diluar, Timan melihat seorang gadis sedang duduk disebuah bangku yang kemudian berdiri begitu melihat mbah Kliwon keluar.

"Ini nak, ini cucu saya, si Sri, saya suruh ikut karena dialah yang mencatat semua barang yang datang dan uang yang keluar masuk sejak kemarin. Lha saya kan buta hurup nak."  katanya sambil terus melangkah sambil menggandeng si Sri.

"Nggak apa-apa pak, mobil saya cukup untuk duduk bertiga kok. Nggak mungkin bapak saya suruh duduk di belakang," kata Timan sambil membukakan pintu mobil.

"Nak Timan, berjalan sebetulnya nggak apa-apa.."
"Sudahlah, kan saya sekalian pulang. Ayo dik, masuklah."

Pak Kliwon menyuruh si Sri masuk lebih dulu, baru dirinya, kemudian Timan duduk dibelakang kemudi. Pak lurah dan Marni melambaikan tangan ketika mobil Timan keluar dari halaman.

"Untung ada bapak yang bisa mengurus semuanya ketika Lastri tak ada."
"Iya nak, sudah biasa membantu. Kalau kerepotan ya si Sri ini saya suruh bantu.

Gadis bernama si Sri, entah siapa lanjutannya, tampak diam dan sedikit kikuk. Sebentar sebentar tangannya tersenggol tangan Timan yang mengoper kopling. Ia menggeser duduknya agak kekiri karena sungkan seakan mengganggu Timan.

"Nggak apa-apa dik," kata Timan sambil melirik kearah gadis disampingnya.

Suasana remang membuat Timan tak bisa menatap gadis itu. Tapi sekilas didepan rumah pak lurah tadi,  Timan sempat meliriknya, dan dalam hati mengatakan, manis. Kulitnya sedikit hitam, rambutnya dikucir kebelakang, panjangnya sepinggang. Timan memaki dirinya sendiri karena membayangkan gadis itu lagi..

Ketika sampai dirumah Lastri, Timan menghentikan mobilnya. mBah Kliwon dan si Sri turun. Tapi Timan ikutan turun. Lampu diteras rumah Lastri sudah menyala. Disitu Timan menatapnya lagi. Gadis itu tersipu. Ketika berpamit, Timan sempat menyalaminya dengan erat.

"Kita belum kenalan kan? Namaku Timan."
Si Sri hanya tertunduk malu. Ia tak perlu mengucapkan namanya karena kakeknya tadi sudah berkali-kali menyebut namanya.

"Pak, lain kali saya boleh kan main kesini lagi?" tanya Timan yang kemudian menyesali ucapannya karena kelihatan sekali dia ingin datang, dan pastinya karena si Sri.

"Pasti nak, silahkan setiap sa'at datang, nanti saya akan merebuskan lagi ketela buat nak Timan," canda mbah Kliwon sambil tertawa.

"Bukankah dik Sri selalu membantu disini?" nah, pertanyaan itu juga disesalinya.  Jangan-jangan mbah Kliwon merasa kalau dirinya tertarik pada cucunya karena ucapan-ucapannya itu.

"Ya nak, dia selalu ada disini, nak Timan belum melihatnya karena waktu itu sudah sore dan si Sri sudah pulang kerumahnya."
"Oh.."

Dan sepanjang perjalanan pulang itu Timan senyum-senyum sendiri.

"Aku sudah gila, apakah aku tertarik pada si Sri? Nanti aku harus minta tolong Lastri agar mengenalkan aku dan dia lebih dekat," gumamnya.
*

Bayu sudah dipindahkan ke ruang inap. Keadaannya semakin membaik. Lastri selalu mendampingi, menyuapkan makan dan melayaninya setiap kali dia membutuhkan sesuatu.

Pagi harinya Timan datang, membawa dompet Lastri yang ditemukan warga dan diserahkan kepada lurah Mardi.

"Syukurlah mas, terimakasih banyak telah membawakan dompetku,"kata Lastri senang.
"Periksa saja isinya, barangkali ada yang tercecer." kata Timan.
"Nggak ada mas, masih lengkap, dan uangnya juga masih utuh," kata Lastri ketika selesai membuka dompetnya.

"Siapa yang menemukannya mas?"
"Karena tadi pak lurah ingatnya tentang dompet ini ketika aku sudah hampir pulang, jadi aku lupa menanyakan siapa yang menemukannya."

"Nanti kalau aku pulang kesana, aku akan menanyakannya dan mengucapkan terimakasih."
"Apa kamu mau pulang ke desa?" tiba-tiba Bayu bertanya, khawatir.
"Iya mas, tapi nanti, kalau mas Bayu sudah sembuh."

"Tapi kembali lagi kemari kan?"
"Iya mas, aku pasti akan kembali. Sudah, jangan difikirkan, aku kan cuma berangan-angan."
"Iya, mas Bayu khawatir amat. Atau besok kalau Lastri pulang, mas Bayu bisa ikut kan?"
"Iya benar," kata Bayu pelan.

Timan segera berpamit karena sudah dua hari meninggalkan rumah.
"Terimakasih, mas Timan, kalau bukan karena mas Timan, saya tak bisa ketemu Lastri lagi," kata Bayu lirih.

"Kalau Tuhan sudah menjodohkan seseorang, biar keujung dunia sekalipun, pasti bisa ketemu. Dan jalan itu pasti ada. Cepatlah sembuh ya mas, lalu main kerumah saya lagi." Kata Timan sambil menyalami Bayu.

Ketika Lastri mengantarnya sampai keluar, Timan ingat akan menanyakan sesuatu.

"Tri, kamu kenal si Sri?" tanyanya pelan.
"Haa, si Sri itu yang suka membantu aku, cucunya mbah Kliwon. Memangnya kenapa? Mas Timan ketemu dia?"

“Semalam dari rumah pak lurah aku mengantar mbah Kliwon sama cucunya itu."
"O.. mas Timan tertarik ya?" goda Lastri.

"Baru ditanya saja langsung menuduh," sungut Timan.
"Bukan menuduh, pertanyaan itu kan menunjukkan bahwa kamu tertarik Tapi si Sri gadis yang baik, aku suka kalau mas Timan mau mendekati dia."

"Pokoknya nanti kalau kamu pulang harus mengabari aku. Aku mau ikut."

Lastri tertawa. Ia melambaikan tangan ketika Timan melangkah keluar dari rumah sakit itu.
*

Seminggu lamanya Bayu dirawat, tapi tekanan darahnya belum normal benar. Cuma saja Bayu sudah mulai bosan.

"Aku ingin pulang," 
"Sabar dulu mas, kalau dokternya sudah mengijinkan, baru mas Bayu boleh pulang."

"Tapi aku sudah sehat, sudah makan banyak, sudah tidak pusing, aku capek,Bolehkah aku duduk?"
"Sebentar,. Tunggu dokternya dulu lah mas."

Ketika sa'atnya dokter visite,  Lastri merasa lega karena Bayu boleh rawat jalan.
"Cuma makan harus diatur. Selalu yang bergizzi tinggi, dan jangan terlalu capai," pesan dokter.

Hari itu juga Bayu pulang, dijemput bapak dan ibunya dengan suka cita.
Walau masih terasa lemas, tapi Bayu selalu bersemangat karena Lastri selalu ada disampingnya.

Pagi itu Bayu sudah makan sendiri. Kesehatannya semakin membaik,  bukan hanya karena obat yang harus diminumnya, tapi karena bahagia bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya.
Setelah makan Bayu minta agar Lastri menemaninya duduk diteras depan.

"Aku kan sudah sembuh ya?"
"Iya, mas Bayu sudah sembuh. Tapi belum pulih benar. Kalau obatnya habis harus kontrol lagi ke dokter."

"Aku terkadang mikir, kamu itu aneh."
"Aneh bagaimana mas?"

"Kamu mau kembali kemari, mengakui bahwa kamu mencintai aku, tapi syaratnya aku harus sakit dulu. Ya kan?"
"Bukan begitu mas, itu bukan syarat, tapi jalan yang harus kita lalui memang begini ini. Mas Bayu bahagia sekarang?"

"Aku ingin kesehatanku segera pulih, lalu kita akan menikah."
Lastri tertunduk malu. Semua ini seperti mimpi baginya.

"Kok diam, apa kamu tidak suka?"
"Aku tidak akan mengatakannya, karena kalau aku mengatakannya nanti pasti aku akan menangis. Menangis bahagia."

"Lastri, tapi aku ingin kamu mengatakannya bahwa kamu mencintai aku."
"Apakah cinta harus diucapkan? Bukankah ini cukup menjadi jawaban?"
"Katakan, aku ingin mendengarnya."

Lastri menghela nafas. Kalau memang cinta, haruskah malu mengatakannya?
"Aku sangat mencintai kamu mas."

Bayu memeluknya, tapi Lastri segera mendorongnya pelan.
"Jangan dulu mas."

"Kamu curang. Waktu aku sakit kamu memeluk-meluk aku seenaknya, mengapa sekarang aku tidak boleh memeluk kamu?"
"Aku tidak sadar waktu itu, aku takut kehilangan kamu."

"Sekarang aku juga takut kehilangan kamu."
"Iih, jangan cari alasan. Tunggulah nanti kalau sudah sa'atnya. Tapi apakah mas Bayu akan terus bercambang seperti itu?"

"Aku jelek ya kalau bercambang begini?"
"Nggak jelek sih, masih tetap ganteng kok."
"Kalau begitu biarlah begini."

"Tapi aku tidak suka rambut gondrong ini."
"Nanti aku potong saja, tapi biar brewok begini ya?"
"Iiih, serem deh."
"Serem atau seneng? Kan kamu bilang aku tetep ganteng."
"Baru sehat sedikit saja sudah genit deh."

Tiba-tiba terdengar mobil berhenti dihalaman. Seseorang turun dari mobil itu, bersama seorang gadis cantik. Begitu dekat, Sapto langsung berteriak.

"Lastri, kamu sudah kembali?" katanya sambil berusaha memeluk Lastri. Tapi belum sampai menyentuhnya, Bayu menghardiknya.

"Eeiit.. jangan main peluk ya, aku saja belum pernah, enak aja."

Tapi Sapto hanya tertawa, digandengnya gadis cantik yang datang bersamanya. Bayu tersenyum. Itu Reni  yang dulu mau dikenalkan dengan dirinya oleh ayahnya.

"Ini Reni, kamu masih ingat kan, Hei, apa yang terjadi dengan wajahmu? Jelek amat, apa ini mode wajah yang dipesan oleh Lastri?" ledek Sapto sambil menarik calon isterinya untuk duduk. Bayu melotot marah, tapi Sapto tak perduli.

"Bayu menyalami Reni.
"Lastri, ini Reni, calon isteriku. Bulan depan kami akan menikah," kata Sapto.

Lastri menyalami Reni dengan ramah. Dalam hati ia berkata, bahwa gadis ini sangat cantik. Inikah yang dulu mau dijodohkan dengan Bayu? Hm, Lastri merasa dirinya kalah jauh dibandingkan dengan Reni. Reni yang modis, dengan rambut ikal sebahu,  bibir tipis dan hidung mancung, mata bening, hm.. apalagi kekurangannya? Toh Bayu menolaknya.

"Kamu nggak bilang kalau kamu sakit. O aku tau, sakit rindu kan, dan ketika Lastri datang lalu kamu sembuh, hmh, akal-akalan kamu ini kan?" Ledek Sapto seenaknya.    Sayang Sapto tidak duduk didepannya, kalau ya, pasti dia sudah menyepak kakinya keras-keras.
*

Dipesta pernikahan Sapto itu, Bayu datang berdua dengan Lastri. Lastri yang sederhana, dengan rambut digelung seperti biasanya, gaun pesta berwarna hijau lumut, dan sepatu dengan hak yang tidak begitu tinggi, justru menarik sebagian tamu yang hadir.

Lastri melingkarkan tangannya dilengan Bayu, dan berjalan dengan langkah-langkah manis, seperti mengikuti alunan musik romantis yang menggema dipesta itu. Mereka seperti melihat seorang pangeran yang sedikit bercambang, gagah, ganteng, dan disampingnya adalah puteri dari kerajaan antah berantah yang cantik dan anggun.

Sebagian besar adalah teman-teman sekolahnya juga, tapi kebanyakan dari mereka tidak mengenali Bayu karena penampilannya yang berbeda. Baru ketika Bayu menyapa mereka, barulah mereka berteriak-teriak heboh sambil menyalaminya.

Didepan mempelai, Bayu berbisik pelan kepada sahabatnya.
"AKU AKAN SEGERA MENYUSUL KAMU"

***** S E K I A N  ******

Sudah tamatkah … ????




*LASTRI  38*

Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh yang  datang, bersama rombongan pak lurah Mardi.

Ini pestanya Bayu dan Lastri. Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku peristiwa yang sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia itu akhirnya datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang digelar oleh keluarga Marsudi.

Timan terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan Lastri. Lalu mBah Kliwon.

Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya, atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.

"Nak Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak segera menyapanya.

"Eh, pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu, banyak sekali yang datang bersama."

Timan menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud saya, dik Sri ?"
"Oh... si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."

Ada yang tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.

Rasa kecewa menyelimuti hatinya, karena yang diharapkan datang ternyata tak  ada. Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini. 

Dst ….
----- ----- ------ -----

Itulah sepenggal cerita lanjutan serial Cerber “Lastri.” 

Cerita sambungan berikutnya tidak lagi mengisahkan perjalanan hidup Lastri yang sudah mencapai kebahagiaan bersama Bayu, namun mengisahkan perjalanan hidup seorang sahabat Lastri.

Meski tokoh dalam cerita lanjutan ini sama, namun temanya berbeda.

Kelanjutan Cerber berikut ini mengangkat tema tentang ‘status’ hidup seseorang dalam tradisi kampong. Karenanya Tien Kumalasari, penulis Cerber ini memberi judul *KEMBANG TITIPAN*.

Silahkan mengikuti Cerber ‘KEMBANG TITIPAN’ berikut ini …..







Rabu, 29 April 2020

LASTRI (35-36)


*LASTRI 35*

Pak lurah lari kearah kelurahan, diikuti oleh peronda yang kebetulan sudah pada datang. Diteras kantor kelurahan, sesosok tubuh terbaring disebuah bangku panjang, diam. Beberapa orang mengelilinginya, dan seorang ibu sedang menggosokkan minyak hangat ke tubuhnya.

"Lastri ?" pekik pak lurah Mardi.
"Iya pak lurah, ini Lastri." kata ibu-ibu yang menggosokkan minyak ketubuh Lastri.
“Segera bawa dia kerumah sakit. Aku ambil mobilku dulu.”

Paklurah Mardi bergegas pulang, Sambil berjalan dia menelpon Timan, mengatakan keadaan Lastri.

"Pak... pak, Lastri sudah ketemu," katanya kepada mbah Kliwon yang sudah setengah tidur.
Mbah Kliwon bangun dan segera duduk.

"Mana dia?"
"Ayo cepat, kita ke kelurahan. Pak lurah akan membawanya kerumah sakit."
"Memangnya dia kenapa?" tanya mbah Kliwon sambil mengikuti Timan naik ke mobilnya.

"Ditemukan pingsan dikuburan," kata Timan yang memacu mobilnya.
"Berarti tadi itu dia kemakan neneknya dan ayah ibunya. Tapi mengapa sampai pingsan?"
"Kita lihat saja nanti."

Ketika sampai di kelurahan, seseorang sedang mengusung Lastri ke mobil pak lurah. Timan melompat turun dan mendekat.

"Lastri," bisiknya trenyuh. Tubuh itu masih diam tak bergerak.
"Ayo naik mas, pakai mobil saya saja," kata pak lurah Mardi sambil duduk dibelakang kemudi.

Lastri dibaringkan di jok belakang. Timan menemaninya, duduk agak miring karena jok panjang itu hampir penuh oleh tubuh Lastri. Dipandanginya wajah pucat itu dengan perasaan haru yang meng aduk-aduk hatinya. Perempuan luar biasa ini sedang terbaring tak berdaya. Apa yang membuatnya jadi begini?

Timan mengelus kepala Lastri.
"Lastri, Lastri.. sadarlah Lastri," bisiknya berkali-kali, sambil menggosok gosok kedua telapak tangan Lastri.

Tubuh itu sudah tak sedingin tadi,
"Lastri... sadarlah, mas Bayu menunggu kamu.. Lastri..,"

Tiba-tiba Lastri membuka matanya.
"Lastri. Alhamdulillah, kamu sudah sadar Lastri."

"Aku... kenapa?"
"Lastri, kami sedang membawa kamu ke rumah sakit, kamu tadi ditemukan warga dalam keadaan tak sadar ditepi kuburan."

"Mas Bayu ?"
Timan tersenyum.
"Ada yang menyebut nama mas Bayu," bisiknya lirih.

"Mas Bayu sedang sakit dirumah sakit. Kamu harus kuat dan segera menemui mas Bayu."

Lastri memejamkan matanya. Keadaan didalam mobil agak gelap, dia tak bisa melihat siapa yang ada didekatnya. Kepala Lastri terasa pusing. Mungkin dia juga tak mendengar kata-kata Timan tentang Bayu.

Tapi Mardi dan Timan merasa lega karena Lastri telah sadar.   Sesampai dirumah sakit Lastri langsung dibawa ke UGD.  Harap-harap cemas Timan dan Mardi menunggu hasil pemeriksaan dokter. Timan ingin mengabarkan keadaan Lastri ke bu Marsudi, tapi hari sudah jam 10 malam.

Semula ia ragu-ragu, tapi mengingat pentingnya berita ini, maka Timan nekat menelponnya.
Tapi panggilan itu tidak tersambung, tampaknya ponselnya mati. Mungkinkan bu Marsudi tertidur? Atau jangan-jangan ada sesuatu dengan Bayu? Timan merasa tidak tenang.

Mardi yang mendampingi Timan menepuk bahunya untuk menenangkannya.
"Sabar mas.." kata Mardi pelan.

Ketika pemeriksaan selesai, diagnose dokter mengatakan bahwa Lastri dehidrasi. Ia mendapat infus, dan diharapkan menginap untuk pemeriksaan lebih cermat. Tak lama setelah itu Lastri dipindahkan kekamar. Hari menjelang pagi waktu itu.

Mardi dan Timan mendekat keranjang Lastri.  Mereka lega karena Lastri sudah tersadar. Tapi masih tampak bingung. Ia memandangi Mardi dan Timan berganti-ganti.
"Lastri," sapa Timan sambil tersenyum.

Seperti mimpi Lastri melihat Timan didekatnya.
"Kamu ingat ini siapa Tri?" tanya Mardi.

"Apakah aku bermimpi?"
"Kamu tidak bermimpi, ayo katakan dia ini siapa.."
"Mas Timan?"

Timan tersenyum.
"Iya, aku Timan."

"Bagaimana ini, aku bingung.."
"Kamu ditemukan warga pingsan ditepi kuburan. Apa yang kamu lakukan Lastri?"

Lastri termenung, dia pingsan ditepi kuburan.  Ya benar, Lastri tadi menziarahi makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia merasa risau. Antara bunyi iklan itu dan keadaan Bayu yang tidak diketahuinya.

Ia ingin bertemu Bayu, tapi apakah yang akan dilakukannya itu benar? Bagaimana kalau ketika dia kembali lalu ternyata Bayu sudah ada pendampingnya? Sebenarnya tidak apa-apa, Lastri ingin Bayu bahagia, namun Lastri tak ingin melihatnya. Ia akan terluka.

Siang itu dari puskesmas tempat Marni memeriksakan keadaannya, Lastri langsung pergi ke makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia menangis sepuasnya disana.

"Simbah, apa yang harus Lastri lakukan? Lastri tergoda oleh bunyi iklan setahun lalu, tapi Lastri takut kalau nanti ternyata keadaan akan lebih menyakiti Lastri.," keluhnya sambil terisak.
"Tapi Lastri merindukan dia mbah, tak bisa ingkar, Lastri selalu mencintai dia."

Lastri merangkul batu besar bertuliskan nama neneknya. Ketika ia memunyai sedikit uang, ia membuat makam nenek dan kedua orang tuanya menjadi lebih rapi. Sekeliling makan itu dipagari semen yang berbentuk kotak-kotak. Ia meninggikan tanahnya, dan meletakkan batu-batu besar bertuliskan nama mereka, sehingga Lastri tak usah susah mencari letaknya.

"Nenek, katakan apa yang harus Lastri lakukan."

Lastri duduk disana sambil menumpahkan semua isi hatinya. Walau nisan yang bisu tak memberi jawaban, tapi hati Lastri merasa lebih tenang. Ia merasa tak ada tempat mengadu kecuali ditempat itu.

Hari sudah sore, dan remang senja mulai menyelimuti alam sekitar Lastri berdiri dan ingin beranjak pulang.  Tapi tubuhnya terasa lemas. Ia lupa makan sejak pagi, apalagi minum, sementara panas terik menyengat tubuhnya tanpa dirasa sejak siang. 

Namun ia terus melangkah. Tertatih langkahnya, Tak seorangpun ada diarea pemakaman itu, ia terus melangkah, sementara tubuhnya semakin lemah. Pada suatu ketika, hampir keluar dari area itu, Lastri roboh, dan tak ingat sesuatupun.

Lastri sadar ketika ada didalam mobil, dan seseorang ada didekatnya. Tapi kepalanya terasa pusing dan tubuhnya lemah tak bertenaga.

"Lastri, kamu sudah mengingat semuanya?" tanya Timan sambil menyentuh lengan Lastri.
"Mas Timan? Bagaimana mas Timan bisa ada disini?"

"Aku mencarimu Lastri."
"Kok bisa ?"

"Sebisa yang aku lakukan, aku harus menemukan kamu, nanti kalau kamu sembuh, aku akan mengajakmu pulang."
"Tidak mas, biar Lastri disini saja," jawabnya sendu.

"Tapi Lastri, mas Bayu sedang sakit keras dirumah sakit."

Lastri terkejut. Didalam mobil tadi sayup ada kata-kata seperti itu, yang dianggapnya mimpi. Ternyata benar.

"Sakit apa? Bagaimana dengan isterinya?" tanya Lastri pilu.
Timan tertawa.

"Isteri apa. Mas Bayu sakit karena kamu."
Lastri menatap Timan tak percaya.

"Itu benar, dia sakit-sakitan semenjak kamu pergi. Mana mau dia berpaling kepada gadis lain? Dia hanya mencintai kamu Lastri."

Lastri terdiam. Ia merasa seperti melayang disebuah ketinggian yang membuat kepalanya berdesing. Dengan sebelah tangannya ia memegangi kepalanya. Kata-kata Timan sangat diluar dugaannya.

"Pusing?" tanya Mardi.
"Kepalaku seperti berputar-putar."
"Ya sudah mas Timan, sepertinya Lastri harus beristirahat. Apa kita tinggalkan dulu Lastri dan besok pagi kita kembali?"
Timan mengangguk.

"Lastri, kamu harus beristirahat. Kami pulang dulu, kamu membawa ponsel?"
Lastri menggeleng lemah. Tadi dia tidak membawa apapun.

"Ya sudah, besok aku kembali."
*

Padahal hari sudah menjelang pagi. Tapi Mardi menganjurkan Timan agar tidur barang sejenak, supaya ketika terbangun merasa lebih segar. Timan kembali kerumah Lastri, ia menolak ketika lurah Mardi menawarkan agar menginap dirumahnya.

Ketika sampai dirumah, dilihatnya mbah Kliwon masih menunggu, berbaring di tikar yang sejak sore digelarnya, tapi matanya tak bisa terpejam.

"Pak, kok masih terjaga?" tanya Timan karena ketika membuka pintu dilihatnya mbah Kliwon masih terjaga.

"Nggak bisa tidur nak, bagaimana keadaan Lastri?"
"Harus opname pak, tapi tadi sudah sadar dan bisa bicara agak banyak."
"Oh, syukurlah. Rupanya tadi dia kemakam nenek dan orang tuanya."

"Sekarang tidurlah mbah, saya juga mau berbaring sebentar," kata Timan yang segera membaringkan tubuhnya dikursi bambu. Ia merasa sangat lelah, lahir batin. Tapi merasa sedikit lega karena sudah bisa bertemu Lastri. Dipejamkannya matanya, agar segera terlelap.

Tapi mbah Kliwon pergi kearah dapur, menjerang air untuk membuat minuman hangat. Ada ketela rambat  yang belum sempat dimasak Lastri, ia juga segera merebusnya.

Kemudian sambil menunggu iapun ikut berbaring di tikar. Perasaan lega membuat kantuknya tiba-tiba menyerang. Sementara suara-suara para menyetor sayur dan buah sepertinya sudah berdatangan. mBah Kliwon urung mengikuti rasa kantuknya. Ia melipat tikar dan menunggu air yang dimasaknya mendidih, membuat wedang buat Timan, baru keluar menemui para penyetor sayur.
*

Bayu masih dirawat di ICU. Bu Marsudi tak ingin pulang, ia harus selalu menunggui anaknya dan mendengar tentang perkembangan kesehatannya. Pak Marsudi membawakan tikar, agar bu Marsudi dan dirinya  bisa beristirahat.

Pagi masih buta ketika bu Marsudi membuka matanya. Ponsel milik Bayu mati karena seharian tidak di cas.

"Jangan-jangan nak Timan menelpon dan mengabari tentang Lastri," gumam bu Marsudi.
Pak Marsudi yang berbaring disampingnya mengambil ponsel itu, lalu bangkit mencari colokan agar bisa menghidupkan ponselnya.

Bu Marsudi memasuki ruang ICU. pasokan darah rupanya sudah dihentikan. Kata perawat yang menjaga, hb nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih ngedrop. Tapi mereka sedikit lega karena dokter mengatakan bahwa masa kritisnya sudah lewat.

Bu Marsudi mendekati ranjang anaknya. Mata Bayu masih terpejam, wajahnya juga masih tampak pucat. Bu Marsudi mengelus kepala Bayu lembut.

"Bayu, bangunlah nak, jangan membuat ibu sedih.." katanya disertai isak.
Ia terus mengelus kepala Bayu.
"Nak Timan sedang menjemput Lastri,  cepat sembuh ya nak."

Tiba-tiba pak Marsudi menguakkan pintu ICU. Bu Marsudi menoleh ketika pak Marsudi memanggilnya pelan. Dilihatnya suaminya melambaikan tangan. Bu Marsudi keluar dari ruang ICU itu.

"Ada apa?"
"Tampaknya semalam nak Timan menghubungi kita."

"Oh ya, bapak menelpon dia?"
"Belum, ibu saja."

Bu Marsudi memutar nomor Timan. Agak lama baru terdengar jawaban.
"Hallo," terdengar suara berat dari seberang, rupanya Timan masih mengantuk.
"Nak Timan?"


Timan baru sadar kalau bu Marsudi menelponnya. Ia duduk dan mengucek kedua matanya.
"Maaf bu, baru bangun."
"Nak Timan ada dimana?"

"Masih didusunnya Lastri bu, semalam Timan menelpon ibu tapi tidak tersambung."
"Ponselnya mati, baru pagi ini bisa membukanya. Ada berita apa?"
"Saya sudah bertemu Lastri bu."

"Ya Tuhan, segera ajak dia kemari nak, kasihan Bayu."
"Pasti bu, tapi sa'at ini dia juga sedang dirawat."
"Maksud nak Timan di rumah sakit?"
"Iya bu, semalam tiba-tiba pingsan."

"Bagaimana keadaannya?"
"Sudah mendapat perawatan dan sudah sadar."
"Syukurlah nak."

"Bagaimana mas Bayu ?"
"Tranfusi darah sudah dihentikan. HB nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih rendah."

"Sudah sadar?"
"Belum nak, sedih ibu ini."
"Tenanglah bu, sabar, nanti Lastri akan segera saya bawa kemari, begitu dokter mengijinkan dia pulang. Tadi malam itu dia hanya dehidrasi. Seharian dikuburan neneknya, belum makan dan minum apapun sejak pagi, sementara udara lumayan panas."

"Oh, saya lega mendengarnya nak, segera bawa dia kemari."
Bu Marsudi menutup ponsel itu karena pak Marsudi harus kembali mengecasnya.

"Bagaimana Lastri?"
"Nak Timan sudah ketemu Lastri, tapi Lastri sedang dirawat di rumah sakit juga."

"Sakit apa dia?"
"Kemarin tiba-tiba pingsan, tapi tadi malam sudah sadar. Nak Timan berjanji akan segera membawa Lastri kemari."
"Syukurlah, semoga kedatangan Lastri akan membawa kesembuhan bagi Bayu."
*

Timan sedang menikmati wedang jahe buatan mbah Kliwon, dan mengupas sepotong ketela rambat yang masih hangat, ketika tiba-tiba terdengar mobil mendekat.

Diluar terdengar ramai para petani sayur membawa keranjang dagangannya, yang diterima mbah Kliwon dan pembantunya. Beberapa yang sudah selesai dicatat kemudian diangkatnya keatas pick up kuning telur yang sudah menunggu. Jam enam pagi semuanya sudah berangkat. Sepi sekelilingnya, tinggal mbah Kliwon membersihkan ruangan samping yang kotor karena ceceran sayur.
Timan sangat takjub. Ini semua sepak terjang Lastri.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi, pak lurah Mardi menelponnya.
"Mas Timan mau kerumah sakit jam berapa?"
"Kalau bisa secepatnya, pak lurah."
"Kalau begitu bisakah mas Timan datang kemari terlebih dulu? Nanti kita kerumah sakit bersama-sama."
"Baik pak lurah."

Mardi memasukkan sepotong ketela yang terssisa, kemudian menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin.
"Pak, saya mau kerumah sakit dulu ya."
"Sama pak lurah?"
"Iya, bapak mau ikut?"
"Nggak usah nak, saya harus bersih-bersih dulu. Semoga Lastri segera bisa dibawa pulang ya nak."
"Aamin pak, saya berangkat dulu."

Ternyata dirumah pak lurah Timan diminta untuk makan pagi dulu. Marni sudah menyiapkannya sejak tadi, karena dia ingin ikut kerumah sakit.
"Kamu benar nggak apa-apa? Nanti dijalan kamu muntah-muntah lagi," tegur pak lurah menghawatirkan isterinya.

"Aku sudah minum obatnya, sudah baikan kok, nggak mual. Lagian aku harus ketemu Lastri. Kalau tidak nanti aku akan terus menerus merasa khawatir. Lagian aku harus membawa beberapa bajuku untuk ganti, bukankah semalam belum ada yang mengirimkan ganti?""
*

Lastri terjaga, ketika perawat membangunkannya  untuk membersihkan tubuhnya.Selang infus masih mengucurkan cairan melalui tangannya.

"Tidak membawa ganti mbak?"
Lastri menggeleng. Ia bingung, tak ada yang memikirkan ganti  baju untuk dirinya.
"Padahal baju mbak sangat kotor, kami lupa berpesan kepada yang mengantar mbak kemarin."

"Saya ingin pulang."
"Nanti dulu mbak, bukankah semalam masih pusing?"
"Sekarang tidak lagi.
"Nanti dokter akan memeriksa keadaan mbak, kalau memang oke ya pastinya boleh pulang."

Tiba-tiba seseorang nyelonong masuk.
"Lastri, kamu kenapa?"
Yang datang adalah Marni. Dengan terharu dia memeluk Lastri.

"Ma'afkan mas Mardi ya Tri?"
"Mengapa yu? Mas Mardi tidak apa-apa."
"Pasti karena iklan itu kamu terluka."
"Tidak yu. Aku tidak menganggap kang Mardi bersalah, ini sudah takdir, aku menerimanya dengan ikhlas."
Marni mencium pipi Lastri, dan mengelus kepalanya.

"Apa ibu membawa ganti untuk mbak Lastri?"
"Oh iya, saya membawanya sus. "
"Saya sudah menyeka tubuhnya tinggal bajunya, biar saya menggantinya?"
"Jangan sus, biar saya saja."
Suster itu mengangguk dan keluar.

"Yu, ini bajumu kan?"
"Iya, tak ada yang memikirkan baju pengganti, aku lalu membawakannya," kata Marni yang kemudian menggantikan baju Lastri. Lastri menoleh kearah pintu, khawatir ada yang melihat tubuhnya yang terbuka.

"Tak ada siapa-siapa, aku melarang mas Mardi dan mas Timan masuk, karena aku harus mengganti dulu baju kamu."
"Terimakasih yu."

"Sebenarnya kamu itu kenapa?"
"Aku nggak apa-apa, hanya pergi ke makan simbah. Mungkin aku belum kemasukan air ataupun makanan, sementara udara agak panas, sehingga aku pingsan."

"Aku mengira kamu kecewa karena iklan itu. Memang mas Mardi yang salah."
"Sudah yu, jangan diulang-ulang lagi. Tentang iklan itu bukan apa-apa. Justru karena itu aku bisa membantu kang Mardi memajukan dusun kita. Memang jalannya harus begitu kan yu?"
Marni segera memberi isyarat pada Mardi dan Timan agar masuk setelah Lasti berganti pakaian bersih milik Marni.

Tapi Timan mengurungkan niatnya melangkah ke pintu, ketika ponselnya berdering. Ternyata dari bu Marsudi.
"Hallo bu, ini saya sedang mau menemui Lastri."
"Nak Timan, cepat kemari, Bayu kritis lagi," kata bu Marsudi sambil menangis.
*

Bersambung

&&&&&

*LASTRI 36*

Timan tertegun, langkahnya terhenti dan kakinya terpaku dalam getar-getar ketakutan.

"Bag..gaimana bu?" tanyanya gugup.
"Tekanan darahnya ngedrop terus, dokter sedang menanganinya."

"Sabar bu, sabar, saya akan segera kembali kemari. Semoga bisa membawa Lastri."
"Mana dia, bisakah aku bicara?"
"Ya bu, tunggu..."

Timan masuk kedalam ruangan, dilihatnya Lastri sedang bercanda dengan pak lurah dan bu lurah Marni.
"Lastri, ini telephone buat kamu," kata Timan seraya mengulurkan ponselnya.
"Hallo," sapa Lastri.
"Lastriiii... ini kamu?" bu Marsudi langsung menangis keras, meledak-ledak.

"Ibu, iya.. ini Lastri, bagaimana kabar ibu?"
"Bayu kritis, segera datang nduk... "

Gemetar tangan Lastri, ponsel itu diulurkannya kepada Timan, dan sebelah tangannya berusaha mencabut jarum infus yang masih menancap ditangannya. Mardi terkejut, dan menangkap tangan Lastri.
"Jangan Lastri, tunggu sebentar. Nanti darahmu akan mengucur keluar."

"Aku mau pulang, aku harus ke Solo, aku mau ketemu mas Bayu," katanya dengan berlinangan air mata.

Marni memanggil perawat karena Lastri meronta-ronta ingin melepas jarum infusnya. Mardi memegangi tangan itu dengan kencang.
Timan menjauh, karena bu Marsudi masih belum menutup ponselnya.

"Bu, ibu sabar ya, tampaknya Lastri ingin segera datang kemari. Bisikkan ditelinga mas Bayu bahwa Lastri dalam perjalanan kemari."
"Baiklah nak, aku membuat Lastri panik bukan? Aku mendengar dia menangis dan berteriak-teriak."

"Benar bu, dia langsung minta pulang. Bu lurah sedang memanggil dokternya."
"Ya nak, segera datang dan membawa Lastri ya," kata bu Marsudi masih dengan isaknya.
"Baik bu, bersabar dan terus berdo'a ya bu."

Timan mundur karena dia sedang berdiri didepan pintu, sementara dokter dan perawat masuk melalui pintu itu.

"Bagaimana, mbak Lastri?" tanya dokter muda itu ramah.
"Dokter, lepas infusnya, saya mau pulang," tangis Lastri. Mardi masih memegangi sebelah tangannya.
"Sudah mas, nggak apa-apa, biar perawat melepasnya,"kata dokter yang kemudin memeriksa Lastri.

"Masih pusing?"
Lastri menggeleng.

"Masih merasakan apa? Sakit? Mual?"
Lastri menggeleng lagi. Ia melihat laporan tekanan darah Lastri, baik dan normal. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Baiklah, mbak Lastri boleh pulang sekarang."
Lastri hampir bersorak kegirangan. Ia langsung duduk.

"Pelan-pelan ya, jangan langsung berdiri dan berjalan, nanti pusing lagi," kata pak dokter.

Lastri turun dari ranjang, berdiri dan diam sebentar.
"Pusing?"
Lastri menggeleng.

"Mas Timan, ayo antarkan aku," rengek Lastri tanpa malu-malu."
"Tapi mobilku dirumah pak lurah."

"Mas Timan bawa mobil saya saja, biar cepat. Nanti kalau keadaan sudah tenang baru mas Timan bisa mengambil mobilnya kembali.

"Termakasih banyak pak lurah, Tapi pak lurah pulang naik apa?"  kata Timan sambil memegang lengan Lastri.

"Itu gampang, saya bisa menyuruh orang menjemput kemari. Sekarang saya mau menyelesaikan administrasinya dulu. "

"Ini kunci mobil saya pak lurah, terimakasih banyak, saya mau pergi sekarang."

"Lastri, kamu harus mengganti bajumu lebih dulu. Itu daster rumahan. Dan kamu nggak pake sepatu atau sendal. Aku bawakan baju yang lebih pantas, dan sendal juga." kata Marni sambil memberikan bungkusan baju ganti dan sendal yang dibawanya dari rumah.

"Iya, berganti pakaian dulu sebentar, supaya lebih pantas. Masa mau ketemu pacar penampilan jelek seperti itu." sambung Timan menggoda.

Lastri menurut, berganti pakaian milik Marni yang dibawakannya, dan mengenakan sendal yang kebetulan pas dikakinya.

"Terimakasih yu, Lastri memeluk Marni setelah berganti pakaian, dan menarik tangan Timan agar segera berangkat.
*

Timan membawa Lastri pulang ke rumah keluarga pak Marsudi. Sepanjang jalan Lastri tersedu, dia tak mengira Bayu memikirkannya sampai sekarang. Lastri merasa berdosa mengira Bayu sudah mendapatkan gadis lain.

"Masih pusing?" tanya Timan yang masih merasa khawatir.
"Nggak mas, aku sangat sehat. Aku hanya ingin segera sampai."
"Sabar ya..."

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa atas mas Bayu? "
"Jangan berfikiran buruk Lastri, berdo'a demi kesembuhannya ya?"

"Apa yang terjadi dengan mas Bayu setelah aku pergi ?"
"Dia seperti orang bingung. Setiap kali sedang sedih dia pasti datang kerumah. Suatu ketika pak Marsudi ingin mengenalkannya dengan salah seorang anak temannya, gadis itu cantik,  tapi mas Bayu menolak mentah-mentah. Sekarang gadis itu menjadi pacarnya mas Sapto."

"Kasihan mas Bayu, aku merasa bersalah."
"Kamu tidak bersalah Lastri. Kamu pergi karena menghindari kemarahan pak Marsudi."

Banyak cerita Timan tentang Bayu, yang semuanya membuat hatinya teriris pedih.Serasa ingin terbang agar segera bisa menemui kekasih hatinya.
*

 "Sudah bu, jangan menangis lagi, sabar, dokter sudah menanganinya, Bayu pasti akan tertolong." kata pak Marsudi yang berusaha menenangkan hati isterinya.

"Mengapa Lastri belum datang juga?"
"Mestinya sedang dalam perjalanan, sabarlah bu."
"Bapak harus berjanji, nanti kalau Lastri datang bapak harus bersikap manis pada Lastri."
"Iya, aku janji."

"Bukankah bapak akan mengambil Lastri sebagai menantu?"
"Iya, aku janji."

Bu Marsudi berdiri dan masuk kedalam ruang ICU. Dilihatnya Bayu masih terbaring lunglai. Beberapa alat terpasang ditubuhnya. Seorang perawat menunggui dan terus melihat perkembangannya.

"Bagaimana anak saya, suster?"
"Sudah lebih tenang bu," jawab perawat sambil menepuk-nepuk tangan bu Marsudi.
Bu Marsudi mendekat. Digenggamnya tangan Bayu erat-erat, kemudian dibisikkannya sesuatu ditelinga Bayu.

"Bayu, anakku, kamu harus sembuh. Lastri akan segera datang," itu kata-kata yang selalu dibisikkannya ketelinga Bayu setiap sa'at.

"Ma'af bu, mohon ibu keluar dulu, saya akan mengganti infusnya dan menyuntikkan obat kedalamnya. Diharapkan ini adalah obat terakhir yang bisa menolongnya."

Bu Marsudi keluar sambil mengusap air matanya. Hatinya bergetar mendengar kata-kata suster itu. Obat terakhir? Jadi kalau itu tak menolong maka anaknya akan mati?

"Sudah bu, sabar dan tenangkan hati ibu. Duduklah saja disini," kata pak Marsudi.
Sepasang orang tua yang penuh duka itu duduk dikursi tunggu,  bersandar seakan tanpa daya. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan do'a.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki, setengah berlari, mengejutkan keduanya. Seorang gadis dengan rambut digelung , dan wajah pucat menghampiri mereka.

"Lastri!!" teriak bu Marsudi.

Lastri bersimpuh dihadapan kedua orang tua Bayu, menciumi tangan mereka satu persatu sambil air matanya bercucuran.

"Kemana saja kamu nduk?" tanya bu Marsudi sambil memeluk Lastri.
"Aku bersalah sama kamu Lastri, ma'afkan aku ya," kata pak Marsudi penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa pak, Lastri sudah melupakannya. Mana mas Bayu? Mana mas Bayu?" isaknya sambil melepaskan pelukan bu Marsudi.
"Dia ada didalam, masuklah dan katakan bahwa kamu telah datang."

Lastri berdiri dan berjalan memasuki ruang ICU.
Bu Marsudi tampak sedikit lega. Ada sejuta harapan dengan datangnya Lastri. Semoga ada keajaiban, karena bukankah derita yang disandang Bayu adalah karena kehilangan Lastri."

"Selamat siang bu, pak," Timan muncul tak lama kemudian.
"Oh, jadi Lastri sama nak Timan? Aku sampai lupa menanyakannya tadi."

"Iya bu, bukankah saya telah berjanji? Mana Lastri?"
"Sudah masuk keruang ICU."

Tapi tiba-tiba Lastri keluar sambil menangis. Hampir copot jantung bu Marsudi melihatnya.
"Ada apa Tri? Bayu kenapa?"
"Mana mas Bayu, saya tidak menemukan mas Bayu." tangisnya.

"Dia ada diruang 3. Bukankah ada suster yang menjaganya? "
"Tidak ada bu, mana dia?"

Bu Marsudi berdiri lalu menggandeng Lastri masuk kembali. Disebuah ruang bu Marsudi berhenti.
"Itu Bayu.."

Lastri tercengang. Laki-laki brewok berambut gondrong itu Bayu?
Lastri mendekat, mengawasi dengan seksama.

"Ya Tuhan, benar dia, bibir itu, hidung itu, mata itu, milik mas Bayu," kata batinnya yang kemudian menubruknya dan menangis sesenggukan.

"Mas Bayu.. mas Bayu.. bangun mas, aku Lastri.. aku Lastri sudah datang untuk mas Bayu.. bangun mas.. jangan begini. Kalau kamu mati aku juga akan mati bersama kamu mas.."

Bu Marsudi tak bisa menahan air matanya. Ia meninggalkan Lastri dan membiarkannya melampiaskan kerinduan diantara keduanya. Apakah Bayu bisa merasakannya?

"Dengar mas, aku juga menderita tanpa mas Bayu, aku menangis setiap hari mas. Mengapa kamu begini? Bukankah banyak gadis cantik ada disekelilingmu? Aku hanya gadis desa, tak punya pangkat dan derajat, mengapa bisa membuatmu begini?” Lastri meratap.

“Bangun mas, jangan begini.. jangan biarkan aku terus menangisimu mas... banguun.."

Lastri terus menciumi tangan Bayu, keningnya, lalu terus menerus membisikkan kata-kata penuh rindu yang keluar dari bibirnya.

"Lihat aku mas, aku kemari tanpa membawa apapun demi kamu. Selembar pakaian yang aku bawa adalah pakaian yu Marni, isteri lurah desa, yang juga sahabatku. Sendal yang aku pakai juga milik yu Marni. Aku ingin segera melihat kamu mas, ketemu kamu dan memeluk kamu.

Bangun maaas.. kasihanilah aku.. Aku akan terus mengabdi dan melayani kamu, aku akan selalu ada disamping kamu mas. Aku Lastri, tidakkah mas Bayu mengenali suaraku.

Maaas, buka matamu dan pandang aku, berikan senyum kamu yang selalu membuat hatiku bergetar, yang kemudian menumbuhkan cinta yang terpendam. Bangun mas.. jangan pergi.. kalau kamu pergi aku harus ikut bersamamu. Biarlah kita mati bersama mas."

Lastri masih meremas telapak tangan Bayu, air matanya terus mengucur. Sesekali ditempelkannya tangan itu dipipinya.

Tiba-tiba Lastri seperti merasakan sesuatu. Jari yang digenggamnya seperti bergerak pelan. Lastri melepaskan genggamannya dan mengamati jari-jarinya.

Itu benar, jari tangan itu bergerak-gerak.
"Dokteeeer," Lastri berteriak.

Seorang perawat datang. Lastri tak bisa mengucap apapun, ia menunjuk kearah jari tangan Bayu yang terkadang bergerak-gerak.

Perawat lari memanggil dokter. Lastri mundur ketika dokter itu datang. Bajunya basah oleh air mata yang membasahinya.

Dokter yang datang segera memeriksa keadaan Bayu. Lalu entah apa lagi yang dilakukannya, Lastri tak henti-hentinya berdo'a.

Tiba-tiba dokter menoleh kearahnya sambil tersenyum.
"Dia akan sadar, dan sembuh. Tekanan darahnya mendekati normal."

Entah karena obat pamungkas yang disuntikkan beberapa sa'at lalu, atau karena kedatangan Lastrilah maka keadaan Bayu jadi membaik. Wallahualam.  Kenyataannya hal membahagiakan itulah yang kemudian didengar oleh telinga Lastri.

Lastri ingin bersorak, tapi justru air matanya yang mengucur lagi. Tak sadar dipeluknya dokter muda itu. Lalu kemudian dia tersipu ketika menyadari sikapnya.

"Ma'af.. aku.. saya.. minta ma'af." kata Lastri tersipu.
"Ibu isterinya?"
Lastri bingung menjawabnya, tapi dia menggeleng malu.

"Calon, barangkali." kata dokter sambil tersenyum, kemudian beranjak pergi, sambil memberi instruksi kepada perawat yang menjaganya.

Lastri kembali mendekati Bayu. Mata itu masih terpejam, tapi wajahnya tak sepucat tadi. Lastri terus menggenggam tangannya, terkadang meremasnya.

Timan yang kemudian ikut masuk, melihat Lastri tidak lagi menangis. Melihat Timan, Lastri melambaikan tangannya.
"Mas Bayu membaik mas, tadi tangannya sudah bergerak-gerak," kata Lastri sambil tersenyum.

"Alhamdulillah. Itu berkat kamu Tri. Dia sungguh-sungguh membutuhkan kamu."
Lastri tersenyum. Ia duduk disebuah kursi yang ada disitu, sambil tangannya tetap menggenggam tangan Bayu.

"Ya sudah, aku akan mengabarkan keadaan ini kepada bapak dan ibu Marsudi." katanya setelah melihat keadaan Bayu.
*

Lastri meletakkan kepalanya pada pinggiran kasur, sambil tangannya terus memegangi tangan Bayu. Ia merasa sangat letih. Semalam dia juga tak bisa tidur, dan hari ini situasi sangat membuat jiwanya lelah. Tak terasa kantuk menyerangnya dan dia tertidur.

Bu Marsudi dan pak Marsudi yang menjenguk kedalam, kemudian tersenyum lalu meninggalkannya. Tentu saja mereka sudah bisa tersenyum, karena Timan sudah mengatakan kalau keadaan Bayu membaik.

Mereka tetap menunggu diluar.
Lastri terlelap, dan bermimpi sedang berlarian disebuah taman bunga bersama Bayu. Lastri bersembunyi dibalik serumpun bunga, dan Bayu tak berhasil menemukannya.

"Lastri.... Lastri..." panggil Bayu. Tapi Lastri tak menjawab, ia sedang menggoda Bayu agar bingung mencarinya.

"Lastri... " tapi kemudian Lastri terkejut. Seseorang memegang kepalanya. Lastri membuka matanya. Mimpi itu telah berakhir.
*

Bersambung …