Kamis, 24 Februari 2022

Sejarah Munculnya Aliran Teologi dalam Islam

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.

Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.

Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.

Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.

Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.

Munculnya perselisihan

Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.

Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.

Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.

Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah. Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.

''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.

Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi. Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan

Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah, Jabbariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.

Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut aliran ini. Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar 90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen menganut aliran Syiah.

Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen. Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15 persen.

Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika Serikat.

Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.

Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.

Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di negeri 'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37 persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.

Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80 persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70 persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di wilayah utara Sudan. Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.

Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah, juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut paham Sunni, Syiah, dan Druze.

Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari satu persen) yang bermukim di Lebanon, termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga 100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni. Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.

Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau ditanya, siapa golongan yang  selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal Jama'ah.'' (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).

Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan sunah).

Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu? Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial, budaya, dan politik.

Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan lingkungan yang tidak sama.

Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan aliran teologi baru.

Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M). Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah Nabi SAW dan tradisi para sahabat.

Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul. Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi. Visi Abu al-Hasan al-Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi. Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi'i dan pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan lain-lain.

Dari manhaj menjadi mazhab

Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj al-fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh (kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku. Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan cirinya sendiri-sendiri.

Ada pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada yang disebut Al-Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di beberapa negara, termasuk Indonesia. Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.

Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal. Jika ia orang Indonesia, mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT. 

Rabu, 23 Februari 2022

Tujuh Aliran dalam Islam

TERBAGINYA aliran-aliran dalam Islam merupakan salah satu bentuk dari beda pendapat para orang-orang terdahulu. Dalam islam sebenarnya banyak aliran, yang menyebarkan serta mengajarkan islam dengan berbagai versi.

Aliran dalam Islam mulai tampak pada saat perang Siffin (37 H) Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah.

Persoalan persoalan yang terjadi yang melahirkan aliran – aliran dalam islam baru tidak luput dari persoalan politik. Harun Nasution, Mantan Rektor UIN Jakarta sekaligus penulis buku “Teologi Islam, Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan” mengatakan dalam bukunya bahwa yang legal menjabat sebagai Khilafah pada saat itu hanyalah Sayidina Ali bin Abi Thalib di Madinah, sedangkan Mu’awiyah hanyalah sebagai Gubernur Syam yang tidak mau tunduk pada Ali.

Pada saat itu golongan Ali bin Abi Thalib berperang dengan golongan Mu’awiyah. Ketika pihak Ali bin Abi Thalib berhasil menang dari golongan Mu’awiyah, maka golongan Mu’awiyah mengajak berdamai (tahkim) kepada Ali bin Abi Thalib. Orang-orang yang tergabung dalam golongan Sayidina Ali pun terpecah kembali, ada yang menyetujui perdamaian tersebut, serta ada juga yang tidak.

Maka kelompok yang tidak setuju Tahkim ini memisahkan diri dan melahirkan aliran islam baru yang dikenal dengan nama Khawarij. Kelompok ini berpendapat orang-orang yang mengikuti tahkim wajib dibunuh karena tidak menggunakan hukum Allah.

Karena hal tersebut, Akhir nya kelompok Ali mempunyai dua musuh, yaitu Khawarij, orang-orang yang tidak terima dengan keputusan Ali, dan juga golongan Mu’awiyah.

Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang taat beribadah, namun mereka sangat tekstualis dalam memaknai dalil-dalil agama. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh pengikut Khawarij Abdurrahman bin Muljam. Ia hafal Qur’an, jika malam hari rajin shalat tahajud, dan siang harinya berpuasa. Hingga kini, pemikiran ala Khawarij tetap ada di dunia Muslim yang kemudian disebut sebagai neo Khawarij yang gampang sekali mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya, termasuk melakukan tindakan bom bunuh diri atas nama agama.

 

Perpecahan umat Islam di periode awal didasari oleh perbedaan politik, termasuk munculnya kelompok Syiah yang beranggapan bahwa yang berhak menjadi penerus Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib.

Pertentangan politik tersebut selanjutnya berdampak pada masalah doktrin-doktrin agama karena perbedaan rujukan dan metodologi. Syiah tidak mengakui hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain Ahlul Bait atau keluarga Nabi. Syiah sendiri kemudian terbagi-bagi dalam Syiah Ghulat, Zaidiyah, Ismailiyah, dan Itsna asyariyah.  

Selanjutnya, ketika wilayah kekuasaan kerajaan Islam meluas, terdapat persentuhan dengan budaya dan pemikiran lain termasuk filsafat Yunani yang sangat menghargai akal dan rasio. Ulama yang mempelajari filsafat kemudian menggunakan pendekatan rasional dalam memaknai ajaran-ajaran Islam. Kelompok yang mengedepankan akal ini disebut Mu'tazilah.    

Kelompok paling dominan dalam dunia Islam adalah Sunni atau Ahlusunnah wal Jama'ah yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad. Dalam sisi aqidah, kelompok Sunni mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi sedangkan dalam aspek fiqih, mengikuti pendapat empat mazhab, yaitu Maliki, Hambali, dan Hanafi.

Dalam satu mazhab pun, seperti Syafiiyah misalnya, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pengikutnya pada soal-soal tertentu.   Pengelompokan lain masih dapat dibuat atas berbagai kategori yang sangat beragam, namun jika dirunut lebih jauh, tetap memiliki akar dari kelompok besar yang sudah ada sebelumnya seperti Sunni, Syiah, Khawarij, Mu'tazilah, dan lainnya.

Dengan adanya berbagai aliran, mazhab, dan kelompok, menjadi sangat penting bagaimana menyikapi perbedaan itu. Upaya memaksakan kebenaran tunggal merupakan tindakan yang mustahil.

Kelompok radikal menganggap bahwa selain kelompoknya dianggap kafir dan sesat sehingga boleh dibunuh. Kelompok ini berpendapat hanya alirannya yang benar dan masuk surga. Di sisi ekstrem lain, terdapat kelompok liberal yang menganggap inovasi-inovasi baru yang menyimpang dari ajaran pokok Islam tetap diperbolehkan seperti kelompok Al-Qiyadah al-Islamiyah, Salamullah (Lia Eden), Inkarus Sunnah, dan lainnya. Bagi kelompok ini, kebenaran sifatnya relatif dan nisbi.  

Kelompok Islam moderat berpendapat, perbedaan dalam masalah furuiyah atau masalah cabang-cabang agama diterima, namun jika sudah menyangkut pokok-pokok ajaran Islam seperti mengaku sebagai nabi baru atau mendapat wahyu dari Jibril, dianggap sudah keluar dari ajaran Islam.  

Persoalan muncul terkait hubungan antara agama dan negara. Negara tidak mengurusi soal keyakinan seseorang mengingat hal tersebut dianggap sebagai persoalan pribadi. Masalah terjadi ketika satu kelompok mengklaim sebagai bagian dari agama Islam, tetapi kelompok mayoritas menilainya sudah menyimpang dari ajaran pokok seperti pada aliran Ahmadiyah, padahal negara melindungi kebebasan berserikat, berkumpul, dan memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut keyakinannya.  

Keberadaan kelompok seperti Ahmadiyah sampai sekarang belum menemukan titik temu dan menjadi persoalan sosial ketika ada kelompok konservatif yang kemudian membakar, melakukan tindakan kekerasan, atau  pengusiran pengikut Ahmadiyah atas nama Islam. Sayangnya negara masih bersikap ambigu dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

Persoalan-persoalan khilafiyah yang sifatnya furuiyah pun kembali menjadi perdebatan seiring dengan munculnya internet dan media sosial. Kini semua orang merasa menjadi ahli dan bisa mengomentari masalah agama. Masalah ziarah kubur, doa qunut, shalawatan, memanjangkan jenggot, celana cingkrang, burqa, dan lainnya menjadi perdebatan panas antarwarganet.

Era Orde Lama, beberapa soal tersebut pernah menjadi diskusi yang sengit, tetapi kemudian muncul kesadaran untuk saling menghargai perbedaan pendapat dan pandangan. Sayangnya, beberapa ustadz baru kurang bijak  berdakwah dengan memperuncing perbedaan dalam pembahasan hal-hal yang sudah dianggap sebagai masalah khilafiyah yang mana seharusnya setiap Muslim dihargai pilihan pendapat yang dianutnya.  

Pada kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama atau ingin meruntuhkan bangunan negara kebangsaan Indonesia maka aparat pemerintah mesti bersikap tegas. Untuk dapat menjalankan ibadah dan hidup dengan baik, maka keamanan negara perlu terjamin. Kelompok-kelompok yang menggunakan kebebasan yang diberikan oleh negara untuk merongrong kebebasan itu sendiri tidak boleh dibiarkan.  

Dengan memahami berbagai aliran dalam Islam, kita dapat mengidentifikasi ideologi, ajaran, dan tindakan setiap kelompok. Mungkin ada derivasi-derivasi kecil yang terkait dengan konteks zaman dan lokalitas dari kelompok yang baru muncul, namun gambaran besarnya tetap tidak jauh berbeda dari kelompok besar yang sudah ada sebelumnya.

Dengan demikian kita dapat mengambil sikap dan kebijakan yang tepat.   Bagi umat Islam, pemahaman terhadap aliran-aliran agama menjadi dasar untuk menumbuhkan toleransi intraagama.

Nahdlatul Ulama meyakini bahwa ajaran-ajaran yang diyakini dan dijalani sangat otoritatif yang didasarkan pada Al-Qur'an, hadits ,ijma, dan qiyas. Namun demikian, NU tidak pernah memaksakan keyakinannya kepada kelompok lain. Dengan saling menghargai, maka akan muncul harmoni dalam ukhuwah Islamiyah. (Achmad Mukafi Niam)

Sumber: 
https://nu.or.id/risalah-redaksi/memahami-aliran-aliran-islam-untuk-toleransi-intraagama-5E7DH


&&&&&&

Ada beberapa aliran dalam islam yang mempunyai sejarahnya masing sejak dahulu hingga sekarang seperti :

 

1. Ahlus Sunnah wal Jamaah

Aliran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah khulafaurrasyidin. Sebagian besar umat muslim di tanah air diajarkan dalam ideologi dari kelompok ini.

Pola pikir Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengambil jalan tengah antara Nash (Al Qur'an dan Hadits) dengan Akal (Ijma' dan Qiyas). Kelompok ini dikenal juga dengan julukan Penganut Islam Sunni.

 

2. Syiah

Aliran Syi'ah adalah cabang Islam terbesar kedua. Pandangan ini terutama kontras dengan Islam Sunni, yang penganutnya percaya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk seorang pengganti sebelum kematiannya.

Islam Syiah didasarkan pada sebuah hadits. Syiah percaya Ali seharusnya menjadi penerus Muhammad sebagai pemimpin spiritual dan politik Islam. Keyakinan ini kemudian berkembang menjadi konsep Imamah, gagasan bahwa keturunan tertentu Rasul SAW, disebut Ahl al-Bayt, adalah penguasa atau Imam yang sah.

 

3. Khawarij

Aliran Islam yang pertama adalah Kaum Khawarij. Sebagai sekte Islam pertama yang dapat diidentifikasi. Mereka muncul ketika para pengikut Nabi Muhammad SAW berusaha untuk menentukan sejauh mana seseorang dapat menyimpang dari norma-norma perilaku yang ideal dan tetap disebut Muslim.

Mereka adalah mantan pendukung Khalifah Ali yang memberontak sebagai protes. Mereka menegaskan bahwa "penghakiman hanya milik Tuhan", yang menjadi moto mereka. Ali dibunuh pada tahun 661 oleh seorang Khawarij yang berusaha membalas dendam.

Kaum Khawarij percaya bahwa setiap Muslim, terlepas dari keturunan atau etnisnya, memenuhi syarat untuk peran khalifah, asalkan mereka secara moral tidak tercela. Menurutnya, tugas umat Islam untuk memberontak dan menggulingkan para khalifah yang berdosa.

 

4. Muktazilah

Muktazilah disebut juga Ahl al-ʿAdl wa al-Tawḥīd, adalah kelompok Islam yang muncul pada awal sejarah dalam perselisihan tentang kepemimpinan Ali. Setelah wafatnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan.

Mereka mengambil posisi tengah antara Khawarij dan Syiah. Pada abad ke-10 M, istilah ini juga merujuk pada aliran teologi spekulatif (kalām) Islam Sunni yang berkembang di Basra dan Baghdad (abad ke-8-10).

Aliran ini mengembangkan jenis rasionalisme Islam, sebagian dipengaruhi oleh filsafat Yunani Kuno, yang didasarkan pada tiga prinsip dasar: keesaan dan keadilan Tuhan, kebebasan bertindak manusia dan penciptaan Al-Qur'an. Kelompok yang terkenal karena menolak doktrin Alquran, sebagai tidak diciptakan dan sama-sama abadi dengan Tuhan.

 

5. Murjiah

Murji'ah berpendapat bahwa hanya Tuhan yang berhak menilai apakah seorang Muslim telah murtad atau tidak. Akibatnya umat Islam harus mempraktekkan penundaan penghakiman pada pelaku dosa besar dan tidak membuat tuduhan kafir.

Mereka juga percaya bahwa perbuatan baik atau kelalaian dari manusia tidak mempengaruhi iman seseorang. Lalu orang yang tidak melakukan tindakan ketaatan lain tidak akan dihukum di akhirat selama mereka berpegang pada iman yang murni.

 

6. Qadariyah

Qadariyah adalah istilah yang awalnya menghina para teolog Islam awal, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Istilah ini berasal dari (qadar), "kekuatan".

Sumber-sumber abad pertengahan yang menjadi dasar informasi tentang Qadariya termasuk Risālat al-qadar ilā Abd al-Malik.

 

7. Jabariyah

Aliran dalam Islam selanjutnya yang berbanding terbalik dengan Qadariyah. Jabriyah adalah aliran filsafat Islam awal yang didasarkan pada keyakinan bahwa manusia dikendalikan oleh takdir, tanpa memiliki pilihan atau kehendak bebas.

Jabariyah berasal dari Dinasti Umayyah di Basra. Istilah ini berasal dari akar kata bahasa Arab j-b-r, dalam arti yang memberi arti seseorang yang dipaksa atau dipaksa oleh takdir. 

https://m.merdeka.com/trending/7-aliran-dalam-islam-dengan-pandangan-berbeda-umat-muslim-wajib-tahu.html?page=5

Minggu, 06 Februari 2022

Antara Jabariyah dan Qadariyah dalam Virus Corona

(Oleh: Prof DR Iswandi Syahputra, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Perlahan, perdebatan seputar penanganan penularan virus Corona (Covid-19) memasuki halaman depan rumah keyakinan dan keimanan umat beragama (khususnya Islam). Dalam perspektif ini, setidaknya ada 2 perdebatan yang muncul terkait virus Corona:

 

Pertama, Takutlah pada Allah SWT jangan takut pada Corona

Pernyataan ini benar tapi cacat logika/nalar. Benar karena sangat jelas takut hanya pada Allah SWT. Salah, karena Allah tidak bisa (tidak boleh) dibandingkan dengan Corona. Logika ini sama dengan ungkapan orang tua pada anaknya, "Sudah besar koq tidak bisa berenang, kalah sama ikan teri".

Tapi logika ini bukan tanpa dasar teologis. Logika bepikir ini masuk pada paham Jabariyah dalam teologi Islam. Intinya, paham ini memiliki keyakinan semua sudah diatur oleh Allah SWT sehingga tidak ada ruang ikhtiar bagi manusia. Manusia hanya menjalani nasib.

 

Kedua, Virus Corona sangat berbahaya, manusia harus berikhtiar/usaha mencegah penularannya.

Pernyataan ini benar, kemudian banyak yang berikhtiar gunakan masker (walau tidak sakit), pakai hand sanitizer, salam siku, dll.

Ikhtiar ini juga sebenarnya bersandar pada paham teologi Qadariyah. Paham ini pada prinsipnya berkeyakinan bahwa manusia memiliki kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. 

Tapi saat paham ini dipraktikkan dalam ibadah keagamaan, misalnya menghentikan sholat Jum'at atau sholat jama'ah dengan jarak aman 2 meter setiap jamaah, mulai muncul perdebatan. Yang kadang, (maaf) tidak berguna bagi pencegahan penularan virus Corona.

 

Agar perdebatan ini tidak berlarut dan kita kembali fokus pada penangkalan penyebaran virus Corona, saya ingin menyampaikan pemikiran jalan tengah. Pemikiran ini berawal dari pertanyaan, Bagaimana sikap seorang muslim sebagai umat beriman terhadap penyebaran virus Corona?

Ada 3 konsep penting dalam keyakinan Islam yang saling berelasi dan dapat digunakan secara simultan (bersamaan) bukan parsial (terpisah, dikotomi) saat umat beriman khususnya muslim dalam mengahadapi penyebaran virus Corona, yaitu:

Ikhtiar, Sabar dan Tawakkal

Ketiganya seperti tiga orang sahabat karib dalam setiap perjalanan kehidupan. Tidak boleh dipisahkan saat kita menghadapi penyebaran virus Corana. Relasi tiga konsep tersebut dapat dijelaskan sbb:

1. Sabar dan tawakkal itu ada dalam ikhtiar, bukan di luar ikhtiar. Sabar dan tawakkal tanpa ikhtiar akan menghilangkan fungsi manusia sebagai khalifah kehidupan.

2. Tawakkal dan ikhtiar itu harus dengan kesabaran, bukan di luar kesabaran. Tawakkal dan ikhtiar tanpa sabar, menjadikan kita manusia tidak lulus ujian.

3. Ikhtiar dan sabar itu harus dibalut tawakkal, bukan di luar tawakkal. Ikhtiar dan sabar tanpa tawakkal akan membuat kita manusia menjadi sombong.

 

Beberapa firman Allah SWT dalam Al-Qur'an ini dapat diacu untuk menjelaskan tiga relasi tersebut:

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(QS ar-Ra’d [13]: 11)

> “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (QS al-Baqarah [2]: 45).

> “Dan betapa banyak Nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS Ali ‘Imran [3]: 146).

> “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah”. (QS Ali Imran [3]: 159)

Sebagai penutup, untuk menggambarkan hal tersebut saya kirim kisah dari seorang teman sebagai berikut:

                        *****

 

Suatu hari banjir besar melanda sebuah daerah. Air naik makin tinggi hingga hampir menenggelamkan rumah.

Orang-orang pergi mengungsi. Seorang pemuka agama memilih bertahan di atas genteng rumah ibadah. Dia amat percaya bahwa Tuhanlah yang mendatangkan banjir dan Tuhan juga yang akan menolongnya. Tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Tuhan.

Sebuah perahu regu penolong datang menghampiri pemuka agama itu. "Bapak, ikutlah naik perahu ke tempat aman," seru regu penolong.

“Jangan pikirkan aku. Tuhan sendiri yang akan menolongku," kata pemuka agama itu.

Air terus naik. Pemuka agama itu pun naik lagi lebih tinggi ke menara rumah ibadah.

Regu penolong kembali datang sampai dua kali untuk membujuk pemuka agama itu naik ke perahu.

Namun selalu ditolak. "Tuhan sendiri yang akan menolongku," begitu selalu jawab pemuka agama itu.

Banjir makin besar dan menenggelamkan rumah ibadah. Pemuka agama yang nangkring di atas menara pun menemui ajalnya.

Di akhirat ia bergegas mencari Tuhan dan protes.

"Tuhan, aku ini kurang setia apa pada-Mu. Hidupku kudedikasikan pada-Mu. Tapi kok di saat banjir besar Kamu tak datang menolongku," kata dia dengan sangat emosi kepada Tuhan.

"Aku sudah mengirim tiga perahu dan kau menolak untuk mengungsi," jawab Tuhan.

                  ******

Itu sebabnya (sepertinya), dalam Al-Qur'an ayat berpikir lebih banyak dari ayat tawakkal dan ayat sabar.

Artinya, ikhtiar, sabar dan tawakkal selain masuk wilayah keimanan juga harus pakai pikiran. Maka, saat kita berikhtiar, bersabar dan bertawakkal sebaiknya menggunakan pikiran. 

Takdir, Ikhtiyar & Doa

Oleh Prof. Dr. Masri Mansoer, MA

Manusia dan semua ciptaan Allah yang Maha Kuasa terlahir dan maujud ke alam ini adalah atas, desain dan rencana Allah SWT, itulah takdir. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang sebaik-baik ciptaan dilengkapi dengan empat hidayah, yaitu gharizah (instink), pancaindera, akal dan agama. Atas dasar empat hidayah ini manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan taqwa-surga dan fujur-neraka. 

Kemampuan memilih jalan yang terbaik itulah ikhtiar. Di banyak ayat dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dan Dia Allah telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS al-Furqan: 2). “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya” (QS al-Ra`du: 11). “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (QS al-Mukmin: 60). “Apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS Ali Imran: 159).

Ikhtiar berasal dari kata khair (baik), yaitu berusaha memilih jalan atau cara yang terbaik sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan sunnah untuk menjalankan kehidupan ini atau mencapai apa yang dicita-citakan. Takdir adalah segala ketetapan dan ketentuan Allah yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah kepada semua makhluk-Nya termasuk manusia.

Takdir terbagi dua, yaitu Mualaq (ada usaha manusia didalamnya) dan Mubram (tidak dapat diubah atau diusahakan). Contoh takdir mualaq, kalau kita mau menjadi pintar berusaha memilih metode belajar yang benar dan sungguh-sungguh. Kalau kita mau tetap sehat kita ikuti resep DODOD (D = Diet-atur makan minum, O = olahraga degan teratur, Dokter = kalau sakit berobat ke dokter dan Obat diminum, D = doa). 

Sedangkan contoh takdir mubram, kita terlahir ke dunia ini sebagai seorang laki-laki atau perempuan dari orang tua yang berasal dari desa/kampung atau kota. Ketika seseorang berjalan di trotoar dengan disiplin dan tertib, tiba-tiba datang sebuah mobil menabraknya dan langsung wafat di tempat, itu namana takdir mubram.

Syarat berikhtiar, yakin kepada Allah bahwa yang kita kerjakan itu akan disampaikan/dikabulkan oleh Allah; berilmu tentang yang diusahakan; bekerja keras, semangat, tidak cepat menyerah; disiplin, rajin dan penuh tanggung jawab; dan belajar terus meningkatkan kemanpuan.

Pengaruh ikhtiar dalam kehidupan, yaitu  kita akan menjadi orang yang sukses dunia akhirat; terhindar dari sikap malas; merasa optimis dalam menjalankan usaha atau pekerjaan; memberikan contoh tauladan bagi orang lain; merasa batinnya puas sebab dapat mencukupi kebutuhan hidupnya; dan selalu bersyukur kepada Allah.

Takdir adalah masalah ghaib dan merupakan salah satu rukun iman, karena itu kewajiban  manusia adalah berusaha sesuai dengan sunnatullah. Agar ikhtiar yang kita lakukan itu mencapai tujuan dan mendapat pertolongan dari Allah, maka kita harus berdoa sebelum dan sesudah berikhtiar. Berdoa sebelum berikhtiar agar kita diberikan pentunjuk untuk memilih jalan atau usaha yang diridhai, sedangkan berdoa setelah berikhtiar adalah agar ikhtiar kita dikabulkan atau diberikan hasil sesuai dengan kehendak Allah. Maka apa pun hasil yang kita peroleh setelah melalui proses yang demikian, itulah yang terbaik bagi kita menurut Allah.

Doa dalam artian luas adalah semua permohonan atau permintaan oleh seorang hamba kepada Allah, sedangkan tawakal menitipkan usaha dan doa kepada Allah agar segala apa-apa yang telah diusahakan dan dimohonkan kiranya Allah menyempaikan atau mengabulkannya.

Dalam berdoa kita harus memperhatikan etika berdoa,yaitu suci dari hadas; menghadap kiblat; mengangkat kedua tangan; memulai dengan istighfar;  membaca hamdalah;  shalawat kepada nabi; dengan hati yang khusuk dan tawadluk;  sungguh-sungguh yakin doanya akan diijabah oleh Allah;  jangan terburu-buru;  ber-tawashul dengan nama-nama dan sifat Allah; dan berdoalah yang baik-baik.

Supaya doa kita diijabah maka perlu memperhatikan waktu yang baik untuk berdoa: sepertiga malam terakir (salat tahajud), ketika azan, antara azan dan iqamat, hendak melakukan shalat wajib, ketika imam naik mimbar sampai akhir salat jumat, dan sesudah shalat ashar.

Tiga cara Allah mengijabah doa hamba-Nya: dikabulkan di dunia, seperti kita berdoa minta diberikan anak-keturunan yang shaleh/shalehah maka Allah kabulkan; ditabung untuk akhirat, insya Allah kita ditakdirkan masuk surga; dan dicegah dari musibah atau bahaya yang akan menimpanya, seperti sekarang banyak masyarakat ditimpa musibah Covid-19, tetapi alhamdulillah kita tetap diberikan kesehatan oleh Allah walaupun berada di zona merah.

Orang yang ditolak doanya: musyrik, pemakan riba, makan dan minum dari rejeki tidak halal, pezina, orang memutuskan silaturrahim, orang yang takabbur/sombong, orang yang bermaksiat, dan orang selalu mencari-cari aib orang lain.

Karena itu marilah kita merencanakan dalam mengisi kehidupan ini dengan rencana yang baik, kemudian kita lanjutkan dengan berdoa agar diberikan kemampuan berikhtiar dan menjalankan ikhtiar itu, selanjutnya kita berdoa dan bertawakal kiranya Allah memberikan hasil atas usaha/ikhtiar yang kita lakukan.

Semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang benar serta istiqamah di jalan-Nya. Terimakasih, mohon maaf. Astaghfirullahal `azhim wa atubuu ilaihi. (ns)

* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

** Link video naskah ini dapat juga dilihat di https://youtu.be/LiqXzTfE02U.