Selasa, 28 Agustus 2018

Menutup Mata Untuk Bahagia


Seorang pria menikahi seorang gadis cantik. Dia sangat mencintainya.

Suatu hari sang istri mengalami penyakit kulit. Perlahan-lahan dia mulai kehilangan kecantikannya. Kebetulan suatu hari suaminya pergi untuk tur. Ketika kembali ia mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatannya. Namun kehidupan pernikahan mereka terus berjalan seperti biasa.

Tapi seiring hari berlalu, sang istri kehilangan kecantikannya secara bertahap. Suami buta tidak menganggapnya dan tidak ada perbedaan dalam kehidupan pernikahan mereka. Dia terus mencintainya, demikian juga sang istri juga sangat mencintainya.

Suatu hari sang istri meninggal. Kematiannya membawa kesedihan yang mendalam bagi sang suami.  Dia menyelesaikan acara penguburan dan ingin meninggalkan kota itu.

Seorang pria dari belakang menyapa dan mengatakan, sekarang bagaimana Anda akan menjalani semuanya sendirian? Selama ini istri Anda biasanya membantu Anda.

Dia menjawab, saya tidak buta. Saya berpura-pura, karena jika dia tahu aku bisa melihat keburukan dirinya, itu akan menyakitkan dirinya lebih dari penyakitnya. Jadi saya pura-pura buta.

Dia adalah seorang istri yang baik. Aku hanya ingin membuatnya bahagia.

Pesan Moral:

Terkadang bagus bagi kita menutup mata dan mengabaikan kekurangan orang lain agar supaya selalu menjadi bahagia.

Minggu, 26 Agustus 2018

Tafakur, Tadabur dan Tasyakur

Manusia diberikan anugerah oleh Allah SWT berupa akal dan pikiran serta hati. Tidak lain, untuk berfikir. Dalam kajian Islam ada istilah yang disebut dengan tafakur, tadabur dan tasyakur. Semuanya merujuk pada urusan berfikir atau merenung serta imbasnya.
Ketiganya tentu saja memiliki perbedaan masing-masing. Secara sederhana, perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Tafakur 
Akar kata tafakur adalah fakara – yafkiru – fakran – tafakkuran yang mengandung arti merenung, berpikir, dan mengamati.  Tafakur dapat diartikan sebagai kegiatan merenung, berpikir, ataupun mengenang berbagai macam fenomena yang terjadi di alam semesta. Baik itu dari suatu kejadian ataupun dari suatu pengalaman inderawi.
Dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 190-191, Allah SWT memerintahkan manusia untuk bertafakur: “Sesungguhnnya semua manusia diperintahkan untuk bertafakur menerenungkan tanda-tanda atau fenomena-fenomena alam ciptaan tuhan, agar timbul kesadaran bahwa dibalik itu ada dzat yang maha kuasa, yang maha agung, dan yang maha bijaksana yaitu sang pencipta, Allah SWT.”
Menuruut para sufi, Tafakur adalah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki. Para Ulama mengatakan bahwa tafakur itu ibarat pelita hati, sehingga dapat terlihat baik dan buruk maupun manfaat dan madharat dari segala sesuatu.
2) Tadabur 
Tadabur mengandung arti memahami, menghayati, atapun memikirkan.  Kata tadabur sering lekat dengan Alquran, sehingga kita sering mendengar istilah “tadabur Alquran”. Ada juga istilah “tadabur alam” yang juga sering dijumpai pada aktifitas kajian tentang kebesaran Allah Swt.
Tadabur Alquran bermakna suatu usaha untuk memahami, menghayati, dan  memikirkan, ayat-ayat di dalam Alquran. Tadabur Alquran dilakukan dengan mengetahui arti, memahami tafsir, serta makna kandungan, kemudian merenungkan pelajaran yang bisa diambil.
Sedangkan tadabbur alam adalah kegiatan perenungan kekuasaan Allah melalui hasil ciptaannya seperti benda-benda langit, angin, laut, gunung, tumbuhan dan lain-lain. Tujuannya adalah mengetahui dan memahami tujuan penciptaan alam semesta dan manusia sebagai khalifah.
Kesamaan tafakur dan tadabur adalah keduanya merujuk pada aktivitas berpikir. Sedangkan perbedaannya secara sederhana adalah tafakur merupakan kegitan perenungan tentang kejadian, sedangkan tadabur adalah kegiatan pemahaman terhadap fakta.
3) Tasyakur 
Tasyakur berarti mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah berikan. Kemampuan untuk mentasyakuri nikmat Allah merupakan buah dari aktivitas tafakur dan tadabur seseorang.
Menurut para ulama, bersyukur kepada Allah berarti mengakui dan menunjukkan adanya nikmat Allah dalam dirinya. Bersyukur bisa diungkapkan dengan lisan, maupun lewat hati. Bersyukur dengan lisan berarti mengucapkan terima kasih atas nikmat Allah, disertai dengan pujian kepada-Nya. Sementara bersyukur yang diungkapkan dengan hati dilakukan dengan pengakuan atas nikmat-nikmat Allah, yang disertai dengan bertambahnya kecintaan dan ketaqwaan kepada Allah.
Mensyukuri nikmat Allah merupakan perintah-Nya kepada kita. Allah berfirman, “Hai manusia ingatlah nikmat Allah kepadamu, adakah pencipta yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi selain Dia?” (QS.Fathir: 3). Di ayat ini, Allah menjelaskan kepada manusia bahwa kepada-Nya-lah kita harus bersyukur. Sebab hanya Allah penguasa langit dan bumi.

Selain memerintahkan untuk bersyukur, Allah juga menjanjikan kebaikan bagi siapa saja yang mau bersyukur kepada-Nya. Allah akan menambahkan nikmat kepada hamba yang mau bersyukur. Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu” (QS.Ibrahim: 7).

Jumat, 24 Agustus 2018

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi.

KISAH NYATA     
---------------------

Disuatu Sekolah, ada seorang Guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan  sungguh-sungguh membuat suasana Kelas yang baik untuk Murid-Muridnya.

Ketika Guru itu menjadi Wali Kelas 5, seorang Anak–salah satu Murid di Kelasnya, selalu berpakaian kotor dan acak-acakan.
Anak ini pemalas, sering terlambat dan selalu mengantuk di Kelas. Ketika semua Murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan, kuis atau mengeluarkan pendapat, Anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan tangannya.

Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa menyukai Anak ini. Dan entah sejak kapan, Guru itupun menjadi Benci dan Antipati terhadap Anak tsb.

Di Raport tengah Semester, Guru itupun menulis apa adanya mengenai keburukan Anak ini.

Suatu hari, tanpa disengaja, Guru itu melihat catatan Raport Anak ini pada saat dia Kelas 1. Disana tertulis:
“Anak yg Ceria, menyukai teman-temannya, ramah dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”

“..Ini pasti salah, ini pasti catatan Raport Anak lain….,” pikir Guru itu sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya Raport Anak ini.

Dicatatan Raport Kelas 2 tertulis, : “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat Ibunya yang sakit-sakitan,”

Di Kelas 3 Semester Awal,:
“Sakit Ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di Kelas,”

Di Kelas 3 Semester Akhir,
“Ibunya meninggal, Anak ini sangat sedih, terpukul dan kehilangan harapan,”

Di Catatan Raport Kelas 4 tertulis,: “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada Anak ini,”

Terhentak Guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label Anak ini sebagai Pemalas, padahal si Anak tengah berjuang bertahan dari Nestapa hidupnya yang begitu dalam…

Terbukalah mata dan hati Guru itu. Selesai jam Sekolah, Guru itu menyapa si Anak :
“Bu Guru kerja sampai sore di Sekolah, bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketinggalan kamu, jadi kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”

Untuk pertama kalinya si Anak memberikan senyum diwajahnya.

Sejak saat itu, si Anak belajar dengan sungguh-sungguh, Prepare dan Review dia lakukan dibangku di Kelasnya setelah sekolah usai.

Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si Anak untuk pertama kalinya mau mengacungkan tangannya di Kelas. Kepercayaan diri si Anak kini mulai tumbuh lagi.

Di Kelas 6, Guru itu tidak menjadi Wali Kelas si Anak.

Ketika kelulusan tiba, Guru itu mendapat Selembar Kartu dari si Anak, disana tertulis  :
_“Bu Guru baik sekali seperti Bunda, Bu Guru adalah Guru terbaik yang pernah aku temui.”

Enam tahun kemudian, kembali Guru itu mendapat sebuah Kartu  dari si Anak. Disana tertulis,: 
“Besok hari kelulusan SMA. Saya sangat bahagia mendapat Wali Kelas seperti Bu Guru waktu kelas 5. Karena Bu Gurulah, saya bisa kembali belajar dan bersyukur. Saya mendapat 'Bea Siswa' sekarang untuk melanjutkan Sekolah ke Fakultas Kedokteran.”

Sepuluh tahun berlalu, kembali Guru itu mendapatkan sebuah Kartu Pos. Disana tertulis : 
“Saya menjadi Dokter yang mengerti Rasa Syukur dan mengerti Rasa Sakit. Saya mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu Guru dan saya mengerti rasa Sakit karena saya pernah dipukul Ayah,”

Kartu Pos itu diakhiri dengan kalimat, :
 “Saya selalu ingat Ibu Guru saya waktu kelas 5. Bu Guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah Dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang Dokter. Tetapi Guru terbaik saya adalah Guru Wali Kelas ketika saya Kelas 5 di Sekolah Dasar.

Setahun kemudian, yang datang adalah : "Surat Undangan" disana tertulis satu baris :

“Mohon duduk di-Kursi Bunda pada Pernikahan saya,”

Guru itu pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagianya
-------'----

Rabu, 22 Agustus 2018

Filosofi Jawa ; Bobot, Bibit, Bebet dalam Mencari Jodoh

BOBOT bibit bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling tidak  menjadi alat kalibrasi atas kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari jodoh dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.
Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati – meski tidak terlalu selektif – dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”

Perlu diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), lima bandha (rizki).
Meskipun perjodohan adalah “departemen asmara” yang berada dibawah kepengawasan dan kendali Gusti Allah Yang Maha Kuasa, bukan berarti kita hanya bisa berdiam dan berpangku tangan menunggu runtuhnya durian. Namun kita wajib ikhtiar supaya tidak salah memilih yang akhirnya terpuruk  dalam penyesalan.
Seperti kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Nah, di sinilah letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam duka maupun duka.

Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam  The Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran jiwa yang sama”.

1. BOBOT adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dll berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang? Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni (lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik. Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama); (4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.

2. BIBIT adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya ndak jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus mencari menantu keturunan “darah biru”, tetapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan generasi sebelumnya.
Jadi. Filosofi Jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.

3. BEBET merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan, “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Itulah filosofi Jawa tentang bobot, bibit, bebet. Bagaimana dengan Anda? Wallahua’lam. //**  (dari berbagai sumber)

&&&

Ringkasan
1. Bobot artinya kualitas diri, baik secara lahir maupun batin. Termasuk keimanan, pendidikan, pekerjaan, kecakapan dan prilaku.
2. BIBIT atau keturunan (asal-usul), artinya adalah, berasal dari keluarga seperti apa calon pasangan kita. Apakah dari keluarga baik-baik atau penjahat?
3. BEBET artinya adalah, kesiapan seseorang dalam memberi nafkah keluarga. Bebet dititkberatkan pada aspek ekonomi alias harta.

Hukum Mendoakan Orang Kafir


Imam Bukhari membuat judul khusus tentang hukum mendoakan orang kafir dalam kitab shahihnya dengan judul: Du’aul Musyrikin  (Hukum Mendo’akan Orang Musyrik).

Setidaknya ada 4 kondisi yang harus diperhatikan oleh seorang muslim ketika ingin mendo’akan orang kafir.

1. Kondisi pertama: Memohonkan Ampunan dan Rahmat

Para ulama sepakat bahwa memohon ampunan dan rahmat bagi orang kafir sepeninggal mereka merupakan hal yang DILARANG.

Allah ta’ala berfirman: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 113-114).

2. Kondisi kedua: Mendoakan Agar Mendapat Hidayah

Mendo’akan orang kafir secara umum agar mendapat hidayah merupakan hal yang DIBOLEHKAN. Namun bagi orang kafir yang tidak memerangi atau memusuhi kaum muslimin (Ghairu Muhaarib) maka terhadap mereka lebih diutamakan. Karena ini termasuk upaya untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, menunjukkan jalan ketaatan kepada Allah.

Riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah mendoakan ibu Abu Hurairah: “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” (HR. Muslim)

3. Kondisi ketiga: Mendo’akan Keburukan dan Kehancuran

Mendoakan keburukan dan kehancuran bagi orang kafir BOLEH dilakukan ketika mereka memerangi dan memusuhi kaum muslimin.

Rasulullah pernah berdoa agar Abu Jahal binasa : “Ya Allah, Binasakanlah Abu Jahal.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Kondisi keempat: Mendo’akan untuk urusan duniawi

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mendo’akan orang kafir (yang tidak memerangi atau memusuhi kaum muslimin).

Pendapat yang MEMBOLEHKAN hal ini bertujuan agar doa melembutkan hati dan menarik simpati untuk menerima Islam, dan berdasarkan beberapa dalil.

Pendapat yang TIDAK MEMBOLEHKAN beralasan bahwa doa ini akan membuat mereka ‘betah’ di dalam kekufuran mereka. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama (Bahrur Ra’iq, : 8/232).

Kesimpulan

Pendapat yang kuat adalah bahwa dibolehkan mendo’akan kebaikan duniawi khusus untuk orang kafir yang tidak memerangi atau memusuhi kaum muslimin, adapun orang kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin tidak dibolehkan.

Tujuan doa jenis ini untuk melembutkan hati dan menarik simpati orang kafir agar mau menerima Islam, sehingga tidak dibolehkan mengungkapkan doa ini tanpa kehadiran mereka, karena tidak tercapainya tujuan doa ini.

Sumber :  https://www.kiblat.net/2016/09/17/hukum-mendoakan-orang-kafir-dan-musyrik-menurut-pendapat-para-ulama/3/

Rabu, 15 Agustus 2018

Keyword Kalimana

Artikel adalah karangan faktual secara lengkap dengan panjang tertentu yang dibuat untuk dipublikasikan (melalui koran, majalah, buletin, dsb) dan bertujuan menyampaikan gagasan dan fakta yang dapat meyakinkan, mendidik, dan menghibur.
Penulis artikel
Penulis Artikel adalah orang atau individu yang bertindak dalam pengarangan sebuah tulisan, penggabungan beberapa kata menjadi kalimat yang menarik dan enak dibaca sehingga membuat pembaca merasakan dapat mengetahui apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui sebelumnya. Sebuah artikel berasal dari pengalaman seseorang, imajinasi, pengetahuan umum atau penelitian ilmiah.
Penulis artikel bermacam-macam kriterianya, sebagai berikut :
·         Penulis Artikel Buku
·         Penulis Artikel Berita
·         Penulis Artikel Marketing
·         Penulis Artikel Online
·         Penulis Artikel Narasi
·         Penulis Artikel Naskah
Jenis dan cara penulisan artikel
Deskripsi
Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal/ keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut.
Contoh deskripsi berisi fakta:
Hampir semua pelosok Mentawai indah. Di empat kecamatan masih terdapat hutan yang masih perawan. Hutan ini menyimpan ratusan jenis flora dan fauna. Hutan Mentawaijuga menyimpan anggrek aneka jenis dan fauna yang hanya terdapat di Mentawai. Siamang kerdil, lutung Mentawai dan beruk Simakobu adalah contoh primata yang menarik untuk bahan penelitian dan objek wisata.
Contoh deskripsi berupa fiksi:
Salju tipis melapis rumput, putih berkilau diseling warna jingga; bayang matahari senja yang memantul. Angin awal musim dingin bertiup menggigilkan, mempermainkan daun-daun sisa musim gugur dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecoklatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain.
Topik yang tepat untuk deskripsi misalnya: Keindahan Bukit Kintamani, Suasa pelaksanaan, Promosi, Kompetensi Siswa SMK Tingkat Nasional, Keadaan ruang praktik, Keadaan daerah yang dilanda bencana.

Langkah menyusun deskripsi: Tentukan objek atau tema yang akan dideskripsikan, Tentukan tujuan, Tentukan aspek-aspek yang akan dideskripsikan dengan melakukan pengamatan, Susunlah aspek-aspek tersebut ke dalam urutan yang baik, apakah urutan lokasi, urutan waktu, atau urutan menurut kepentingan, Kembangkan kerangka menjadi deskripsi
01. Tokoh PKI (1)
02. Shalat Khusyu' (1)
03. Permasalahan Bangsa (1)
04. Pendusta Agama (1)
05. Zaman Edan (1)
06. Mengenal Tasawuf (1)
11. Orang Bernilai (4)
13. Dompet Haram (6)
Keyword (kata kunci) adalah kata atau kumpulan kata yang digunakan oleh pengguna internet untuk mencari halaman web yang sesuai berisi informasi yang diinginkan.


Jumat, 03 Agustus 2018

Mengendalikan Nafsu (Singkat)

Pada era awal perjuangan penyebaran agama Islam, nabi Muhammad Saw beserta para pengikutnya (yang pada waktu itu masih sedikit) harus mengalami beberapa kali pertempuran melawan kaum kafir yang menentang dan menghalanginya.   

Menurut para ahli sejarah, peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW antara kaum muslimin melawan kaum kafir sebanyak 80 kali peperangan. Dari sejumlah itu 19 kali peperangan yang diikuti dan dipimpin langsung oleh Rasulullah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim. Bahkan riwayat lain mengatakan kurang dari 19.

Dalam sejarah tercatat ada dua peristiwa peperangan besar yang mempunyai makna yang begitu dalam bagi kita umat Islam, yaitu perang Badar dan perang Uhud.

 

PERANG BADAR adalah perang yang sangat dahsyat dan berat bagi umat Islam. Perang Badar merupakan perang yang tidak seimbang, pasukan umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih besar.  Pasukan Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 prajurit dengan persenjataan sederhana, harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang berkekuatan sekitar 1000 prajurit dengan persenjataan lengkap. 

Namun berkat semangat perjuangan yang tinggi, serta strategi Rasulullah yang jitu (yaitu dengan memanfaatkan potensi sumur Badar), umat Islam berhasil memukul mundur pasukan kafir Quraisy.  Umat Islam secara spektakuler berhasil memenangkan peperangan ini.

 

Di tengah-tengah kegembiraan kemenangan perang Badar, umat Islam dikagetkan oleh statemen Nabi.  Rasulullah bersabda:  “Raja’naa  min jihaadil ashghar - ila  jihaadil akbar.Artinya:  ''Kita baru menyelesaikan peperangan yang kecil dan akan menghadapi peperangan yang besar.''        

 

Para sahabat terkejut mendengar sabda nabi ini, dalam hati kecil bertanya-tanya, bagaimana mungkin peperangan yang dahsyat dan banyak memakan korban para syuhada Islam ini dinilai kecil oleh Rasulullah?.    Dengan nada heran, mereka pun bertanya, ''Peperangan apa itu ya Rasulullah?''   Beliau menjawab, “Jihaadun Naafsi  ('Perang melawan hawa nafsu.)

 

Peringatan Rasulullah ini terbukti pada PERANG UHUD.   Pada perang Uhud pasukan umat Islam, dengan strategi yang bagus, segera dapat mematahkan kekuatan musuh dan membuat mereka kocar-kacir sehingga meninggalkan medan pertempuran.    Melihat musuh mundur, pasukan Islam yang berada di atas bukit, yang ditugaskan sebagai pasukan pemanah tidak dapat menguasai diri. Karena tergoda oleh nafsu duniawi, mereka pun turun untuk ikut mengejar musuh agar mendapat harta rampasan perang lebih banyak lagi.    Mereka telah melanggar perintah Nabi. 

 

Pasukan kafir yang jeli, segera memutar haluan dan sebagian menaiki dan menduduki bukit.  Kemudian musuh menyerang pasukan umat Islam dari dua arah. Serangan dari dua arah ini membuat pasukan umat Islam kocar kacir, dan akhirnya  umat Islam mengalami kekalahan dalam perang ini.  Banyak yang meninggal dalam pertempuran ini, termasuk Hamzah, seorang panglima perang umat Islam yang gagah berani. Bahkan Nabi sendiri mengalami luka yang cukup parah di bagian wajahnya.

Dua peristiwa peperangan ini, yaitu perang Badar dan perang Uhud, menjadi cermin yang sangat bagus bagi umat Islam.   Pada perang Badar, pasukan Muslim secara spektakuler dapat memenangkan pertempuran karena dilandasi oleh semangat jihad yang tinggi.  Tetapi pada perang Uhud, pasukan Muslim yang seharusnya memenangkan pertempuran itu akhirnya harus mengalami kekalahan karena terpedaya oleh nafsu (yaitu nafsu duniawi).

 

APAKAH SESUNGGUHNYA NAFSU ITU?.   

Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai pendorong jasmani untuk melakukan suatu perbuatan.  Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena tanpa nafsu manusia tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau gairah untuk melakukan suatu perbuatan.  

Yang perlu diketahui adalah bahwa pada diri manusia terdapat dua kekuatan nafsu yang berbeda dan saling bertentangan, yaitu nafsu positif (yang mendorong ke arah kebajikan) dan nafsu negatif (yang mendorong ke arah kefasikan / kejahatan).  

Dalam khasanah Islam, kedua nafsu itu dikenal dengan nama quwwah syaitaniah dan quwwah rabbaniyah.   Quwwah syaitaniah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kesesatan.   Sedangkan quwwah rabbaniyah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kebajikan.

Dari dua potensi yang ada pada nafsu itu, ternyata potensi negatif lebih kuat dibanding potensi positif.  Hal ini bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana kita seringkali terdorong oleh nafsu yang mengarah kepada kesesatan.   

Allah SWT memberi peringatan kepada kita, melalui firman-Nya dalam Al-Quran: ”Inna Nafsa La Amma Ratum Bissu’i -  Illa Maa Rahimma Rabbi.” Artinya: ”Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhan, Rabbul alamin.” (QS. Yunus 53)

Maka bisa digambarkan bahwa nafsu itu ibarat api.  Ia sangat berguna manakala kita dapat menguasainya (dimanfaatkan sebagai penerang, untuk memasak, dsb), namun akan sangat berbahaya dan bisa menjadi malapetaka apabila kita tidak dapat mengendalikannya (ia dapat membakar apa saja yang bisa ia bakar dan kemudian menyebabkan kebakaran yang sangat hebat).

Jadi sesungguhnya nafsu akan sangat bermanfaat bila ia dapat dikendalikan dengan baik, namun akan sangat berbahaya dan mencelakakan apabila kita tidak mempu mengendalikannya.  

Apabila kita membiarkan apa adanya nafsu yang ada pada diri kita dan kita tidak mengelolanya dengan baik, maka kita akan dikuasai oleh nafsu.   Namun apabila kita dapat mengendalikan nafsu secara baik, maka kita termasuk orang yang beruntung.

Pada surat Asy-Syamsi Allah berfirman: ”Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwahaa - Qad aflaha man zakhaa haa - Waqad khaaba man dassaa haa”  Artinya: Maka (Dia) mengilhamkan kepada jiwa kita, (jalan) kejahatan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya (yaitu yang mampu mengendalikannya).   Dan sungguh merugi orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy-syams: 8-10)

Nafsu adalah kekuatan yang berasal dari dalam diri kita.   Ia berpotensi menjadi musuh nyata yang dapat menghancurkan diri kita.   Nabi Muhammad memperingatkan, bahwa melawan kekuatan dari dalam (nafsu) ternyata lebih sulit dan berat bila dibandingkan melawan kekuatan luar.  Musuh dari luar dapat dideteksi dan  diukur, tetapi musuh yang bersembunyi di dalam diri susah dideteksi,  dan seringkali kita mengikutinya tanpa sadar.       Hal itu terbukti pada peristiwa perang Uhud. 

Pada realita sehari-hari, banyak orang yang mampu mengalahkan kekuatan luar, tapi kalah dengan dirinya sendiri.    Banyak orang yang jatuh dari karier, jabatan, kekuasaan atau kemuliaan karena disebabkan oleh faktor nafsu.    Apabila nafsu duniawi telah menguasai seseorang, maka ia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Rasulullah SAW bersabda : ''Seandainya anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam, kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.'' (HR Ahmad).

Orang yang mampu menguasai nafsunya dan kuat menahan amarahnya itu bermakna pula orang yang sabar, yaitu orang yang ”memberi maaf ketika marah.” (QS.42:37), dan yang mengucapkan kata-kata yang baik tatkala orang-orang jahil menghinanya (QS.25:63).   Dan bagi orang-orang yang sabar, sesungguhnya Allah akan selalu menyertainya (Innallaha ma’a shabiriin).

Salah satu contoh orang yang mampu mengendalikan nafsunya dengan sangat luar biasa adalah Ali bin Abi Thalib RA

Pada suatu peperangan, ketika Ali telah berhasil menjatuhkan lawannya dan ketika hendak memenggal kepala lawannya yang telah jatuh tak berdaya, tiba-tiba orang itu meludahi wajahnya. Seketika itu Ali pergi meninggalkan orang tersebut dan mengurungkan niat membunuhnya.

Sewaktu ditanya kenapa tak jadi membunuh musuhnya itu, Ali menjawab, ”Ia telah meludahi mukaku, maka aku khawatir nanti aku membunuhnya karena dilandasi kemarahan atas perbuatannya itu.   Sedangkan aku tak mau membunuh karena marah  kecuali karena ikhlas untuk Allah SWT.”

Kesanggupan Ali mengendalikan kemarahan membuatnya pantas menyandang gelar ”orang kuat”.   Rasulullah bersabda:  Bukannya yang dikatakan kuat itu orang yang kuat bergulat.  Sebenarnya yang dikatakan kuat itu yang dapat mengendalikan nafsunya tatkala marah.” (HR. Bukhari-Muslim).

 

Atas dasar hadis itu, berarti orang yang kuat bukannya pegulat, bukannya petinju yang mampu meng-KO lawannya hingga terkapar, bukan pula jagoan yang sanggup membuat lawannya tak berdaya lalu menghabisinya.  Orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya, yang sabar, dan yang mampu menguasai amarahnya, sebagaimana yang di contohkan oleh shayidina Ali RA.

Dan bagi orang yang dapat menguasai nafsunya, yaitu orang yang mampu menahan amarahnya, yang sabar dalam menerima musibah, dan yang sanggup memberi maaf kepada orang yang menyakitinya, maka Allah telah menyediakan baginya surga di akhirat kelak.

Allah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nazi’at (79) : 40 : Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii - wa nahan nafsa ‘anil hawaa.    Fa innal jannata hiyal ma’waa. Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya,  maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal (nya).  

 

Empat Cara Mengendalikan Nafsunya

Untuk dapat menguasai atau mengelola nafsu yang ada pada diri kita, para ulama menganjurkan agar kita senantiasa berlatih (riyadhah) dengan melakukan hal-hal secara terus menerus, yaitu: (1) Berpuasa, (2) Bersedekah, dan (3) Hidup sederhana, dan (4) Beristighfar.

Untuk mempermudah mengingat empat kiat atau cara mengendalikan nafsu itu, para salik (murid yang sedang belajar dan menjalani tarekat tasawuf) membuat ”jembatan keledai” dengan kalimat singkatan PSSI, yaitu: Puasa, Sedekah, Sederhana, dan Istighfar.

(1) Puasa.

Rasulullah bersabda ; ”Perangilah nafsumu dengan puasa”.       Pada dasarnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi hakekat puasa adalah menahan hawa nafsu, atau pengendalian diri (self control).

Pengendalian diri atas ucapan (mulut), pendengaran (telinga) dan penglihatan (mata), serta perasaan (hati). Yaitu menahan diri untuk tidak berghibah, tidak bicara kasar dan kotor yang menyakiti hati. Menahan diri untuk tidak mendengarkan ghibah serta kata-kata jorok dan kotor. Menahan diri untuk tidak melihat sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan diri untuk tidak berprasangka buruk (su’udzan).

Dengan berpuasa kita dilatih untuk mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar.

(2) Hidup Sederhana (Zuhud).

Nabi SAW bersabda bahwa  hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa api neraka, di Nabi SAW bersabda bahwa  hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa api neraka di antaranya adalah hidup sederhana, baik dalam keadaan fakir maupun di saat kaya raya.     

Hidup sederhana merupakan konsep dari tasawuf yaitu zuhud. Zuhud bukanlah sikap hidup yang anti dunia, atau menghindari kenikmatan duniawi, sehingga seseorang harus menjalani kehidupan layaknya orang yang miskin.

Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan harta benda bukan menjadi kebanggaan apalagi tujuan. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. zuhud bertujuan untuk memerangi hawa nafsu.

Zuhud adalah sikap atau upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh dan godaan duniawi berbentuk kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang menjadi sombong dan membanggakan diri.

(3) Sedekah.

Salah satu sifat nafsu adalah menyeru kepada hal-hal yang buruk, antara lain adalah sifat tamak, rakus dan tidak berempati. 

Nafsu lauwamah adalah nafsu duniawi yang cenderung menumpuk harta sebanyak-banyaknya, dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Dengan nafsu ini maka seseorang akan cenderung rakus dan kikir.

Agama kita menegaskan bahwa pada harta kita ada hak untuk fakir miskin, sebesar 2,5%. Bagi orang kikir yang tidak mau bersedekah 2,5% hartanya kepada fakir miskin maka ia tergolong sebagai manusia pendusta agama.

Sedekah, selain sebagai sarana untuk menyucikan harta dan memperoleh pahala besar, yaitu pahala jariyah, sedekah juga bertujuan untuk mengendalikan nafsu duniawi. Semakin besar nilai sedekah maka semakin besar pula kekuatan pengendalian nafsu.

(4) Istighfar

Istighfar adalah kalimat permohonan ampunan kepada Allah.  Istighfar seharusnya dilafalkan secara berulang-ulang dalam satu kegiatan dzikir, yang dilakukan sehabis shalat atau pada saat-saat tertentu di malam hari.

Dalam hadis riwayat Bukhari dikatakan bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar minimal tujuh puluh kali dalam sehari, meskipun beliau manusia yang terbebas dari kesalahan dan dosa (ma’shum).

Manfaat lain dari dzikir istighfar adalah menghilangkan kesedihan dan mendatangkan rizki. Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka ,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).