Membaca peta
intelektual muslim, biasanya dilihat dari tempat mereka belajar, yakni alumni
dari Timur Tengah dan Barat.
Alumni Timteng seperti Mesir dan Saudi Arabia lebih populis dan berpengaruh. Sedangkan alumni Eropa, Amerika atau Australia
biasanya yang lebih akademis dan elitis.
K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih
dikenal dengan Gus
Baha merupakan seorang ulama atau intelektual muslim muda produk pesantren
dalam negeri. Ia belum pernah belajar di Timteng dan Barat, tetapi
kapasitas keilmuannya tidak diragukan dan popularitas serta pengaruhnya mulai
diperhitungkan.
Gus Baha' dikenal sebagai salah satu Ulama ahli tafsir
yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu
murid dari ulama kharismatik, K.H. Maemun Zubair,
Rembang.
Gus
Baha atau Bahauddin adalah putra Kiai Nur Salim,
pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim adalah
murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar.
Bersama Kiai Nur Salim inilah Gus Miek
(KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang
menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling. Jantiko kemudian berganti
Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang
ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan Dzikrul Ghafilin.
Mencermati kesan dari
para muhibbin atau fans
Gus Baha, mengikuti pengajiannya itu menyenangkan.
Islam menjadi terasa begitu mudah dan lapang. Ger-geran menjadi bagian
tak terpisahkan dari isi ceramahnya yang mendalam dan luas.
Diam-diam, Gus Baha juga menjadi
inspirasi bagi para santri pesantren salafiyah (tradisional), bahwa kedalaman
ilmu seorang santri, pada akhirnya akan melampaui gelar-gelar akademik.
Gus Baha adalah sosok yang sederhana. Ada cerita tentang
pernikahannya yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para “pejuang Islam”
yang masih sorangan wae (jomblo).
Ia dijodohkan oleh pamannya untuk menikahi seorang Ning, putri salah seorang
pengasuh pesantren Sidogiri.
Sebelum akad nikah, Gus Baha menghadap
calon mertuanya untuk meyakinkan bahwa beliau tak salah pilih menantu. Ia
menjelaskan dirinya yang jauh dari kemewahan dan hanya bergumul dengan dunia
keilmuan. Dijelaskan seperti itu mertuanya malah semakin yakin tak salah pilih.
“Klop,” katanya dengan mantap.
Saking sederhanya,
sampai saat ini hanya ada satu artikel tentang Gus Baha yang lumayan lengkap
dan di-copy paste dalam
berbagai media termasuk dirujuk dalam artikel ini. Belum tersedia semacam
biografi yang komprehensif yang menjelaskan sosok kiai pesantren yang alim ini.
Kiai kelahiran 1970 ini memilih Yogyakarta sebagai
tempatnya memulai pengembaraan ilmiahnya. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di
Yogya. Kepindahan ini diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji
bersamanya.
Mereka menyewa rumah yang tak jauh dari kediamannya. Ketika ayahnya wafat pada
2005, ia harus kembali ke Kragan, tetapi pengajiannya di Yogyakarta tetap
berlangsung sebulan sekali. Para muhibbin Gus Baha dengan tekun mengikuti
pengajian bulanan itu di Pesantren Izzati Nuril Qur’an
Bedukan, Pleret, Bantul.
Ia juga
mengampu pengajian tafsir di Bojonegoro. Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudh,
Gus Baha juga mengajar ushul fiqih di Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati.
Pilihannya memulai
“karir” di Jogja sungguh tepat. Di Kota Gudeg ini ia bersua intelektual dari
berbagai disiplin ilmu yang semakin mengasah kepakarannya. Kadang ia diledek
juga, “Kiai, Anda ini bacaannya luas kok tetap memilih NU?”
Gus Baha menjawabnya ringan,
“Memangnya kalau saya tetap NU, jadi problem?”
Di Kota Pelajar ini ia
misalnya membentuk “Kajian Kematian” bersama para doktor
dan profesor. Karena hidup di dunia yang sebentar saja dipersiapkan
begitu serius, maka kehidupan akhirat yang jauh lebih lama, tentu harus dibahas
dan dikaji lebih serius lagi.
Tanpa
terekam media, termasuk di lingkungan NU, Gus Baha “keluyuran” dari satu
pesantren ke pesantren lain, memberikan paparan tentang tafsir dan hadis.
Misalnya di Pesantren Sidogiri, ia mengisi Pengaruh Israiliyat terhadap
Penafsiran Alquran.
Kali lain ia menyampaikan paparan
dalam seminar tafsir dan hadits di Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Kediri. Di
Ma’had Ali Pesantren Maslakul Huda ia mengkaji Kontekstualisasi Ayat-Ayat
Perang dalam sebuah Muhadloroh ‘Ammah (kuliah
umum).
Dalam pengajiannya ia
menegaskan sebagai bukan penceramah atau mubalig. Ia
mengaji. Sambil membaca kitab Jalalain misalnya,
ia membacakan juga sejumlah rujukan yang relevan dengan tema yang dibahas.
Awalnya ia menolak untuk muncul di saluran Youtube,
tapi membolehkan para santrinya untuk merekam. Para santri ini lalu berhimpun
dalam aplikasi telegram untuk saling berbagai rekaman pengajian Gus Baha. Ada
juga yang menggunakan media dan aplikasi lain.
Baru belakangan Gus Baha berkenan
pengajian atau ceramahnya tayang di Youtube.
Itulah sebabnya dalam tampilan di Youtube,
pengajiannya kebanyakan masih berupa audio. Kutipan di awal artikel ini
menjadi contoh muhibbin Gus Baha berkomunikasi dan berbagi informasi
Dari sebuah link, saya mendapati sejumlah rekaman pengajian
Gus Baha yang bisa diunduh, antara lain: Kajian tafsir Jalalain, Arbain
fi Ushuliddin, Hayatus Shohabah, Musnad
Ahmad, Nashoihul Ibad, al-Hikam,
dan lain-lain.
Penguasaanya ilmunya khas
pesantren, tidak hanya
alim di satu bidang, tapi lintas bidang, tafsir, fikih
dan ushul fikih, hadis, dan tentunya tasawuf. Ini berbeda dengan sarjana
kampus, baik dari Barat ataupun Timur.
Saya menghargai pilihan
medium dakwahnya. Seorang kiai tidak bisa dipaksakan untuk menggunakan saluran
media tertentu. Biarlah pilihan-pilihan media itu berkembang seiring waktu dan
kebutuhan sang kiai. Jangan sampai saluran-saluran itu justru membuatnya tidak
nyaman dan terkekang.
Beri keleluasan kepadanya untuk menempatkan dirinya dalam peta intelektual
muslim Indonesia, sesuai karya dan kepakarannya. Dan jadwal ngaji yang padat
seperti yang ditunjukkan di paragraf awal ini pun harus “diwaspadai”. Biasanya,
kalau sudah sibuk, mulai jarang sendiri, padahal sendiri itu penting.
Ala kulli hal, tulisan ini hanyalah berupa amatan
dari jauh dari seorang penggemar baru. Tentu belum cukup untuk menjelaskan
sosok Gus Baha secara lengkap. Untuk itu, para santri Gus Baha sendiri yang
lebih tepat untuk menuliskannya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar