Kamis, 07 Maret 2024

Zaman Edan

Barangkali saat ini kita tengah mengalami situasi masyarakat yang disebut dengan “zaman edan”. Situasi yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh kecemasan dan penuh ketidak pastian.

Jamane jaman edan; Yen ora melu edan ora keduman; Sak beja-bejane wong sing edan; Luwih becik wong sing eling lan waspodo.

Artinya: Zaman sekarang adalah zaman edan (gila); Kalau tak ikut edan tak bakalan kebagian; Namun sebahagia-bahagianya orang yang ikut edan; Masih bahagia orang yang selalu sadar dan waspada.

Begitulah nasehat Ranggawarsita, pujangga terakhir dari kasunanan Surakarta yang tertulis pada Serat Kalatidha sekitar tahun 1860 Masehi.

Serat Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai kota Leiden, Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum besar di Leiden.

.

Serat Kalatidha bukanlah ramalan seperti Ramalan Jangka Jayabaya, sebuah ramalan yang ditulis oleh Prabu Jayabaya dari Kerajaan Panjalu (Kediri) abad 12. Ramalannya ditulis dalam bentuk kakawin atau tembang Jawa.

Sementara Serat Kalatidha adalah sebuah syair yang terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup bagi masyarakat Jawa. “Kala” berarti "jaman" dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti zaman penuh keraguan atau kebingungan. Walau demikian banyak orang yang memberi arti Kalatidha dengan pengertian “zaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.

Secara lengkap bait ketujuh Serat Kalatidha Ranggawarsita sebagai berikut: “Amenangi jaman édan; Ewuhaya ing pambudi; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu anglakoni boya kéduman; Begja-begjaning kang édan; Luwih begja kang éling klawan waspada”.

Artinya: Berada di zaman edan; Serba susah untuk bertindak; (Mau) ngikut edan tidak sampai hati; (Tapi) kalau tak ngikut edan tidak bakalan kebagian; (Namun) sebahagia-bahagianya orang yang edan; Lebih baik orang yang sadar dan waspada.

Di zaman edan, orang pandai belum tentu beruntung, sementara orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara. “Jujur ajur, ala mulya” begitulah pepatah jawa dalam menggambarkan jaman edan, yang maknanya orang jujur malah bisa jadi hancur, karena ditinggalkan orang-orang tak bermoral sekitarnya, dan sebaliknya, orang “ala” (tidak baik moralnya) malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat dengan menghalalkan segala cara.

Di zaman edan, orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan. Itulah konsekuensi logis dari sistem liberalis-kapitalisme, orang kaya mengeksploitasi orang miskin.

Di zaman edan, korupsi ada dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun masih saja merasa kurang dan kurang. Tanpa peduli dengan penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya. Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya.

Di zaman edan, etika dan moral tidak dipedulikan lagi. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.

.

Menurut Prabu Jayabaya, di zaman edan nanti paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak walik ing jaman). Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai luhur.

Situasi zaman edan “Rangga Warsita”, kemudian disebutkan dalam beberapa pepatah jawa antara lain:

Wong jujur ajur – wong ala mulya. Orang jujur nasibnya malah hancur (tidak beruntung), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar yang buruk moralnya. Dan sebaliknya orang “ala” (tak berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani menghalalkan segala cara (suap menyuap).

Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat. Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat, yang licik dan munafik justru mendapat kedudukan.

Wong lugu kebelenggu - wong mulyo dikunjoro. Orang yang lurus (apa adanya) malah terbelenggu, tidak mendapat tempat dan kepercayaan. Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi munkar) justru banyak yang masuk penjara.

Ngumbar nafsu angkoro murko. Kebanyakan manusia hanya berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan melupakan nilai kebajikan. Mereka inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar syahwat kekuasaan (nafsu angkoro murko).

Wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan-segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.

Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi takut dan taat terhadap aturan Tuhan.

Podho seneng nyalahke. (Untuk memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar