Barangkali saat ini kita tengah mengalami situasi masyarakat yang disebut dengan “zaman edan”. Situasi yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh kecemasan dan penuh ketidak pastian.
Jamane jaman edan; Yen ora melu edan ora keduman; Sak beja-bejane wong sing edan; Luwih becik wong sing eling lan waspodo.
Artinya: Zaman sekarang
adalah zaman edan (gila); Kalau tak ikut edan tak bakalan kebagian; Namun sebahagia-bahagianya
orang yang ikut edan; Masih bahagia orang yang selalu sadar dan waspada.
Begitulah nasehat Ranggawarsita, pujangga terakhir
dari kasunanan Surakarta yang tertulis pada Serat Kalatidha sekitar tahun 1860
Masehi.
Serat Kalatidha
merupakan sebuah syair yang sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah
mencapai kota Leiden,
Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum besar
di Leiden.
.
Serat Kalatidha
bukanlah ramalan seperti Ramalan
Jangka Jayabaya, sebuah ramalan yang ditulis oleh Prabu Jayabaya dari Kerajaan Panjalu
(Kediri) abad 12. Ramalannya ditulis dalam bentuk kakawin atau
tembang Jawa.
Sementara Serat Kalatidha adalah sebuah syair yang terdiri dari 12 bait,
berisi falsafah atau ajaran hidup bagi masyarakat Jawa. “Kala” berarti
"jaman" dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti zaman penuh keraguan atau kebingungan. Walau demikian banyak orang yang memberi
arti Kalatidha dengan pengertian “zaman edan” mengambil makna dari bait ke
tujuh serat ini, bait yang sangat popular.
Secara lengkap bait
ketujuh Serat Kalatidha Ranggawarsita sebagai berikut: “Amenangi jaman édan; Ewuhaya
ing pambudi; Mélu ngédan nora tahan; Yén tan mélu anglakoni boya kéduman; Begja-begjaning
kang édan; Luwih begja kang éling klawan waspada”.
Artinya: Berada di
zaman edan; Serba susah untuk bertindak; (Mau) ngikut edan tidak sampai hati; (Tapi)
kalau tak ngikut edan tidak bakalan kebagian; (Namun) sebahagia-bahagianya orang
yang edan; Lebih baik orang yang sadar dan waspada.
Di zaman edan,
orang pandai belum tentu beruntung, sementara orang bodoh belum tentu sengsara
(yang penting berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik,
sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara. “Jujur ajur, ala
mulya” begitulah pepatah jawa dalam menggambarkan jaman edan, yang maknanya
orang jujur malah bisa jadi hancur, karena ditinggalkan orang-orang tak
bermoral sekitarnya, dan sebaliknya, orang “ala” (tidak baik moralnya)
malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat dengan menghalalkan
segala cara.
Di zaman edan,
orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh
kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Maka hanya
orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara
orang-orang miskin semakin terpinggirkan. Itulah konsekuensi logis dari sistem
liberalis-kapitalisme, orang kaya mengeksploitasi orang miskin.
Di zaman edan,
korupsi ada dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya.
Mereka terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun masih
saja merasa kurang dan kurang. Tanpa peduli dengan penderitaan orang miskin.
Keserakahan telah menutupi hati nuraninya. Empati dan kepedulian sudah luntur
dari qalbunya.
Di zaman edan, etika
dan moral tidak dipedulikan lagi. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang
ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa
menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.
.
Menurut Prabu
Jayabaya, di zaman edan nanti paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak
walik ing jaman). Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai luhur.
Situasi zaman edan
“Rangga Warsita”, kemudian disebutkan dalam beberapa pepatah jawa antara lain:
• Wong jujur ajur – wong
ala mulya. Orang jujur nasibnya malah hancur (tidak beruntung), karena bakal
ditinggalkan orang-orang sekitar yang buruk moralnya. Dan sebaliknya orang
“ala” (tak berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani
menghalalkan segala cara (suap menyuap).
• Wong apik ditampik - wong
jahat munggah pangkat. Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat, yang licik dan munafik
justru mendapat kedudukan.
• Wong lugu kebelenggu -
wong mulyo dikunjoro. Orang yang lurus (apa adanya) malah terbelenggu, tidak mendapat tempat
dan kepercayaan. Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi
munkar) justru banyak yang masuk penjara.
• Ngumbar nafsu angkoro
murko. Kebanyakan manusia hanya berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan
melupakan nilai kebajikan. Mereka inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar
syahwat kekuasaan (nafsu angkoro murko).
• Wani nglanggar sumpahe
dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan-segan melanggar sumpahnya
sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.
• Ora ngendahake
aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi takut dan taat terhadap aturan Tuhan.
• Podho seneng nyalahke. (Untuk memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar