Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan.
Munculnya perselisihan
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi--di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah. Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi. Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.
Sunni dan Syiah Dua Aliran Teologi yang Masih Bertahan
Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah, Jabbariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah (biasa disebut dengan kelompok Sunni) dan Syiah.
Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut aliran ini. Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar 90 persen umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen menganut aliran Syiah.
Namun, sumber lain menyebutkan, paham Syiah dianut oleh sekitar 20 persen umat Islam. Sementara itu, penganut Islam Sunni diikuti lebih dari 70 persen. Rujukan lain menyebutkan, penganut Islam Sunni sebanyak 85 persen dan Syiah 15 persen.
Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir di seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di Afghanistan, Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa negara pecahan Uni Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika Serikat.
Seperti halnya Syiah, paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Tetapi, itu dalam komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan negara yang lain. Paham Sunni dianut lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.
Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan penganut Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah. Karena jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.
Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di negeri 'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37 persen. Para penganut Syiah di Irak merupakan orang dari suku Arab. Sementara itu, penganut Islam Sunni adalah mereka yang berasal dari suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.
Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80 persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70 persen penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di wilayah utara Sudan. Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.
Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan Syiah, juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon yang beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut paham Sunni, Syiah, dan Druze.
Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari satu persen) yang bermukim di Lebanon, termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka diperkirakan antara 75 ribu hingga 100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin Arab yang tinggal di wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut paham Sunni. Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut paham Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak diperhitungkan, baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.
Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau ditanya, siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal Jama'ah.'' (Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).
Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan, maupun hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan sunah).
Siapa dan kelompok manakah yang masuk dalam kategori Ahlus Sunnah wal Jamaah itu? Mayoritas umat Islam mengaku mempraktikkan sunah-sunah Nabi SAW, namun secara ideologi dan emosional terikat dengan aliran-aliran yang berbeda.Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara definitif tidaklah mudah. Ada aspek-aspek yang mesti dilihat sebelum menggolongkan kelompok tertentu sebagai Ahlus Sunnah atau bukan. Aspek-aspek yang dimaksud adalah sejarah, sosial, budaya, dan politik.
Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi baru, terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran Islam dengan cara yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan lingkungan yang tidak sama.
Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas yang sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama besar adalah cara pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan aliran teologi baru.
Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi pemerintah. Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan Al-Wasiq (228-233 H/842-847 M). Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah Nabi SAW dan tradisi para sahabat.
Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul. Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi. Visi Abu al-Hasan al-Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi. Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa antara Imam Syafi'i dan pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi, Al-Qoffal, dan lain-lain.
Dari manhaj menjadi mazhab
Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj al-fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh (kelompok) yang terorganisasi. Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal Jamaah membentuk suatu doktrin dan mempunyai pengikut yang tetap. Jika seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang bersangkutan harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan perilaku. Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala aliran-aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan cirinya sendiri-sendiri.
Ada pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada yang disebut Al-Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di beberapa negara, termasuk Indonesia. Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala Al-Maturidiyah yang terkenal dengan penggunaan rasionalitasnya.
Jika ada orang yang mencari-cari manakah di antara ketiga aliran di atas yang paling benar, jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal. Jika ia orang Indonesia, mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Akan tetapi, lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat Allah SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam laksana warna-warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman jauh lebih indah jika ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya memiliki satu macam bunga? Tidak ada kebenaran, kecuali Allah SWT.