Selasa, 25 April 2017

KETELADANAN POHON PADI; Kisah Inspiratif dari Masjid At Ta'awun Puncak

Cerita ini nyata yang mengisahkan dua sahabat yg terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yg biasa2 saja, namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.
.
Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat yg istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yg cantik, yg memiliki view pegunungan dengan kebun teh yg terhampar hijau di bawahnya. Mesjid tersebut adalah mesjid At-Ta’awun yang berada di puncak Bogor.
Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah. Necis. Parlente. Tapi tetap menjaga kesalehannya.
Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota, ia sempatkan singgah di masjid di kota yg ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih dapat waktu yg diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.
Seperti biasa, ia tiba di Puncak Pas, Bogor. Ia mencari masjid. Ia pinggirkan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yg ia temukan.
.
Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak punya, tapi pintarnya minta ampun.
.
Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid..!
“Maaf,” katanya menegor sang merbot. “Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”. Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan.
Ahmad berucap “Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dlm keadaan memakai dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
.
Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan peci didongakkan sehingga jidatnya yg lebar terlihat jelas.
“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah, bener-bener keren.”
“Mad, nanti habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih2 dulu… Silahkan ya. Yang nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yg pintar, kemudian harus terlempar darik kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.
.
Air wudhu membasahi wajahnya…
Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang sedang bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.
Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal. Sama-sama shalat sunnah sepertinya.
Setelah menyelesaikan shalatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya.
Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.
“Pak,” tiba2 anak muda yg shalat di belakangnya menegur.
“Iya Mas..?”
“Pak, emangnya bapak kenal sama bapak Haji Ahmad…?”
“Haji Ahmad…?”
“Ya, Haji Ahmad…”
“Haji Ahmad yang mana…?”
“Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak…”
“Oh… Ahmad… Iya, kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”
“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun ini masjid…”.
“Haa…!? Bangun masjid ini!?
.
Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji… Dari sebelum beliau bangun masjid ini…
Anak muda ini, yang kemudian diketahui bernama kang Asep menambahkan, “Pak insinyur haji Ahmad… Beliau orang yang kaya raya. Beliau orang hebat Pak, tawadhu’.
Saya karyawannya beliau. Saya marbot masjid ini. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau biayai sendiri pembangunan masjid indah ini, sebagai masjid transit mereka yg mau shalat.”
“Pak Haji Ahmad mempunyai banyak penginapan di kawasan puncak ini. Bapak lihat hotel indah di sebelah sana? … Itu milik beliau… Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini.”
Salah satu kesukaan beliau di masjid ini sungguh aneh, yaitu membersihkan toilet, tempat wudlu, ngepel lantai masjid bersama kami para marbot.”
Zaenal tertegun, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zaenal saat itu. Subhanallah … Astaghfirullah hal adzim.
.
***
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad tersebut. Keduanya adalah orang-orang shaleh. Zaenal adalah orang kaya yang gemar mampir ke masjid, sedangkan Ahmad adalah orang kaya raya yang tawadhu’
Kisah hidup Ir. H. Ahmad menjadi inspirasi bagi kita yang mau mencari hikmah dan kebahagiaan dari sebuah kehidupan. Ternyata kebahagiaan itu ditemukan di tempat-tempat yang sederhana.
Kebahagiaan itu diperoleh dari memberi, bukan diberi. Kebahagiaan itu bila bisa melayani, bukan dilayani. Kebahagiaan itu bila mampu membuat orang lain bahagia.
Kebahagiaan itu hanya kan dijumpai di tempat-tempat yang sederhana, bukan di tempat yang mewah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar