Selasa, 13 April 2021

Mendekati Allah Melalui Dhuafa

1. Nabi Musa
Dalam kitab Mukasyafatul Qulub, imam Al Ghazali menceritakan kisah menarik yang bermuara pada dialog Nabiyullah Musa dengan Tuhan Rabbil Alami .
Nabi Musa adalah nabi yang mendapat gelar “Kalimullah”, artinya nabi yang dapat menerima wahyu langsung dari Allah (tanpa melalui perantaraan malaikat Jibril), seperti nabi Muhammad. Sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu melalui perantaraan Jibril.
Nabi Musa juga merupakan nabi yang namanya paling banyak disebut dalam al Qur'an dibanding nabi lain, sehingga kisah-kisah nabi Musa sering diceritakan oleh para ulama sebagai ibrah (pelajaran) bagi kita.
(Ket: Musa 136, Ibrahim 69, Isa 25, & Muhammad 5)

2. Pesta Bani Israil

Dikisahkan... Suatu ketika Nabi Musa As. berjalan melewati sekelompok orang kaum Bani Israil.  Melihat nabi lewat, salah seorang tertua dari kaum Bani Israil itu menyapa sekaligus mengejek Nabi Musa, “Hai Musa, bagaimana kabar Tuhanmu.  Sampaikan padanya, kami mengundangnya hadir pada pesta makan malam besok.” 

Nabi Musa begitu kesal mendengar ejekan itu.  Namun dengan tenang beliau menjawab, “Tuhan tidak membutuhkan makanan dan minuman.  Bahkan Dia-lah yang memberikan segala apa yang dibutuhkan manusia.”      Mendengar jawaban Nabi Musa seperti itu, orang-orang bani Israel itu kembali tertawa terbahak mengejek.

Dengan suasana hati yang sangat kesal, Nabi Musa berlari ke bukit Sinai dan naik ke puncaknya.  Beliau mengadukan kekesalan hatinya kepada Tuhan.  Namun Allah Ta’ala malah berfirman, “Hai Musa,  bukankah kaummu sudah mengundang Aku?  Sampaikan kepada mereka, Aku bersedia hadir.”     

Mendengar janji Allah itu, nabi Musa terkejut dan hampir-hampir tidak percaya.  Bagaimana dan dalam wujud apa Allah menghadiri pesta nanti.   Dengan perasaan heran bercampur bingung, akhirnya Nabi Musa menyampaikan juga berita kesediaan Tuhan itu kepada kaumnya. 

.

Esok harinya, pada saat kaum Bani Israil tengah mempersiapkan pesta makan malam, Nabi Musa-pun ikut sibuk turun tangan, membantunya agar pesta penyambutan ”kedatangan Tuhan”  nanti berlangsung baik dan istimewa.

Ketika pesta baru dimulai, tiba-tiba datang seorang kakek tua dengan pakaian lusuh dan wajah yang sangat kelelahan.   Wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat setempat, sehingga pastilah ia datang dari negeri yang jauh.  Ia datang mengetuk hati orang-orang yang ada di situ seraya memohon, “Wahai tuan-tuan… adakah yang sudi memberi saya makan walau sedikit, dan minuman walau seteguk…?”    Namun tak satupun dari orang-orang yang ada di situ peduli, sementara Nabi Musa masih saja sibuk dengan pelbagai kegiatan demi menambah kesempurnaan penyambutan kedatangan Tuhan.

Akhirnya sampailah pak tua itu kepada Nabi Musa.    Dan kepada nabi Musa kakek tua itu memohon, “Wahai tuan… sudikah tuan memberi saya makan walau sedikit, dan minuman walau seteguk…?”    Nabi Musa menjawab, “Baiklah, tapi bantu kami dulu, nanti engkau akan aku beri makanan.  Tolong penuhi bak ini dengan air sumur.”  

Pak tua itupun mematuhi.  Dengan sisa energi yang masih dimilikinya, iapun memenuhi bak itu dengan air sumur hingga penuh.  Namun selepas mengisi bak air tersebut, karena kesibukannya, Nabi Musa lupa tidak memberi makan pada pak tua.  Hingga akhirnya ia pun pergi tanpa ada yang memperhatikannya.

.

Kaum Bani Israil terus menikmati pesta makan malam itu, sementara Nabi Musa terus menunggu kedatangan Tuhan.  Dalam hati Nabi Musa berkata, “Tuhan pasti datang, karena Tuhan Maha Memenuhi Janji.”    Namun hingga larut malam, hingga pesta berakhir Tuhan tidak kunjung datang juga.  Maka orang-orang Bani Israil itupun menyampaikan kekecewaannya kepada Nabi Musa.  Nabi Musa pun tidak kalah kecewanya. 

Maka segera beliau lari dan naik ke bukit Sinai untuk menyampaikan protesnya kepada Tuhan.  Namun, sebelum Musa berkata-kata, Tuhan malah berfirman:  “Hai Musa, ketahuilah... Aku sudah datang....   Aku sudah datang memenuhi janji-Ku.    Tapi tak satupun dari kalian yang menyambut-Ku.  Aku datang dalam keadaan lapar dan haus.  Aku datang dalam keadaan letih. Namun tak ada satupun dari kalian yang mempedulikan-Ku, termasuk dirimu.”

Mendengar teguran dari Allah itu, Nabi Musa pun lemas terkulai dan tersungkur.   Allah melanjutkan firman-Nya : Barang siapa yang ingin mendekati-Ku, maka dekatilah mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, dan mereka yang kelelahan.  Karena sesungguhnya Aku bersamanya.”

Allah menambahkan firman-Nya:   “Ketahuilah, tidaklah sampai cinta-Ku kecuali kalian mencintai sesama.  Tidaklah sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudi melayani sesama.”

ESENSI dari episode perjalanan Nabiyullah Musa As tersebut adalah  sebuah Pesan Spiritual, bahwa siapa yang ingin mendekati Allah (yaitu yang mengharapkan rahmat dan kasih sayang Nya), maka hendaknya ia mendekati kaum dhuafa, memperhatikan nasib kaum dhuafa.      

                  

3. Dhuafa.

Siapakah kaum dhuafa itu?.     Kaum dhuafa adalah para fakir miskin, yang sehari-hari mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.   Yaitu kesulitan dalam memenuhi kebutuhan  sandang, pangan dan papan secara layak, apalagi untuk pendidikan.     Mereka adalah para pekerja kasar, para buruh (buruh  pabrik, buruh tani, buruh nelayan), juga para kuli (kuli bangunan, kuli pasar, kuli pelabuhan), pedagang asongan, pegawai rendahan, dsb.   Nasib mereka sangat memprihatinkan.  Nasib mereka sangat memprihatinkan dan membutuhkan bantuan.   

Mengapa mereka menjadi dhuafa ?   Faktor penyebab mereka menjadi dhuafa sesungguhnya bukan semata-mata karena mereka bodoh atau pemalas, akan tetapi lebih disebabkan oleh peran dari kaum berada, yaitu para pengusaha dan para peguasa.    Banyak diantara mereka yang giat, rajin dan pekerja keras.  Tapi karena tenaga mereka dihargai sangat murah, maka upah yang diterimanya sangat kecil.   Dengan upah buruh yang kecil itu maka keuntungan yang diperoleh para pengusaha menjadi sangat besar.     Jadi para pengusaha dan penguasa menjadi kaya adalah karena adanya para dhuafa. 


4. Mendekati Dhuafa
Mendekati kaum dhuafa bukan berarti sekedar mendekati secara fisik, melainkan dengan kepedulian atas nasibnya, yakni dengan memberikan bantuan untuk meringankan beban hidupnya, melepaskan kesulitannya dan membebaskan kelaparannya. Itulah kepedulian sosial terhadap dhuafa.

Dalam hadis shahih Buhari, Rasulullah bersabda "Man laa yarham - Walaa yurhamu," artinya, "Barangsiapa tidak menolong sesama manusia, maka ia tidak akan ditolong oleh Allah."
Dalam AQ Allah juga bercerita tentang orang² yg enggan memberi bantuan kpd fakir miskin, yaitu pada surat ke 107 surah Al Maun. Dijelaskan pada surat Al Maun bahwa mereka yang tidak punya kepedulian (apatis) terhadap nasib orang fakir miskin, dikatakan sebagai "Pendusta Agama".
Allah SWT berfirman;
# Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin # Fadzaalikalladzi yadu’ ’ulyatiim # Walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin.
Artinya:
# Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. # Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim # dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”
Pada ayat berikutnya merupakan peringatan bagi orang² yg shalat tapi enggan memberi bantuan pada dhuafa.
# Fawailul lil musholliin # Alladziina hum ‘an sholaatihim saahuun # Alladziina hum yuroo-uun # Wayamna’uunal ma’uun.
# Maka celakalah orang yang shalat # (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya # yang berbuat riya, # dan enggan (memberikan) bantuan.
Dengan demikian maka sesungguhnya nasib kaum dhuafa banyak bergantung pada kepedulian kaum berada, yaitu orang-orang yang diberi kemurahan rizki oleh Allah Swt.
Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak peduli terhadap nasib kaum dhuafa, oleh Allah Swt digolongkan sebagai orang yang tidak beriman dan pendusta agama.
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah bersabda : ”Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan perut kenyang, sementara tetangganya tengah kelaparan” (HR. At Thabrani)

5. Pendusta Agama

Dengan demikian maka sesungguhnya nasib kaum dhuafa banyak bergantung pada kepedulian kaum berada, yaitu orang-orang yang diberi kemurahan rizki oleh Allah Swt.        Oleh karena itu, Bagi mereka yang tidak peduli terhadap nasib kaum dhuafa, oleh Allah Swt digolongkan sebagai orang yang tidak beriman dan pendusta agama.

Allah Swt berfirman :   Ara-Aitalladzii Yukadzdzibubiddiin  -  Fadzaalikalladzi  Yadu’ - ’Ulyatiim  -  Walaa Yahudhdhu ’Alaa Tha’aamill Miskin.   Tahukah engkau siapakah orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin  (QS.Al-Ma’un : 1)

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman :  ”Tidak beriman kepada-Ku (Allah) orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa tetangganya tengah kelaparan” (HR.Al-Bazzar)

Mendekati kaum dhuafa bukan berarti sekedar mendekati secara fisik, melainkan dengan bentuk kepedulian atas nasibnya, yakni dengan memberikan bantuan untuk mengurangi beban hidupnya. Itulah kepedulian sosial.

&&&&&

6. Dua Dimensi Ibadah

Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap masalah sosial.  Islam mengajarkan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian dari ibadah.   Bahkan kepedulian sosial adalah sebuah kewajiban bagi kaum Muslimin.   Dalam khasanah Islam, ibadah dibagi dalam dua dimensi, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah.   Ibadah Mahghah  adalah ibadah berdimensi ritual, yaitu berupa kegiatan-kegiatan ritual dalam rangka menyembah Allah (hablim minallah).    Sedangkan Ibadah Ghair-mahdhah  adalah ibadah berdimensi sosial, yaitu berupa amal saleh dalam bentuk hubungan sesama manusia (hambul minnas).         

Kedua dimensi ibadah tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara keseluruhan oleh setiap hamba Allah.  Tidak dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja, sementara ibadah sosial diabaikan.

Allah berfirman dalam QS. Ali Imran 112 :  Dhuribat ‘Alaihi   Mudh Dhillatu   Ainamaa Tsuqifuu - Illaa  Bi Hablim Minallahi   -  Wa Hablim Minan Naas..    Ditimpakan atas mereka ”kehinaan”  dimana saja mereka berada.     Kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).  

Dari firman Allah tersebut jelaslah bahwa, ibadah ritual saja tidak cukup untuk menjamin seseorang menjadi baik dihadapan Allah.  Bahkan mereka yang tidak mempedulikan nasib sesama akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt.   Dengan demikian maka syarat untuk menjadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah menjalankan Hablum minallah  dan Hablul minan naas sekaligus secara baik dan benar.

Seseorang tidak akan sampai kepada kehadirat Allah Swt, sebelum ia membina hubungan sosial secara baik dengan sesama.  “Tidaklah sampai cinta-Ku (kata Allah), kecuali kalian mencintai sesama.  Tidaklah sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudi melayani sesama.”

.

Kedekatan dengan kaum dhuafa ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.  Bahwa banyak diantara para sahabat beliau merupakan orang-orang miskin dan bekas budak, seperti misalnya Bilal bin RabahSalman al-Farizi, Ammar bin Yasir dan Suhaib bin Arat.   Mereka adalah orang-orang yang sangat disayangi Rasulullah dan menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh.

Kedekatan Rasulullah dengan dhuafa juga terlihat pada perlakuan Nabi Muhammad terhadap Sa’ad al-Anshari.     Suatu ketika Nabi berjumpa dengan Sa’ad al-Anshari.  Nabi melihat tangan Sa’ad yang hitam dan kasar itu tengah melepuh.  Kemudian Nabi bertanya, “mengapa dengan tanganmu?”   Sa’ad menjawab, “Aku bekerja keras memecah batu ya Rasulullah, untuk menafkahi keluargaku.”   Kemudian Nabi menggapai tangan Sa’ad, dan mencium tangan yang tengah melepuh itu, seraya berkata, “Tangan ini dicintai Allah Ta’ala.”         

Bisa kita bayangkan, Nabi yang mulia, yang tangannya selalu diperebutkan oleh para sahabat untuk dicium, kini beliau  malah mencium tangan seorang dhuafa, yang hitam dan kasar.      Dalam sejarah Islam,  tercatat hanya ada dua tangan yg pernah dicium oleh Rasulullah, yaitu tangan Fatimah Az Zahra binti Muhammad (putrinya), dan tangan Sa’ad al-Anshari (seorang dhuafa, pemecah batu).

.

Marilah kita merenung. Kita tengok pada diri sendiri.  Diantara sekian banyak kaum dhuafa di negeri ini, seberapa seringkah kita mendekati mereka?   Berapa kali kita menggapai tangan mereka?.  Seberapa besarkah kepedulian kita terhadap nasib mereka?.    

Bandingkan dengan seorang Lady Dy, Putri Diana, permaisuri seorang mahkota Kerajaan Inggris.  Konon Lady Dy begitu gemar mengunjungi panti-panti sosial, panti-panti jompo dan penderita kusta.  Beliau tak segan-segan menggapai dan menggenggam tangan mereka dengan penuh kehangatan.   Saat ditanya oleh seorang wartawan, kenapa ia lakukan.  Putri Diana hanya menjawab, ”Itu bagian dari kebahagiaan hidup saya”.   Lady Dy tidak merasakan bahagia jika hanya tinggal di dalam istana.

Kepedulian terhadap nasib kaum dhuafa juga dicontohkan oleh Umar bin Khatab.

Ketika Umar bin Khatab menjadi khalifah, yaitu pemimpin bagi kaum muslimin, hampir setiap malam Umar melakukan perjalanan diam-diam.  Hanya ditemani oleh salah seorang sahabatnya bernama Aslam, beliau masuk keluar kampung untuk mengetahui kehidupan rakyatnya.

Suatu ketika beliau mendengar suara tangisan dari sebuah gubuk. Kemudian diketahuinya ada seorang perempuan tua yang tengah memasak batu.  Setelah ditanyakan kenapa, ternyata wanita itu memasak batu hanya sekedar untuk menghibur anak-anaknya yang terus menangis karena kelaparan.  Sudah dua hari tak ada bahan makanan yang bisa mereka masak.

Dengan perasaan sedih dan bersalah, Khalifah Umar segera pulang. Tanpa istirahat sedikitpun, beliau segera kembali menjumpai janda tua itu dengan memikul sekarung gandum di punggungnya sendiri.

Dengan terseok-seok Umar berjuang memikul karung gandum itu di punggungnya.   Melihat Umar yang sangat keletihan, Aslam sahabatnya memohon, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul karung itu….”

Khalifah Umar menjawab, “Lebih baik aku memikul beban ini di pundakku sekarang, dari pada di akhirat kelak?

Sikap Khalifah Umar bin Khatab ini menunjukkan sikap ketauladanan dalam mengemban amanah sebagai seorang pemimpin, sekaligus kepeduliannya kepada kaum dhuafa.

Mendekati kaum dhuafa sesungguhnya mempunyai beberapa manfaat, yaitu selain membuat hati menjadi hidup, juga membuat hidup menjadi indah.

Dengan mendekati kaum dhuafa akan menumbuhkan rasa empati.  Dari rasa empati kemudian akan muncul rasa syukur, yakni mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita selama ini.  Rasa syukur inilah yang membuat hati/qalbu menjadi hidup.  Orang-orang bijak menasehatkan: ”Janganlah selalu memandang ke atas, karena engkau akan merasa rendah dan kecil.  Namun tengoklah juga ke bawah, karena itu akan membuatmu bersyukur.”

Orang yang dalam hidupnya hanya mengenal kemewahan, tentu kemewahan itu dirasakan sebagai sesuatu yang biasa, bukan lagi sebagai sesuatu yang indah dan nikmat.  Hidup akan terasa membahagiakan apabila  kita tahu bagaimana rasanya hidup susah.  Sesuatu hanya bisa dirasakan manis apabila kita tahu rasanya yang pahit.   Ada satu ungkapan hikmah yang mengatakan bahwa, ”Kalau engkau biasa minum teh manis dengan 3 sendok gula, maka dengan 2 sendok gula engkau tidak merasakan manis”.

Itulah sebabnya mengapa Allah mewajibkan kita berpuasa.  Karena selain untuk meningkatkan taqwa, puasa mempunyai tujuan lain, yaitu agar kita merasakan lapar dan haus sebagaimana yang dialami oleh orang-orang miskin, agar kita mensyukuri kehidupan.

Maka dengan sering mendekati kaum dhuafa atau melaksanakan puasa, maka kehidupan akan menjadi bermakna, nikmat dan indah.    Rasulullah bersabda : ”Duduklah kalian dengan orang-orang miskin, pasti kalian akan terbebas dari kesombongan, dan menjadi orang besar disisi Allah” (HR.Abu Mu’aim)

 

Kepedulian terhadap dhuafa sesungguhnya merupakan perwujudan dari rasa syukur .  Setelah memperoleh anugerah berbagai nikmat dari Allah Swt, maka kita wajib mensyukurinya.   Mensyukuri nikmat Allah tidaklah hanya sekedar mengucapkan ”hamdallah” (alhamdulillahirabbil alamin), namun haruslah pula disertai dengan dua hal, yaitu :  Berbagi kenikmatan (terutama dengan mereka yang membutuhkan) , dan dengan meningkatkan kualitas ibadah.  

Bagi orang yang pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat kepadanya.  Sedangkan bagi orang yang tidak pandai bersyukur (kufur nikmat) maka Allah akan menimpakan azab yang pedih kepadanya.  LA IN SYAKARTUM LA AZII DANNAKUM   WA LA IN KAFARTUM INNA ADZAABII LA SYADIID.  Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya (nikmat-Ku), sungguh azab-Ku sangat keras.  (QS. Ibrahim : 7)

 

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2020, dari jumlah total 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 26,42 juta orang (9,78 persen) berada dibawah garis kemiskinan.   Itu berarti bahwa jumlah kaum dhuafa yang ada di negara kita sungguh demikian besar yaitu 26 juta orang lebih.        Apabila tidak ada kepedulian dan perhatian dari kaum berada, tentu jumlah mereka akan semakin bertambah dan nasib mereka akan semakin memprihatinkan. Belum lagi ditambah dengan banyaknya bencana alam yang melanda masyarakat kita, maka jumlah itu tentu semakin besar. 

Keberadaan kaum dhuafa sejatinya adalah tanggung jawab kita kaum berada. Maka kepedulian terhadap nasib kaum dhuafa wajib hukumnya bagi kita yang telah dikaruniai kemurahan rizki oleh Allah Swt.  Tidak ada alasan bagi kaum berada untuk tidak menyalurkan kepeduliannya kepada kaum dhuafa.  Apalagi saat sekarang ini telah banyak lembaga-lembaga yang dapat membantu menyalurkan kepedulian kita kepada kaum dhuafa, seperti Dompet Dhuafa, Baznas, Rumah Zakat, PKPU, rekening peduli pemirsa televisi, dsb. 

Ironisnya, di tengah-tengah penderitaan kaum dhuafa dan masyarakat yang mengalami musibah bencana, masih ada diantara kita yang tidak mempunyai empati pada nasib kaum dhuafa.  Masih ada yang suka berpesta pora.  Bahkan masih ada yang menyelenggarakan pesta dengan menghabiskan milyaran rupiah, namun tidak sedikitpun dari kaum dhuafa yang turut menikmatinya.   

Acara syukuran berupa pesta besar yang hanya dinikmati antar sesama kolega, tanpa mengikut sertakan kaum dhuafa sesungguhnya bukanlah bentuk rasa syukur, melainkan bentuk kekufuran.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar