Nabi Musa begitu kesal mendengar ejekan itu. Namun dengan tenang beliau menjawab, “Tuhan
tidak membutuhkan makanan dan minuman.
Bahkan Dia-lah yang memberikan segala apa yang dibutuhkan manusia.” Mendengar jawaban Nabi Musa seperti itu,
orang-orang bani Israel itu kembali tertawa terbahak mengejek.
Dengan suasana hati yang sangat kesal, Nabi Musa berlari ke bukit Sinai dan
naik ke puncaknya. Beliau mengadukan
kekesalan hatinya kepada Tuhan. Namun
Allah Ta’ala malah berfirman, “Hai Musa,
bukankah kaummu sudah mengundang Aku?
Sampaikan kepada mereka, Aku bersedia hadir.”
Mendengar janji Allah itu, nabi Musa terkejut dan hampir-hampir tidak
percaya. Bagaimana dan dalam wujud apa
Allah menghadiri pesta nanti. Dengan
perasaan heran bercampur bingung, akhirnya Nabi Musa menyampaikan juga berita
kesediaan Tuhan itu kepada kaumnya.
.
Esok harinya, pada saat kaum Bani Israil tengah mempersiapkan pesta makan
malam, Nabi Musa-pun ikut sibuk turun tangan, membantunya agar pesta
penyambutan ”kedatangan Tuhan” nanti
berlangsung baik dan istimewa.
Ketika pesta baru dimulai, tiba-tiba datang seorang kakek tua dengan
pakaian lusuh dan wajah yang sangat kelelahan.
Wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat setempat, sehingga pastilah ia
datang dari negeri yang jauh. Ia datang
mengetuk hati orang-orang yang ada di situ seraya memohon, “Wahai tuan-tuan…
adakah yang sudi memberi saya makan walau sedikit, dan minuman walau
seteguk…?” Namun tak satupun dari
orang-orang yang ada di situ peduli, sementara Nabi Musa masih saja sibuk
dengan pelbagai kegiatan demi menambah kesempurnaan penyambutan kedatangan
Tuhan.
Akhirnya sampailah pak tua itu kepada Nabi Musa. Dan kepada nabi Musa kakek tua itu memohon,
“Wahai tuan… sudikah tuan memberi saya makan walau sedikit, dan minuman walau
seteguk…?” Nabi Musa menjawab,
“Baiklah, tapi bantu kami dulu, nanti engkau akan aku beri makanan. Tolong penuhi bak ini dengan air sumur.”
Pak tua itupun mematuhi. Dengan sisa
energi yang masih dimilikinya, iapun memenuhi bak itu dengan air sumur hingga
penuh. Namun selepas mengisi bak air
tersebut, karena kesibukannya, Nabi Musa lupa tidak memberi makan pada pak
tua. Hingga akhirnya ia pun pergi tanpa
ada yang memperhatikannya.
.
Kaum Bani Israil terus menikmati pesta makan malam itu, sementara Nabi Musa
terus menunggu kedatangan Tuhan. Dalam
hati Nabi Musa berkata, “Tuhan pasti datang, karena Tuhan Maha Memenuhi
Janji.” Namun hingga larut malam,
hingga pesta berakhir Tuhan tidak kunjung datang juga. Maka orang-orang Bani Israil itupun
menyampaikan kekecewaannya kepada Nabi Musa.
Nabi Musa pun tidak kalah kecewanya.
Maka segera beliau lari dan naik ke bukit Sinai untuk menyampaikan
protesnya kepada Tuhan. Namun, sebelum
Musa berkata-kata, Tuhan malah berfirman:
“Hai Musa, ketahuilah... Aku sudah datang.... Aku sudah datang memenuhi janji-Ku. Tapi tak satupun dari kalian yang
menyambut-Ku. Aku datang dalam keadaan
lapar dan haus. Aku datang dalam keadaan
letih. Namun tak ada satupun dari kalian yang mempedulikan-Ku, termasuk
dirimu.”
Mendengar teguran dari Allah itu, Nabi Musa pun lemas terkulai dan
tersungkur. Allah melanjutkan
firman-Nya : “Barang siapa yang
ingin mendekati-Ku, maka dekatilah mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan,
dan mereka yang kelelahan. Karena
sesungguhnya Aku bersamanya.”
Allah menambahkan firman-Nya: “Ketahuilah,
tidaklah sampai cinta-Ku kecuali kalian mencintai sesama. Tidaklah
sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudi melayani sesama.”
.
ESENSI dari episode perjalanan Nabiyullah Musa As tersebut adalah sebuah Pesan Spiritual, bahwa siapa yang ingin mendekati Allah (yaitu yang mengharapkan rahmat dan kasih sayang Nya), maka hendaknya ia mendekati kaum dhuafa, memperhatikan nasib kaum dhuafa.
3. Dhuafa.
Siapakah kaum dhuafa itu?. Kaum dhuafa adalah para fakir miskin, yang sehari-hari mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Yaitu kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara layak, apalagi untuk pendidikan. Mereka adalah para pekerja kasar, para buruh (buruh pabrik, buruh tani, buruh nelayan), juga para kuli (kuli bangunan, kuli pasar, kuli pelabuhan), pedagang asongan, pegawai rendahan, dsb. Nasib mereka sangat memprihatinkan. Nasib mereka sangat memprihatinkan dan membutuhkan bantuan.
Mengapa
mereka menjadi dhuafa ? Faktor penyebab
mereka menjadi dhuafa sesungguhnya bukan semata-mata karena mereka bodoh atau
pemalas, akan tetapi lebih disebabkan oleh peran dari kaum berada, yaitu para
pengusaha dan para peguasa. Banyak diantara mereka yang giat, rajin dan pekerja keras. Tapi karena tenaga
mereka dihargai sangat murah, maka upah yang diterimanya sangat kecil. Dengan upah buruh yang kecil itu maka
keuntungan yang diperoleh para pengusaha menjadi sangat besar. Jadi para pengusaha dan penguasa menjadi
kaya adalah karena adanya para dhuafa.
5. Pendusta Agama
Dengan
demikian maka sesungguhnya nasib kaum dhuafa banyak bergantung pada kepedulian
kaum berada, yaitu orang-orang yang diberi kemurahan rizki oleh Allah Swt. Oleh karena itu, Bagi mereka yang tidak
peduli terhadap nasib kaum dhuafa, oleh Allah Swt digolongkan sebagai orang
yang tidak beriman dan pendusta agama.
Allah Swt berfirman : Ara-Aitalladzii Yukadzdzibubiddiin - Fadzaalikalladzi Yadu’ - ’Ulyatiim - Walaa Yahudhdhu ’Alaa
Tha’aamill Miskin. Tahukah engkau siapakah
orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak
yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin (QS.Al-Ma’un : 1)
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman : ”Tidak beriman kepada-Ku (Allah) orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa tetangganya tengah kelaparan” (HR.Al-Bazzar)
Mendekati kaum
dhuafa bukan berarti sekedar mendekati secara fisik, melainkan dengan bentuk
kepedulian atas nasibnya, yakni dengan memberikan bantuan untuk mengurangi
beban hidupnya. Itulah kepedulian
sosial.
&&&&&
6. Dua Dimensi Ibadah
Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap masalah
sosial. Islam mengajarkan bahwa
kepedulian sosial merupakan bagian dari ibadah. Bahkan kepedulian sosial adalah sebuah kewajiban
bagi kaum Muslimin. Dalam khasanah
Islam, ibadah dibagi dalam dua dimensi, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu
mahdhah. Ibadah
Mahghah adalah ibadah berdimensi
ritual, yaitu berupa kegiatan-kegiatan ritual dalam rangka menyembah Allah
(hablim minallah). Sedangkan Ibadah Ghair-mahdhah adalah ibadah berdimensi sosial, yaitu berupa
amal saleh dalam bentuk hubungan sesama manusia (hambul minnas).
Kedua dimensi
ibadah tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara keseluruhan
oleh setiap hamba Allah. Tidak
dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja, sementara ibadah
sosial diabaikan.
Allah berfirman dalam QS. Ali Imran 112
: Dhuribat ‘Alaihi Mudh Dhillatu Ainamaa Tsuqifuu - Illaa Bi Hablim Minallahi - Wa
Hablim Minan Naas.. Ditimpakan atas mereka ”kehinaan”
dimana saja mereka berada.
Kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan
berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).
Dari firman Allah
tersebut jelaslah bahwa, ibadah ritual saja tidak cukup untuk menjamin
seseorang menjadi baik dihadapan Allah.
Bahkan mereka yang tidak mempedulikan nasib sesama akan ditimpakan
kehinaan oleh Allah Swt. Dengan
demikian maka syarat untuk menjadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah
menjalankan Hablum minallah dan Hablul
minan naas sekaligus secara baik dan benar.
Seseorang tidak
akan sampai kepada kehadirat Allah Swt, sebelum ia membina hubungan sosial
secara baik dengan sesama. “Tidaklah sampai cinta-Ku (kata
Allah), kecuali kalian
mencintai sesama. Tidaklah
sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian sudi melayani sesama.”
.
Kedekatan dengan
kaum dhuafa ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bahwa banyak diantara para sahabat beliau
merupakan orang-orang miskin dan bekas budak, seperti misalnya Bilal bin Rabah, Salman al-Farizi, Ammar bin Yasir dan Suhaib bin
Arat. Mereka adalah orang-orang yang
sangat disayangi Rasulullah dan menjadi pejuang-pejuang Islam yang tangguh.
Kedekatan Rasulullah dengan dhuafa juga
terlihat pada perlakuan Nabi Muhammad terhadap Sa’ad al-Anshari. Suatu
ketika Nabi berjumpa dengan Sa’ad al-Anshari.
Nabi melihat tangan Sa’ad yang hitam dan kasar itu tengah melepuh. Kemudian Nabi bertanya, “mengapa dengan
tanganmu?” Sa’ad menjawab, “Aku bekerja
keras memecah batu ya Rasulullah, untuk menafkahi keluargaku.” Kemudian Nabi menggapai tangan Sa’ad, dan
mencium tangan yang tengah melepuh itu, seraya berkata, “Tangan ini dicintai
Allah Ta’ala.”
Bisa kita bayangkan, Nabi yang mulia,
yang tangannya selalu diperebutkan oleh para sahabat untuk dicium, kini
beliau malah mencium tangan seorang
dhuafa, yang hitam dan kasar. Dalam
sejarah Islam, tercatat hanya ada dua tangan yg pernah dicium oleh Rasulullah, yaitu tangan
Fatimah Az Zahra binti Muhammad (putrinya), dan tangan Sa’ad al-Anshari
(seorang dhuafa, pemecah batu).
.
Marilah kita merenung. Kita tengok pada
diri sendiri. Diantara sekian banyak
kaum dhuafa di negeri ini, seberapa seringkah kita mendekati mereka? Berapa kali kita menggapai tangan
mereka?. Seberapa besarkah kepedulian
kita terhadap nasib mereka?.
Bandingkan dengan seorang Lady Dy, Putri
Diana, permaisuri seorang mahkota Kerajaan Inggris. Konon Lady Dy begitu gemar mengunjungi
panti-panti sosial, panti-panti jompo dan penderita kusta. Beliau tak segan-segan menggapai dan
menggenggam tangan mereka dengan penuh kehangatan. Saat ditanya oleh seorang wartawan, kenapa
ia lakukan. Putri Diana hanya menjawab,
”Itu bagian dari kebahagiaan hidup saya”.
Lady Dy tidak merasakan bahagia jika hanya tinggal di dalam istana.
Kepedulian terhadap nasib kaum dhuafa
juga dicontohkan oleh Umar bin Khatab.
Ketika Umar
bin Khatab menjadi khalifah, yaitu pemimpin bagi kaum muslimin, hampir setiap
malam Umar melakukan perjalanan diam-diam.
Hanya ditemani oleh salah seorang sahabatnya bernama Aslam, beliau masuk
keluar kampung untuk mengetahui kehidupan rakyatnya.
Suatu ketika
beliau mendengar suara tangisan dari sebuah gubuk. Kemudian diketahuinya ada
seorang perempuan tua yang tengah memasak batu.
Setelah ditanyakan kenapa, ternyata wanita itu memasak batu hanya sekedar
untuk menghibur anak-anaknya yang terus menangis karena kelaparan. Sudah dua hari tak ada bahan makanan yang
bisa mereka masak.
Dengan
perasaan sedih dan bersalah, Khalifah Umar segera pulang. Tanpa istirahat
sedikitpun, beliau segera kembali menjumpai janda tua itu dengan memikul
sekarung gandum di punggungnya sendiri.
Dengan
terseok-seok Umar berjuang memikul karung gandum itu di punggungnya. Melihat Umar yang sangat keletihan, Aslam
sahabatnya memohon, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul
karung itu….”
Khalifah Umar
menjawab, “Lebih baik aku memikul beban ini di pundakku sekarang, dari pada di
akhirat kelak?”
Sikap Khalifah
Umar bin Khatab ini menunjukkan sikap ketauladanan dalam mengemban amanah
sebagai seorang pemimpin, sekaligus kepeduliannya kepada kaum dhuafa.
Mendekati kaum
dhuafa sesungguhnya mempunyai beberapa manfaat, yaitu selain membuat hati
menjadi hidup, juga membuat hidup menjadi indah.
Dengan mendekati
kaum dhuafa akan menumbuhkan rasa empati.
Dari rasa empati kemudian akan muncul rasa syukur, yakni mensyukuri
nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita selama ini. Rasa syukur inilah yang membuat hati/qalbu
menjadi hidup. Orang-orang bijak
menasehatkan: ”Janganlah selalu
memandang ke atas, karena engkau akan merasa rendah dan kecil. Namun tengoklah juga ke bawah, karena itu
akan membuatmu bersyukur.”
Orang yang dalam
hidupnya hanya mengenal kemewahan, tentu kemewahan itu dirasakan sebagai
sesuatu yang biasa, bukan lagi sebagai sesuatu yang indah dan nikmat. Hidup akan terasa membahagiakan apabila kita tahu bagaimana rasanya hidup susah. Sesuatu hanya bisa dirasakan manis apabila
kita tahu rasanya yang pahit. Ada satu ungkapan hikmah yang mengatakan
bahwa, ”Kalau engkau biasa minum teh
manis dengan 3 sendok gula, maka dengan 2 sendok gula engkau tidak merasakan
manis”.
Itulah sebabnya
mengapa Allah mewajibkan kita berpuasa.
Karena selain untuk meningkatkan taqwa, puasa mempunyai tujuan lain, yaitu agar kita merasakan lapar dan haus sebagaimana yang dialami oleh orang-orang miskin,
agar kita mensyukuri kehidupan.
Maka dengan sering
mendekati kaum dhuafa atau melaksanakan puasa, maka kehidupan akan menjadi
bermakna, nikmat dan indah. Rasulullah bersabda : ”Duduklah
kalian dengan orang-orang miskin, pasti kalian akan terbebas dari kesombongan,
dan menjadi orang besar disisi Allah” (HR.Abu Mu’aim)
Kepedulian terhadap
dhuafa sesungguhnya merupakan perwujudan dari rasa syukur . Setelah memperoleh anugerah berbagai nikmat
dari Allah Swt, maka kita wajib mensyukurinya.
Mensyukuri nikmat Allah tidaklah hanya sekedar mengucapkan ”hamdallah”
(alhamdulillahirabbil alamin), namun haruslah pula disertai dengan dua hal,
yaitu : Berbagi kenikmatan (terutama
dengan mereka yang membutuhkan) , dan dengan meningkatkan kualitas ibadah.
Bagi orang yang
pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat kepadanya. Sedangkan bagi orang yang tidak pandai
bersyukur (kufur nikmat) maka Allah akan menimpakan azab yang pedih kepadanya. LA IN SYAKARTUM LA AZII DANNAKUM WA LA IN KAFARTUM INNA ADZAABII LA SYADIID. Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami
akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkarinya (nikmat-Ku),
sungguh azab-Ku sangat keras. (QS. Ibrahim : 7)
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2020, dari jumlah total 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 26,42 juta orang (9,78 persen) berada dibawah garis kemiskinan. Itu berarti bahwa jumlah kaum dhuafa yang
ada di negara kita sungguh demikian besar yaitu 26 juta orang lebih. Apabila tidak ada kepedulian dan
perhatian dari kaum berada, tentu jumlah mereka akan semakin bertambah dan
nasib mereka akan semakin memprihatinkan. Belum lagi ditambah dengan banyaknya
bencana alam yang melanda masyarakat kita, maka jumlah itu tentu semakin
besar.
Keberadaan kaum dhuafa sejatinya adalah tanggung
jawab kita kaum berada. Maka kepedulian terhadap nasib kaum dhuafa wajib
hukumnya bagi kita yang telah dikaruniai kemurahan rizki oleh Allah Swt. Tidak ada alasan bagi kaum berada untuk
tidak menyalurkan kepeduliannya kepada kaum dhuafa. Apalagi saat sekarang ini telah banyak
lembaga-lembaga yang dapat membantu menyalurkan kepedulian kita kepada kaum
dhuafa, seperti Dompet Dhuafa, Baznas, Rumah Zakat, PKPU, rekening peduli
pemirsa televisi, dsb.
Ironisnya, di
tengah-tengah penderitaan kaum dhuafa dan masyarakat yang mengalami musibah
bencana, masih ada diantara kita yang tidak mempunyai empati pada nasib kaum
dhuafa. Masih ada yang suka berpesta
pora. Bahkan masih ada yang
menyelenggarakan pesta dengan menghabiskan milyaran rupiah, namun tidak
sedikitpun dari kaum dhuafa yang turut menikmatinya.
Acara syukuran berupa pesta besar yang hanya dinikmati antar sesama kolega, tanpa mengikut sertakan kaum dhuafa sesungguhnya bukanlah bentuk rasa syukur, melainkan bentuk kekufuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar