Oleh: @elhakimi
Tulisan ini ditulis 11/8/2021
sebelum Taliban menguasai Ibu Kota Kabul (15/8/2021). Tapi masih sangat relevan
melihat Taliban.
Banyak aktivis Islam yang
bingung memahami diplomasi yang dilakukan Taliban pasca Amerika menarik mundur
tentaranya dari Afghan. Taliban dianggap telah bermain mata dengan China, sebab
China meminta Taliban untuk membantu meredam gejolak perlawanan di Uighur.
Taliban juga bernegosiasi dengan Iran, yang nota bene negara Syiah musuh Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Taliban juga sebelumnya berkunjung ke Moscow yang banyak
membantai muslim Suriah.
Artikel ini mencoba untuk
menjelaskan apakah yang dilakukan Taliban itu sebuah pengkhianatan terhadap
prinsip-prinsip Islam dan umat Islam di belahan dunia lain? Ataukah hanya
sebuah diplomasi yang jamak dilakukan oleh siapapun demi mendapatkan keuntungan
strategis dalam upaya mendirikan negara atau merawat kekuasaan?
Taliban Mencuri Perhatian
Setelah AS secara fakta
menghentikan misi di Afghanistan pada akhir Juli 2021 dan secara resmi nanti
pada 11 September 2021, Taliban kembali mencuri perhatian. Betapa tidak, 20
tahun lalu Taliban luluh lantak oleh serbuan mesin perang AS dan sekutu, kini
kembali menjadi kekuatan besar yang dianggap paling siap untuk mengendalikan
Afghanistan. Satu demi satu desa dan kota berhasil direbut dari cengkeraman
pemerintah boneka. Sebelumnya sang boneka begitu kuat karena disuplai tenaga
oleh induknya, kini setelah sang induk pergi, kembali menjadi kerangka tanpa
daya.
Taliban terbukti solid dan
punya jaringan luas di seluruh penjuru Afghan. Taliban dimusuhi oleh AS dan
sekutu yang karenanya seluruh dunia ikut memusuhinya, tapi
dicintai oleh masyarakat Afghan, setidaknya bagi yang pernah merasakan
keamanan di bawah kekuasaannya dahulu. Taliban terbukti lebih efektif dan
efisien dalam menangani berbagai keluhan masyarakat. Terutama soal
kriminalitas. Polisi pemerintah cenderung korup sehingga tak punya komitmen
menyelesaikan permasalahan masyarakat. Sebaliknya pejuang Taliban lebih sigap
sehingga dipercaya dan dicintai masyarakat.
Taliban punya pendekatan
andalan dalam mencuri hati rakyat, yaitu penegakan
hukum menggunakan Syariat Islam. Pendekatan ini sangat mujarab di tengah
masyarakat yang resah dan nyaris putus asa dengan kekacauan yang
berlarut-larut. Masyarakat merasakan manfaat nyata di balik penegakan hukum
Islam ini. Kriminalitas bisa dibasmi, masyarakat kembali hidup dengan aman.
Kesuksesan ini membuat masyarakat sendiri yang kemudian minta kehadiran Taliban
di wilayah mereka agar bisa meredam kriminalitas dan mengembalikan keamanan.
Jika di tengah masyarakat
terdapat provokator yang menolak penegakan
syariat dan menolak kehadiran Taliban, barulah Taliban bergerak menggunakan
kekuatan. Para provokator disikat dengan senjata, demi menghilangkan gangguan
penegakan syariat di tengah masyarakat. Inilah jurus kedua yang ditakuti para
kriminal yang mengail di air keruh.
Dua mata pisau ini sangat
efektif meluaskan kekuasaan Taliban di Afghan. Tentu saja dikombinasi dengan
jurus ketiga, yakni edukasi alias dakwah secara persuasif
kepada masyarakat. Sebab nama Taliban sendiri mencerminkan itu. Taliban artinya santri, yang sudah pasti sangat
perhatian dengan ilmu dan dakwah. Ketika masyarakat tercerahkan ilmu syariat,
banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan mudah. Tidak lagi debat kusir,
tapi sudah ada hakimnya, yaitu ilmu.
Sebetulnya pendekatan ini
bukan cara baru bagi Taliban. Mereka sudah melakukannya sejak tahun 90-an
ketika Afghan kacau akibat konflik internal pasca
hengkangnya penjajah Uni Sovyet dari Afghan. Para mantan komandan yang
punya banyak pengikut saat jihad melawan Uni Sovyet saling berebut kekuasaan. Akibatnya, rakyat jadi korban.
Rakyat tak terurus. Kriminalitas merajalela, hukum rimba berlaku secara liar.
Kemenangan jihad yang digadang-gadang menjadi fajar baru yang cerah, demi
lahirnya kedamaian dan keamanan bagi umat Islam, ternyata jatuh menjadi konflik
internal yang kronis nyaris melumpuhkan seluruh sendi masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu,
tiba-tiba muncul sosok unik yang punya gagasan out of the box dalam
menyelesaikan kekisruhan. Bukan dengan perang, tapi dengan pendekatan dakwah
dan penegakan hukum syariat yang jujur. Rakyat sudah letih berperang.
Namanya Muhammad Umar. Dipanggil mullah
karena keulamaannya. Seperti kyai di Indonesia. Ia menghimpun murid-muridnya
untuk bergerak membasmi kriminalitas dan menegakkan hukum syariat di lingkungan
mereka. Karenanya nama kelompok ini Taliban – perkumpulan santri.
Prakarsa yang mereka lakukan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berawal dari lingkup kecil, lama-lama
meluas. Awalnya hanya di wilayah Kandahar,
kemudian menyebar ke seluruh Afghan. Sampai akhirnya pemerintahan Afghan
berhasil diambil alih. Tentu saja perkembangan ini membuat Barat cemas. Jika
tak dibendung, bukan hanya tanah Afghan yang dikuasai, bisa saja akan meluas ke
negara-negara tetangganya, dan makin sulit dijinakkan.
Ujian Bernama Al-Qaeda
Tahun 2001 menjadi momen
bersejarah. Pada 11 September 2001 terjadi
serangan terhadap Amerika. Dua menara kembar WTC dihajar pesawat penumpang
hingga terbakar dan roboh. Juga gedung Pentagon, meski tidak banyak kerusakan
yang terjadi.
Amerika sebagai imperium
penguasa dunia murka sejadinya. Osama bin Ladin sang
pemimpin Al-Qaeda dituding sebagai otak pelaku. Padahal ia berada di
Afghanistan yang saat itu dikuasai Taliban. Amerika memberi ultimatum kepada
Taliban agar menyerahkan Osama bin Ladin dan seluruh tokoh Al-Qaeda yang
bersembunyi di Afghan. Jika tidak, Taliban akan dihajar. Mullah Umar – sang
pemimpin Taliban – menolak ultimatum tersebut.
Akibatnya bisa ditebak, mesin perang Amerika dan sekutu dikerahkan untuk
menggulingkan Taliban dan menghancurkan seluruh pelosok Afghan.
Afghanistan luluh
lantak. Taliban jatuh.
Sejak saat itu penjajahan dimulai. Kemarahan Amerika kepada Al-Qaeda
dilampiaskan dengan membantai rakyat Afghan yang dianggap melindunginya.
“Kesalahan” Taliban hanya satu, menolak menyerahkan orang yang dituduh Amerika
sebagai otak pelaku. Sementara Taliban sendiri bukan pelaku, apalagi rakyat
Afghan.
Namun Taliban meski
ditumbangkan dari kekuasaan, mereka masih solid di desa-desa dan gunung-gunung.
Inilah karunia Allah untuk Afghan, konturnya ekstrim, sehingga mesin perang
paling canggih sekalipun kesulitan untuk menyapu seluruh kawasan. Benteng
alaminya terlalu banyak dan sulit ditaklukkan.
Para pejuang Taliban sabar
menjalani ujian ini. Mereka tetap semangat menjaga ruh jihad. Sambil bertahan
dari gempuran Amerika, mereka menancapkan pengaruh di masyarakat pedesaan yang
jauh dari jangkauan pemerintah boneka. Keadaan
ini membuat Afghanistan terbelah, ada wilayah
yang dikontrol Taliban terutama di pedesaan, ada wilayah yang dikendalikan
pemerintah boneka terutama kota-kota.
Pertanyaan masih tersisa,
mengapa Taliban bersikeras menolak menyerahkan Osama bin Ladin kepada Amerika
padahal terancam akan dibumi-hanguskan oleh Amerika jika menolak? Osama juga bukan warga pribumi Afghan. Ia dan para
mujahidin Arab hanyalah warga pendatang. Mengorbankan segelintir orang apalagi
pendatang demi keamanan jutaan orang lain apalagi pribumi bukankah sebuah
pilihan yang wajar?
Sikap Taliban ini menarik
dikaji. Pemahaman terhadap cara berpikir dan sikap Taliban terkait Osama bisa
dijadikan sebagai barometer untuk memahami sikap Taliban di kemudian hari.
Salah satunya, saat Taliban berkunjung ke China dan
melakukan diplomasi di sana. Juga diplomasi dengan Rusia
dan Iran.
Ada beberapa alasan yang
agaknya menjadi pertimbangan Mullah Umar memilih sikap
menolak menyerahkan Osama bin Ladin kepada Amerika.
Pertama, Osama muslim, Taliban juga muslim. Saudara seiman
pantang dijual kepada orang kafir untuk dipenjara atau dibunuh. Jangankan
menjual nyawanya, mencelanya saja dilarang. Catat, Taliban sangat komitmen
terhadap aturan yang ada dalam ilmu syariat.
Kedua, Osama dan para
mujahidin Arab punya rekam jejak bagus dalam membantu
umat Islam Afghan melawan penjajah kafir – Uni Sovyet. Mullah Umar
terikat akhlaq Islam, berterima kasih dan membalas budi orang yang pernah
membantu. Menjual Osama kepada musuh (kaum kafir) sama saja dengan “habis manis
sepah dibuang”. Catat, Taliban menjunjung tinggi akhlaq
Islam.
Ketiga, Amerika mengancam
(memberi janji) untuk membumi-hanguskan Afghan, tetapi Allah memberi janji akan
menolong hamba-Nya sepanjang hambanya menempuh jalan lurus dan membela
agama-Nya. Mullah Umar lebih yakin janji Allah dibanding janji Amerika.
Karenanya dengan tawakkal kepada Allah, memutuskan menolak permintaan Amerika.
Catat, Taliban berpegang kuat pada prinsip aqidah
Islam.
Keempat, secara teori fiqh,
menjual nyawa mukmin demi menyelamatkan nyawa mukmin yang lain itu tidak boleh
dalam Islam. Sebab antara satu nyawa muslim dengan nyawa muslim yang lain
posisinya sejajar dan harganya sama. Dalam kasus ini, menjual nyawa Osama bin
Ladin demi menyelamatkan nyawa ribuan muslim Afghan tidak dibenarkan dalam
Islam. Sebab meski jumlahnya berbeda, keduanya sama derajatnya di hadapan
Allah. Seandainya Islam membenarkan nyawa dijadikan tumbal nyawa, tentu hal ini
akan dijadikan sebagai permainan oleh para penguasa yang gila kekuasaan. Catat,
Taliban berpegang pada teori fiqh.
Apa yang ditunjukkan Taliban
dalam situasi genting seperti ini bisa dijadikan tonggak barometer untuk
memahami prinsip politik Taliban dalam situasi yang lebih mudah di kemudian
hari. Garis politik Taliban yang dapat kita simpulkan dari sikapnya tersebut
bisa dirinci dalam poin-poin berikut:
Pertama, Taliban tidak berpaham nasionalisme, terbukti berani
menanggung resiko berat pada bangsanya sendiri justru karena membela orang
asing – Osama bin Ladin dan mujahidin Arab lain. Taliban sangat kuat memegang
panji keumatan, bukan panji kebangsaan.
Kedua, Taliban komitmen
dengan ilmu syar’iy. Bagi Taliban, politik dikendalikan oleh ilmu syar’iy bukan
sebaliknya ilmu syar’iy dikendalikan oleh politik.
Ketiga, Taliban setia pada ikatan keimanan. Landasan politiknya iman. Taliban
menolak bersekongkol dan berkolusi dengan musuh Allah dan musuh orang-orang
beriman, dalam hal ini Amerika, dengan cara mengkhianati teman sendiri sesama
mukmin.
Keempat, Taliban tidak mensakralkan solusi politik, juga tidak
mensakralkan solusi jihad. Ada kalanya solusinya politik, ada kalannya
solusinya jihad bersenjata. Ketika Amerika memaksa perang, dilayani dengan
jantan oleh Taliban. Apa yang mereka tunjukkan saat ini dengan melakukan
kunjungan ke China, menggambarkan Taliban dewasa. Bagi Taliban, diplomasi
politik dan jihad bersenjata adalah dua instrumen yang bisa digunakan sesuai
kebutuhan.
Kelima, Taliban ingin menjayakan Islam dan umat Islam, bukan
menjayakan bangsa Afghan. Meski Taliban duduk mewakili bangsa Afghan, tapi yang
menjadi panglima tetap ilmu syariat dan panji keislaman, bukan nasionalisme nan
jahiliyah. Bagi Taliban, persatuan Afghan diadopsi seperlunya untuk menjayakan
Islam dan umat Islam, bukan kebalikannya Islam diadopsi seperlunya demi
kejayaan bangsa Afghan.
Poin-poin ini sangat berguna
untuk membantu memahami diplomasi yang dilakukan Taliban dalam kancah global.
Seperti yang mereka lakukan saat ini, bernegosiasi dengan Iran, Rusia, China
dan negara-negara lain. Sebelum itu, delegasi Taliban juga sudah mengunjungi
Jakarta, tahun 2019 lalu.
Rekam Jejak Sebagai Basic
Penilaian
Islam punya konsep niat,
yaitu motif dan tujuan yang dicanangkan di awal kegiatan. Ibadah akan dinilai
oleh Allah sesuai niatnya. Perjalanan seseorang juga sangat terkait dengan niat
awal sebelum melangkahkan kakinya. Awal dari sesuatu akan menentukan proses
susudahnya dan perjalanan yang ditempuhnya hingga tujuan. Niat (titik awal),
tengah perjalanan dan tujuannya memiliki korelasi kauniyah ajaib yang kerap tak
disadari. Ketiganya saling mempengaruhi.
Misalnya, jika di tengah perjalanan
terjadi pembelokan dari niat awal, sebuah perjalanan biasanya akan bubar tidak
sampai tujuan. Tapi jika terjadi pembelokan dari niat awal, lalu ada upaya
untuk mengoreksi dan mengembalikan ke niat awal, perjalanan akan berlanjut dan
berumur panjang hingga mencapai tujuan. Inilah sunnah
kauniyah yang perlu dipahami terutama oleh para aktifis.
Korelasi ini bisa dijadikan
salah satu alat untuk membaca alur perjalanan seseorang atau kelompok. Taliban
misalnya, pemahaman kita terhadap perjalanan Taliban saat ini bisa disimpulkan
melalui bagaimana Taliban dahulu didirikan. Apa prinsip dan ideologi yang
dijadikan haluan. Sepanjang tidak terdengar intrik pembelokan, berarti Taliban
sekarang bisa disimpulkan sama dengan Taliban saat awal didirikan.
Teori kauniyah ini penting
untuk menepis rumor dan kampanye gelap yang
dilemparkan musuh kepada Taliban. Misalnya Taliban dinarasikan menerima syarat
yang diajukan China untuk membasmi kelompok perlawanan Uighur sebagai harga
dukungan China terhadap Taliban. Narasi ini janggal, sebab Uighur berada di
wilayah China, bagaimana cara Taliban membasminya? Selain itu, jika kelompok
perlawanan itu berbasis Islam (baca: jihad), track record dan niat awal Taliban
yang meniti jalan dakwah dan jihad tidak mungkin menerima klausul seperti itu.
Kecuali jika Taliban telah mengalami pembelokan serius dari khittah awal
pendiriannya.
Teori ini ada pembandingnya
dalam Al-Qur’an. Yaitu saat Aisyah ra dituduh berzina hanya dengan bukti sumir
ia naik onta dan ontanya dituntun oleh seorang Sahabat. Narasi bahwa Aisyah ra
selingkuh buktinya lemah (meragukan) karenanya harus dibatalkan oleh fakta
bahwa Aisyah ra sejak kecil menjaga kesucian, lahir dari keluarga baik-baik dan
berstatus istri Nabi saw serta tidak pernah terdengar isu miring sebelumnya
yang menimpa Aisyah ra. Karena itu, track record ini meyakinkan, tidak bisa
dibatalkan oleh tuduhan yang meragukan alias masih asumsi.
Taliban didirikan
dengan niat menegakkan hukum Allah di tengah umat. Niat awal ini akan terus mengawal perjalanan
Taliban. Kecuali jika Taliban mengumumkan secara resmi bahwa mereka sudah
berubah haluan menjadi partai politik yang sekedar mencari kekuasaan. Selama
para tokoh Taliban masih konsisten dengan niat awal, apapun sepak terjang
mereka dalam diplomasi politik perlu dipahami dalam bingkai niat awal tersebut.
Sebab niat awal adalah tonggak kokoh, hanya bisa diabaikan jika muncul tonggak
baru yang mengganti tonggak lama.
Taliban juga sudah kenyang
ditarbiyah selama 20 tahun dalam perang panjang melawan kekuatan terbesar
dunia. Semua senjata paling canggih dikerahkan, tapi tak mempan juga untuk
mencerabut Taliban dari bumi Afghan. Alih-alih tercerabut, Taliban justru
mengakar lebih kuat. Tarbiyah ketegaran dan kesabaran panjang ini juga layak
dijadikan barometer dalam melihat Taliban.
Dalam konflik panjang dan
berdarah ini mereka ditarbiyah dengan izzah Islam. Nyawa mereka dikorbankan
demi Islam. Harta mereka dibelanjakan demi Islam. Tenaga dan keringat mereka
dikeluarkan demi Islam. Karenanya, Islam pasti mengakar begitu kuat di sanubari
mereka. Tak akan mudah digeser oleh nasionalisme Afghan yang sempit.
Tarbiyah yang dialami Taliban
terbilang komplit. Taliban berawal dari kelompok kecil, meluaskan kekuasaan
dengan ilmu dan peradilan Islam. Ini adalah tarbiyah dalam dakwah. Taliban pernah
merebut kekuasaan dan mengelola negara sebelum dihajar Amerika.Ini adalah
tarbiyah kekuasaan. Taliban pernah kehilangan kekuasaan itu, kembali bergerilya
di hutan dan gunung selama 20 tahun. Kini peluang merebut kembali kekuasaan itu
terbuka menyusul hengkangnya Amerika. Ini adalah tarbiyah bagaimana bangkit
dari kekalahan dan tarbiyah jihad yang pahit.
Dalam seluruh babak tersebut,
Taliban konsisten dibimbing ilmu. Jihadnya dipandu ilmu. Peradilan syariatnya
dipandu ilmu. Dakwahnya dipandu ilmu. Dan kini diplomasinya juga dipandu ilmu.
Tentu sebagai manusia biasa, di sana-sini terdapat kekurangan itu normal. Tapi
secara global, insyaallah baik. Hingga saat ini kita masih melihat Islam
menjadi warna dominan dalam sepak terjang Taliban.
Niat awal dan tarbiyah
panjang
puluhan tahun dengan
menjunjung tinggi Islam dan umat Islam, dengan kawalan ilmu syar’iy yang kuat,
agaknya bisa dijadikan jaminan bahwa Taliban sampai saat ini masih berjalan di
haluan yang sama dengan apa yang dicanangkan sang pendiri – Mullah Umar. Jika
ada tuduhan miring yang dialamatkan kepada Taliban, terpatahkan dengan
sendirinya oleh konsistensi mereka dalam menempuh jalan jihad yang amat terjal
selama dua dekade lebih, panduan ilmu sepanjang perjalanan mereka dan tonggak
niat yang dicanangkan pendirinya. Karenanya, tak sepatutnya kita di sini yang
statusnya hanya penonton berburuk sangka kepada Taliban, hanya karena melakukan
sejumlah agenda diplomasi dengan China.
Diplomasi dan Kekuasaan
Bicara tentang kekuasaan pada
level negara, tak bisa dipisahkan dari diplomasi dan negosiasi politik.
Apalagai dalam tahap awal mendirikan. Ibarat bayi yang masih merangkak, perlu
sokongan negara lain untuk bisa berdiri dan berjalan.
Nabi Muhammad saw memberi
contoh bagaimana mempraktekkan diplomasi dalam kerangka mendirikan negara.
Tentu saja berdiplomasi dengan musuh Islam. Baik diplomasi yang berakhir dengan
kesepakatan tertulis (surat perjanjian) maupun tidak.
Nabi saw setelah tiba di
Madinah, segera mengunci pergerakan Yahudi dengan sebuah perjanjian. Orang
biasa menyebutnya Piagam Madinah. Isinya,
klausul bahwa antara umat Islam penduduk Madinah dengan Yahudi penduduk Madinah
terikat dalam satu kesatuan. Jika ada musuh dari
luar Madinah, menyerang kota Madinah, siapapun yang diserang baik muslim maupun
Yahudi, seluruh warga Madinah harus bersatu melawan.
Klausul perjanjian ini
dilakukan Nabi saw untuk meredam potensi Yahudi menjadi
ancaman bagi masyarakat muslim yang baru tumbuh di Madinah. Pada saat yang sama
Nabi saw fokus menghadapi musuh utama, yaitu kekuatan
Quraisy sebagai kelanjutan perseteruan semasa di Makkah. Jika Nabi saw
menjadikan Yahudi dan Quraisy sebagai dua musuh
sekaligus dalam waktu yang sama, tentu Nabi saw akan kewalahan. Satu
petarung meski hebat akan sangat sulit mengalahkan dua lawan sekaligus, apalagi
ketika masih lemah dan merangkak. Karenanya, Nabi saw menyicilnya satu per
satu, tidak semuanya dijadikan musuh sekaligus.
Nabi saw fokus menghadapi musuh jauh di Makkah dengan senjata, sambil
meredam musuh dekat dengan diplomasi dan perjanjian. Ketika Quraisy berhasil
dijinakkan dengan senjata, barulah urusan Yahudi dibereskan, itupun karena
dipicu pengkhianatan Yahudi sendiri yang bersekongkol dengan kaum kafir. Pada
fase yang lain, Nabi saw menghadapi Quraisy dengan perjanjian,
yaitu Hudaibiyah. Dalam perjanjian ini Nabi saw membelenggu Quraisy
sambil fokus menyebarkan dakwah ke berbagai penjuru.
Dengan demikian perang atau perjanjian hanyalah sarana untuk meraih
kemenangan. Perang dan perjanjian sama-sama instrumen politik. Kepala negara
bisa menggunakan keduanya sesuai kebutuhan situasi, demi kemaslahatan
negaranya. Dalam konteks politik Islam, demi kemaslahatan Islam dan umat Islam.
Karena itu, diplomasi yang
dilakukan Taliban dengan Rusia, China dan Iran hanyalah cara yang dipilih
Taliban untuk meredam musuh eksternal atau musuh jauh. Pada saat yang sama,
Taliban fokus menyelesaikan musuh dalam negeri atau musuh dekat, yaitu
pemerintah boneka yang disokong penjajah. Jika kita bandingkan, cara yang
ditempuh Taliban ini sama persis dengan cara Nabi saw pada fase awal membangun
negara di Madinah. Perbedaannya, Nabi saw fokus pada musuh jauh yakni Quraisy
Makkah, sambil meredam musuh dekat yakni Yahudi. Sementara Taliban
kebalikannya, meredam musuh jauh, sambil fokus menghadapi musuh dekat.
Taliban melakukan
diplomasi demi mengamankan agenda mendirikan negara Islam di Afghan tanpa direcoki
pihak eksternal. Sementara banyak aktivis Islam di Indonesia berharap Taliban
melalukan sesuatu yang sesuai perasaan hatinya yang sedang sensi dengan China,
apalagi China juga melakukan kejahatan kepada muslim Uighur. Taliban melakukan
sesuatu dengan alasan internal mereka sendiri, sementara penonton menilai
Taliban dengan perasaan hatinya sendiri. Jelas tidak nyambung.
Momentum Taliban
Harus diakui, negara terkuat
saat ini masih Amerika. Meski muncul kekuatan
penantang yang potensial, China. Kemunculan
China menjadi berkah tersendiri bagi Taliban.
Amerika saat ini sudah
menemukan musuh potensial yang akan dijadikan sebagai common enemy bagi
rakyatnya. Siapa lagi kalau bukan China. Secara ekonomi China sudah sangat
kuat, hampir mengalahkan kekuatan ekonomi Amerika. Secara militer, China
agresif meluaskan basis kekuatan. Secara politik, China juga pelan tapi pasti
menginvasi negara-negara lemah, misalnya negara-negara Afrika. Apalagi didukung
jumlah penduduk yang sangat besar, wilayah yang luas dan kepemimpinan yang
solid.
Amerika lalu mengalihkan
permusuhannya kepada China, yang sebelumnya kepada Islam. Jika laut China selatan
dijadikan barometer, kehadiran kapal perang dan kapal induk Amerika dan
negara-negara sekutu di sana akhir-akhir ini jelas mengindikasikan China telah
resmi didapuk sebagai musuh bersama.
Sudah agak lama Al-Qaeda
tidak lagi mengisi berita utama di surat kabar dunia. Tidak lagi terdengar
pengeboman atau serangan mematikan terhadap Barat yang dipamerkan Al-Qaeda.
Bisa jadi ini sebuah strategi yang sengaja dipilih Al-Qaeda. Bisa juga indikasi
melemahnya jaringan Al-Qaeda. Berita tentang konflik Suriah juga mereda, meski
perang masih terus berlanjut. Kondisi ini turut mendorong Amerika tidak lagi fokus pada gerakan jihad global. Tapi
lebih fokus menghadapi China dan sekutunya.
Panggung utama pertunjukan
dunia diisi konflik Amerika vs China, bukan lagi
AS vs Al-Qaeda. Taliban mendapat berkah dari situasi ini. Amerika merasa tidak
perlu lagi untuk mengeluarkan biaya dan tenaga besar untuk menjinakkan jihadis,
toh musuhnya kini bergeser menjadi China. Karena itu, AS tak ragu untuk
meninggalkan Afghanistan.
Apalagi jika ditilik secara
geografis. Afghanistan berbatasan langsung dengan China dan Iran. Juga tak jauh
dari Rusia. China adalah sahabat tradisional Rusia,
sejak awal kemunculan Komunisme. Demikian pula Iran, cenderung merapat ke China
dan Rusia dibanding ke AS. Jika AS mengeluarkan biaya besar untuk meredam
Afghan, yang mendapat keuntungan langsung adalah tiga negara tersebut. Mereka
aman dari potensi gangguan dari jihadis di Afghanistan, sementara biaya
meredamnya yang menanggung AS. Padahal tiga negara tersebut berstatus musuh
utama AS saat ini.
Tiga negara fokus menghadapi
AS dan sekutu, sementara AS sibuk menghadapi tiga negara tersebut. Taliban?
Seperti terlupakan. Inilah situasi dan kondisi secara kauniyah yang
menguntungkan Taliban. Mirip sekali dengan situasi dan kondisi jazirah Arab
pada zaman Nabi saw di tengah konflik keras antara Romawi
vs Persia. Jazirah Arab seperti terlupakan. Sampai kemudian Islam hadir
di jazirah Arab, tumbuh di lingkungan yang relatif bersih dari intervensi
kekuatan super pada zamannya, lalu menaklukkan musuh-musuh lokal, barulah
kemudian Romawi dan Persia terkejut karena kekuatan Islam tiba-tiba sudah
demikian kuat dan tak lama kemudian berhasil menyapu dua imperium tersebut.
Inilah bedanya Islam dengan
agama Nasrani. Islam tumbuh di tempat yang netral dari
intrik politik negara kuat, sementara Nasrani lahir dan tumbuh di tengah
hegemoni Romawi. Palestina adalah salah satu
wilayah penting yang dikuasai Romawi, meski bukan ibu kotanya. Karena itu,
Nasrani mendapat intervensi kuat dari politik Romawi. Ditambah persekongkolan
Yahudi dengan para politisi Romawi. Sementara Makkah, hanya mendapat intervensi
dari kekuatan lokal yang relatif kecil pada awal pertumbuhannya, yaitu kabilah
Quraisy.
Taliban saat ini seperti
mendapat momentum yang sama. Dua kekuatan utama dunia saling bersaing, Taliban
terabaikan, karenanya bisa fokus konsolidasi internal dalam bentuk yang paling
jernih. Inilah momentum Taliban untuk menguasai Afghanistan secara penuh dan
menegakkan hukum Allah dengan jernih tanpa intervensi dari luar. AS juga tidak
keberatan mengakui legalitas kekuasaan Taliban kelak, sebab Taliban dianggap
bukan lagi ancaman terdekat bagi AS. Kalaupun dianggap ancaman, masih sangat
jauh bagi AS, dan yang lebih layak khawatir justru China,
Iran dan Rusia karena secara geografis lebih dekat.
Kemenangan Politik Taliban
Melihat momentum ini, Taliban
buru-buru melakukan diplomasi ke tiga negara ini. Taliban mengirim delegasi
untuk menemui mereka, di wilayah mereka.
Ibaratnya, Taliban mencuri
start, dibanding pemerintahan boneka. Delegasi Taliban diterima. Penerimaan ini
saja merupakan keuntungan politik. Sama artinya tiga
negara tersebut mengakui eksistensi Taliban, bahkan eksistensinya
sebagai perwakilan negara Afghanistan.
Sebelumnya, Taliban (dan juga
Al-Qaeda) tidak diakui eksistensinya oleh kekuatan politik manapun pasca
digulingkan AS tahun 2001. AS dengan jumawa juga bersumpah tidak mau
bernegosiasi dengan Taliban (juga Al-Qaeda). Ketika kini delegasi Taliban
diterima Rusia, China dan Iran, secara tidak langsung merupakan bentuk
pengakuan diplomatik akan aksistensinya. Dan itu hanya kelanjutan dari
pengakuan AS yang sebelumnya sudah duduk bernegosiasi
dengan wakil Taliban di Qatar sejak 2019 lalu.
Sama dengan perjanjian Hudaibiyah, yang menuliskan nama Muhammad
bin Abdullah (kaum Quraisy masih jumawa untuk mengakui Muhammad Rasulullah)
sebagai pemimpin entitas politik baru, yang menandakan sebuah pengakuan
diplomatik dari musuh. Pengakuan ini disebut oleh Al-Qur’an dengan fathan
mubina (kemenangan besar).
Secara tidak langsung, Rusia,
China dan Iran mengakui bahwa Taliban adalah masa depan Afghanistan. Karenanya
mereka membicarakan masa depan Afghan dengan Taliban, bukan dengan pemerintah
boneka. Sebab mereka tahu, pemerintah boneka kekuatannya tergantung induk
semang. Ketika sang induk semang pergi, pemerintah boneka tak lebih sebagai
buih yang dengan mudah disingkirkan Taliban. Cepat atau lambat. Hanya soal
waktu.
Sunnah Kauniyah Abadi
Pembicaraan Rusia, China dan
Iran dengan Taliban menjadi bukti konkrit akan sebuah sunnatullah yang berlaku
abadi. Bahwa kekuatan militer menentukan bobot diplomasi. Meski pemerintah
boneka dipoles dengan bedak setebal apapun, tak akan membuat harga dirinya
naik, sebab secara militer lemah. Sebaliknya Taliban, direndahkan seperti
apapun akan tetap tinggi harganya secara diplomasi sebab punya basis kekuatan
militer yang solid. Amerika saja dibuat mati kutu selama 20 tahun.
Karena itu, tiga negara
tersebut dalam melakukan pembicaraan tentang masa depan Afghanistan, duduknya bersama
delegasi Taliban. Bagi mereka Taliban merupakan representasi kekuatan riil yang
menjadi penentu masa depan Afghan. Sudah waktunya untuk mengakui eksistensi
politik Taliban, meski menyakitkan.
Kaum Quraisy juga awalnya
tidak mau mengakui eksistensi politik umat Islam yang dipimpin Rasulullah saw.
Tapi dengan makin kuatnya militer Rasulullah saw, mau tidak mau kaum Quraisy
duduk berunding dengan Rasulullah saw.
Sunnah kauniyah ini yang bisa menjelaskan
mengapa Al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar mempersiapkan kekuatan militer
dalam menghadapi kaum kafir. Seperti dalam Al-Anfal ayat 60. Tidak cukup hanya
kekuatan narasi (dakwah) dan kekuatan ekonomi. Al-Qur’an mewakili sunnah
syar’iyyah karenanya pasti selaras dengan sunnah kauniyah yang sama-sama berasal
dari Allah SWT.
Semua negara dengan penduduk
mayoritas muslim saat ini baru punya kekuatan sumber daya alam, jumlah penduduk
besar, dan sebagian punya kemampuan inovasi teknologi. Keunggulan ini amat
kecil harganya secara diplomatik. Dalam bernegosiasi dengan negara-negara kafir
yang kuat, modal tersebut tidak tidak cukup berharga untuk bisa menegakkan
kepala. Negara-negara muslim cenderung didikte.
Taliban menjadi masa depan
yang unik. Mereka punya keunggulan militer, dan warna Islamnya kental, tidak
membawa aroma nasionalisme yang biasanya dijadikan celah musuh untuk
melemahkan. Duduknya mereka dalam diplomasi mewakili sebuah harga yang mahal,
tidak bisa didikte, sebab tangan mereka menggenggam kekuatan militer yang
menakutkan. Kepala mereka tegak. Karena itu, kehadiran mereka ke China, Rusia
dan Iran, tak sepatutnya dituduh sebagai kolusi dan
pengkhianatan perjuangan. Tapi yang benar, mereka hadir ke sana sebagai
ksatria yang gagah, bukan sebagai pengemis yang hina.
Taliban ingin fokus menyelesaikan musuh dalam negeri, karenanya
tidak mau diganggu oleh musuh luar negeri. Maka Taliban mencoba meyakinkan,
bahwa tanah Afghanistan tak akan dijadikan basis serangan kepada negara-negara
tersebut. Tapi juga sebaliknya, Taliban minta jaminan bahwa negara-negara
tersebut tak melakukan intervensi persoalan dalam negeri Afghanistan. Dengan
cara ini, Taliban bisa perang habis-habisan melawan pemerintah boneka, tanpa
khawatir ada intervensi dan bantuan apapun dari negara luar kepada pemerintah
boneka. Cerdik !
Taliban seolah memotong
aliran darah pemerintah boneka. Uluran tangan dari luar diputus melalui
perjanjian tersebut. Pemerintah boneka baru saja ditinggal Amerika dan sekutu,
kini mereka ditinggal pula oleh Rusia, China dan Iran. Sementara negara-negara lemah
di sekitarnya bisa apa dalam membantu pemerintah boneka. Mereka mengurus diri
sendiri saja kesulitan, apalagi membantu negara lain.
Prinsip Aqidah vs Strategi
Politik
Banyak aktifis Islam – tidak
semuanya – yang tumbuh dan dibesarkan dengan doktrik aqidah. Mereka asing
dengan cara pandang fiqh dan muamalat. Dan politik bagian dari fiqh. Doktrin aqidah memang cenderung hitam putih, meski
tetap menyisakan khilafiyah dalam banyak masalah. Akibatnya, seolah mereka
terpenjara oleh pengalaman itu. Mereka hanya punya satu sudut pandang dalam
melihat segala persoalan yaitu perspektif aqidah.
Jika dilihat dengan
perspektif aqidah, piagam Madinah yang merangkul kaum Yahudi menjadi satu umat dengan warga
muslim Madinah bisa dianggap sebagai bentuk kolusi
aqidah. Perspektif aqidah akan melahirkan pertanyaan kritis: Bagaimana
mungkin Yahudi yang notabene musuh Islam dijadikan satu barisan bersama muslim?
Bukankah ini akan merusak wala muslim?
Bagi para Sahabat yang
menjadi saksi peristiwa dan mengetahui secara langsung situasi dan kondisi yang
melingkupinya, bisa memahami kebijakan Nabi saw tersebut. Apalagi saat itu
belum tampak kejahatan Yahudi kepada umat Islam, karena interaksi dengan Yahudi
baru dimulai.
Kebijakan Nabi saw tersebut
tidak sepatutnya dilihat dengan kaca mata aqidah. Tapi dengan perspektif
strategi politik. Nabi saw ingin fokus menghadapi musuh
jauh, maka musuh dekat diredam dulu. Selain itu untuk mengurangi
kecurigaan Yahudi bahwa kehadiran Islam akan membuat Yahudi tersingkir dari
Madinah. Kesan bersahabat ini sangat penting untuk meluluhkan hati mereka agar
menerima Islam.
Demikian pula perjanjian Hudaibiyah. Secara aqidah, tidak sepatutnya
Nabi saw terikat perjanjian dengan kaum musyrik. Bukankah
hubungan muslim dengan musyrik itu permusuhan, lalu mengapa diikat perjanjian
yang berkonsekwensi saling menghormati sesuai isi klausul perjanjian? Bukankah
mengkhianati prinsip aqidah?
Dalam masalah pernikahan,
mengapa muslim dibolehkan oleh Al-Qur’an untuk menikahi wanita ahli kitab?
Bukankah mereka musyrik? Hubungan muslim dengan musyrik bukankah permusuhan,
jika diikat pernikahan bukankah akan menjadi saling mencintai? Banyak aspek
syariat akan terasa janggal jika dilihat dengan satu sudut pandang – aqidah
saja.
Kelanjutan dari cara pandang
aqidah (atau aqidah centris) ini membuat banyak aktivis Islam menilai diplomasi
yang dilakukan Taliban sebagai bentuk penyimpangan atau bahkan pengkhianatan.
Apalagi di dalam negeri (Indonesia) sedang sensi dengan China selain bahwa
China juga banyak melakukan kezaliman terhadap muslim Uighur. Maka diplomasi
Taliban dengan China dianggap sebagai pengkhianatan.
Karena itu, penting bagi para
aktivis Islam untuk melepaskan cara pandang aqidah
centris. Ada kasus yang harus dibedah dengan perspektif Aqidah, ada yang
cocoknya dibedah dengan perspektif fiqh, ada
yang dibedah dengan perspektif muamalat, ada
yang dibedah dengan perspektif taktik strategi politik dan
ada yang dibedah dengan sudut pandang dakwah.
Maka bedahlah kasus per kasus sesuai perspektif yang relevan, jangan melihat
seluruh kasus dengan kaca mata tunggal – Aqidah.
Sebaliknya, cara pandang fiqh
centris juga keliru. Seluruh kasus dilihat dengan perspektif tunggal – fiqh.
Sebagaimana akan keliru jika melihat setiap kasus dengan perspektif konspirasi
centris. Bijaksana adalah saat kita melihat kasus per kasus sesuai perspektif
yang relevan, sebagaimana Nabi kita mencontohkan.
والله أعلم بالصواب
(arrahmah)
Tweetshare to whatsapp
&&&&&
TALIBAN RASUL
Oleh : Dahlan Iskan
"Setahu saya, Taliban
itu ya seperti ISIS."
Itulah jawaban yang dikirim
ke WA saya. Pengirimnya seseorang yang sering mengatakan ''Pancasila adalah
kita''.
Saya memang bertanya padanya:
"apa yang Anda ketahui tentang Taliban?" Jawabnya, ya itu tadi,
seperti kalimat pertama itu: Taliban sama dengan ISIS.
Saya perlu bertanya karena
dia baru saja kirim WA ke saya. "Waduh GAWAT!!!" tulisnya.
Yang dia anggap gawat adalah
Taliban kini kembali menguasai Afghanistan. Tapi yang dia anggap gawat juga
ini: salinan komentar Mantan Wapres Jusuf Kalla:
"Afghanistan akan lebih baik di tangan Taliban."
Dia menganggap komentar
seperti itu sangat berbahaya. Kok ada tokoh Indonesia begitu pro-Taliban.
Gara-gara komentar itu Jusuf
Kalla pun dia beri gelar ''juru bicara Taliban untuk
Asia Tenggara''.
Rupanya, selama ini, ia benci
Taliban sekaligus benci Jusuf Kalla.
Saya cermati lagi WA yang
dikirim ke saya itu. Oh... ternyata itu bukan WA asli buatannya sendiri. Itu WA
yang dia terima dari orang lain. Lalu di-forward ke saya.
Berarti bunyi WA seperti itu
sudah beredar luas. Taliban itu ISIS. Dan JK itu pro-Taliban.
Rasanya memang sangat banyak
yang punya kesan seperti itu.
Bayangan umum
tentang Taliban adalah kekejamannya. Termasuk kekejaman kepada wanita. Luar biasa kejam. Bengis.
Brutal. Beberapa film Hollywood juga mengambil tema kekejaman itu.
Saya sudah membaca beberapa
novel dengan latar belakang Afghanistan. Yang ditulis novelis
Afghanistan yang sudah jadi warga negara Amerika.
Isi novelnya juga seperti
itu: zaman pemerintahan Taliban adalah zaman kegelapan Afghanistan. Kejam,
bengis, brutal menjadi satu.
Maka ketika hari Minggu
kemarin Taliban berhasil menduduki ibu kota Afghanistan, Kabul, bayangan lama
itu muncul kembali. Afghanistan akan kembali menjadi negara horor.
Tanda-tanda bahwa Taliban
akan kembali menguasai Afghanistan sebenarnya sudah terlihat sebulan lalu.
Satu-per satu kota-kota di Afghanistan bagian utara dikuasai Taliban.
Amerika Serikat pun
tahu persis:
Taliban akan kembali berkuasa. Mungkin dalam waktu sebulan ke depan. Amerika
kelihatannya tidak peduli lagi. Amerika tetap memutuskan menarik semua pasukan dari Afghanistan.
Ternyata perkiraan ''satu
bulan'' itu salah. Tidak sampai dua minggu seluruh
Afghanistan sudah jatuh ke tangan Taliban. Pun ketika masih
ada 6.000 tentara Amerika yang lagi menunggu jadwal ditarik pulang.
Sejak dua minggu lalu Amerika
juga sudah ''mencicil'' menerbangkan orang-orang sipil Afghanistan ke Amerika.
Yakni mereka yang memenuhi syarat mendapatkan visa. Sudah 2.000 orang
Afghanistan yang mendapat visa Amerika.
Maka hari Minggu kemarin
adalah hari tergopoh-gopoh nasional di sana. Tentara Amerika, para diplomat,
orang-orang yang sudah mengajukan visa. Semua berbondong ke bandara. Bayangan
umum: akan terjadi apa yang pernah terjadi di Saigon
tahun 1975. Mereka akan diangkut dengan pesawat meninggalkan Afghanistan
dalam keadaan panik.
Di tahun 1975 itu, ketika
Vietnam Selatan yang didukung Amerika kalah perang, mereka berbondong ke
bandara. Diangkut terbang ke Bangkok –untuk selanjutnya jadi imigran di
Amerika. Penguasa baru, komunis dari Vietnam Utara, membiarkan mereka
meninggalkan Saigon.
Yang terjadi di Kabul tidak
sama. Amerika, yang sudah 20 tahun ''menduduki''
Afghanistan, memang kalah. Tapi oleh keputusan Amerika sendiri. Untuk
menarik diri dari negara itu.
Keputusan Amerika itu dibuat
oleh Presiden Donald Trump, dua tahun lalu. Joe
Biden, pengganti Trump, mempercepatnya. Kini Trump berkoar agar Biden
mengundurkan diri: membuat Amerika malu. Langkah Biden dianggap menjadi
penyebab Taliban kembali berkuasa. Dan itu akan membuat maraknya kembali
terorisme internasional.
Yang juga ikut terbirit-birit
adalah Presiden Afghanistan hasil Pemilu yang lalu: Ashraf
Gani. Ia meninggalkan istana menuju bandara. Lalu terbang ke arah utara:
Tajikistan. Gani ingin mengungsi di negara tetangga itu. Tapi Tajikistan menolak.
Pesawat Gani tidak jadi
mendarat di Tajikistan. Pesawat itu belok ke arah barat daya. Menuju Oman. Dari sini Gani akan meneruskan perjalanan ke
Amerika.
Amerikalah yang
dulu menciptakan Taliban -
untuk melawan Rusia yang waktu itu masih bernama Uni Soviet.
Setelah Taliban berkuasa di
Afghanistan, jadilah negara itu sarang terorisme internasional.
Amerika pun memusuhi Taliban.
Menggulingkan pemerintahannya. Yakni setelah terjadi serangan
dua pesawat ke menara kembar New York, 9 September 2010. Yang menewaskan
lebih 3.000 orang.
Setelah menguasai
Afghanistan, Amerika membangun demokrasi di sana. Mengizinkan banyak partai berdiri. Untuk ikut pemilu.
Tapi tidak pernah ada partai
yang berhasil menang. Pemerintahan Afghanistan selalu dibentuk berdasar hasil
kompromi yang tidak kukuh.
Politik tidak pernah stabil.
Hasil pembangunan juga tidak segera terlihat. Rakyat frustrasi. Mereka juga
merasa terhina. Mirip negara jajahan. Rakyat Afghanistan adalah orang yang
harga dirinya amat tinggi.
Dari sinilah Taliban kembali
mendapat simpati. Terutama ketika muncul pemimpin baru yang berbeda.
Di dalam Taliban sendiri
memang terpecah-belah. Terlalu banyak faksi. Salah
satunya yang dipimpin Mullah Muhamad Rasul.
Rasul inilah yang membawa
Taliban berwajah baru. Rasul berumur 56 tahun. Ia dari daerah selatan, dekat
perbatasan Pakistan.
Rasul berasal dari suku
Pastun, suku terbesar di Afghanistan. Ia berpikiran moderat. Ia Islam mazhab Sunni.
Taliban versi Rasul ini
membawa ideologi Islam-nasional-Afghanistan.
Rasul melarang orang asing
menjadi pejuang di Taliban. Tidak seperti Taliban lama,
yang begitu banyak dipegang orang asing. Bahkan pemimpin Taliban dari sayap
Al-Qaeda adalah Osama Bin Laden, orang Saudi.
Di tangan Rasul, Al-Qaeda tidak akan boleh beroperasi di Afghanistan. Demikian
juga ISIS, dilarang.
Hizbut Tahrir pernah menawarkan sistem
kekhalifahan untuk Afghanistan. Rasul menolak.
ISIS juga menawarkan sistem
pemerintahan Islamnya untuk Afghanistan. Rasul juga menolak.
Jelaslah bahwa Taliban di
bawah Rasul sangat berbeda dengan yang kita kenal di masa lalu.
Taliban yang sekarang ini
lebih tepat disebut sebagai nasionalisme Islam Afghanistan. Mereka lebih
mencintai Afghanistan dari pada demokrasi Amerika. Mereka lebih mencintai
Afghanistan dari pada Islam dari mana pun.
Mayoritas Islam di
Afghanistan menganut aliran Deobandi. Aliran ini
lahir di kota Deobandi, dekat Mumbai, India. Di zaman dinasti Moghul tahun
1800-an.
Sampai sekarang sekitar 15
persen Islam di India dan Pakistan dari aliran Deobandi. Aliran ini lebih
berpegang pada Quran dan Hadis sesuai dengan teksnya. Agak
mirip Wahabi. Karena itu Wahabi pernah mewarnai Islam di Afghanistan.
Bahwa Taliban era Rasul ini
berbeda, sudah mereka buktikan selama dua minggu terakhir. Perebutan kota-kota
di utara itu misalnya, tanpa diwarnai pertumpahan darah.
Bahkan ketika mereka merebut ibu kota Kabul, tidak satu pun yang kena tembak.
Media di negara tetangga
melaporkan memang terjadi beberapa kasus penjarahan, tapi hanya minor.
Sikap Presiden Gani sendiri mendukung peralihan yang damai itu. Di satu
pihak, Gani memang dianggap pengecut. Tapi Gani sendiri berdalih, ia
meninggalkan negeri itu agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Para pejuang Taliban itu
masuk Kabul memang bersenjata. Ketika mereka memasuki Istana juga dengan
senjata lengkap. Tapi mereka hanya mengagumi kehebatan fasilitas di istana itu.
Mereka pun mencoba seluruh
sofa yang ada di Istana. Duduk-duduk di situ. Dengan gaya duduk pejuang
–sejenak mereka, tanpa aturan protokol Istana.
Sebagian lagi pergi ke gym
milik Istana. Para pejuang itu terlihat mencoba alat-alat olahraga di gym itu.
Sambil tetap mencangklong senjata.
Mereka menduduki Istana
dengan damai. Mereka menjadi penguasa baru. Mereka berjanji akan membentuk pemerintahan inklusi –melibatkan kelompok lain. Mereka
juga berjanji menghormati wanita. Mereka ingin
Afghanistan maju di tangan bangsa sendiri.
Tiongkok kelihatannya sudah
siap untuk digandeng. Keduanya memang berbatasan di salah satu sudut sempit
pegunungan mereka.
Amerika sudah tahu semua itu.
Tiongkok juga sudah tahu
semua itu.
(Dahlan Iskan)