Sabtu, 21 Agustus 2021

Kesalehan Sosial (Jum)

Adalah suatu keniscayaan (qadarullah) bahwa dalam kehidupan ini, di setiap daerah dan setiap massa selalu ada orang yang mendapatkan kemurahan dan kesulitan rejeki, kelapangan dan kesempitan waktu, keluasan dan kedangkalan ilmu, serta kenikmatan sehat dan ujian sakit. Itu semua adalah ujian kehidupan dari Allah Swt. Ada yang diberi ujian kenikmatan ada pula yang diberi ujian musibah.

Dengan kondisi seperti itu maka Allah memerintahkan hamba-hambanya untuk selalu hidup saling tolong menolong. Yang sedang mendapatkan kemudahan berkewajiban menolong mereka yang sedang mengalami kesulitan.

Dalam situasi seperti ini maka kepedulian sosial menjadi hal yang penting. Bahkan bagi umat Islam (yang sedang diberi kenikmatan hidup) kepedulian sosial menjadi fardhu ain, kewajiban individual yang tinggi nilainya dalam ibadah muamalah. 

Kepedulian Sosial

Ada beberapa dalil berkaitan dengan kepedulian sosial, yaitu:

Rasulullah bersabda  مَنْ لا يَرحم لا يُرحم , Man laa yarham walaa yurham. Artinya, "Barangsiapa tidak menolong (sesama manusia), maka ia tidak ditolong (oleh Allah)" (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain dikatakan, Rasulullah bersabda,  لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ   “Laa yarhamullah man laa yarhamu naas(Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi manusia lainnya) – (HR. Bukhari al-Adab al-Mufrad, 1989, h.48)

Makna dari hadis tersebut adalah bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pertolongan (dari Allah), apabila dia apatis, tidak menolong sesama manusia (yang membutuhkan pertolongan). 

Dalam situasi yang lain, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. (HR At-Thabrani).

Ditegaskan oleh Rasulullah bahwa orang yang tidak peduli atas nasib tetangganya (yang kelaparan) maka ia tergolong sebagai orang yang tidak beriman.

Lantas bagaimana kalau ia tidak tahu tetangganya kelaparan? Ketidak tahuannya terhadap nasib tetangga yang kelaparan adalah sikap apatisme atau ketidak pedulian. Ini juga merupakan akhlak yang tidak terpuji.

Oleh karenanya Islam menganjurkan untuk menjalin silaturahim secara intens dengan sesama muslim, terutama dengan tetangga dekat untuk mengetahui keadaannya.

Pendusta Agama

Orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial, atau apatis terhadap situasi sosial di sekitarnya (terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan), bisa dikatakan sebagai pendusta agama.

Dalam al-Qur’an surah Al-Maun, Allah SWT berfirman; Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin # Fadzaalikalladzi yadu’  ’ulyatiim #  Walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin.  Artinya: ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”   

Pendusta agama adalah orang yang tidak punya kepedulian sosial terhadap penderitaan fakir miskin disekitarnya.

Pendusta agama, menurut Buya Hamka adalah orang yang mendustai pilar-pilar agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai hajinya, dan mendustai ibadah-badah mahdhah lainnya.

Bagi pendusta agama maka ibadah-ibadah ritual yang telah dilakukannya tidak mempunyai nilai di hadapan Allah Swt.

Hal itu dijelaskan pada surah al-Maun ayat berikutnya; Fa wailul lil mushallin # Al ladziina hum an salaatihim sahuun # Al ladzina hum yuraa una # Wa yamna’unal  maa’uun. Artinya: Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu (1) mereka yang lalai dari shalatnya, (2) mereka yang riya’, dan (3) mereka yang enggan memberi pertolongan.

Dua Dimensi Ibadah

Dalam hal ibadah, Islam membagi ibadah dalam dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Ibadah vertikal adalah ibadah yang berhubungan secara vertikal kepada Allah, seperti shalat, dzikir, iktikaf, baca qur’an dan sebagainya.

Sedangkan ibadah horizontal adalah ibadah yang berhubungan secara horizontal dengan sesama manusia, seperti sedekah, silaturahim, tolong menolong, peduli, empati, dan sebagainya.

Ibadah vertikal disebut juga dengan istilah ibadah ritual atau hablum minallah, sedangkan ibadah herizontal disebut juga dengan istilah ibadah sosial atau hablum minan naas.

Kedua dimensi ibadah itu (hablum minallah dan hablum minan naas) harus dilaksanakan secara pararel dan seimbang. Tidak bisa orang hanya baik dalam ibadah ritual saja, tetapi ibadah sosialnya tidak baik.

Allah Swt berfirman, Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa tsuqifuu # illaa  bi hablim minallahi  wa hablim minan naas  (QS. Ali Imran 112). Artinya, “Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan naas).”  

Ibadah sosial lebih didahulukan ketimbang ibadah ritual

Jika ada ibadah ritual yang waktunya berbarengan dengan ibadah sosial, maka mana yang diprioritaskan? Rasulullah mengajarkan dalam pelaksanaan ibadah ritual harus memperhatikan situasi sosial.

Suatu ketika Rasulullah mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi dan beliau mempercepat shalatnya. Usai shalat sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa shalat dipercepat dari yang biasanya?” Rasulullah menjawab, “Tadi saya mendengar ada anak kecil menangis. Tentu ibunya merasa gundah karena tangisan anaknya dan jamaah lainnya pun terganggu, maka saya percepat shalatnya”.

Selain itu, pernah juga suatu ketika Rasulullah terlambat melaksanakan shalat Ashar gara-gara mendamaikan dua suku yang bertengkar. Maka hal itu mengindikasikan bahwa Rasululllah mendahulukan kepentingan sosial ketimbang ibadah ritual.

Pada ilustrasi lain, seorang ustadz ditanya oleh santrinya, “Misal pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kita menghadapi dua pilihan yang dilematis, yaitu: Pertama, pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Kedua, menolong tetangga yang mengalami kecelakaan dan mengantarkannya ke RS. Mana yang ustadz pilih?

Sang ustadz menjawab, “Ya menolong tetangga yang kecelakaan”.  “Tapi ustadz kan berdosa tidak sholat jum’at?” kejar si penanya.

Sang ustadz menjawab, “Ah masak Gusti Allah ndeso gitu?

Kalau saya milih shalat jum’at dan membiarkan tetangga menderita berarti saya egois dan apatis. Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana tentu tidak suka sifat egois dan apatis.

Kesalehan Sosial

Orang yang taat dan tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang soleh. Selaras dengan dua dimensi ibadah, maka kesalehan juga ada dua, yaitu: kesalehan personal dan kesalehan sosial.

Orang yang tekun shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya,dan  puasanya dikatakan sebagai orang yang saleh secara personal. Sedangkan orang yang suka menolong, suka bersedekah, kepedulian sosial tinggi bisa dikatakan sebagai orang yang saleh secara sosial.

Kesalehan sosial mempunyai nilai yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya soleh secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara sosial (apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.

Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya.  Rasulullah berkata, ”Perempuan itu di neraka”.

Sahabat berkata lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib) dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti seorang pun.  Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h. 54-55)

Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan kesalehan sosial.

Nasehat Bagi Orang Saleh

Para ulama memberi nasehat; Janganlah seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi hendaklah ia juga peduli terhadap masalah sosial.

Bila seseorang hanya soleh secara personal tetapi tidak soleh secara sosial maka ia tidak akan mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah Swt.

Salah satu bentuk kesalihan sosial adalah sedekah. Mari kita keluarkan sedekah 2,5 persen dari rejeki yang kita terima dari Allah dan salurkan kepada mereka yang membutuhkan. Penyalurannya bisa secara langsung kepada fakir miskin, atau melalui Lembaga sosial atau Lembaga zakat serta masjid yang akan menyalurkan bantuan sosial secara amanah.

MNH adalah salah satu masjid yang mengelola infaq jamaah untuk disalurkan sebagai kegiatan dan bantuan sosial dengan laporan secara transparan.

Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Dan semoga amal soleh kita diridhoi oleh Allah Swt.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar