Mendadak
khilafah. Mengapa saya katakan mendadak ? Padahal upaya-upaya ini, setidaknya
di Indonesia , sudah ada sejak jaman pra-kemerdekaan ?
Sejak
kekhilafahan di Turki melalui kekaisaran Ottoman berakhir tahun 1924,
gerakan memperjuangkan khilafah tak pernah surut di Indonesia.
Sebelum
saya bercerita tentang hal ini, saya ingin sedikit menjelaskan apa itu
khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang wilayah
kekuasaannya tidak terbatas pada satu negara, melainkan banyak negara di dunia,
yang berada di bawah satu kepemimpinan dengan dasar hukumnya adalah syariat
Islam.
Jadi
bukan negara per negara,
tapi kumpulan negara yang dijadikan satu kekuasaan, dalam satu pemerintahan,
dengan satu kepemimpinan.
Hizbut
Tahrir Indonesia ( HTI)
Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), yang sejak lebih dari 20 tahun lalu memperjuangkan
khilafah di Indonesia, menyebut ada lebih dari 50 negara
yang bisa dijadikan satu kepemimpinan di bawah
bendera khilafah.
Hizbut
Tahrir sendiri adalah gerakan yang sejak tahun
1953 didirikan oleh Taqiuddin Al-Nabhani, seorang
akademisi di Mesir asal Palestina.
Hizbut Tahrir bercita-cita mendirikan negara dengan kepemimpinan Islam yang
membentang dari ufuk barat di Maroko, Afrika Utara
hingga ufuk timur Filipina Selatan.
Di
Indonesia pengikut gerakan ini diperkirakan mencapai 2 juta orang, sementara di
dunia tersebut belasan hingga puluhan juta.
Setidaknya
di Indonesia, survei SMRC pekan lalu menyebutkan, ada 9,2
persen lebih warga Indonesia yang menginginkan khilafah
berdiri.
Jumlah
9,2 persen dari jumlah pemilih di Indonesia, berarti sekitar 20 juta dari 185
juta pemilih, sebagai sampel penelitian Saiful Mujani Research & Consulting
(SMRC) di Indonesia setuju khilafah.
Memang
bukan angka yang sedikit. Meski tak sedikit pula yang mendukung pemerintah
untuk membubarkan HTI, yakni 78,4 persen. Artinya sekitar 140 juta lebih, warga
pemilih di Indonesia.
Mencuatnya
kembali isu khilafah
Lalu
mengapa ide khilafah ini kembali mencuat beberapa waktu belakangan? Kapolri,
Jenderal Tito Karnavian pernah menyebutkan di bulan November tahun lalu, ada
indikasi pemanfaatan momentum bangkitnya
pergerakan umat Islam yang dipicu kasus
penodaan agama pada musim Pilkada DKI lalu.
Kasusnya
telah diputus pengadilan dan dalam proses menunggu kekuatan hukum tetap, yang
menghukum mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok selama 2
tahun penjara.
Kelompok
HTI yang memang “gigih” memperjuangkan khilafah. Meski sudah ada sinyal
pembubaran oleh pemerintah HTI tetap melancarkan aksi unjuk rasa. Terakhir
mereka ambil bagian dalam Aksi Bela Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat
lalu, yang dikenal dengan Aksi 96.
Sepatu
dan ruangan yang menyita perhatian
Saya
berkesempatan secara eksklusif masuk ke dalam kantor
pusat HTI dan melihat satu persatu ruangan 5 lantai di kawasan
Tebet, Jakarta Selatan. Lihat Foto Juru Bicara Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, Senin (8/5/2017).(KOMPAS.com/KRISTIAN
ERDIANTO)
Saya
diterima oleh Juru Bicara HTI Ismail Yusanto. Saya masuki ruang demi ruang di
kantor dan saya mendapatkan sejumlah kesan.
Pertama,
kantor itu sangat rapi. Nyaris tak tampak debu, bahkan di setiap bingkai papan
yang ada di dinding.
Kesan
yang lain, saya terkesima dengan rapinya penataan sepatu. Ini saya lihat di
tempat penyimpanan sepatu sebelum menaiki lantai dua.
Belum
lagi toiletnya, tak tercium sedikitpun bau tak sedap, malah sebaliknya, wangi
dan selalu tersedia sandal bersih di dalam toilet.
Lalu
saya katakan ke Ismail, Juru Bicara HTI, “luar biasa rapinya!” Ismail pun
berseloroh, “jika menata sepatu saja rapi, bagaimana dengan menata negara!”
Saya
menimpali, “wah jadi benar nih, mau mendirikan negara?”
Ismail
tertawa.
Tibalah
saya masuk ke ruang kerja Ismail Yusanto. Di sana ada bendera putih bertuliskan
kalimat Tauhid.
“Jadi
inilah bendera HTI ?” saya bertanya.
“Bukan,
ini adalah bendera perjuangan, HTI dan Hizbut
Tahrir tidak memiliki bendera,” jelas Ismail.
Saya
pun melihat ke pojok ruangan. Jika sebelumnya saya melihat bendera berkalimat
Tauhid berwarna putih dengan tulisan hitam, kali ini terbalik, bendera hitam
dengan tulisan putih.
“Apa
perbedaan bendera putih dan hitam ini?” tanya saya.
“Jika
putih adalah bendera pergerakan,
maka bendera hitam adalah bendera perang,”
jawab Ismail.
Sedikit
tersenyum sambil terkejut, saya kembali bertanya, “jadi sekarang di Indonesia,
gunakan bendera yang mana?” Ismail tak menjawab. Ia hanya tertawa.
Jika
Khilafah berdiri, apakah Pancasila tetap ada?
Saya
kembali menelusuri ruangan demi ruangan di kantor DPP HTI Jakarta. Sampailah
saya pada lantai 4 di bagian kantor ini.
Cukup
terkejut saya. HTI memiliki ruangan studio layaknya ruangan studio televisi
profesional yang dimiliki stasiun stasiun televisi swasta.
Di
sinilah saya tanyakan untuk apa ruangan dan perlengkapan sebanyak itu, layaknya
milik stasiun TV profesional.
Di
ruangan ini pula saya berdialog dengan Ismail, soal ide khilafah dan kaitannya
dengan Bangsa Indonesia.
Saya
tanyakan, “apakah jika cita-cita HTI akan berdirinya khilafah, lalu menafikan
Pancasila?”
Ismail
tampak terkejut dengan pertanyaan saya.
Apa
jawaban dari semua pertanyaan ini?
Simak
wawancara saya di program AIMAN, termasuk ide pendirian khilafah lainnya dengan
cara kekerasan, yang sama sekali tidak berhubungan dengan HTI, yakni Al Qaeda
dan ISIS yang dilakukan dengan cara bom bunuh diri. Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) menyatakan perjuangan khilafah dilakukan dengan diplomasi.
Saya
juga mewawancarai mantan pengikut Al Qaeda. Simak, EKSKLUSIF di KompasTV, Senin
(12/6) pukul 20.00 wib.
Saya
Aiman Witjaksono. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar