Pada dasarnya arti khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan umum bagi umat musilm di seluruh dunia. Kepemimpinan Khilafah dipimpin oleh Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin.
Arti khilafah adalah
berasal dari kata kha-la-fa, yang berarti menggantikan. Istilah Khalifah
diambil berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 30.
Secara umum, sebuah sistem
pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai
Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi
Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahannya.
Meski dengan penamaan atau
struktur yang berbeda, kepemimpinan ini tetap berpegang pada prinsip yang sama,
yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.
Gambaran penerapan arti
khilafah adalah ketika sebuah Negara Khilafah berdiri atas persetujuan seluruh
umat Islam, dibai'at lah seorang Khalifah. Setelah dibai'atnya khalifah secara
sah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai'atan Khalifah lain setelahnya
menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad tentang pembai'atan
Khalifah.
Struktur pemerintahan
Khilafah adalah dipimpin oleh
orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan kekuasaan dan penerapan
syariah yang disebut oleh khalifah. Tak seperti teori teokrasi dimana aturan
yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama tertentu, kekuasaan
Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi.
Khalifah diangkat oleh umat
melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan
dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya
menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum
-yang dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah madzalim-
yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
Sementara dalam sistem teokrasi
kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan. Sehingga pemimpinnya
menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah
maupun dosa.
Khalifah juga dibantu oleh para
pembantu khalifah di berbagai bidang seperti pemerintahan, administrasi, kota,
keamanan, perindustrian, peradilan, kesehatan, keuangan, penerangan, dan
majelis umat.
Cabang Islam Sunni menetapkan
bahwa, sebagai kepala negara, seorang khalifah dapat berkuasa dengan salah satu
dari empat cara baik melalui pemilihan, melalui pencalonan atau melalui seleksi
oleh komite.
Namun, para pengikut Islam Syiah
percaya bahwa seorang khalifah haruslah seorang imam yang dipilih oleh Tuhan
dari Ahl al-Bayt (merujuk pada keluarga Muhammad).
Sejarah Khilafah
Khilafah
Pertama
Sistem Khilafah diterapkan di era
awal-awal berkembangnya agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun
632 terjadi kekosongan pemimpin umat Islam setelahnya.
Posisi khalifah kemudian diduduki
oleh sahabat-sahabat nabi. Masa kekhalifahan pertama di mulai oleh Abu bakar
(632-634), Umar bin Khattab(634-644), Utsman bin 'Affan (644-656), dan Ali bin
Abi Thalib (656-661). Masa inilah yang disebut juga masa Kekhalifahan Rashidun.
Khalifah keempat, Ali, tidak
seperti tiga sebelumnya, berasal dari klan yang sama dengan Muhammad (Bani
Hasyim), dianggap oleh Muslim Syiah sebagai khalifah dan imam sah pertama
setelah Muhammad.
Ali memerintah selama Fitna
Pertama (656-661), perang saudara terjadi antara para pendukung Ali dan para
pendukung khalifah sebelumnya, serta terjadinya para pemberontak di Mesir.
Perang menyebabkan pembentukan Kekhalifahan Umayyah di bawah Muawiyah I pada
tahun 661.
Khilafah
kedua
Kekhalifahan kedua, Kekhalifahan
Umayyah, diperintah oleh Bani Umayya, klan Mekah yang diturunkan dari Umayyah
bin Abd Shams. Khilafah melanjutkan penaklukan Arab, menggabungkan Kaukasus,
Transoxiana, Sindh, Maghreb dan Semenanjung Iberia (Al-Andalus) ke dalam dunia
Muslim.
Kekhalifahan menerima banyak
orang Nasrani di dalam wilayahnya.Setelah Revolusi Abbasiyah dari 746-750, yang
dimana muncul akibat dari pencopotan hak pilih Muslim non-Arab, Kekhalifahan
Abbasiyah didirikan pada 750.
Khilafah
ketiga
Kekhalifahan ketiga, Kekhalifahan
Abbasiyah diperintah oleh Abbasiyah, sebuah dinasti asal Mekah yang diturunkan
dari Hasyim, kakek buyut Muhammad. Pada masa ini, Khalifah al-Mansur mendirikan
ibu kota kedua Baghdad pada tahun 762 yang menjadi pusat ilmiah, budaya dan
seni utama, seperti halnya wilayah secara keseluruhan selama periode yang
dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam.
Dari abad ke-10, pemerintahan
Abbasiyah menjadi terbatas di daerah sekitar Baghdad. Dari 945 hingga 1157,
kekhalifahan Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Buyid dan kemudian Seljuq.
Pada 1250, pasukan non-Arab yang diciptakan oleh Abbasiyah yang disebut Mamluk
berkuasa di Mesir. Pada 1258, Kekaisaran Mongol menguasai Baghdad, mengakhiri
kekhalifahan Abbasiyah, dan pada 1261 Mamluk di Mesir mendirikan kembali
Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo.
Meskipun kurang dalam kekuatan
politik, dinasti Abbasiyah terus mengklaim otoritas dalam urusan agama sampai
penaklukan Ottoman atas Mamluk Mesir pada 1517.
Khilafah
keempat
Kekhalifahan besar keempat,
Kekhalifahan Utsmaniyah, didirikan setelah penaklukan mereka atas Mamluk Mesir
pada tahun 1517. Penaklukan tersebut memberikan kontrol kepada Ottoman atas
kota-kota suci Mekah dan Madinah, yang sebelumnya dikendalikan oleh Mamluk.
Utsmani secara bertahap mulai
dipandang sebagai pemimpin de facto dan perwakilan dari dunia Muslim. Setelah
kekalahan mereka dalam Perang Dunia I, kekaisaran mereka dipartisi oleh Inggris
dan Republik Ketiga Prancis, dan pada 3 Maret 1924, Presiden pertama Republik
Turki, Mustafa Kemal Atatürk, sebagai bagian dari reformasinya, secara
konstitusional menghapuskan institusi negara kekhalifahan.
Beberapa negara lain yang ada
sepanjang sejarah menyebut diri mereka sebagai kekhalifahan, termasuk
kekhalifahan Isma'ili Fatimid di Afrika Timur Laut (909–1171), Kekhalifahan
Umayyah dari Córdoba di Iberia (929-1031), kekhalifahan Berber Almohad di
Maroko (1121) –1269) dan Kekhalifahan Fula Sokoto di Nigeria utara saat ini
(1804–1903).
&&&&
CATATAN NAKAL TENTANG KHILAFAH YANG MENAKUTKAN DUNIA
Saat kita berada dalam suasana yang emosional
dan cenderung membawa segalanya ke garis ekstrem, mungkin masanya untuk kita
belajar kembali memahami segala sesuatu dengan “akal sehat” dan “mata imbang”.
Memang, di saat fanatisme meninggi karena ragam faktor, termasuk faktor
politik, akal cenderung dikecilkan bahkan dikucilkan. Akibatnya pengelihatan
menjadi sempit, bahkan kabur melihat titik-titik cahaya (kebenaran).
Masih terngiang di benak saya sekitar sembilan tahun lalu
(2010), ketika itu di Amerika isu syariah menjadi sebuah kata yang sangat
menakutkan. Para petinggi politik, khususnya kalangan Republikan, menjadi
pahlawan anti-syariah yang getol.
Salah satunya adalah Newt Gingrich, mantan speaker
of the house (Kepala DPR Amerika). Lucunya justru speaker Gingrichlah
yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai Muslim di Kongress Amerika
untuk melaksanakan Jumatan di gedung Capitoll Hill. Jumatan adalah bagian
terpenting dari syariah.
Beban kepada warga Muslim Amerika cukup berat dengan
politisasi syariah ini. Mungkin salah satu contoh terdekatnya adalah ketika
komunitas Muslim berupaya mendirikan masjid dekat Ground Zero. Masjid ini
mereka kampanyekan sebagai simbol kemenangan komunitas Muslim sekaligus markas
penegasan syariah.
Akibatnya masyarakat Amerika bangkit dan melakukan resistensi
terhadap rencana pendirian masjid tersebut. Di New York misalnya, 70 persen
penduduk kota dunia itu menentangnya.
Saya menilai penyebab sebagian warga Amerika menentang dan
takut dengan syariah ini karena mereka memahaminya berdasarkan pemahaman dan
defenisi kaum radikal. Karenanya mereka selalu memberikan contoh dengan
contoh-contoh kasus. Salah satunya contoh kasus pendepakan syariah di
Afghanistan oleh kelompok Taliban.
Alhamdulillah, sejak beberapa tahun ini kata syariah tidak
lagi menjadi isu yang ditakutkan. Sebaliknya di mana-mana praktik syariah
tumbuh menjamur. Dari restoran halal, tokoh makanan halal, hingga ke islamic mortgage dan finance (keuangan dan
perbankan) digandrungi. Bahkan di saat terjadi keambrukan perbankan di Eropa
sistem keuangan halal tetap booming (tumbuh).
Isu khilafah
Selain isu syariah, di dunia Barat dan Amerika khususnya, kata khilafah juga menjadi kata yang sangat menakutkan. Kata ini bahkan
menjadi sebuah kata yang identik dengan kejahatan yang menakutkan. Dunia seolah
diingatkan bahaya laten yang dianggap ancaman global (global
threat).
Saya menghindari membahas masalah ini secara ilmiah. Bahasan
ilmiah seringkali menambah kekisruhan intelektualitas dan kebingungan publik.
Karenanya saya hanya ingin membuat catatan yang saya sebut catatan nakal.
Mengapa catatan nakal? Karena catatan saya ini boleh jadi
ditolak oleh dua pihak. Baik yang mengusung konsep khilafah, dan juga yang
menolak konsep khilafah.
Saya memulai dengan apa yang pernah disampaikan Profesor Din
Syamsuddin bahwa kata khilafah sesungguhnya tidak pernah disebutkan secara
langsung dalam teks-teks keagamaan. Yang ada adalah kata khalifah, yang berarti
pelaku “khilafah”.
Namun penyebutan kata “khalifah” dalam Alquran, konteksnya
bukan pada substansi khilafah yang difahami secara luas oleh banyak kalangan
saat ini. Tetapi sekadar penamaan dari makhluk yang kemudian dikenal sebagai
“manusia” (baca al-Baqarah ayat 30).
Lalu dari mana dan apa makna khilafah? Saya juga tidak
bermaksud membahas panjang dan detail mengenai hal ini. Toh sekali lagi
tulisan ini bukan tulisan ilmiah, melainkan sebuah catatan, bahkan catatan
nakal.
Khilafah adalah sebuah pengistilahan untuk sebuah sistem
pemerintahan. Saya tidak melihatnya banyak berbeda dari sistem-sistem yang
lain. Bedanya ada pada filosofi dan tafsiran filosofi itu sendiri.
Sebagaimana sistem pemerintahan demokrasi yang non-monolithic, khilafah
sesungguhnya juga bisa dipahami demikian. Dalam sistem demokrasi ada demokrasi
liberal yang diperlakukan oleh dunia sekuler barat misalnya. Tapi ada juga
sistem demokrasi agama (Islam) seperti Pakistan dan Iran. Jangan lupa, kita
bangsa Indonesia mengenal demokrasi yang lebih unik; demokrasi Pancasila.
Kalau saja kita memahami memahami demokrasi dengan akal sehat
dan penglihatan yang imbang seperti itu, alangkah baiknya jika konsep khilafah
juga kita pahami demikian. Artinya kata khilafah adalah kata umum untuk sistem
pemerintahan yang pernah diperlakukan pada masa tertentu. Sistem itu boleh jadi
juga memilki bentuk dan implementasi yang berbeda. Yang mengikat antara satu
bentuk dengan bentuk lainnya adalah keterikatan agama.
Bahwa khilafah dalam bentuknya yang ragam itu diikat oleh
ikatan wahyu samawi. Namun wahyu yang kita maksud itu dapat dipahami dan
ditafsirkan berdasarkan konteks masing-masing masyarakat dunia.
Jika kita pahami secara literal dan ekstrem, maka konsep
Khilafah melahirkan konsep Islamic State ala ISIS. Konsep khilafah yang
merepresif minoritas misalnya. Namun jangan lupa catatan tinta emas sejarah
menyatakan bahwa pemerintahan khilafah pulalah yang memberikan perlindungan
penuh kepada minoritas pada masa lalu.
Sistem pemerintahan khilafah itu juga yang menjadikan
gereja-gereja besar di bumi Syam masih tegak hingga hari ini. Dengan Khilafah
itu, Umar bin Khatthab menghadirkan sense of justice (rasa
keadilan) kepada kelompok minoritas di Mesir.
Intinya adalah tergantung sesungguhnya bagaimana memahami dan
menafsirkan kata khilafah itu. Jika dipahami dengan memakai akal ISIS akan
melahirkan konsep ISIS.
Karenanya jangan terkejut bangsa Indonesia sesungguhnya
justeru bisa memahami konsep Khilafah dalam konteks Indonesia yang berdasar
Pancasila. Karenanya dalam menyikapi isu khilafah, hendaknya dihindari
penafsiran ekstrem ini. Dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten
dengan semangat founding fathers yang tertuang
dalam falsafah dan dasar negara, sejatinya secara substantif sudah sejalan
dengan khilafah.
Khilafah itu terbangun di atas kalimat tauhid dan
bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Semangat
ini sejatinya sudah tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila.
Lalu bagaimana dengan konsep pemerintahan khilafah global?
Jawabannya adalah konsep global itu lebih kepada ikatan emosional yang tertuang
dalam konsep wihdatul ummah (one
community) dan ukhuwah Islamiyah.
Bahwa umat Islam itu secara semangat adalah satu umat dan
persaudaraan. Kesatuan umat dan ukhuwah Islamiyah itu tak akan terputuskan oleh
sekedar batas-batas kebangsaan.
** Maka tidak perlulah
ketakutan yang berlebihan dengan kata khilafah. Apalagi kata ini dijadikan
bahan gorengan politik. Yang akhirnya hanya akan semakin memperlebar polarisasi
di masyarakat kita. **
Mungkin masanya dipahami
bahwa bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, pemahaman tentang khilafah itu
tidak kepada dari konteks keindonesian. Yaitu Negara yang berdasar Pancasila
dan UUD 45. Dan keduanya dalam keyakinan umat Islam Indonesia terinspirasi oleh
Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Maka kalaupun ada anak-anak bangsa yang mengagumi kata khilafah hendaknya
jangan mudah dituduh sebagai anti Pancasila dan NKRI. Karena sekali lagi,
negara Indonesia adalah khilafah bagi umat Islam Indonesia.
Ingat, kita sedang berada dalam ancaman esktremisme di dua arah. Ekstrimisme
kanan yang diwakili oleh ISIS di dunia Islam dan ekstremisme kiri yang diwakili
oleh White Supremacy di dunia Barat. Masanya kita menempuh
jalan tengah dalam merespon isu-isu yang dihadapi oleh dunia kita. Semoga!
tentang penulis
IMAM SHAMSI ALI. Imam di kota New York, Amerika Serikat,
dan Presiden Nusantara Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar