Minggu, 23 Agustus 2020

Mengenal Khilafah

Pada dasarnya arti khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan umum bagi umat musilm di seluruh dunia. Kepemimpinan Khilafah dipimpin oleh Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin.

Arti khilafah adalah berasal dari kata kha-la-fa, yang berarti menggantikan. Istilah Khalifah diambil berdasarkan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 30.

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahannya.

Meski dengan penamaan atau struktur yang berbeda, kepemimpinan ini tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.

Gambaran penerapan arti khilafah adalah ketika sebuah Negara Khilafah berdiri atas persetujuan seluruh umat Islam, dibai'at lah seorang Khalifah. Setelah dibai'atnya khalifah secara sah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai'atan Khalifah lain setelahnya menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad tentang pembai'atan Khalifah.

Struktur pemerintahan

Khilafah adalah dipimpin oleh orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariah yang disebut oleh khalifah. Tak seperti teori teokrasi dimana aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama tertentu, kekuasaan Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi.

Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum -yang dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah madzalim- yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.

Sementara dalam sistem teokrasi kekuasaan dianggap “takdir” atau penunjukkan Tuhan. Sehingga pemimpinnya menganggap diri sebagai wakil Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah maupun dosa.

Khalifah juga dibantu oleh para pembantu khalifah di berbagai bidang seperti pemerintahan, administrasi, kota, keamanan, perindustrian, peradilan, kesehatan, keuangan, penerangan, dan majelis umat.

Cabang Islam Sunni menetapkan bahwa, sebagai kepala negara, seorang khalifah dapat berkuasa dengan salah satu dari empat cara baik melalui pemilihan, melalui pencalonan atau melalui seleksi oleh komite.

Namun, para pengikut Islam Syiah percaya bahwa seorang khalifah haruslah seorang imam yang dipilih oleh Tuhan dari Ahl al-Bayt (merujuk pada keluarga Muhammad).

Sejarah Khilafah

Khilafah Pertama

Sistem Khilafah diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 terjadi kekosongan pemimpin umat Islam setelahnya.

Posisi khalifah kemudian diduduki oleh sahabat-sahabat nabi. Masa kekhalifahan pertama di mulai oleh Abu bakar (632-634), Umar bin Khattab(634-644), Utsman bin 'Affan (644-656), dan Ali bin Abi Thalib (656-661). Masa inilah yang disebut juga masa Kekhalifahan Rashidun.

Khalifah keempat, Ali, tidak seperti tiga sebelumnya, berasal dari klan yang sama dengan Muhammad (Bani Hasyim), dianggap oleh Muslim Syiah sebagai khalifah dan imam sah pertama setelah Muhammad.

Ali memerintah selama Fitna Pertama (656-661), perang saudara terjadi antara para pendukung Ali dan para pendukung khalifah sebelumnya, serta terjadinya para pemberontak di Mesir. Perang menyebabkan pembentukan Kekhalifahan Umayyah di bawah Muawiyah I pada tahun 661.

Khilafah kedua

Kekhalifahan kedua, Kekhalifahan Umayyah, diperintah oleh Bani Umayya, klan Mekah yang diturunkan dari Umayyah bin Abd Shams. Khilafah melanjutkan penaklukan Arab, menggabungkan Kaukasus, Transoxiana, Sindh, Maghreb dan Semenanjung Iberia (Al-Andalus) ke dalam dunia Muslim.

Kekhalifahan menerima banyak orang Nasrani di dalam wilayahnya.Setelah Revolusi Abbasiyah dari 746-750, yang dimana muncul akibat dari pencopotan hak pilih Muslim non-Arab, Kekhalifahan Abbasiyah didirikan pada 750.

Khilafah ketiga

Kekhalifahan ketiga, Kekhalifahan Abbasiyah diperintah oleh Abbasiyah, sebuah dinasti asal Mekah yang diturunkan dari Hasyim, kakek buyut Muhammad. Pada masa ini, Khalifah al-Mansur mendirikan ibu kota kedua Baghdad pada tahun 762 yang menjadi pusat ilmiah, budaya dan seni utama, seperti halnya wilayah secara keseluruhan selama periode yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam.

Dari abad ke-10, pemerintahan Abbasiyah menjadi terbatas di daerah sekitar Baghdad. Dari 945 hingga 1157, kekhalifahan Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Buyid dan kemudian Seljuq. Pada 1250, pasukan non-Arab yang diciptakan oleh Abbasiyah yang disebut Mamluk berkuasa di Mesir. Pada 1258, Kekaisaran Mongol menguasai Baghdad, mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah, dan pada 1261 Mamluk di Mesir mendirikan kembali Kekhalifahan Abbasiyah di Kairo.

Meskipun kurang dalam kekuatan politik, dinasti Abbasiyah terus mengklaim otoritas dalam urusan agama sampai penaklukan Ottoman atas Mamluk Mesir pada 1517.

Khilafah keempat

Kekhalifahan besar keempat, Kekhalifahan Utsmaniyah, didirikan setelah penaklukan mereka atas Mamluk Mesir pada tahun 1517. Penaklukan tersebut memberikan kontrol kepada Ottoman atas kota-kota suci Mekah dan Madinah, yang sebelumnya dikendalikan oleh Mamluk.

Utsmani secara bertahap mulai dipandang sebagai pemimpin de facto dan perwakilan dari dunia Muslim. Setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia I, kekaisaran mereka dipartisi oleh Inggris dan Republik Ketiga Prancis, dan pada 3 Maret 1924, Presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk, sebagai bagian dari reformasinya, secara konstitusional menghapuskan institusi negara kekhalifahan.

Beberapa negara lain yang ada sepanjang sejarah menyebut diri mereka sebagai kekhalifahan, termasuk kekhalifahan Isma'ili Fatimid di Afrika Timur Laut (909–1171), Kekhalifahan Umayyah dari Córdoba di Iberia (929-1031), kekhalifahan Berber Almohad di Maroko (1121) –1269) dan Kekhalifahan Fula Sokoto di Nigeria utara saat ini (1804–1903).

&&&&

 

CATATAN NAKAL TENTANG KHILAFAH YANG MENAKUTKAN DUNIA

 

Saat kita berada dalam suasana yang emosional dan cenderung membawa segalanya ke garis ekstrem, mungkin masanya untuk kita belajar kembali memahami segala sesuatu dengan “akal sehat” dan “mata imbang”. Memang, di saat fanatisme meninggi karena ragam faktor, termasuk faktor politik, akal cenderung dikecilkan bahkan dikucilkan. Akibatnya pengelihatan menjadi sempit, bahkan kabur melihat titik-titik cahaya (kebenaran).

Masih terngiang di benak saya sekitar sembilan tahun lalu (2010), ketika itu di Amerika isu syariah menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan. Para petinggi politik, khususnya kalangan Republikan, menjadi pahlawan anti-syariah yang getol.

Salah satunya adalah Newt Gingrich, mantan speaker of the house (Kepala DPR Amerika). Lucunya justru speaker Gingrichlah yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai Muslim di Kongress Amerika untuk melaksanakan Jumatan di gedung Capitoll Hill. Jumatan adalah bagian terpenting dari syariah.

Beban kepada warga Muslim Amerika cukup berat dengan politisasi syariah ini. Mungkin salah satu contoh terdekatnya adalah ketika komunitas Muslim berupaya mendirikan masjid dekat Ground Zero. Masjid ini mereka kampanyekan sebagai simbol kemenangan komunitas Muslim sekaligus markas penegasan syariah.

Akibatnya masyarakat Amerika bangkit dan melakukan resistensi terhadap rencana pendirian masjid tersebut. Di New York misalnya, 70 persen penduduk kota dunia itu menentangnya.

Saya menilai penyebab sebagian warga Amerika menentang dan takut dengan syariah ini karena mereka memahaminya berdasarkan pemahaman dan defenisi kaum radikal. Karenanya mereka selalu memberikan contoh dengan contoh-contoh kasus. Salah satunya contoh kasus pendepakan syariah di Afghanistan oleh kelompok Taliban.

Alhamdulillah, sejak beberapa tahun ini kata syariah tidak lagi menjadi isu yang ditakutkan. Sebaliknya di mana-mana praktik syariah tumbuh menjamur. Dari restoran halal, tokoh makanan halal, hingga ke islamic mortgage dan finance (keuangan dan perbankan) digandrungi. Bahkan di saat terjadi keambrukan perbankan di Eropa sistem keuangan halal tetap booming (tumbuh).

Isu khilafah
Selain isu syariah, di dunia Barat dan Amerika khususnya, kata
 khilafah juga menjadi kata yang sangat menakutkan. Kata ini bahkan menjadi sebuah kata yang identik dengan kejahatan yang menakutkan. Dunia seolah diingatkan bahaya laten yang dianggap ancaman global (global threat).

Saya menghindari membahas masalah ini secara ilmiah. Bahasan ilmiah seringkali menambah kekisruhan intelektualitas dan kebingungan publik. Karenanya saya hanya ingin membuat catatan yang saya sebut catatan nakal.

Mengapa catatan nakal? Karena catatan saya ini boleh jadi ditolak oleh dua pihak. Baik yang mengusung konsep khilafah, dan juga yang menolak konsep khilafah.

Saya memulai dengan apa yang pernah disampaikan Profesor Din Syamsuddin bahwa kata khilafah sesungguhnya tidak pernah disebutkan secara langsung dalam teks-teks keagamaan. Yang ada adalah kata khalifah, yang berarti pelaku “khilafah”.

Namun penyebutan kata “khalifah” dalam Alquran, konteksnya bukan pada substansi khilafah yang difahami secara luas oleh banyak kalangan saat ini. Tetapi sekadar penamaan dari makhluk yang kemudian dikenal sebagai “manusia” (baca al-Baqarah ayat 30).

Lalu dari mana dan apa makna khilafah? Saya juga tidak bermaksud membahas panjang dan detail mengenai hal ini. Toh sekali lagi tulisan ini bukan tulisan ilmiah, melainkan sebuah catatan, bahkan catatan nakal.

Khilafah adalah sebuah pengistilahan untuk sebuah sistem pemerintahan. Saya tidak melihatnya banyak berbeda dari sistem-sistem yang lain. Bedanya ada pada filosofi dan tafsiran filosofi itu sendiri.

Sebagaimana sistem pemerintahan demokrasi yang non-monolithic, khilafah sesungguhnya juga bisa dipahami demikian. Dalam sistem demokrasi ada demokrasi liberal yang diperlakukan oleh dunia sekuler barat misalnya. Tapi ada juga sistem demokrasi agama (Islam) seperti Pakistan dan Iran. Jangan lupa, kita bangsa Indonesia mengenal demokrasi yang lebih unik; demokrasi Pancasila.

Kalau saja kita memahami memahami demokrasi dengan akal sehat dan penglihatan yang imbang seperti itu, alangkah baiknya jika konsep khilafah juga kita pahami demikian. Artinya kata khilafah adalah kata umum untuk sistem pemerintahan yang pernah diperlakukan pada masa tertentu. Sistem itu boleh jadi juga memilki bentuk dan implementasi yang berbeda. Yang mengikat antara satu bentuk dengan bentuk lainnya adalah keterikatan agama.

Bahwa khilafah dalam bentuknya yang ragam itu diikat oleh ikatan wahyu samawi. Namun wahyu yang kita maksud itu dapat dipahami dan ditafsirkan berdasarkan konteks masing-masing masyarakat dunia.

Jika kita pahami secara literal dan ekstrem, maka konsep Khilafah melahirkan konsep Islamic State ala ISIS. Konsep khilafah yang merepresif minoritas misalnya. Namun jangan lupa catatan tinta emas sejarah menyatakan bahwa pemerintahan khilafah pulalah yang memberikan perlindungan penuh kepada minoritas pada masa lalu.

Sistem pemerintahan khilafah itu juga yang menjadikan gereja-gereja besar di bumi Syam masih tegak hingga hari ini. Dengan Khilafah itu, Umar bin Khatthab menghadirkan sense of justice (rasa keadilan) kepada kelompok minoritas di Mesir.

Intinya adalah tergantung sesungguhnya bagaimana memahami dan menafsirkan kata khilafah itu. Jika dipahami dengan memakai akal ISIS akan melahirkan konsep ISIS.

Karenanya jangan terkejut bangsa Indonesia sesungguhnya justeru bisa memahami konsep Khilafah dalam konteks Indonesia yang berdasar Pancasila. Karenanya dalam menyikapi isu khilafah, hendaknya dihindari penafsiran ekstrem ini. Dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten dengan semangat founding fathers yang tertuang dalam falsafah dan dasar negara, sejatinya secara substantif sudah sejalan dengan khilafah.

Khilafah itu terbangun di atas kalimat tauhid dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Semangat ini sejatinya sudah tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila.

Lalu bagaimana dengan konsep pemerintahan khilafah global? Jawabannya adalah konsep global itu lebih kepada ikatan emosional yang tertuang dalam konsep wihdatul ummah (one community) dan ukhuwah Islamiyah.

Bahwa umat Islam itu secara semangat adalah satu umat dan persaudaraan. Kesatuan umat dan ukhuwah Islamiyah itu tak akan terputuskan oleh sekedar batas-batas kebangsaan.

 

** Maka tidak perlulah ketakutan yang berlebihan dengan kata khilafah. Apalagi kata ini dijadikan bahan gorengan politik. Yang akhirnya hanya akan semakin memperlebar polarisasi di masyarakat kita. **

Mungkin masanya dipahami bahwa bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, pemahaman tentang khilafah itu tidak kepada dari konteks keindonesian. Yaitu Negara yang berdasar Pancasila dan UUD 45. Dan keduanya dalam keyakinan umat Islam Indonesia terinspirasi oleh Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Maka kalaupun ada anak-anak bangsa yang mengagumi kata khilafah hendaknya jangan mudah dituduh sebagai anti Pancasila dan NKRI. Karena sekali lagi, negara Indonesia adalah khilafah bagi umat Islam Indonesia.

Ingat, kita sedang berada dalam ancaman esktremisme di dua arah. Ekstrimisme kanan yang diwakili oleh ISIS di dunia Islam dan ekstremisme kiri yang diwakili oleh White Supremacy di dunia Barat. Masanya kita menempuh jalan tengah dalam merespon isu-isu yang dihadapi oleh dunia kita. Semoga!

tentang penulis
IMAM SHAMSI ALI. Imam di kota New York, Amerika Serikat, dan  Presiden Nusantara Foundation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar