Muhammadiyah merupakan gerakan Islam
dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memahami Islam berdasarkan pada al-Quran
dan al-Sunnah. Tidak terikat dengan aliran teologis, mazhab fikih, dan tariqat
sufiyah apapun.
Ciri Muhammadiyah manhajnya itu
adalah tajdid, toleransi, terbuka, tidak bermazhab.
Muhammadiyah menempatkan Ulama sangat tinggi,
dengan membedah kitab-kitab mereka sebagai rujukan.
Dalam proses penentuan hukum, ulama-ulama
mazhab biasanya melakukan ijtihad secara personal.
Sementara Muhammadiyah mengambil langkah ijtihad jama’i
ijtihad jama’i adalah aktivitas ijtihad yang
dilakukan secara kolektif, yaitu kelompok ahli hukum Islam yang berusaha untuk
mendapatkan hukum sesuatu atau beberapa masalah hukum Islam.
Ijtihad dengan model seperti ini memungkinkan
setiap orang yang memiliki spesialisasi disiplin ilmu di bidang tertentu dapat
ikut bergabung merumuskan fatwa hukum Islam.
Posisi Imam Mazhab dalam
Muhammadiyah sebagai referensi untuk
dibaca dan mengambil pandangan mereka yang paling sesuai dengan al-Quran dan
al-Sunah sekaligus aplikatif dengan tuntunan zaman.
Muhammadiyah hanya memposisikan pandangan imam
mazhab sebagai option, bukan obligation. Pandangan mereka hanya sebatas
pilihan, bukan sebagai keharusan.
Muhammadiyah memiliki seperangkat metode
pengambilan hukum yang sering dinamakan dengan Manhaj Tarjih
Muhammadiyah.
Muhammadiyah Nirmazhab.
Pak AR (KH.
AR. Fachruddin) adalah
Ketua PP Muhammadiyah paling
lama (22 Tahun)
Sikap Muhammadiyah yang tidak bermazhab (Muhammadiyah
nirmazhab) tersebut sangat mengagumkan karena sangat modern, sangat
prospektif, dan menjanjikan untuk masa depan Islam.
Prof. Dr. Din Syamsudin, mantan Ketua PP
Muhammadiyah, pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan
Dahlanisme. Artinya, meski didirikan KH Ahmad Dahlan, fikih
Muhammadiyah akan terus berkembang, tidak terpaku pada fikih
yang dipakai Muhammadiyah “AB-1” ini.
Majlis Tarjih (badan
kajian fikih Muhammadiyah) selalu merespons masalah-masalah umat dengan
pendekatan hukum teranyar sesuai dinamika zaman.
Orang Muhammadiyah bebas mencari
rujukan pada mazhab mana pun.
Ketika Pak AR ditanya tentang hukum dijilat anjing. Pak AR
bertanya kembali kepada si penanya: Hukum berdasarkan mazhab mana?
Berdasarkan mazhab Syafi’i air liur anjing najis mughalladoh.
Najis besar. Dalam mazhab Syafi’i ada nisbah fikih: Bila ada sebuah bejana
dijilat anjing, maka harus dicuci air tujuh kali; salah satunya dengan air
tanah (lumpur). Dari nisbah itu, najisnya anjing sangat besar. Dalam fikih
disebut najis mughaladoh.
Tapi bila merujuk mazhab Maliki, air liur anjing tidak najis. Jadi
jika anda dijilat anjing tidak perlu dicuci. Konon, di era Imam Maliki tak ada
masalah dengan anjing. Beda dengan zaman Imam Syafi’i. Saat itu sedang ada
wabah rabies. Penyakit ini penyebabnya gigitan anjing.
Artinya umat bisa memilih, mana yang sesuai
dengan dirinya. Umat juga tidak terjebak pada fanatisme fikih. Umat akan tahu
ternyata fikih tentang anjing berbeda-beda. Dan perbedaan itu ada rujukannya;
ada yurisprudensinya.
Pesan Pak AR agar Islam disampaikan dengan
enteng, ringan, dan menyenangkan hanya mungkin dilakukan jika orang tidak
bermazhab dan mengambil sisi positif setiap mazhab. Dalam hal ini, ada hadist
Nabi yang sangat bagus. Rasulullah saw bersabda, “yassiru wala tu’assiru
wabasysyiru wala tunafiru”. Artinya: mudahkanlah dan janganlah engkau persulit
orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka lari.
https://www.teropongsenayan.com/71808-pak-ar-dan-muhammadiyah-tanpa-mazhab
Ijtihad Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki
suatu lembaga ijtihad yang disebut majelis tarjih. Majelis
tarjih adalah salah satu lembaga Muhammadiyah yang membidangi dan mengurusi
masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum dalam bidang fiqih. Sesuai dengan
namanya, tarjih ialah mengikuti hukum yang kuat, maka dalam berijtihad,
Muhammadiyah selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, yang
tidak diragukan lagi kebenarannya.
Muhammadiyah
tidak terikat pada satu mazhab, dan bukan berarti tidak mengakui adanya mazhab. Bahkan, dalam beristinbath, Muhammadiyah tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah mazhab tersebut.
Muhammadiyah dan Kolaborasi Mazhab
Secara metodologis,
Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan sejumlah manhaj ushul fiqih yang
ditawarkan oleh para imam mazhab. Hanya
saja, para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj
dan pendapat ulama mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti itudisebut
dengan bermazhab dengan pola talfiqi yaitu memadukan pemikiran antarmazhab, dengan memilih yang
paling layak dan kuat untuk dipilih.
Penggunaan qiyas, mengacu
pada keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili,
yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Pemilihan
metode istihsan, jelas
mengacu pada Imam Abu Hanifah. Pemilihan
metode mashlahah
mursalah dengan berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu
pada Imam Malik.
Pengadopsian metode istishhab, secara
tidak langsung juga mengakui pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam mengikuti Wahabisme, Muhammadiyah cenderung anti sufisme seperti
halnya di Saudi Arabia. Tasawuf dianggap banyak dipengaruhi oleh ajaran agama
lain, misalnya Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal.
Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar
Nashir menilai, sebagian kecil umat sering mengkontruksi gerakan dan paham
keagamaan Muhammadiyah dengan aliran Islam seperti Wahabi yang identik keras
dan ancaman.
Buku-buku dan kitab-kitab yang dibaca Kiai Ahmad Dahlan (dalam
daftarnya) tidak ada daftar Kitabut Tauhid karya Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab. Justru yang paling kuat adalah Risalah At-Tauhid karya Muhammad
Abduh dan Kitab Al-Iman karya Ibnu Taimiyah yang
perspektifnya sangat mendalam dan luas.
"Kiai Dahlan seperti juga Kiai Hasyim Asy’ari biarpun lama
bermukim di Makkah tidak terpengaruh, ya kira-kira seperti ikan di laut yang
tidak terpengaruh menjadi asin, “ kata Haedar.
Muhammadiyah
Tidak Condong Satu Mazhab dan Tidak Anti Mazhab
Sebagai
organisasi dakwah yang menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
maka Muhammadiyah sesungguhnya tidak mengacu dan condong kepada salah satu
mazhab yang selama ini dianut oleh umat Islam. Pada saat yang
bersamaan, Muhammadiyah mampu menempatkan diriya dengan tidak
memposisikan sebagai anti-mazhab. Dalam konteks ini, Muhammadiyah
berada di tengah kedua kelompok tersebut.
Alasan
utama Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan para imam mazhab,
dikarenakan tidak adanya satu dalil pun dari Al-Qur’an dan hadits yang
memerintahkan umat Islam agar menganut salah satu mazhab. “Bahkan para imam
tersebut justru menolak untuk diikuti, manakala pendapat yang disampaikannya
ternyata bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah.
Kita
ketahui, bahwa terdapat empat imam mazhab yang menjadi rujukan umat Islam di
dunia, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin
Hanbal.
Di
Indonesia, rata-rata merujuk pada pendapatnya Imam Syafii sebagai rujukan
utama. Sedangkan Muhammadiyah, senantiasa berupaya untuk mencari dalil yang
paling kuat di antara empat ulama mazhab dan menyampaikan dalil tersebut kepada
umat. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak mentah-mentah menerima pendapat imam mazhab di dalam
berbagai perkara keagamaan dan keduniaan.
“Kita
mempunyai Majelis Tarjih yang di dalamnya berisi pakar dari berbagai disiplin
ilmu keagamaan dan senantiasa mengkaji berbagai dalil dalam hal aqidah, ibadah,
syariah maupun muamalah,” tambah alumni Fakultas Dakwah Universitas Islam
Madinah Arab Saudi.
Meski
demikian, sebagai organisasi kemasyarakatan yang membawa pencerahan kepada
Bangsa Indonesia, maka Muhammadiyah meletakkan toleransi internal sebagai
salah satu upaya untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah. “Seringkali kita terjebak
di dalam persoalan-persoalan yang sangat teknis dan bersifat cabang. Selama bukan
merupakan permasalahan pokok, maka Muhammadiyah memberikan toleransi yang
sangat besar.
Seminar
Saya mengusulkan masjid Syuhada Yogyakarta mengadakan seminar
membahas empat mazhab. Pemakalahnya dari Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan
Syiah. Muhammadiyah bermazhab nirmazhab, NU bermazhab Syafi’i, Ahmadiyah
bermazhab Ahmadi, dan Syiah bermazhab Ahlul-Bait. Seminar ini ternyata menarik
minat jamaah dan kader-kader dakwah masjid Syuhada. Dari seminar itulah terbuka
wawasan saya.
Saya kaget ketika pembicara dari Syiah, Jalaludin Rakhmat menyatakan
bahwa pedoman Islam sepeninggal Rasulullah adalah Al-Qur’an dan Ahlul Bait.
Bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ini karena Ahlul Bait adalah orang-orang yang
kesuciannya dijamin Allah sesuai Surat Al-Ahzab 33. Sunah Rasul memang benar,
tapi sepeningal Rasul masih ada rujukan umat yatitu ahlul bait.
Siapa saja ahlul bait? Menurut mazhab Syiah mayoritas (Itsna
‘Asyariah), ahlul bait terdiri atas dua belas imam. Pertama Sayyidina Ali (Imam
Ali), ke-2 Hasan bin Ali, ke-3 Husein bin Ali, ke-4 Ali bin Husein, ke-5
Muhammad Al-Baqir, ke-6 Ja’far Ash-Shiddiq, ke-7 Musa Al-Kadzim, ke-8 Ali- Ar
Ridho, ke-9 Muhammad Al-Jawad, ke-10 Ali Al-Hadi, ke-11 Hasan Al-Asykari, dan
ke-12 Abu Al-Qashim (Imam Mahdi). Kedudukan para imam ini memang tidak sama
dengan nabi; tapi mereka pembawa pesan atau penafsir hadist Rasulullah yang
paling otoritatif.
Dari kedua belas imam di atas, Imam Mahdi yang paling terkenal.
Ini karena di masyarakat Islam Jawa, khususnya NU, ada kepercayaan bahwa kelak
di akhir zaman akan datang Imam Mahdi untuk menghakimi seluruh umat manusia
dengan adil seadil-adilnya. Kepercayaan kepada mesianisme (Imam Mahdi) dan
praktik ziarah kubur inilah yang menyebabkan Gus Dur menyatakan bahwa NU
sebetulnya Islam berbau syiah.
Sedangkan pembicara Ahmadiyah menyatakan, sepeninggal Rasul, Allah masih
menurunkan utusannya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan keturunannya. Yang menarik
adalah, Mirza Ghulam Ahmad jika dirunut adalah keturunan Rasulullah juga.
Sedangkan ulama Ahlul Bait diakui sebagai ulama yang paling otoritatif dalam
menafsirkan Qur’an dan hadist.
Pendapat tersebut disepakati mayoritas ulama. Maklumlah ahlul bait
adalah orang-orang yang punya keturunan langsung dari Rasulullah melalui
putrinya Fatimah Az-Zahra, istri Ali Bin Abi Thalib. Kita tahu, Rasulullah
pernah bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.”
Hadist ini menjelaskan bahwa keluarga Nabi, Ahlul Bait, adalah orang-orang yang
paling otoritatif dalam menjelaskan ilmu-ilmu agama. Yaitu ilmu-ilmu yang
berdasarkan Qur’an dan hadist. Imam Ja’far As-Shadiq, misalnya, salah seorang
Ulama Ahlul Bait adalah gurunya para imam pendiri empat mazhab (Syafi’i,
Hambali, Maliki, dan Hanafi).
Empat mazhab inilah yang paling banyak diikuti di Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunai kaum muslim kebanyakan menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan di Saudi Arabia dan sekitarnya kebanyakan mazhab Hambali. Sementara di Hindustan (India dan Pakistan) memakai mazhab Hanafi dan di Magribi (Afrika Utara) kebanyakan mazhab Maliki. Menariknya, semua imam mazhab tersebut adalah murid Imam Ja’far As-Shadiq, seorang ulama Ahlul Bait yang bermazhab Syiah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar