“Mah, ada nenek datang.” Suara anakku terdengar sampai ke dapur.
“Mampus dah gue, mertua datang aku nggak punya apa-apa, beras
habis, kulkas kosong, apa yang akan aku katakan padanya.”
Saat suamiku masih bekerja aku selalu mengiriminya uang pun saat
suamiku dipecat saat pandemi aku tetap mengiriminya uang hasil aku jualan
dagangan orang lain dan hasil ngojek suamiku, agar dia tidak tahu anaknya
sedang susah.
Biarlah ibu mertuaku tahunya kami hidup enak terus.
“Eh ibu, mari masuk, Bu ?” aku bawakan tasnya ke dalam kamar
setelah aku salim.
Anakku pun salim dan langsung mengajak neneknya bermain di depan.
Sepertinya mertuaku akan menginap lama, karena tas yang dibawa
agak banyak.
“Sebentar ya, Bu, Nisa bikinin minum dulu.”
Saat itulah kesempatan aku lari ke warung.
“Teteh mau ngebon dulu ya, nanti saya bayar kalau mas Wawan udah
pulang.”
“Iya, Mbak selow aja.”
Untung teteh warungnya orangnya baik banget. Aku ngebon beras, minyak, gula, teh, kopi.
“Teh, nanti yang ambil mas Wawan ya, saya nitip dulu.”
“Siap Mbak.”
Tak lupa aku kirim pesan ke mas Wawan.
[Mas, nanti ambil belanjaan di warung Teh Murni, aku ngebon dulu,
ibu kamu datang, sebelum pulang copot dulu jaket ngojek kamu ya, pura-pura kamu
pulang kerja terus habis belanja juga].
[Ok]
Aku lalu pulang lewat pintu belakang dan membuat minum untumy ibu
mertuaku, aku gorengin pisang kebetulan kemarin dikasih sama yang punya
kontrakan.
“Ayo, Bu diminum dulu sama goreng pisang mumpung anget.”
“Iya, gimana keadaan kalian ? Ibu mau nginep di sini seminggu
boleh ya ? Lagi jenuh di rumah.”
“Iya boleh, Bu.”
Itu artinya aku sama mas Wawan harus acting selama seminggu.
“Wawan belum pulang kerja ?”
“Sebentar lagi, Bu, tuh dia.”
Mas Wawan pulang dengan membawa belanjaan yang tadi aku bon di
warung, dia juga membeli soto ayam Sokaraja kesukaan ibu mertua dan tentunya
pulang tanpa jaket ojek.
Ibu mertua tampak bangga banget melihat anaknya pulang kerja
membawa belanjaan. Sementara aku sibuk whatsApp teman untuk meminjam uang,
karena seminggu di rumah artinya aku harus punya stok uang yang banyak.
Alhamdulillah aku dapat pinjaman dari ibu kontrakan.
Sebenarnya bukan pinjaman tetapi aku
mengambil lagi uang yang udah aku bayarkan untuk kontrakan sebulan separuh. Aku
janji akan menggantinya setelah aku dapat komisi dagangan orang.
Selama seminggu mas Wawan selalu berangkat dengan baju rapih dan
pulang saat jam kantor juga pulang, agar ibu tidak curiga.
Aku pun masak makanan yang enak-enak agar ibu tahu anaknya tak
susah di rantauan.
“Enak nih kalau ada nenek, makannya enak-enak mulu!” ujar anakku
polos.
“Emang biasanya makannya nggak enak ?”
Aku senggol anakku agar menengok lalu aku kedipin mataku.
“Enak sih, tapi lebih enak kalau ada nenek,” jawab anakku setelah
aku kedipin.
Aku takut dia jujur bahwa selama pandemi makannya seadanya yang
penting masih tiga kali sehari.
“Wan, itu kasur kamu keras banget, ibu sakit badannya, beliin
kasur inoac dong biar nyaman tidurnya.”
Aduh, uang dari mana buat beli kasur dadakan, padahal itu aku udah
ngalah tidur di kasur lantai. Akhirnya aku mendatangi tukang kredit yang bisa
kasih kasur dengan sistem arisan bulanan.
Aku sama mas Wawan izin pergi bilang mau beli kasur padahal aku
ambil di tukang kredit, yang penting ibu bisa tidur nyaman.
“Asik kasur baru, aku tidur sama nenek lagi ya ?” ujar anakku
kegirangan.
Ibu mertuaku terlihat bangga banget dengan anaknya yang bisa
memenuhi keinginannya. Pagi-pagi sebelum mas Wawan berangkat.
“Wan, ibu pengen banget makan steak yang kata orang-orang
dagingnya empuk itu loh.”
“Iya, Bu nanti pulang kerja Wawan bawain.”
Mas Wawan bicara padaku tentang keinginannnya. Aku kasih
persediaan uang yang aku punya.
“Beliin aja, Mas, belum tentu besok-besok dia kepengin.”
Aku selalu menuruti apa pun keinginan mertuaku, bagaimana pun dia
sudah melahirkan dan membesarkan mas Wawan, giliran anaknya sudah dewasa malah
menghidupi aku yang jelas-jelas orang lain makanya aku merasa perlu membalas
budi.
Selama di kontrakan ibu sering aku tinggal pergi karena aku harus
mengantar dagangan pesanan orang menggunakan sepeda.
Ibu tidak keberatan karena ada anakku yang menemaninya.
“Pokoknya ibu jangan ngapa-ngapain ya, jangan megang kerjaan apa
pun, tunggu saya pulang ya bu, Nisa antar dagangan dulu.”
“Iya hati-hati, Nis.”
Saat malam hari kita lagi ngobrol-ngobrol.
“Wan, besok kamu kan libur, ibu pengin jalan-jalan ke pantai sambil
makan ikan bakar, enak banget kayanya.”
Aku dan mas Wawan saling pandang, harus ke mana lagi aku pinjam
uang.
“Iya, Bu besok kita jalan ya ?” ujarku. Sekarang ibu istirahat ya
biar besok seger, pantainya agak jauh soalnya,” lanjutku.
Setelah ibu tidur aku dan mas Wawan sibuk mencari pinjaman,
akhirnya aku gadaikan cincin lima gram mahar menikah dulu, nanti aku tebus, yang penting saat ini aku dapat
uang.
Esoknya aku pesan taxi online menuju pantai, melihat ibu bahagia
rasanya aku dan mas Wawan pun ikut bahagia, belum tentu ketika kita banyak uang
ada kesempatan menyenangkan beliau.
Seminggu sudah ibu mertuaku di kontrakanku. Saatnya ibu pulang,
aku membelikannya tiket untuk pulang dan tak lupa aku memberinya uang untuk
pegangan.
Aku dan mas Wawan mengantar sampai pool bis jurusan kota asal
kami.
“Hati-hati ya bu, handphone jangan sampai nggak aktif, kabari
kalau ada apa-apa, kalau sudah sampai juga kabari ya, Bu,” ujarku khawatir.
Aku catat nomer Bis, takut ada apa-apa aku bisa melacaknya.
Aku pulang dengan mas Wawan dan langsung berhitung hutang yang
harus aku bayar dan jumlahnya tidak sedikit.
“Maafkan ibu ya, Nis,” ucap mas Wawan merasa bersalah.
“Ngapain minta maaf , Mas, ibumu ya ibuku juga, smoga Allah
memberi kita jalan keluar untuk membayar hutang-hutang ini.”
Saat aku membersihkan kamar, aku melihat ada kertas di meja dan
sebuah amplop.
‘Untuk anakku dan menantuku yang tukang bohong’
Terima kasih sudah membahagiakan ibu selama tinggal di tempat
kalian. Semoga Allah memberkahi hidup kalian.
…………Tertanda…………
Ibu dan mertua kalian.
Aku membacanya keras-keras membuat aku dan mas Wawan menahan
tangis.
Aku buka amplop di bawah kertas tadi. Ada uang lima juta di
dalamnya. Seketika aku menangis.
“Ibuuuu.... “
Mas Wawan pun menangis.
“Maafkan Wawan, Bu.”
Aku segera menuju warung teh Murni mau membayar hutang sembako
kemarin.
“Loh sudah dibayar sama ibu mertua mu Mbak, kemarin beliau ke sini
di antar sama Adi anakmu.”
“Ya Allah.”
Aku pun bergegas ke ibu kontrakan mau melunasi bayaran kontrakan.
“Udah nggak usah, ibu mertuamu sudah melunasinya, malah itu
kontrakanmu sudah dibayar setahun.”
Aku terduduk lemas.
“Ya Allah ibu maafkan menantumu sempat mengeluhkan kedatanganmu.”
Aku pulang dan menceritakan kepada mas Wawan. Dia pun menangis dan
berlari mengambil handphone.
Segera dia telpon ibunya yang baru saja menuju pulang.
Tetapi mas Wawan tak bisa bicara apa-apa dia hanya menangis di
telfon.
[Sudah jangan menangis, ibu nggak pernah mengajari anak ibu
berbohong tetapi kali ini kebohongan anak dan menantu ibu sungguh membuat ibu
bahagia].
[Makasih ya Bu ...]