Berawal dari aksi protes
lusinan aktivis di pusat kota Damaskus lima tahun silam, konflik di Suriah
menjelma menjadi neraka berkepanjangan. Sebuah lembaga penelitian merumuskan
kengerian di dataran Syam itu dalam angka.
Tragedi saja tidak cukup buat
menggambarkan derita dan nestapa apa yang dialami penduduk Suriah. Sejak perang
berkecamuk lima tahun silam, negeri di daratan Syam itu remuk didera teror
Islamic State, dijerat keberingasan serdadu Bashar al Assad dan dihujani bom
oleh koalisi internasional.
Padahal segalanya berawal
penuh harap. Gelombang musim semi
Arab yang menyapu seluruh jazirah, dulu juga ikut berjejak di Damaskus
untuk meruntuhkan rejim Assad. Demokrasi seakan ada di depan mata. Tapi apa
yang kemudian terjadi adalah neraka berkepanjangan yang merenggut lebih dari
seperempat juta nyawa manusia. Lebih 11 juta warga terpaksa mengungsi baik ke
negara tetangga maupun meluruk ke Eropa dan memicu krisis pengungsi.
Dalam laporannya
tahunannya, wadah pemikir Syrian Centre for Policy Research bahkan menyebut
angka korban tewas, langsung atau tidak langsung, mencapai 470.000 orang.
Sementara PBB mencatat korban luka-luka telah melampaui angka satu juta.
Catatan muram itu bertambah
panjang di tahun ke lima konflik. Tingkat harapan hidup yang awalnya berkisar
70,5 tahun, kini jatuh di angka 55,4 tahun. Sekitar 85 persen penduduk
kehilangan mata pencaharian dan seperlima angkatan kerja kini mencari uang lewat
perang dengan menjadi gerilayawan bayaran, melakukan penculikan atau
penjarahan.
Lembaga penelitian Frontier
Economics memperkirakan perekonomian Suriah kehilangan sekitar 275
miliar US Dollar potensi pertumbuhan akibat perang. Jika hingga 2020 konflik
belum mereda, potensi yang lenyap bahkan mencapai 1,3 triliun US Dollar atau
sepuluh kali lipat dari anggaran belanja Indonesia tahun 2016.
Musnahnya
jejak peradaban
Namun kerugian tersebut
belum seberapa jika dibandingkan dengan hilangnya situs-situs bersejarah.
UNESCO mencatat hampir semua situs warisan dunia yang ada di Suriah saat ini
telah punah atau mengalami kerusakan berat.
Termasuk diantara yang
lenyap adalah kota tua Aleppo dan Bosra, benteng Crac des Chevaliers bekas
peninggalan perang salib dan situs kuno Palmyra yang dihancurkan oleh Islamic State.
Penguasa Suriah Bashar al
Assad tentunya punya sudut pandang lain menyimak perang saudara di negerinya
sendiri. "Semua cerita itu tidak benar. Itu tidak terjadi, melainkan cuma
propaganda," tuturnya belum lama ini dalam wawancara dengan media Jerman,
ARD.
INILAH AKTOR UTAMA PERANG SURIAH
Bashar al Assad
Presiden Suriah ini bersama
rezim di Damaskus adalah penyebab utama pecahnya perang saudara yang dimulai
2011. Rakyat yang tak puas atas kepemimpinannya 4 tahun silam menggelar
berbagai aksi protes yang dijawab dengan tembakan peluru tajam. Sumbu peledak
perang adalah tewasnya beberapa remaja yang menggambar grafiti anti Assad di
tahanan aparat keamanan.
Pemberontak Suriah
Mereka menamakan diri
kelompok oposisi. Dalam kenyataanya mereka adalah kelompok militan yang punya
berbagai agenda, dan kebetulan punya satu sasaran, yaitu menumbangkan rezim
Bashar al Assad. Kelompok paling menonjol adalah Free Syrian Army, serta Front
al Nusra yang merupakan cabang al Qaida di Suriah. Akibat perang saudara,
300.000 tewas dan lebih 12 juta warga Suriah mengungsi.
Islamic State (IS)
Walaupun baru muncul awal
tahun 2014, IS merupakan kelompok bersenjata paling kuat dan ditakuti. Kelompok
Sunni ini didukung pakar militer bekas pasukan elit Saddam Hussein dari Irak.
Anggotanya berdatangan dari berbagai negara Eropa. Kebanyakan anak muda,
militan, radikal, dan punya keahlian di bidang militer maupun teknologi
informatika. IS kini menguasai kawasan luas di Suriah dan Irak.
Arab Saudi
Merupakan negara pendukung
kelompok pemberontak Sunni di Suriah. Arab Saudi terutama ingin menumbangkan
rezim Assad dan meredam hegemoni penunjang kekuasaanya, yaitu Iran. Mereka
sekaligus juga memerangi IS agar tidak semakin kuat. Riyadh punya kepentingan
agar Suriah tidak runtuh, yang akan menyeret Libanon dan Irak serta seluruh
kawasan ke situasi chaos.
Iran
Sebagai negara pelindung
kaum Syiah, Iran mendukung milisi Hisbullah di Libanon yang bertempur membela
rezim Al Assad. Iran juga mengirim tentara serta penasehat milternya ke
Damaskus. Mula-mula kehadiran Iran tidak dianggap. Tapi perkembangan situasi
menyebabkan pemain besar lainnya kini mulai merangkul pemerintah di Teheran
untuk solusi krisis Suriah.
Turki
Ankara takut terbentuknya
negara Kurdistan di Suriah. Karena itu dengan segala cara hal ini hendak
dicegah. Turki juga "melatih" pemberontak Suriah dengan dibantu biaya
AS. Presiden Recep Tayyip Erdogan juga berseteru dengan Assad. Selain itu kaum
Kurdi di Irak juga makin kuat karena mendapat dukungan Iran. Inilah yang
membuat Turki mengerahkan militernya ke perbatasan atau melewatinya.
Amerika Serikat
Keterlibatan Washington di
kawasan dimulai 2003 dengan tumbangkan penguasa Irak, Saddam Hussein. Vakum
kekuasaan picu runtuhnya Irak dan destabilisasi keamanan hingga ke Suriah.
Kondisi ini yang juga ciptakan Islamic State (IS) yang mampu kuasai kawasan luas
di Irak dan Suriah. AS juga membiayai pelatihan pemberontak "moderat"
dengan dana 500 juta US Dolar, sebagian menyeberang ke Al Qaida.
Rusia
Moskow dikenal sebagai
pendukung rezim di Damaskus. Akhir 2015 Rusia memutuskan lancarkan serangan
udara terhadap IS. Operasi militer ini memicu kecaman di kalangan NATO. AS dan
Turki mengklaim serangan udara Rusia ditujukan ke kelompok pemberontak anti
Assad. Insiden penembakan jet Rusia oleh militer Turki makin panaskan situasi.
Penulis: as/ml (dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar