Dikisahkan ada seseorang yang dianggap sesat oleh kawanannya. Dia dianggap sesat karena diduga telah mengajarkan ajaran sesat kepada orang awam. Ajaran ini, kata yang menganggap sesat, sebenarnya tidak boleh diajarkan kepada orang awam karena mereka sulit untuk dipahamkan.
Tidak hanya itu saja. Orang yang dianggap sesat itu juga dikatakan telah melakukan makar kepada kerajaan. Dia membentuk sebuah kelompok tarekat diberbagai kota di Jawa, namun itu dikira akan melakukan makar terhadap kerajaan. Dua kasus inilah yang dijadikan modal untuk menghukum mati orang tersebut.
Cerita itu berlangsung pada saat kerajaan Islam di Jawa yang sedang naik daun. Dikisahkan bahwa organisasi perwalian, mungkin saat ini MUI, telah menyatakan Syekh Siti Jenar melakukan tindakan makar dan mengajarkan aliran sesat. Lantas kemudian Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh perkumpulan wali.
Cerita ini lah yang sering kita dengar, padahal jika kita telurusi sejarahnya, menurut Agus Sunyoto Syekh Siti Jenar hidup jauh sesudah masa Wali Songo, maka jelas nampak keganjalan dalam cerita tersebut, Sunyoto juga menolak persepsi tentang kematian Syekh Siti jenar yang dibunuh, dan Sunyoto berkesimpulan bahwa cerita tersebut adalah fiktif.
Lantas kenapa kematian Syekh Siti Jenar dibuat sedemikian rupa sehingga persepsi banyak orang hanya negatif ketika mendengar nama Syekh Siti Jenar. Hal ini bisa dijawab karena banyak kalangan yang tidak menginginkan ajaran Syekh Siti jenar semakin meluas. Ajaran mistiknya mungkin bertentangan dengan negara atau bahkan sudah merugikan negara.
Maka gerakan-gerakannya dilumpuhkan dan membuat cerita itu untuk meyakinkan warga bahwa jangan sampai ikut aliran Jenarisme. Ya memang begitulah polemik politik. Ada sebuah gerakan yang tidak disukai langsung dihadapi dengan represif. Padahal mistisisme Jawa sangat kental, maka sangat kontradiktif sekali jika tradisi mistik Jawa menolak mistik, jadi aneh kan ceritanya?.
Hal itu juga menandakan bahwa negara tidak memiliki pondasi yang kuat. Sehingga pondasi tersebut bisa saja dimanipulasi demi kepentingan perorangan atau kelompok sepihak tanpa memperdulikan yang lainnya. Maka tidak heran jika sebenarnya Jenarisme tidak bertentangan dengan mistik Jawa, namun hanya ditolak oleh kelompok lain yang tidak suka dengan Jenarisme.
Pada saat itu, sistem negara yang digunakan adalah kerajaan. Sistem kerajaan di Jawa memiliki ciri khas yang unik. Raja sebagai pemimpin kerajaan dianggap sebagai titisan Tuhan. Raja memiliki kekuatan-kekuatan magis yang diberi oleh Tuhan. Pandangan semacam secara turun temurun yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa.
Meskipun agama silih berganti, akan tetapi corak Jawa dalam kerajaan tetap dipertahankan. Begitu juga ketika Islam datang di bumi Jawa tidak luput dari pengaruh Jawa sentris. Sehingga pandangan-pandangan kerajaan Islam di Jawa juga dipengaruhi oleh hal-hal semcam itu. Pandangan seperti ini pun sangat mistik, dan hanya bisa dipahami dengan cara yang mistik juga.
Akan tetapi, pengaruh dari ajaran agama juga sangat kentara dalam kerajaan Jawa. Majapahit dengan Hindu-Budhanya, Demak dengan Islamnya, ajaran agamanya itu memberikan ciri khas yang berbeda, akan tetapi juga memiliki ciri yang sama, yakni seorang raja adalah titisan Tuhan. Maka kerajaan Islam di Jawa pada saat kisah itu juga mempercayai dua model kerajaan. Dualisme pemerintahan sangat kentara dihampir semua kerajaan di Jawa. Kerajaan Demak di satu sisi menggunakan syariat sebagai landasannya, namun di sisi lain juga menggunakan sistem kerajaan Jawa.
Kisah Syekh Siti Jenar atau Lemah Abang yang dihukum mati oleh Demak ini bisa dilihat dari perspektif kerajaan Demak Islam. Lah kok bisa begitu ? bukannya memang kerajaan Demak itu Islam. Ya, memang kerajaan Demak adalah Islam. Tetapi, Demak juga tidak kehilangan identitas kerajaan Jawanya. Buktinya sistem pemerintahannya juga meniru kerajaan-kerajaan sebelumnya, bukan meniru kerajaan Abbasyiah atau Umayyah atau kerajaan Islam lainnya.
Akan tetapi mengapa Syekh Siti Jenar dibunuh. Alasan yang logis dari pertanyaan ini adalah masalah politik. Coba kita kembali pada kontradiksi di atas, apakah mungkin seorang wali membunuh? seperti cerita-cerita yang sering kita dengar. Ya, ke-wali-annya jelas akan dipertanyakan, lha wong nggak ada perang kok membunuh. Maka dari itu, kita harus membuka mata lebar-lebar kepada sejarah.
Sejarah Syekh Siti Jenar harus dikontruksi ulang seperti yang telah dilakukan oleh Agus Sunyoto. Dekontruksi ini nantinya akan menjadi cerita baru bagi generasi kedepan, jangan sampai generasi yang akan datang masih ditutupi oleh sejarah yang nggak jelas seperti saat ini. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar