Judul diatas saya kutip dari statemen seorang
kawan yang ditujukan kepada rekannya saat bincang-bincang santai (tapi serius) di
mushallah kantor waktu Ishoma. Dia
menanggapi pandangan salah seorang rekannya tentang kesempurnaan ajaran Islam dengan
kalimat, “kalau begitu cara pandangmu maka ajaran Nabi Muhammad tidaklah
sempurna”. Perbincangan yang menjurus debat kecil itu cukup menarik untuk saya
ikuti, karena bagi saya dapat menambah wawasan dalam menggali dan mengembangkan
agama Islam.
Praktik bid’ah
Awalnya seorang kawan menyampaikan
pandangan kepada rekan sekantor tentang banyaknya praktik bid’ah di kalangan
masyarakat kita. Ia berdalih bahwa, “Islam itu sudah
sempurna, tidak boleh ditambah dan
dikurangi; Kewajiban umat Islam adalah ittiba’
(mengikuti); Apabila menambah-nambah
atau mengada-ada sesuatu yang tidak ada tuntunannya itu namanya bid’ah; Setiap bid’ah adalah kesesatan yang tempatnya
di neraka; Apabila berselisih maka kembali pada al-Qur’an dan hadis”. Ia
menyampaikan pandangannya itu dengan mantab dan bersemangat, disertai
dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis yang disampaikan dalam bahasa Arab.
Sontak, pandangan itu direspon oleh seorang
kawan lainnya yang lebih senior dengan pertanyaan, “Menurutmu, bagaimanakah pengaturan waktu
shalat dan puasa di negara-negara Skandinavia, yang berada di dekat lingkar
Kutub Utara?”. Dijelaskannya bahwa di kawasan itu waktu siangnya sangat panjang, rata-rata diatas 20
jam dan waktu malamnya sangat pendek, rata-rata kurang dari 4 jam.
Bahkan di Lapland
(bagian provinsi Finlandia paling utara), pada
suatu musim panas tahun 2008, matahari terlihat tidak pernah tenggelam selama
beberapa minggu (siang terus). Fenomena alam itu dikenal dengan istilah “Midnight Sun”. Nah, kalau demikian bagaimana pengaturan
waktu shalatnya? Kapan saat shalat
subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya?.
Ditambahkannya
lagi, pada tahun 2015 yang lalu, di Islandia matahari
terbit pukul 02.30 dinihari dan terbenam pada 23.50 tengah malam. Sehingga
muslim di Islandia menjalani puasa dengan durasi waktu terlama di dunia (21,5
jam). Mereka
hanya memiliki waktu 2,5 jam untuk berbuka puasa, shalat magrib, shalat isya,
shalat tarawih, dan makan sahur sebelum waktu subuh tiba. Bagaimana pengaturannya? Apakah ada penjelasan
di al-Qur’an dan hadis?
Mendengar pertanyaan itu kawan yunior-pun
terdiam. Ia nampak bingung, tak mampu
menjawab. Mungkin ia baru tahu kalau ada
kawasan di belahan dunia ini yang mengalami situasi malam terus menerus. Bahkan
mungkin juga ia mulai menyadari bahwa AQ dan hadis tidak mengatur pelaksanaan
puasa dan shalat di sana. Ia kehilangan
dalilnya, “Apabila
berselisih maka kembali pada al-Qur’an dan hadis”.
Ajaran Nabi (Tidak)
Sempurna.
Kemudian pertanyaanpun berlanjut, “Kenapa
bisa terjadi perbedaan pendapat dalam penafsiran dalil-dalil AQ maupun hadis?” Dan “kenapa timbul banyak mazhab atau golongan
dalam Islam?” Logikanya, kalau masih
timbul perbedaan pendapat, itu berarti ajaran Nabi Muhammad belum sempurna.
Semestinya, kalau sempurna tentu tidak bakal terjadi perbedaan pendapat, yang akhirnya
memunculkan banyak mazhab atau golongan dalam Islam.
Terjadinya perbedaan pendapat itu disebabkan
karena Nabi Muhammad, dalam menyampaikan ajarannya, “tidak
menjelaskan secara rinci” seluruh teknis pelaksanaan ibadah maupun berbagai
amalan lainnya dalam aspek kehidupan.
Salah satu contoh kecil adalah masalah
pelaksanaan shalat. Nabi mengajarkan shalat dengan mengatakan, “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”,
artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”.
Hadis itu shahih diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Karena Nabi mengajarkan shalat dengan
cara menyuruh para sahabatnya melihat cara beliau shalat, akibatnya timbul
banyak ragam cara umatnya melakukan shalat.
Beberapa orang sahabat melihat nabi shalat dengan sudut pandang yang
berbeda-beda. Seperti, dimana meletakkan tangan waktu berdiri, kemana pandangan
mata diarahkan, bagaimana niat shalat, apakah imam mengeraskan bacaan basmalah,
shalat tarawih berapa rakaat, dan seterusnya.
Coba seandainya nabi mengajarkan cara
shalat dengan memberikan petunjuk secara teknis dan rinci, tentu tidak bakal
timbul perbedaan pendapat tentang tata cara shalat. Dengan demikian maka logikanya, cara nabi
mengajarkan shalat hanya dengan “Shallu
kama ra’aitumuni ushalli” adalah tidak sempurna, karena menimbulkan
perbedaan pendapat.
Namun itu adalah sebuah logika sederhana
yang menyangkal pandangan sempit, bahwa “Islam itu sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Apabila
menambah-nambah atau mengada-ada sesuatu yang tidak ada tuntunannya adalah
bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan
yang tempatnya di neraka”. Kawan tadi menambahkan, “kalau begitu
cara pandangmu maka ajaran Nabi Muhammad tidaklah sempurna”.
Kesempurnaan ajaran
Islam.
Menilai kesempurnaan ajaran Islam itu
bukanlah pada “lengkap tidaknya” teks al-Qur’an
dan hadis dalam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Pengaturan seluruh aspek kehidupan secara
lengkap dalam teks al-Qur’an dan hadis tidaklah mungkin alias mustahil.
Al-Qur’an dan hadis tidak mungkin
dapat sempurna seperti keinginan manusia yang dapat mengatur secara lengkap dan
rinci. Sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt, sebagai satu-satunya dzat
yang maha sempurna. Pandangan terhadap Islam
sebagai agama yang paling sempurna adalah karena 4 alasan, yaitu:
Pertama, ajaran Islam telah merangkum seluruh ajaran agama yang disampaikan oleh
para nabi sebelumnya.
Kedua, Islam mengajarkan nilai-nilai “kebajikan” universal yang sangat luas dan
menyeluruh, mencakupi seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial,
budaya maupun keamanan.
Ketiga, ajaran Islam bersifat fleksibel dan mudah dilaksanakan. Ia memberikan
keleluasaan bagi pemeluknya, khususnya para ulama, untuk ber-ijtihad dalam
mengambil keputusan perkara yang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam
al-Qur’an maupun hadis.
Keempat, ajaran Islam bersifat universal, berlaku sepanjang jaman dan bagi seluruh umat
manusia di manapun berada.
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad
sebagai manusia paling sempurna. Kesempurnaan nabi Muhammad bukan berarti beliau
sebagai manusia tidak pernah lupa, keliru ataupun sedih. Justru kekeliruan,
lupa dan kesedihan nabi mengandung hikmah dan pelajaran bagi umatnya.
Kalau dijabarkan lebih jauh lagi,
bahwa nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam meliputi pedoman berperilaku, baik secara personal maupun sosial. Islam mengajarkan bagaimana adab (tata karma) prilaku manusia, sejak
bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari.
Demikian juga dalam hubungan
sosial. Islam memberikan panduan dalam
konteks hubungan dalam keluarga, dengan tetangga dan dengan masyarakat
luas. Islam mengatur hak dan kewajiban
anak terhadap orang tua, dan sebaliknya. Kemudian juga mengajarkan tentang
etika, warisan, pernikahan, dan sebagainya. Dalam hubungan sosial dengan
tetangga dan masyarakat luas, Islam mengajarkan masalah toleransi, hak asasi, jual
beli, hutang piutang, hingga sanksi pidana. Kesemuanya aturan itu ada dalam
Islam, dan (barangkali) tidak ada dalam agama selain Islam.
Namun, jangan berharap Islam mengatur
kesemuanya itu secara lengkap dan rinci. Islam hanya memberikan panduan aturan secara
garis besar berupa nilai-nilai, bukan teknis.
Kalau Nabi Muhammad dituntut untuk mengajarkan risalah Islam secara lengkap
dan rinci hingga teknis pelaksanaan sekecil-kecilnya, maka durasi waktu 11
tahun (efektif sejak hijrah hingga wafat) tidaklah cukup. Dan kalau ditulis dalam sebuah risalah maka
bisa jadi tebalnya mencapai berjuta halaman.
Praktik Bid’ah
Sepeninggal Nabi, para sahabat banyak yang
mempraktikkan bid’ah. Seperti praktik shalat tarawih berjamaah, pembukuan
al-Qur’an, Adzan shalat jum’at 2 kali, shalat sunah usai wudlu, do’a al-fatihah
untuk mengobati penyakit, dan masih banyak lagi. Itu semua dilakukan oleh para
sahabat semata untuk tujuan yang baik, dan tentu tidak menyimpang dari garis yang
pernah dilakukan oleh Nabi. Yang demikian itu oleh para ulama disebut sebagai
bid’ah hasanah.
Praktik-praktik bid’ah juga banyak
dilakukan oleh umat saat ini, seperti: zakat fitrah dengan beras, zakat
profesi, qurban dikirim ke pelosok desa, shalat jama’ qashar dalam perjalanan
pesawat terbang, dzikir berjamaah, halal bi halal, peringatan maulid, dan
sebagainya. Praktik-praktik ibadah itu
semua tidak ditemukan dalam hadis Nabi, dan tentu tergolong bid’ah.
Sebagian amalan, zakat misalnya, apabila harus mengikuti yang dicontohkan
persis oleh Nabi (berupa gandum, kurma, anggur kering, atau keju) dan tidak
boleh dalam bentuk uang, tentu akan timbul permasalahan. Oleh karenanya para
ulama ber-ijtihad memperbolehkan
zakat dalam bentuk uang, karena pertimbangan faktor kemudahan dalam penerimaan
dan penyaluran, serta nilai kemanfaatannya. Asalkan tidak menyimpang secara
hakekat. Itulah bid’ah hasanah.
Para ulama besar seperti Imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
Anas, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibnu Hambal), serta ulama besar lainnya adalah para ulama yang memiliki kedalaman ilmu
agama, amal dan akhlak yang tinggi. Mereka
hafal al-Qur’an dan mempunyai pengetahuan yang sangat dalam tentang sunah
rasul. Dalam ber-ijtihad untuk menetapkan sebuah hukum, mereka sangat
bersungguhsungguh. Tetapi hasilnya ada perbedaan diantara mereka. Dan tentu diantara ketetapan hukumnya ada
unsur bid’ah. Apakah mereka sesat?
Perbedaan pendapat
adalah rahmat
Sesungguhnya, perbedaan pendapat yang timbul di antara kaum
muslim adalah hal wajar dan merupakan sunatullah. Timbulnya Iktilaf (perbedaan pendapat) diantara
para ulama dalam memahami AQ dan hadist disebabkan oleh : (1) Ayat AQ dapat
mengandung banyak makna. (2) Hadis beredar dari mulut ke mulut selama hampir
dua ratus tahun di antara perawi hadis, sehingga dalam penulisannya
memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan. (3) Kecerdasan, pengalaman dan
sosio-kultural para ulama yang berbeda, menyebabkan berbeda dalam menafsirkan
ayat Al-Qur’an dan hadis, serta berbeda dalam menyusun metode Ijtihad.
Namun demikian, dibalik perbedaan
pendapat diantara para ulama justru mengandung hikmah. Karena dari perbedaan tersebut kaum muslim diberikan
kesempatan untuk berpikir menggunakan akalnya sehingga memperoleh kebenaran. Rasulullah bersabda, “Perbedaan pendapat para
sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi). Meski hadis ini
dinyatakan dhaif (lemah) oleh para
ulama, namun Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, pendiri Madzhab Hambali, berpendapat bahwa hadis
dha’if dapat dipergunakan untuk
perbuatan-perbuatan yang afdal (baik) bukan untuk
menentukan hukum.
Perbedaan pendapat pada tataran teknis
tentang pelaksanaan shalat bukanlah menjadi masalah, asalkan tidak menyimpang
dari rukun (aturan pokok), seperti
keberadaan sikap berdiri, rukuk, sujud, tahyat, dan salam, atau jumlah rakaat pada
shalat fardhu.
Maksud perintah Nabi “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat” adalah untuk memberikan kebebasan
berkreasi bagi umatnya dalam memperbanyak amalan shalat sesuai rukunnya (aturan
pokok). Bukan dalam rangka mengatur
bagaimana posisi tangan waktu bersedekap, apakah di dada, perut, antara dada
dan perut, dan sebagainya.
Demikian juga pada masalah pelaksanaan
puasa, dzikir, dan zakat. Asal tidak
menyimpang dari hakekat dan rukunnya, umat nabi Muhammad diberi keleluasaan
untuk berijtihad sesuai situasi dan permasalahan lapangan yang selalu
berkembang. Hal itu janganlah dibilang
bid’ah. Karena nabi telah memberi sinyal
secara tegas mana yang diperintah dan yang dilarang.
Sesungguhnya ajaran agama Islam itu memang
sempurna. Tetapi apabila dalil-dalil
al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara sempit, maka akan hilanglah makna
kesempurnaannya. Pengertian “sempurna”
tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang lengkap, rinci dan tanpa
penafsiran.
Kesempurnaan ajaran
Islam justru terletak pada fleksibilitas dalam
pengamalan aturan hukumnya yang mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia dengan segenap nilai-nilai “kebajikan” universal. Fleksibilitas itu ada pada Ijtihad, sebagai salah satu dari tiga sumber
hukum selain al-Qur’an dan hadis. Dasar hukum yang menguatkan ijtihad berasal
dari hadis Nabi juga.