Perdebatan masyarakat
awam tentang tingkat kemakmuran negeri kita terjadi di mana-mana dan tak
kunjung selesai dengan satu kesepahaman. Ada yang menilai bahwa negeri
kita semakin makmur, indikasinya: mal-mal semakin banyak berdiri, jumlah
kendaraan terus bertambah, perumahan-perumahan muncul di mana-mana, demikian
pula rumah-rumah di desa banyak yang dibangun ala minimalis. Bahkan
masyarakat di pelosok-pelosok desapun banyak yang telah memiliki motor dan
tidak asing lagi dengan handphone.
Namun sebagian lain
berpendapat sebaliknya, jaman sekarang hidup semakin susah, mencari pekerjaan
semakin sulit, pengangguran semakin banyak, para sarjana sulit mendapatkan pekerjaan,
membuka usaha tidak semudah dulu, pedagang kaki lima pada digusur, banyak yang
lari ke LN menjadi TKI, dan sebagainya. Perbedaan
pandangan seperti itu tentu wajar terjadi dan cukup beralasan, tergantung dari
sudut mana mereka memandang. Berbagai pandangan itu tidak lepas dari pengaruh
lingkungan, pengalaman dan pengetahuan yang berbeda satu sama lain.
Lantas bagaimana
sesungguhnya tingkat kemakmuran negeri kita ini?. Penulis mencoba
memberikan pandangan berdasarkan data dan kajian. Setidaknya ada empat
parameter untuk menilai tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa, yaitu: (1) pendapatan
perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, dan (4) indek pembangunan
manusia (IPM).
1. Pendapatan
Per Kapita.
Pendapatan per kapita
adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara selama satu tahun.
Besaran pendapatan per kapita dapat
dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) suatu negara dengan jumlah penduduk negara yang bersangkutan. Pendapatan per kapita merupakan ukuran paling
sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan
sebuah negara. Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur
negara tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat, jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2016 mencapai Rp
12.406,8 triliun (US$ 932,6 miliar) dan Pendapatan per Kapita mencapai Rp 47,96
juta/tahun (senilai US$ 3.605). Jadi
pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulan di tahun 2016 sebesar Rp 4
juta.
International
Monetary Fund dalam laporannya yang dirilis akhir tahun lalu menyebutkan
pendapatan perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120 jauh berada dibawah Singapura (US$
93.680), Brunei (US$
77.700), dan Malaysia (US$
30.430). Namun sedikit
diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$
7.380). Dari sebelas negara yang ada di Asia
Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima, dibawah Singapura, Brunei
Darussalam, Malaysia dan Thailand. Namun
berada di atas Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar, Timor Leste dan Kamboja.
2. Koefisien
Gini
Koefisien Gini atau Gini
Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan
antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara. Gini ratio dikembangkan oleh statistikus
Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilit
e mutabilit. Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz,
yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari
suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform
(seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.
Besaran angka koefisien
gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka
semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk. Angka 0
berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan
ketimpangan yang sempurna. Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan
pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
Berdasarkan laporan dari
Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, Indek Gini Ratio di Indonesia
berada di angka 0,397. Proporsi masyarakat Indonesia dengan kekayaan kurang
dari US$ 10.000 mencapai 84,30%, sedangkan kekayaan lebih dari US$ 1 juta hanya
0,1%. Besarnya kesenjangan juga terlihat
pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia
didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah
rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100
juta.
Ketimpangan kekayaan
antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei
lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya
menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara
ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di
Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .
Kondisi ini hanya
lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand. Berdasar laporan Credit Suisse, kekayaan
rata-rata orang dewasa Indonesia yang mencapai $10.772 dan menempati
peringkat ke-4 kawasan ASEAN. Sedangkan peringkat tertinggi adalah Singapura
($276.885), dan terendah Myanmar yang hanya $2.221.
Namun dalam ketimpangan
kekayaan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dibawah Thailand.
Thailand adalah negara paling tinggi ketimpangan kepemilikan kekayaannya.
Sedangkan negara ASEAN paling merata kepemilikan kekayaannya adalah Brunei
dengan Indeks Gini mencapai 68%. Data
Kementerian Keuangan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan
pendapatan di indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski
meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang
(berada di rentang 0,3-0,5).
Secara teori ekonomi
dalam sebuah negara berkembang, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya
dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja. sementara 20% kekayaan
selebihnya harus dibagi-bagi ke sisanya yang 80% penduduk. Namun kenyataan di
Indonesia menyimpang jauh. Menurut ketua MPR, Zulkifli Hasan kesenjangan sosial
di Indonesia sangat tinggi sekali. Hal ini terjadi akibat distribusi kekayaan
negara yang sangat timpang dan tidak adil di Indonesia. Separuh lebih (85%)
kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang
(23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
Sedangkan Sekjen PBNU,
Helmy Faishal Zaini juga mengungkapkan bahwa jumlah dana yang berputar di
Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya
dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing
memiliki perusahaan raksasa di Indonesia. Terpuruknya ekonomi Indonesia
pada 1998 karena hanya bertumpu pada segelintir pengusaha atau konglomerat.
3. Data
Kemiskinan
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada
Maret 2016 angka orang miskin di Indonesia mencapai 28,01 juta atau 10,86 persen
dari total penduduk negeri. Kemiskinan di Indonesia berdasarkan
data BPS sejak tahun 2007 hingga 2016 ditunjukkan dalam prosentase dari
populasi sebagai berikut: Tahun 2007=16,6% ; 2008=15,4% ; 2009=14,2% ;
2010=13,3% ; 2011=12,5% ; 2012=11,7% ; 2013=11,5% ; 2014=11,0% ; 2015=11,1% ;
dan 2016=10,9%.
Data di atas menunjukkan
penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun beberapa
pihak mengkritisi, pemerintah Indonesia menggunakan patokan yang sangat rendah
mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang
lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan
garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp.
325.000,- (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup
sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.
Namun jika kita
menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $37.5 per
bulan (setara Rp. 498.000,- ), maka prosentase data di atas akan kelihatan
tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen.
Lebih
lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia
yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari (setara
Rp.79.000/bulan) angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan.
Laporan terbaru di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat
jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di
atas garis kemiskinan nasional.
4. Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI) merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan
sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia
(masyarakat/penduduk). IPM diperkenalkan oleh Badan Program Pembangunan di
bawah PBB (United Nations Development
Programme/UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam
laporan tahunan Human Development Report (HDR).
Penentuan peringkat IPM
dilakukan melalui survei dengan obyek tiga dimensi utama yaitu: Standar Hidup
Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan untuk semua negara seluruh
dunia. IPM digunakan untuk
mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang
atau Negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup.
Dalam laporannya, UNDP
menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di
peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. Di ASEAN
saja Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (peringkat 9), Brunai (peringkat
30), dan Malaysia (peringkat 59). Juga masih dibawah Thailand (peringkat 93)
dan Filipina (peringkat 98). Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam
kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori
tinggi.
Bahkan yang
memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat
110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015). Penurunan itu
disebabkan antara lain oleh faktor kesenjangan sosial yang tinggi, banyaknya
kasus korupsi (Indonesia peringkat 5 negara terkorup di dunia), dan sebagainya.
Catatan Akhir
Berdasarkan data diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pembangunan kualitas hidup bangsa
Indonesia tergolong sangat rendah, dengan nilai IPM sebesar 0,689 yang berada
di peringkat 113 dari 188 negara di dunia (berdasarkan penilaian UNDP). Sedangkan di Asia
Tenggara Indonesia menempati urutan kelima, di bawah Singapura, Brunei,
Malaysia dan Thailand. Tingkat
ketimpangan kekayaan di Indonesia juga termasuk paling buruk di dunia, dimana segelintir (1 %)
orang terkaya menguasai separuh (49,3 %)
total asset negara. Dan sekitar
seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit
saja di atas garis kemiskinan, dengan pendapatan per kapita per bulan kurang
dari Rp.798.000 (standar Bank Dunia).
Demikian catatan akhir
tentang tingkat kemakmuran bangsa tercinta ini. Ironis, negara dengan sumber kekayaan alam
melimpah didukung sumber daya manusia intelektual tinggi namun kualitas hidup
bangsanya begitu memprihatinkan. Kenapa? Tentu ada masalah dengan bangsa tercinta ini.
Semoga kita dapat segera mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan nya
sehingga tercapai keadilan dan kemakmuran bangsa yang didambakan. Amin
&&&&&
Resume
&&&&&
Resume
EMPAT PARAMETER UNTUK MENILAI TINGKAT KEMAKMURAN BANGSA
yaitu: (1) pendapatan perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, serta (4) indek pembangunan manusia (IPM).
1. Pendapatan Per Kapita.
· Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk selama satu tahun.
· Besaran pendapatan per kapita dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan jumlah penduduk.
· Pendapatan per kapita merupakan ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan sebuah negara. Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut.
· BPS : PDB tahun 2016 = Rp 12.406,8 triliun ; Pendapatan per Kapita = Rp 47,96 juta/tahun (senilai US$ 3.605). Jadi pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulan di tahun 2016 sebesar Rp 4 juta.
· International Monetary Fund : Pendapatan perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120 jauh berada dibawah Singapura (US$ 93.680), Brunei (US$ 77.700), dan Malaysia (US$ 30.430). Namun sedikit diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$ 7.380).
2. Koefisien Gini
· Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.
· Gini ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gin th. 1912, yg didasarkan pada kurva Lorenz.
· Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
· Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
· BPS per Maret 2016: Indek Gini Ratio di Indonesia = 0,397.
· Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.
· Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia.
· Secara teori ekonomi, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja.
· Ketua MPR, Zulkifli Hasan : Kesenjangan sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
· Helmy Faishal Zaini : Jjumlah dana yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
3. Data Kemiskinan
· BPS : Sejak 2007 sd 2016, data statistic penurunan angka lemiskinan.
· Pemerintah mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) = standar hidup sangat rendah.
· Standar Bank Dunia, penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $2 per hari ($60 perbulan = Rp. 900 ribu per bulan.
· Sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
· Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk).
· Tiga dimensi utama IPM: Standar Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan.
· IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang atau Negara terbelakang
· UNDP menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia.
· Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori tinggi.
· Bahkan yang memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar