Selasa, 26 Juni 2018

Mengapa Perkawinan Sepasang Orang Baik Bisa Tidak Bahagia ?

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik. Sejak kecil saya melihat Ibu begitu gigih menjaga keutuhan keluarga.
Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang baik.
Setelah itu, masih harus memasak nasi untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Setiap sore, ibu selalu membersihkan perangkat dapur supaya tidak ada noda sedikitpun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu.
*IBU adalah seorang wanita yang sangat RAJIN & TELITI*.
Namun menurut ayah, *ibu bukan pasangan yang baik*.
Tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tidak memahaminya.
*****
*AYAH saya adalah seorang laki-laki yang BERTANGGUNG JAWAB*.
Ia tidak merokok dan tidak pernah minum-minuman keras. Serius dalam pekerjaan.
Setiap hari berangkat kerja tepat waktu dan saat libur ayah selalu punya waktu untuk mengantar kami ke sekolah.
Ayah mendukung anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran.
Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata kami anak-anaknya.
Ia besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, *di mata ibu, ayah bukan pasangan yang baik*.
Kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam.
Saya melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka.
Harusnya...
MEREKA LAYAK MENDAPAT KEBAHAGIAAN DALAM RUMAH TANGGA.
Saya bertanya pada diri sendiri, *"Mengapa dua orang baik ini tidak bahagia ?"*
*****
*Setelah dewasa*, dan akhirnya saya memasuki perkawinan, perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu: 'Berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dengan sungguh2 berusaha memelihara perkawinan sendiri.'
*Anehnya*, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak bahagia.
*Saya merenung* : mungkin rumah kurang bersih atau masakan tidak enak.
Lalu, dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak dengan sepenuh hati.
Namun rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia.
*Hingga suatu hari*, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah, suami saya berkata:
"temani aku sejenak mendengarkan alunan musik".
Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung. Kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu.
Saya sedang *mengulang ketidakbahagiaan* dalam perkawinan mereka.
Ada beberapa *kesadaran* muncul.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suami saya, dan *teringat akan ayah yang tidak mendapat apa yang dia butuhkan* dalam perkawinannya.
Waktu ibu habis untuk membersihkan rumah *namun yang dibutuhkan ayah* adalah "menemaninya".
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga *adalah cara ibu* dalam mempertahankan perkawinan.
Ibu memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun ibu jarang menemani ayah.
*Ibu berusaha mencintai ayah dengan cara ibu*.
KESADARAN MEMBUAT SAYA MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG BERBEDA.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengarkan musik. Dan dari kejauhan, *saat memandangi kain pel di atas lantai*, saya seperti meratapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suami, "Apa yang kau butuhkan?"
"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku. *Rumah kotor sedikit tidak apa-apa* ", ujar suamiku.
SAYA KIRA ...
dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasak, dst.
TERNYATA...
"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku."
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan.
Hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak *melakukan pekerjaan yang sia-sia*.
Kami memiliki cara masing-masing.
*Mari pahami* :
APA YANG SEBANARNYA diinginkan pasangan kita,
*...bukan...*
APA YANG KITA KIRA diinginkan pasangan kita.
.
*Sejak itu*, saya menderetkan sebuah *daftar kebutuhan* suami, dan meletakkannya di atas meja.
Begitu juga suamiku.
Dia menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas.
Misal: Waktu senggang menemani pasangan mendengarkan musik, saling memeluk setiap pagi, memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat, dstnya.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, *tapi ada juga yang sulit*.
Misal: "dengarkan aku, jangan memberi komentar".
Ini adalah kebutuhan suami.
Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah *gengsi laki-laki*.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengan serius.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami.
Bertanya pada pasangan kita ... *"Apa yang kamu inginkan ?"* ... ternyata dapat menghidupkan pernikahan.
*****
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu tidak bisa bahagia.
MEREKA TERLALU BERSIKERAS MENCINTAI PASANGAN DENGAN *CARANYA SENDIRI*,
BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN *CARA YANG DIINGINKAN PASANGANNYA*.
Kita mungkin *merasa sangat lelah* melayani pasangan kita, namun dia tidak menghargai. Akhirnya kita kecewa dan hancur.
SETIAP ORANG BISA MEMILIKI SEBUAH PERNIKAHAN YANG BAHAGIA
... dengan CARA yang tepat :
*"Menjadi orang yang dibutuhkan oleh pasangan kita"*
*Komunikasi yang baik* adalah kunci hubungan yang serasi.
#Semoga bermanfaat 🙏🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar