Pada era awal perjuangan penyebaran agama Islam, nabi Muhammad Saw
beserta para pengikutnya (yang pada waktu itu masih sedikit) harus mengalami
beberapa kali pertempuran melawan kaum kafir yang menentang dan menghalanginya.
Menurut para ahli sejarah,
peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW antara kaum muslimin melawan
kaum kafir sebanyak 80 kali peperangan.
Dari sejumlah itu 19 kali peperangan yang
diikuti dan dipimpin langsung oleh Rasulullah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan
oleh imam Bukhari dan Muslim. Bahkan riwayat lain mengatakan kurang dari 19.
Dalam sejarah tercatat ada dua peristiwa peperangan besar yang
mempunyai makna yang begitu dalam bagi kita umat Islam, yaitu perang Badar dan
perang Uhud.
PERANG BADAR adalah perang yang sangat
dahsyat dan berat bagi umat Islam. Perang Badar merupakan perang yang tidak
seimbang, pasukan umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah harus
menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih
besar. Pasukan Islam yang hanya
berjumlah sekitar 300 prajurit dengan persenjataan
sederhana, harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang berkekuatan
sekitar 1000 prajurit dengan persenjataan
lengkap.
Namun berkat semangat perjuangan yang tinggi, serta strategi
Rasulullah yang jitu (yaitu dengan memanfaatkan potensi sumur Badar), umat
Islam berhasil memukul mundur pasukan kafir Quraisy. Umat Islam secara
spektakuler berhasil memenangkan peperangan ini.
Di tengah-tengah kegembiraan
kemenangan perang Badar, umat Islam dikagetkan oleh statemen Nabi. Rasulullah bersabda: “Raja’naa min jihaadil ashghar - ila jihaadil akbar.”
Artinya: ''Kita baru
menyelesaikan peperangan yang kecil dan akan menghadapi peperangan yang besar.''
Para
sahabat terkejut mendengar sabda nabi ini, dalam hati kecil bertanya-tanya,
bagaimana mungkin peperangan yang dahsyat dan banyak memakan korban para
syuhada Islam ini dinilai kecil oleh Rasulullah?. Dengan nada heran, mereka pun bertanya,
''Peperangan apa itu ya Rasulullah?''
Beliau menjawab, “Jihaadun
Naafsi”
('Perang melawan hawa nafsu.)
Peringatan Rasulullah ini
terbukti pada PERANG UHUD. Pada perang
Uhud pasukan umat Islam, dengan strategi yang bagus, segera dapat mematahkan
kekuatan musuh dan membuat mereka kocar-kacir sehingga meninggalkan medan
pertempuran. Melihat musuh mundur,
pasukan Islam yang berada di atas bukit, yang ditugaskan sebagai pasukan
pemanah tidak dapat menguasai diri. Karena tergoda oleh nafsu duniawi, mereka
pun turun untuk ikut mengejar musuh agar mendapat
harta rampasan perang lebih banyak lagi. Mereka
telah melanggar perintah Nabi.
Pasukan kafir yang jeli, segera memutar haluan dan sebagian
menaiki dan menduduki bukit. Kemudian
musuh menyerang pasukan umat Islam dari dua arah. Serangan dari dua arah ini
membuat pasukan umat Islam kocar kacir, dan
akhirnya umat Islam mengalami kekalahan
dalam perang ini. Banyak yang meninggal
dalam pertempuran ini, termasuk Hamzah, seorang panglima perang umat Islam yang
gagah berani. Bahkan Nabi sendiri mengalami luka yang cukup parah di bagian
wajahnya.
Dua peristiwa peperangan ini, yaitu perang
Badar dan perang Uhud, menjadi cermin yang sangat bagus bagi umat Islam. Pada perang Badar, pasukan Muslim secara
spektakuler dapat memenangkan pertempuran karena dilandasi oleh semangat jihad
yang tinggi. Tetapi pada perang Uhud,
pasukan Muslim yang seharusnya memenangkan pertempuran itu akhirnya harus
mengalami kekalahan karena terpedaya oleh nafsu (yaitu nafsu duniawi).
APAKAH SESUNGGUHNYA NAFSU ITU?.
Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai pendorong
jasmani untuk melakukan suatu perbuatan.
Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena tanpa nafsu manusia
tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau gairah untuk melakukan suatu perbuatan.
Yang perlu diketahui adalah bahwa pada diri manusia terdapat dua kekuatan nafsu yang berbeda dan saling
bertentangan, yaitu nafsu positif (yang mendorong ke
arah kebajikan) dan nafsu negatif (yang mendorong ke
arah kefasikan / kejahatan).
Dalam khasanah Islam, kedua
nafsu itu dikenal dengan nama quwwah syaitaniah
dan quwwah rabbaniyah. Quwwah
syaitaniah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah
kesesatan. Sedangkan quwwah rabbaniyah adalah nafsu yang cenderung
mendorong kearah kebajikan.
Dari dua potensi yang ada pada
nafsu itu, ternyata potensi negatif lebih
kuat dibanding potensi positif. Hal ini
bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana kita seringkali terdorong
oleh nafsu yang mengarah kepada kesesatan.
Allah SWT memberi peringatan
kepada kita, melalui firman-Nya dalam Al-Quran: ”Inna Nafsa La Amma Ratum Bissu’i - Illa Maa Rahimma Rabbi.” Artinya: ”Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang
dirahmati oleh Tuhan, Rabbul alamin.” (QS. Yunus
53)
Maka bisa digambarkan bahwa
nafsu itu ibarat api. Ia sangat berguna manakala kita dapat
menguasainya (dimanfaatkan sebagai penerang, untuk memasak, dsb), namun akan
sangat berbahaya dan bisa menjadi malapetaka apabila kita tidak dapat
mengendalikannya (ia dapat membakar apa saja yang bisa ia bakar dan kemudian
menyebabkan kebakaran yang sangat hebat).
Jadi sesungguhnya nafsu akan
sangat bermanfaat bila ia dapat dikendalikan dengan baik, namun akan sangat
berbahaya dan mencelakakan apabila kita tidak mempu mengendalikannya.
Apabila kita membiarkan apa
adanya nafsu yang ada pada diri kita dan kita tidak mengelolanya dengan baik,
maka kita akan dikuasai oleh nafsu.
Namun apabila kita dapat mengendalikan nafsu secara baik, maka kita
termasuk orang yang beruntung.
Pada surat Asy-Syamsi Allah
berfirman: ”Fa
alhamahaa fujuurahaa wa taqwahaa - Qad aflaha man zakhaa haa - Waqad khaaba man
dassaa haa”
Artinya: Maka (Dia) mengilhamkan kepada jiwa kita, (jalan)
kejahatan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya
(yaitu yang mampu mengendalikannya).
Dan sungguh merugi orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy-syams: 8-10)
Nafsu adalah kekuatan yang
berasal dari dalam diri kita. Ia berpotensi menjadi musuh nyata yang dapat menghancurkan diri kita. Nabi Muhammad memperingatkan, bahwa melawan
kekuatan dari dalam (nafsu) ternyata lebih sulit dan berat bila dibandingkan
melawan kekuatan luar. Musuh dari luar
dapat dideteksi dan diukur, tetapi musuh
yang bersembunyi di dalam diri susah dideteksi,
dan seringkali kita mengikutinya tanpa sadar. Hal itu terbukti pada peristiwa perang
Uhud.
Pada realita sehari-hari, banyak orang yang mampu mengalahkan
kekuatan luar, tapi kalah dengan dirinya sendiri. Banyak orang yang jatuh dari karier,
jabatan, kekuasaan atau kemuliaan karena disebabkan oleh faktor nafsu. Apabila nafsu duniawi telah menguasai
seseorang, maka ia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah
diperolehnya.
Rasulullah SAW bersabda : ''Seandainya
anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia
masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak
Adam, kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang
bertaubat.'' (HR Ahmad).
Orang yang mampu menguasai
nafsunya dan kuat menahan amarahnya itu bermakna pula orang yang sabar, yaitu orang yang ”memberi maaf ketika
marah.” (QS.42:37), dan yang mengucapkan kata-kata yang baik tatkala
orang-orang jahil menghinanya (QS.25:63).
Dan bagi orang-orang yang sabar, sesungguhnya Allah akan selalu
menyertainya (Innallaha ma’a shabiriin).
Salah satu contoh orang yang mampu mengendalikan nafsunya dengan
sangat luar biasa adalah Ali bin Abi Thalib RA.
Pada suatu peperangan, ketika
Ali telah berhasil menjatuhkan lawannya dan ketika hendak memenggal kepala
lawannya yang telah jatuh tak berdaya, tiba-tiba orang itu meludahi wajahnya.
Seketika itu Ali pergi meninggalkan orang tersebut dan mengurungkan niat
membunuhnya.
Sewaktu ditanya kenapa tak jadi
membunuh musuhnya itu, Ali menjawab, ”Ia telah meludahi mukaku, maka aku
khawatir nanti aku membunuhnya karena dilandasi kemarahan atas perbuatannya
itu. Sedangkan aku tak mau membunuh
karena marah kecuali karena ikhlas untuk
Allah SWT.”
Kesanggupan Ali
mengendalikan kemarahan membuatnya pantas menyandang gelar ”orang kuat”. Rasulullah bersabda: ”Bukannya yang
dikatakan kuat itu orang yang kuat bergulat.
Sebenarnya yang dikatakan kuat itu yang dapat mengendalikan
nafsunya tatkala marah.” (HR. Bukhari-Muslim).
Atas dasar hadis itu, berarti
orang yang kuat bukannya pegulat, bukannya petinju yang mampu meng-KO lawannya
hingga terkapar, bukan pula jagoan yang sanggup membuat lawannya tak berdaya
lalu menghabisinya. Orang yang kuat
adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya, yang sabar, dan yang mampu
menguasai amarahnya, sebagaimana yang di contohkan oleh shayidina Ali RA.
Dan bagi orang yang dapat
menguasai nafsunya, yaitu orang yang mampu menahan amarahnya, yang sabar dalam
menerima musibah, dan yang sanggup memberi maaf kepada orang yang menyakitinya,
maka Allah telah menyediakan baginya surga di akhirat kelak.
Allah berfirman dalam Al-Quran
surat An-Nazi’at (79) : 40 : Wa
ammaa man khaafa maqaama rabbihii - wa nahan nafsa ‘anil hawaa. Fa innal jannata hiyal ma’waa. Dan adapun orang
yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal
(nya).
Empat Cara Mengendalikan Nafsunya
Untuk dapat
menguasai atau mengelola nafsu yang ada pada diri kita, para ulama menganjurkan
agar kita senantiasa berlatih (riyadhah) dengan melakukan hal-hal secara terus
menerus, yaitu: (1) Berpuasa, (2) Bersedekah, dan (3) Hidup
sederhana, dan (4) Beristighfar.
Untuk
mempermudah mengingat empat kiat atau cara mengendalikan nafsu itu, para salik
(murid yang sedang belajar dan menjalani tarekat tasawuf) membuat ”jembatan
keledai” dengan kalimat singkatan PSSI, yaitu: Puasa,
Sedekah, Sederhana, dan Istighfar.
(1) Puasa.
Rasulullah
bersabda ; ”Perangilah nafsumu dengan
puasa”.
Pada dasarnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi hakekat
puasa adalah menahan hawa nafsu, atau pengendalian diri (self control).
Pengendalian
diri atas ucapan (mulut), pendengaran (telinga) dan
penglihatan (mata), serta perasaan (hati). Yaitu menahan
diri untuk tidak berghibah, tidak bicara kasar dan kotor yang menyakiti hati.
Menahan diri untuk tidak mendengarkan ghibah serta kata-kata jorok dan kotor.
Menahan diri untuk tidak melihat sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan
diri untuk tidak berprasangka buruk (su’udzan).
Dengan berpuasa
kita dilatih untuk mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap
dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar.
(2) Hidup
Sederhana (Zuhud).
Nabi SAW
bersabda bahwa hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa api neraka,
di Nabi SAW bersabda bahwa hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa
api neraka di antaranya adalah hidup sederhana, baik dalam keadaan fakir maupun
di saat kaya raya.
Hidup sederhana
merupakan konsep dari tasawuf yaitu zuhud. Zuhud bukanlah sikap
hidup yang anti dunia, atau menghindari kenikmatan duniawi, sehingga
seseorang harus menjalani kehidupan layaknya orang yang miskin.
Zuhud terhadap dunia bukan berarti
tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan harta benda bukan
menjadi kebanggaan apalagi tujuan. Zuhud bukan menghindari
kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. zuhud bertujuan
untuk memerangi hawa nafsu.
Zuhud adalah
sikap atau upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh dan godaan duniawi
berbentuk kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang menjadi sombong dan
membanggakan diri.
(3) Sedekah.
Salah satu sifat
nafsu adalah menyeru kepada hal-hal yang buruk, antara lain adalah sifat tamak,
rakus dan tidak berempati.
Nafsu lauwamah
adalah nafsu duniawi yang cenderung menumpuk harta sebanyak-banyaknya, dengan
pengeluaran sekecil-kecilnya. Dengan nafsu ini maka seseorang akan cenderung
rakus dan kikir.
Agama kita
menegaskan bahwa pada harta kita ada hak untuk fakir miskin, sebesar 2,5%. Bagi
orang kikir yang tidak mau bersedekah 2,5% hartanya kepada fakir miskin maka ia
tergolong sebagai manusia pendusta agama.
Sedekah, selain sebagai
sarana untuk menyucikan harta dan memperoleh pahala besar, yaitu pahala
jariyah, sedekah juga bertujuan untuk mengendalikan nafsu duniawi. Semakin besar
nilai sedekah maka semakin besar pula kekuatan pengendalian nafsu.
(4) Istighfar
Istighfar adalah kalimat permohonan
ampunan kepada Allah. Istighfar seharusnya dilafalkan secara
berulang-ulang dalam satu kegiatan dzikir, yang dilakukan sehabis shalat atau
pada saat-saat tertentu di malam hari.
Dalam hadis riwayat Bukhari dikatakan
bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar minimal tujuh puluh kali dalam sehari, meskipun beliau manusia yang
terbebas dari kesalahan dan dosa (ma’shum).
Manfaat lain dari dzikir istighfar
adalah menghilangkan kesedihan dan mendatangkan rizki. Rasulullah
saw bersabda: ”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan
memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap
kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka
,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Note : Mengendalikan Nafsu
BalasHapusDua Perang Besar.
Dalam sejarah tercatat ada dua peristiwa peperangan yang mempunyai makna yang begitu dalam bagi kita umat Islam, yaitu perang Badar dan perang Uhud.
1. Perang Badar adalah perang yang sangat berat dan dahsyat. Perang yang tidak seimbang, Paukan Islam dipimpin langsung oleh Rasulullah, musuh kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih besar.
Pasukan Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 prajurit dengan persenjataan sederhana, harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang berkekuatan sekitar 1000 prajurit dengan persenjataan lengkap. Namun umat Islam secara spektakuler berhasil memenangkan peperangan ini.
Rasulullah bersabda :
RAJA’NAA MIN JIHAADIL ASHGHAR - ILA JIHAADIL AKBAR.
''Kita baru menyelesaikan peperangan yang kecil dan akan menghadapi peperangan yang besar.''
Dengan nada heran, mereka pun bertanya, ''Peperangan apa itu ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, “JIHAADUN NAAFSI” ('Perang melawan hawa nafsu.)
2. Perang Uhud pasukan umat Islam, dengan strategi yang bagus, segera dapat mematahkan kekuatan musuh dan membuat mereka kocar-kacir sehingga meninggalkan medan pertempuran.
Namun akhirnya umat Islam mengalami kekalahan dalam perang ini. Banyak yang meninggal dalam pertempuran ini, termasuk Hamzah, seorang panglima perang umat Islam yang gagah berani. Bahkan Nabi sendiri mengalami luka yang cukup parah di bagian wajahnya.
Dua peristiwa peperangan ini, menjadi cermin yang sangat berguna bagi umat Islam.
Pada perang Badar, pasukan Muslim secara spektakuler dapat memenangkan pertempuran karena dilandasi oleh semangat jihad yang tinggi. Tetapi pada perang Uhud, pasukan Muslim yang seharusnya memenangkan pertempuran itu akhirnya harus mengalami kekalahan karena terpedaya oleh nafsu (yaitu nafsu duniawi).
Nafsu
Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai pendorong jasmani untuk melakukan suatu perbuatan. Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena tanpa nafsu manusia tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau gairah untuk melakukan suatu perbuatan.
Pada diri manusia terdapat dua kekuatan nafsu yang berbeda dan saling bertentangan, yaitu nafsu positif (yang mendorong ke arah kebajikan) dan nafsu negatif (yang mendorong ke arah kefasikan / kejahatan).
Dalam khasanah Islam :
Quwwah syaitaniah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kesesatan.
Quwwah rabbaniyah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kebajikan.
Dari dua potensi yang ada pada nafsu itu, ternyata potensi negatif lebih kuat dibanding potensi positif.
INNA NAFSA LA AMMA RATUM BISSU’I - ILLA MAA RAHIMMA RABBI
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhan, Rabbul alamin. (QS. Yunus 53)