BOBOT
bibit bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh
atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang
kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling tidak menjadi alat kalibrasi
atas kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari
jodoh dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.
Berkenaan
dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati – meski tidak terlalu
selektif – dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare
nyowo) ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam
kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal
ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian
terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan
berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak
buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata
pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah
memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Perlu
diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima
perkara dimana manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib
perjalanan hidupnya; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu
(anugerah), papat kodrat (nasib), lima bandha (rizki).
Meskipun
perjodohan adalah “departemen asmara” yang berada dibawah kepengawasan dan
kendali Gusti Allah Yang Maha Kuasa, bukan berarti kita hanya bisa berdiam dan
berpangku tangan menunggu runtuhnya durian. Namun kita wajib ikhtiar supaya
tidak salah memilih yang akhirnya terpuruk dalam penyesalan.
Seperti
kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia
tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk sosial atau
zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi dan
komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Nah,
di sinilah letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis
dalam duka maupun duka.
Falsafah
Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif bijak untuk menjawab konsep
dalam The Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan
menarik getaran jiwa yang sama”.
1. BOBOT adalah kualitas diri baik lahir
maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan,
kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh
mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini
mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan
dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah
menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dll berpindah ke suami. Oleh
karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau
intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan
tega bila putri kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang
harus menjalani hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang
tak kenal sayang? Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi
perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar
Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni
(lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik.
Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana
(baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah
kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama);
(4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk
tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
2. BIBIT adalah asal usul/keturunan. Di sini
kita diajarkan untuk konsen terhadap asal-usul calon menantu. Jangan sampai
memilih menantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya ndak
jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaannya cuma begadang di jalanan.
Namun, bukan berarti bahwa kita harus mencari menantu keturunan “darah biru”,
tetapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal
dari keluarga yang baik-baik.
Menurut
teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya,
bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang
tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak
melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau
kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan
tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai
contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah
manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan generasi
sebelumnya.
Jadi.
Filosofi Jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab
menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi
salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan
melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap
kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.
3. BEBET merupakan status sosial (harkat,
martabat, prestige). Filosofi Jawa memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet
ini memang penting tapi tidak terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan,
“Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah
terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan
dan kepuasan duniawi). Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga
menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa
dipungkiri bahwa status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Itulah
filosofi Jawa tentang bobot, bibit, bebet. Bagaimana dengan Anda? Wallahua’lam.
//** (dari berbagai sumber)
&&&
Ringkasan
1.
Bobot artinya kualitas diri, baik secara lahir maupun batin. Termasuk keimanan,
pendidikan, pekerjaan, kecakapan dan prilaku.
2.
BIBIT atau keturunan
(asal-usul), artinya adalah, berasal dari keluarga seperti apa calon
pasangan kita. Apakah dari keluarga baik-baik atau penjahat?
3.
BEBET artinya adalah, kesiapan seseorang dalam memberi nafkah keluarga. Bebet
dititkberatkan pada aspek ekonomi alias harta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar