Rabu, 05 September 2018

Mana Emak?

Emak berdiri di depan pintu. Wajahnya kelihatan resah menunggu si bungsu pulang dari mengaji.
Ayah pulang dari sawah, dan menanyakan si Galang kepada Emak: "Si Galang mana?"
Emak jawab, “Ada di dapur sedang menyiapkan makan.”
Ayah tanya Emak lagi, ” Angga mana?”
Emak jawab, “Angga mandi, baru pulang main bola.”
Ayah tanya Emak lagi, “Atikah mana?”
Emak jawab, “Atikah, Kiran nonton tv dengan Budi di dalam”
Ayah tanya lagi, “Andik sudah pulang?”
Emak jawab, “Belum. Seharusnya sudah pulang. Sepeda Andik rusak. Sebentar lagi kalau nggak pulang juga, kita pergi cari si bungsu ya pak..”
Emak jawab pertanyaan ayah sepenuh hati.
Tiap hari ayah menanyakan hal yang sama. Emak selalu jawab dengan penuh perhatian. Emak selalu mengetahui bagaimana keadaan anak-anak setiap saat.
20 tahun kemudian...
Jam 16.30 sore....
Ayah pulang ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak siang tadi.
Ayah tanya si Galang, “Mana Emak?” Si Galang sedang mematut-matut baju barunya, lalu menjawab,
“Nggak tahu.”
Ayah tanya pada Angga, “Mana Emak?”
Si Angga sedang nonton TV lalu jawab, “Mana saya tahu.”
Ayah tanya si Atikah, “Mana Emak?” Ayah menunggu lama jawaban dari Atikah yang asyik membaca main hape. Ayah tanya si Atikah lagi, "Mana Emak?"
Atikah jawab, “Entah.” Atikah terus bermain hape tanpa menoleh kepada Ayah.
Ayah tanya Budi, “Mana Emak?” Budi enggak jawab, dia hanya menggerakkan bahu tanda tidak tahu.
Ayah nggak mau tanya Kiran dan Andik yg sedang asyik ber-instagram. Ayah tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
Anak-anak tidak ada satupun yang tahu di mana Emak. Tidak ada satupun anak-anak yang ingin tahu di mana Emaknya.
Mata dan hati anak-anak tak ada pada Emak...
Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari dimana Emak.
Tidak ada anak-anak Emak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Emak?"
Tiba-tiba Andik si bungsu bersuara, “Emak tadi pergi, kini sudah senja.. belum pulang juga”
Tersentak hati Ayah mendengar kata-kata si bungsu Andik.
Dulu anak-anak akan berlari mendekap Emak, apabila pulang dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Emak?" apabila Emak tak menunggu mereka di depan pintu.
Mereka akan tanya, "Mana Emak." Apabila dapat rangking 1 atau kaki lecet main bola di sekolah.
Emak gelisah apabila anak-anaknya lambat pulang. Emak ingin tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap saat.
Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama mereka tak bertanya "Mana Emak?"
Semakin anak-anak besar, pertanyaan "Mana Emak?" semakin hilang dari bibir mereka.
Ayah berdiri di depan pintu menunggu Emak. Ayah gelisah menunggunya karena sudah senja begini masih belum pulang. Ayah risau karena akhir-akhir ini Emak selalu mengeluh sakit lutut.
Dari jauh kelihatan sosok Emak berjalan memakai payung yang sudah butut. Besi-besi payung tersembul keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti.
Emak menjinjing dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaannya, Emak akan bawa sesuatu untuk anak-anaknya bila pulang dari bepergian.
Sampai di halaman rumah, Emak berhenti di depan deretan mobil anak-anaknya. Emak buang daun-daun yang mengotori mobil anak-anaknya.
Emak usap bagian depan mobil Atikah perlahan-lahan. Dia merasakan seperti mengusap kepala Atikah waktu kecil. Emak tersenyum. Kedua bibirnya ditutup rapat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang paham.
Sekarang Emak tak dapat lagi mengusap kepala anak-anak seperti ketika mereka kecil dulu. Mereka sudah besar. Emak takut anak-anak akan menepis tangan Emak kalau Emak lakukan.
Lima buah mobil milik anak-anaknya berdiri megah. Mobil Atikah paling hebat. Emak tak tahu apa kehebatan mobil Atikah itu. Emak cuma suka warnanya. Mobil warna merah bata, warna kesukaan Emak. Emak belum pernah merasakan naik mobil anak Emak yang ini.
Baju Emak basah kena hujan. Ayah menyambut Emak dengan bergegas dan menutup payung Emak. Emak memberi salam.
Salam Emak tidak berjawab.
Bergetar lutut Emak melangkahi anak tangga. Ayah membimbing Emak masuk ke rumah. Lutut Emak sakit lagi.
Emak meletakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus ketan dan beberapa pisang goreng pemberian bu Odah untuk anak-anaknya.
Emak tahu anak-anak suka makan pisang goreng dengan ketan, dan Emak sebenarnya mau minta agar makanan itu bisa dibawa pulang, tapi malu utk memintanya kepada bu Odah.
Namun raut wajah Emak sudah cukup membuat bu Odah mengerti. Saat menerima bungkusan goreng pisang dan ketan dari bu Odah tadi, Emak sempat berkata kepada bu Odah: "Wah...pasti berebut nanti anak-anakku jika melihat pisang goreng dan ketan kamu ini."
Sekurang-kurangnya itulah bayangan Emak. Dia bayangkan anak-anaknya sedang gembira menikmati pisang goreng dan ketan sebagaimana waktu mereka kecil dulu. Mereka berebut dan Emak jadi hakim pembuat keputusan.
Sering kali Emak memberikan bagian Emak supaya anak-anak puas makannya. Bayangan itu sering singgah di kepala Emak.
Ayah menyuruh Emak menukar baju yang basah itu. Sesudah Emak menukar baju, Ayah mengiringi Emak menuju ruang tamu. Emak ajak anak-anak makan pisang goreng dan ketan.
Tapi tak seorangpun yang menoleh kepadanya. Mata dan hati anak-anaknya sudah bukan kepada Emak lagi.
Emak hanya tertunduk, menerima keadaan. Ayah tahu Emak sudah tak bisa mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendekapnya seperti dulu.
Ayah menemani Emak makan. Emak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anaknya akan makan bersama. Setiap hari Emak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Emak di meja makan setiap malam.
Ayah tahu Emak capek sebab berjalan jauh. Siang tadi Emak pergi ke rumah bu Odah saudaranya di kampung sebelah untuk mencari pisang dan beras pulut. Emak hendak membuat pisang goreng dan ketan kesukaan anak-anaknya.
Ayah tanya Emak kenapa tidak telepon menyuruh anak-anak menjemput. Emak jawab, "Saya sudah suruh bu Odah telepon anak-anak tadi. Tapi katanya semua tak ada yang mengangkat."
Emak minta bu Odah telepon anak-anak karena Emak tidak bisa berjalan pulang karena hujan. Lutut Emak akan sakit kalau kedinginan. Ada sedikit harapan di hati Emak agar salah seorang anaknya akan menjemput dengan mobilnya. Emak ingin kalau Atikah yang datang menjemput dengan mobil barunya. Namun tak ada seorangpun yang datang menjemputnya.
Emak tahu anak-anak tidak mendengar telepon berberbunyi. Emak ingat kata-kata ayah,
“Kita tak usah merepotkan anak-anak. Selagi kita mampu apapun kita kerjakan saja sendiri. Mereka sudah punya kehidupan masing-masing. Tak usah sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki mobil mereka sekarang. Nanti kalau kita mati, kita masih (mudah2an) bisa merasakan anak-anak akan mengangkat kita di bahu mereka.”
Emak paham buah hati Emak semua sudah besar. Galang dan Angga sudah beristeri. Atikah, Budi, Kiran dan Andik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Emak di hati anak-anaknya.
Pada suapan terakhir, setitik air mata Emak jatuh ke piring. Pisang goreng dan ketan masih belum diusik oleh anak-anaknya.
Beberapa bulan kemudian....
Bu Odah datang dan menanyakan Emak kepada Galang, Angga, Atikah, Budi, Kiran dan Andik: “Mana Emak?” Hanya Andik yang menjawab sambil menangis, “Emak baru saja meninggal.”
Galang, Angga, Atikah, Budi, Kiran dan Andik tak sempat melihat Emak waktu Emak sakit.
Dalam isakan tangis, Galang, Angga, Atikah, Budi, Kiran dan Andik merangkul kuburan Emak. Hanya kayu nisan yang berdiri tegak. Kayu nisan Emak tidak bersuara. Kayu nisan tidak seperti tangan Emak yang selalu memeluk erat anak-anaknya ketika masih kecil dulu.
Emak pergi ketika semua anak-anaknya berada jauh di kota. Katanya mereka tidak mendengar handphone berbunyi ketika ayah menelepon yang memberitahukan bahwa Emak sakit keras.
Emak paham, mata dan telinga anak-anaknya kini untuk orang lain, bukan lagi untuk Emak. Hati anak-anak bukan milik Emak lagi. Hanya hati Emak yang tak pernah diberikan kepada siapa pun, hanya untuk anak-anaknya. Emak tak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak ketika di keranda jenazah. Hanya bahu Ayah yang ringkih yang sempat Emak rasakan ketika mengangkat jenazah Emak dalam hujan rintik-rintik.
Ayah sedih sebab tak ada lagi suara Emak yang akan menjawab pertanyaan Ayah :
"Mana Galang?" , "Mana Angga?", "Mana Atikah?", "Mana Budi?", "Mana Kiran?" atau "Mana Andik?"
Hanya Emak saja yang rajin menjawab pertanyaan ayah tersebut dan jawaban Emak memang tidak pernah salah. Emak selalu yakin dengan jawabannya. Sebab Emak memang tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap saat. Anak-anak Emak senantiasa di hati Emak.
Ayah sedih. Di tepi kubur Emak, Ayah bermonolog sendiri,
"Mulai hari ini aku tak akan bertanya lagi kepada Galang, Angga, Atikah, Budi, Kiran dan Andik: "Mana Emak?"
Mobil merah Atikah bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Galang, Angga, Budi, Kiran dan Andik mengikuti dari belakang dengan mobilnya masing-masing. Hati ayah hancur teringat keinginan Emak untuk naik mobil merah Atikah yang tak kesampaian.
Ayah terbayang kata-kata Emak malam itu,
"Bagus sekali mobil Atikah, ya Yah? Kapan Atikah bawa kita jalan-jalan ke Patenggang ya?.. Emak akan buatkan goreng pisang dan ketan buat bekal."
"Ayah, Ayah....bangun!"
Suara Atikah meninggi memanggil Ayahnya.
Ayah ternyata pingsan sewaktu turun dari mobil Atikah.
Terbata-bata ayah bersuara, "Mana Emak?"
Ayah tak pernah berhenti menanyakan hal itu, hingga akhir hayatnya.
*"Mana Emak ?..."*
😥😭😭🌸🍃🌺

Tidak ada komentar:

Posting Komentar