Tatkala Nabi Daud sedang
memberikan pelajaran akhlak kepada murid-muridnya, masuklah seorang laki-laki
memakai jubbah dan menyebarkan bau wangi. Laki-laki berjenggot itu mengucapkan
salam kepada Nabi Daud tetapi Nabi Daud tidak peduli, apalagi menjawab salamnya.
Ia terus menyampaikan pelajarannya tanpa melirik sedikit pun kepada tamu yang
baru tiba itu.
Laki-laki tersebut
lantas mengerjakan sembahyang yang sesuai syariat yang berlaku waktu itu.
Setelah melaksanakan rukuk dan sujud, lelaki itu mengangkat tangannya dan
berdoa.
Nabi Daud tetap
melanjutkan wejangan-wejangannya tanpa memberikan kesempatan kepada tamu itu
untuk berkenalan, atau para muridnya mengambil perhatian kepadaya. Semua
murid-murid Nabi Daud merasa tidak enak di depan laki-laki asing tadi dan
menganggap Nabi daud tidak memberikan contoh yang baik.
Pria berjubah bersih
terdengar menangis tersedu-sedu ketika berdoa. Sesudah itu ia berdiri, lalu ke
luar dari sinagog tempat peribadatan mereka setelah meminta diri dengan
memberikan salam. Namun Nabi Daud tetap tidak menaruh hormat sama sekali. Semua
murid Nabi Daud sangat iba melihat nasib tamu yang malang barusan.
Maka setelah Nabi Daud
mengakhiri pelajaran tentang akhlak yang baik, salah seorang dari mereka
mengajukan pertanyaan.
“Wahai nabiyullah, Saya
ingin bertanya.”
‘Tanyalah,” jawab Nabi
“Bukankah engkau
mengajarkan kepada kami cara menghormati tamu?”
“Betul”
“Tetapi mengapa engkau
tadi tidak memperlihatkan akhlak terpuji kepada Tamu?”
“Sebab dia tidak tahu
budi pekerti. Apakah kalian tidak ingat bagaimana cara caranya memeasuki
majelis tatkala guru sedang mengajar? Mula-mula kaki kanan melangkah lebih
dahulu sebagai tanda menghormati sinagog kita. Kemudian tidak seharusnya dia
mengucapkan salam melainkan langsung duduk dan ikut mendengarkan.”
“Barangkali dia belum
tahu tata caranya?”
“tapi jubah dan
surbannya menunjukkan seolah-olah dia orang alim, bukan? Apakah pantas kalau
dia orang alim tidak mengetahui sopan santun memasuki tempat peribadatan dan
tempat mengajar?” sanggah Nabi Daud.
“Orang seperti itulah
yang akan menjatuhkan agama kita, karena tidak sesuai antara penampilan dan
sikapnya.”
“Tetapi tadi ia
sembahyang lama sekali,” sahut si murid.
“Itulah tanda
kepalsuannya. Ia hanya memamerkan kesalihannya, padahal dia bukan orang baik.
Ia sembahyang buat kita, tidak buat Tuhan.”
“Ia berdoa panjang
sambil menangis.”
“Apakah doa panjang
menjamin keikhlasan? Bukankah Tuhan lebih menyukai doa yang khusyuk dan yakin?
Kalau ia ingin menangis
, tidak selayaknya di depan kita. Menangislah yang sedih di depan Tuhan ketika
sendirian dalam sembahyang malam pada saat orang lain tengah lelap dan tidak
melihat tangisnya.’
“Wajahnya mulus sekali
seperti orang yang ikhlas. Pakaiannya serba putih melambangkan warna hatinya.
Apakah ia bukan orang yang takwa?”
“ Takwa tidak dilihat
dari rupanya, juga tidak dilihat dari pakaiannya. Tuhan hanya melihat hati
manusia, dan dinilai dari perbuatannya, sesuai atau tidak dengan syariat dan
adab agama.
Manusia tidak dihargai
dari bungkusnya, melainkan dari isinya, dari mutu kemanusiannya.”
Dengan penjelasan
tersebut mengertilah murid-murid Nabi Daud bagaimana seharusnya menghayati
agama dengan menjalankan semua ketentuannya, tidak sekedar membangga-banggakan
melalui ucapan dan pernyataan.
(KH Abdurrahman
Arroisi, 30 Kisah Tauladan, Buku ke-2,
cetakan keduapuluh 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar