Sabtu, 22 September 2018

Yang Berjubah Belum Tentu Salih


Tatkala Nabi Daud sedang memberikan pelajaran akhlak kepada murid-muridnya, masuklah seorang laki-laki memakai jubbah dan menyebarkan bau wangi. Laki-laki berjenggot itu mengucapkan salam kepada Nabi Daud tetapi Nabi Daud tidak peduli, apalagi menjawab salamnya. Ia terus menyampaikan pelajarannya tanpa melirik sedikit pun kepada tamu yang baru tiba itu.

Laki-laki tersebut lantas mengerjakan sembahyang yang sesuai syariat yang berlaku waktu itu. Setelah melaksanakan rukuk dan sujud, lelaki itu mengangkat tangannya dan berdoa.

Nabi Daud tetap melanjutkan wejangan-wejangannya tanpa memberikan kesempatan kepada tamu itu untuk berkenalan, atau para muridnya mengambil perhatian kepadaya. Semua murid-murid Nabi Daud merasa tidak enak di depan laki-laki asing tadi dan menganggap Nabi daud tidak memberikan contoh yang baik.

Pria berjubah bersih terdengar menangis tersedu-sedu ketika berdoa. Sesudah itu ia berdiri, lalu ke luar dari sinagog tempat peribadatan mereka setelah meminta diri dengan memberikan salam. Namun Nabi Daud tetap tidak menaruh hormat sama sekali. Semua murid Nabi Daud sangat iba melihat nasib tamu yang malang barusan.

Maka setelah Nabi Daud mengakhiri pelajaran tentang akhlak yang baik, salah seorang dari mereka mengajukan pertanyaan.

“Wahai nabiyullah, Saya ingin bertanya.”

‘Tanyalah,” jawab Nabi

“Bukankah engkau mengajarkan kepada kami cara menghormati tamu?”

“Betul”

“Tetapi mengapa engkau tadi tidak memperlihatkan akhlak terpuji kepada Tamu?”

“Sebab dia tidak tahu budi pekerti. Apakah kalian tidak ingat bagaimana cara caranya memeasuki majelis tatkala guru sedang mengajar? Mula-mula kaki kanan melangkah lebih dahulu sebagai tanda menghormati sinagog kita. Kemudian tidak seharusnya dia mengucapkan salam melainkan langsung duduk dan ikut mendengarkan.”

“Barangkali dia belum tahu tata caranya?”

“tapi jubah dan surbannya menunjukkan seolah-olah dia orang alim, bukan? Apakah pantas kalau dia orang alim tidak mengetahui sopan santun memasuki tempat peribadatan dan tempat mengajar?” sanggah Nabi Daud.

“Orang seperti itulah yang akan menjatuhkan agama kita, karena tidak sesuai antara penampilan dan sikapnya.”

“Tetapi tadi ia sembahyang lama sekali,” sahut si murid.

“Itulah tanda kepalsuannya. Ia hanya memamerkan kesalihannya, padahal dia bukan orang baik. Ia sembahyang buat kita, tidak buat Tuhan.”

“Ia berdoa panjang sambil menangis.”

“Apakah doa panjang menjamin keikhlasan? Bukankah Tuhan lebih menyukai doa yang khusyuk dan yakin?

Kalau ia ingin menangis , tidak selayaknya di depan kita. Menangislah yang sedih di depan Tuhan ketika sendirian dalam sembahyang malam pada saat orang lain tengah lelap dan tidak melihat tangisnya.’

“Wajahnya mulus sekali seperti orang yang ikhlas. Pakaiannya serba putih melambangkan warna hatinya. Apakah ia bukan orang yang takwa?”

“ Takwa tidak dilihat dari rupanya, juga tidak dilihat dari pakaiannya. Tuhan hanya melihat hati manusia, dan dinilai dari perbuatannya, sesuai atau tidak dengan syariat dan adab agama.

Manusia tidak dihargai dari bungkusnya, melainkan dari isinya, dari mutu kemanusiannya.”

Dengan penjelasan tersebut mengertilah murid-murid Nabi Daud bagaimana seharusnya menghayati agama dengan menjalankan semua ketentuannya, tidak sekedar membangga-banggakan melalui ucapan dan pernyataan.


(KH Abdurrahman Arroisi,  30 Kisah Tauladan, Buku ke-2, cetakan keduapuluh 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar