Sabtu, 24 September 2016

KPK Gagal Berantas Korupsi; Harus Tiru Malaysia

Tertangkap tangan oleh KPK? Ouww… itu hanyalah segelintir oknum koruptor yang bodoh. Dikatakan “segelintir” karena pelaku lainnya jauh lebih banyak. Dikatakan “oknum” karena ia tidak mewakili para koruptor yang profesional. Dikatakan “bodoh” karena ia tidak belajar dari pengalaman, dilakukan dengan pola yang mudah dideteksi oleh KPK, yaitu berawal dari komunikasi transaksi melalui hand phone.

Sejak didirikannya tahun 2003 hingga saat ini, KPK telah berhasil menyeret ratusan koruptor ke penjara. Namun ternyata hingga saat ini masih ada saja pejabat yang korupsi. Bahkan data ICW tentang Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi menunjukkan peningkatan kasus korupsi dari tahun ke tahun. Berita yang paling gres adalah ketua DPD RI, Irman Gusman yang harus berurusan dengan KPK dalam kasus dugaan suap impor gula.

Jadi apa yang telah dilakukan oleh KPK selama ini ternyata tidak menimbulkan efek jera. Itu berarti KPK belum berhasil menghentikan para pejabat untuk tidak melakukan korupsi, alias KPK gagal melaksanakan tugas pencegahan korupsi. Apa yang dilakukan oleh KPK selama ini adalah penindakan, padahal sesungguhnya peran dan fungsi KPK adalah pencegahan, selain penindakan korupsi.

Melihat dari cara kerjanya, sebagian besar KPK menangkap koruptor melalui operasi tangkap tangan (OTT) saat tersangka melakukan transaksi penyuapan. Artinya sebagian besar kasus korupsi yang berhasil dibongkar oleh KPK adalah karupsi dengan kategori suap. Sementara korupsi dengan modus lain yaitu penggelapan, penyalah gunaan anggaran, penyalahgunaan jabatan, mark up dan laporan fiktif masih terus subur menggerogoti keuangan negara. Menurut penelitian ICW, justru modus korupsi itulah yang paling sering dilakukan, yaitu penggelapan, penyalah gunaan anggaran, mark up dan laporan fiktif.

KPK Gagal Mencegah Korupsi

Meski KPK telah sukses menangkap banyak tersangka korupsi, namun sesungguhnya masih banyak pula yang lolos tak tertangkap KPK. Sekali lagi mereka yang tertangkap adalah mereka yang tidak belajar dari kegagalan para koruptor sebelumnya. Sementara sebagian besar lainnya berhasil lolos dari pantauan KPK karena menggunakan cara lain, dengan menghindari komunikasi hand phone saat negosiasi.

Dari beberapa pernyataan petugas KPK melalui media massa terkait suksesnya OTT, bahwa tersangka telah dipantau oleh KPK sejak lama. Dipantau dari mana? Ya tentu dari komunikasi telepon. Dari pantauan komunikasi lewat telepon itulah KPK mengetahui kapan dan dimana transaksi dilakukan. Transaksi yang dilakukan di kantor, rumah, restoran, maupun di parkiran, bahkan di WC sekalipun KPK mengetahuinya.

Lantas apakah KPK sudah sukses memberantas korupsi? Sejauh ini KPK memang telah sukses menangkap pelaku korupsi penyuapan dan gratifikasi. Namun korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat negara dan pegawai negeri dengan modus penggelapan, penyalahgunaan anggaran, mark up dan laporan fiktif ternyata masih jauh dari jangkauan KPK. Buktinya begitu banyak pejabat dan pegawai negeri mempunyai harta kekayaan yang nilainya tak wajar dan mempunyai rekening gendut. Menurut ICW, Indonesia kini berada pada peringkat 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji.

Siasat Koruptor

Sesuai Undang-undang, pengertian korupsi adalah tindakan memperkaya diri (atau orang lain maupun koorporasi) yang dilakukan secara melanggar hukum oleh pejabat negara, pegawai negeri, politisi dan pihak lain sehingga berakibat merugikan keuangan negara maupun masyarakat. Dari situ maka ada 3 unsur korupsi, yaitu pertama: memperkaya diri (atau orang lain maupun koorporasi); kedua, merugikan keuangan negara atau masyarakat; dan ketiga: melanggar hukum. Apabila salah satu unsur tidak ada maka itu tidak termasuk kategori korupsi.

Maka banyak orang, baik pejabat maupu pegawai negeri yang menggerogoti uang negara dilakukan dengan rekayasa administrasi sehingga bisa dipertanggung jawabkan secara administratif dan terhindar dari jeratan hukum. Itulah salah satu siasat koruptor untuk menghindari jeratan hukum.

Konon banyak pejabat, pegawai negeri, penegak hukum, politisi maupun TNI-Polri yang mempunyai rekening gendut. Rekeningnya bisa gendut bagaimana ceritanya? Tentu rekening gendutnya berasal dari hasil usaha yang tak halal, yaitu melalui penggelapan, penyalahgunaan anggaran dan mark up yang secara administrasi dapat dipertanggung jawabkan.

Pembuktian Terbalik Ala Malaysia

Dalam perundang-undang kita memang telah dikenal sistem pembuktian terbalik, yaitu pada UU Tipikor, UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dan UU Perlindungan Konsumen. Pembuktian Terbalik merupakan pembuktian yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa terhadap sangkaan dan dakwaan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Jadi pembuktian terbalik ini hanya dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Sementara yang diinginkan oleh banyak pihak adalah pembuktian terbalik terhadap seluruh pejabat negara, pegawai negeri sipil, penegak hukum, politisi dan TNI-Polri yang mempunyai harta kekayaan tak wajar.

Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN oleh para pejabat ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan untuk pencegahan korupsi. Saat verifikasi pejabat hanya ditanya tentang status rumah, sertifikat dan nilainya. Petugas KPK tidak menanyakan dari mana asal muasal uang untuk beli rumah tersebut. KPK juga tidak melakukan apapun bila dalam laporan LHKPN nilainya fantastis. LHKPN hanya diperlukan bila seseorang telah jadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi, baru KPK membongkarnya. Maka KPK belum mempunyai instrumen pembuktian terbalik agar LHKPN efektif mencegah korupsi pejabat negara.

Mahfud MD, mantan Ketua MK pernah menyampaikan keinginannya bahwa Undang-undang Pembuktian Terbalik diberlakukan terhadap semua pejabat. Seluruh pejabat negara, penegak hukum, politisi, pegawai negeri, TNI dan Polri harus mampu membuktikan seluruh harta kekayaannya setelah tidak menjabat atau berganti jabatan. Terhadap pejabat dengan penghasilan rata-rata sebulan Rp25 juta, apabila setelah lima tahun penambahan hartanya lebih dari Rp25 juta dikali lima tahun, maka ia harus dapat membuktikan bahwa kelebihannya bukan berasal dari hasil korupsi. Apabila dia tidak bisa membuktikannya, maka itu adalah korupsi.

Dalam hal penerapan Undang-undang Pembuktian Terbalik, seharusnya Indonesia dapat meniru pada beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong. Meski di negara-negara ini tidak pernah terdengar berita tentang suksesnya KPK dalam OTT terhadap kasus suap, seperti di Indonesia, namun para pejabatnya sangat berhati-hati dengan masalah harta kekayaan, meskipun tentu tidak semua bersih dari perilaku korupsi.

Pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh Malaysia diberlakukan terhadap semua pejabat negara dan pegawai negeri yang terindikasi korupsi, yaitu yang harta kekayaannya tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan dari jabatannya. Dia dapat diminta untuk menjelaskan dari mana kekayaan itu didapatkan, untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Jika seorang pegawai rendah atau seorang prajurit terlihat memiliki tempat tinggal (rumah) mewah atau kendaraan mewah, maka Badan Pencegah Rasuah (KPK Malaysia) dapat meminta yang bersangkutan untuk memberikan keterangan tentang sumber harta kekayaan yang diperoleh. Langkah ini cukup efektif.

Apabila Indonesia menerapkan Undang-undang Pembuktian Terbalik seperti yang dilakukan oleh Malaysia, maka dapat dipastikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan berhasil. Tetapi apabila sistem pemberantasan korupsi dilakukan hanya oleh KPK seperti sekarang ini maka jangan harap Indonesia akan terbebas dari perbuatan korupsi. Karena korupsi merupakan penyakit orang kaya yang sulit disembuhkan. Manusia tak akan pernah puas dengan hartanya.

Nabi Muhammad bersabda: “Bila seseorang telah berhasil mendapatkan satu gunung emas, niscaya ia masih menginginkan gunung emas lainnya, kecuali bagi yang bersyukur. Tidak ada yang dapat memenuhi nafsu manusia kecuali mulutnya telah tertutup tanah (mati).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar