Pada acara
bincang-bincang ringan
dan santai di kantor selepas shalat Jumat, seorang kawan menuturkan kejadian
yang dialaminya saat shalat Jumat sehingga membuatnya sulit untuk khusu’. Kakinya
dipepet dan diinjak oleh seorang jamaah disebelahnya. Saat ia menarik rapat
kakinya, orang itu justru melebarkan rentang kaki hingga kakinya terpepet lagi.
Suatu kondisi yang tidak nyaman dan mempengaruhi kekhusukan.
Seorang kawan
lainnya menanyakan, apakah orang itu berjenggot, celananya cungkrang dan
berbaju gamis? Betul, ia berjenggot, celananya cungkrang tetapi bajunya biasa
saja bukan gamis. Memang kenapa?. Si kawan kemudian menjelaskan, bahwa dia itu
orang Salafi. Bincang-bincang ringan yang berawal membahas masalah
merapatkan kaki dengan jamaah lain saat shalat berjamaah itu akhirnya menjadi
diskusi, yang berlanjut hingga beberapa hari kemudian. Topiknya mengupas
tentang Salafi, Wahabi, Isbal, Jenggot, baju gamis dan iktilaf. Rangkuman diskusi
sederhana itu seperti berikut ini.
Salafi.
Salafi adalah
penyebutan terhadap pengikut aliran Salafiyah. Aliran Salafiah mengklaim kelompoknya
menjalankan syariat Islam secara “murni” sesuai syariat pada
jaman nabi Muhammad dan
tiga generasi berikutnya (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).
Mereka menolak syariat Islam dengan berbagai inovasi yang disebabkan oleh
pengaruh adat, budaya dan perkembangan jaman sehingga memunculkan
praktik-praktik yang dinilai sebagai perbuatan bid’ah, tahyul, dan
khurafat.
Salafiah
mempunyai prinsip bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa nabi
Muhammad dan para sahabatnya. Salafi berpegang pada nash-nash yang ma'shum
(suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh. Salafi memegang teguh hadis
yang menyatakan “semua bid’ah itu sesat dan masuk neraka”.
Salafi
menjalankan syariat Islam berdasarkan Al quran dan hadis nabi yang dipahami
secara tekstual tanpa adanya penafsiran, dan menolak berbagai praktik ritual
lain yang dianggap sebagai perbuatan bid’ah seperti tahlilan, zikir berjamaah,
ziarah kubur, peringatan maulid nabi, halal bi halal, dsb.
Salafiah
merupakan golongan Sunni modern. Apabila Sunni atau Ahlussunah
Wal Jama’ah (Aswaja) mendasarkan syariat Islam
pada Al Qur'an dan hadis sesuai
pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in dengan berbagai penafsiran para ulama
, maka Salafiah mengajarkan syariat Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadis “secara
murni” tanpa adanya tambahan dan pengurangan, dengan menjauhi berbagai bentuk
amalan yang dinilainya bidah, khurafat dan syirik.
Salafi
mempraktikkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah apa adanya seperti dalam teks
hadis, seperti bagaimana cara makan, berpakaian, berpenampilan, dan sebagainya.
Bahkan bagi kelompok Salafi ekstrim, mereka mengharamkan mencium tangan orang
tua, mengharamkan hormat bendera , zakat fitrah tidak boleh dengan uang, dan
khutbah jumat harus berbahasa arab.
Kalangan
Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) menyebut kelompok Salafi memahami Al Quran dan
hadis secara tekstual dengan pandangan yang sempit, tanpa pertimbangan
rasionalitas konteks budaya dan kekinian melalui ijtihad ijma’ dan qias.
Ciri fisik
penganut Salafi antara lain adalah berpakaian gamis, memelihara jenggot,
bercelana cungkrang dan bagi wanita mengenakan cadar.
Wahabi.
Wahabi adalah sebuah gerakan “pemurnian
akidah” yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam berdasarkan Qur'an dan hadis dengan cara membersihkan
praktik-praktik bid'ah, syirik dan khurafat
Pemahaman
Wahabi terhadap syariat Islam pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan
Salafi. Bilamana Salafi merupakan sebuah faham yang “menolak” berbagai amalan
yang dianggap sebagai bid’ah, maka Wahabi merupakan sebuah gerakan yang secara
aktif “memberantas” berbagai praktik ritual Islam yang dianggap sesat yaitu
bid’ah, tahyul dan khurafat. Maka bisa dikatakan bahwa Wahabi adalah Salafi
yang ekstrim atau radikal.
Gerakan
Wahabi pertama kali dikembangkan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab (abad 18).
Nama Wahabi sesungguhnya bukan berasal dari dalam kelompok ini, tetapi
merupakan sebutan yang diberikan oleh pihak lain yang tidak sepaham.
Penganut
aliran Wahabi tidak mau menyebut dirinya Wahabi, mereka lebih senang
menyebut dirinya dengan Salafi atau Salafiyah, atau dengan beberapa nama antara
lain: Anshar as Sunnah, Anshar at Tauhid, Jama’ah at Takfir Wal Hijrah,
Jam’iyyah an Nur Wal Iman, Al Jama’ah al Islamiyyah, dan lain-lain.
Mereka memiliki argumen bahwa Muhammad bin
Abdul Wahhab tidak
mengajarkan agama (aliran) baru dalam pemikiran atau penggambaran diri, ia
hanya berusaha memurnikan Islam yang telah bercampur dengan adat istiadat lokal.
Wahabi
mempunyai ideologi yang dikenal dengan takfir, yaitu klaim bid’ah, syirik, dan
kafir terhadap kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengannya.
Kalangan
Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) lain menyebut kelompok Wahabi merupakan
kelompok Islam garis keras. DR. Yusuf Qardawi, seorang intelektual Islam dan
ahli fiqh terkenal asal Mesir, menyebut Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang
menganggap dirinya paling benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu
salah tanpa ada kebenaran sedikitpun. Gerakan Wahabi di Ghaza lebih suka
memerangi dan membunuh sesama muslim dari pada membunuh Yahudi.
Merapatkan mata kaki pada orang sebelah (ngangkang)
Orang Salafi
berpandangan bahwa menempelkan mata kaki ketika shalat berjamaah (kaki
ngangkang) adalah keharusan. Acuannya adalah hadis nabi: An-Nu’man
bin Basyir berkata: “Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata:
Luruskanlah shaf-shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, luruskan shaf kalian,
atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu An-Nu’man bin
Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan
mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul temannya dan bahu dengan bahu
temannya.” (HR.
Bukhori & Muslim).
Sebagian ahli
(pembaca) hadis pengikut paham Salafi-Wahabi berpendapat bahwa ilzaq
(menempelkan mata kaki, dengkul, bahu dengan orang disampingnya dalam shalat
berjamaah) sebagai sunnah Nabi. Mereka yang tidak sependapat dengan
pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah. Tetapi
sebagian ulama Salafi lain berpendapat bahwa “ilzaq” hanyalah anjuran untuk
merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Menempelkan mata kaki
dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Menempelkan kaki itu hanyalah
suatu sarana agar shaf shalat bisa rapat dan lurus
Sedangkan
kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa nabi
tidak pernah memerintahkan menempelkan kaki saat shalat berjamaah. Perhatikan
hadisnya, “… Nu’man mengatakan dia melihat seorang
laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya …” Cuma melihat
seorang laki-laki yang tidak dikenal namanya, bukan sahabat utama nabi.
Jadi yang diperintahkan nabi adalah meluruskan shaf, bukan menempelkan mata
kaki ke jamaah lain.
Rapat dan
rapi dalam shaf shalat
jamaah memang harus, karena merupakan bagian dari kesempurnaan shalat jamaah,
tapi tidak menjadi syarat sah dan rukun shalat. Jikalau sampai mengganggu konsentrasi
atau kekhusyuan, maka utamakan khusyu’, karena longgarnya shaf tidak
menyebabkan batalnya shalat.
Memelihara Jenggot
Orang Salafi
berpandangan bahwa memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi yang wajib
dilaksanakan. Banyak dalil yang menerangkan masalah ini, salah satunya
adalah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “Cukurlah kumis
dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang
Majusi.” (HR. Muslim)
Sedangkan
kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa memanjangkan
jenggot bukan sunah apalagi wajib. Bahkan Hanabilah dan Hanafiyyah berpendapat
ada baiknya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Pendapat beliau
ini dilandasi dengan atsar dari Ibn ‘Umar: “(Ibnu ‘Umar) ketika ber-‘umrah
nelihat beliau menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut
beliau potong.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk
memahami sebuah hadis harus meninjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan
historinya, pada masa nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan.
Hadits: “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian.
Selisihilah orang-orang Majusi”, Perintah nabi tersebut ditujukan kepada Majusi pedesaan, khususnya di negeri Ajam yang memang terlihat dikotomi antara muslim dan
non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya.
Masyarakat di
daerah pedesaan Ajam memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur
jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu
Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot yang tidak beda
dengan sahabat lain. Dan ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar
langsung hadis itu disabdakan, masih memotong jenggotnya jika merasa terlalu
panjang.
Islam melalui
Al Quran dan hadis mengajarkan nilai-nilai kebersihan, kerapihan dan
keindahan. Tidak ada satupun para ulama memperdebatkan nilai-nilai
tersebut. Jadi dalam hal jenggot maka harus disikapi dengan nilai-nilai
bersih, rapih dan indah. Riwayat menerangkan bahwa Rasulullah selalu
merapihkan jenggotnya, sehingga nampak bersih dan indah. Berbeda dengan
kebanyakan kaum kafir di Mekah yang jenggotnya panjang berantakan tidak rapih
dan tidak indah, bahkan nampak kusam dan menyebalkan.
Isbal
Isbal artinya
menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Bagi orang Salafi, isbal terlarang
dalam Islam, hukumnya haram atau minimal makruh. Sehingga seluruh pengikut
Salafi bercelana cungkrang (ujung kain diatas mata kaki).
Banyak sekali
dalil dari hadis Nabi yang mendasari masalah isbal, diantaranya adalah: Dari
Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi
shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Kain yang panjangnya di bawah
mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari); kemudian, Dari
Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang
menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari
kiamat.” (HR. Muslim)
Permasalahan
isbal ini termasuk dalam masalah khilafiyah, dimana para ulama banyak
yang berselisih pendapat. Pertama, isbal hukumnya haram secara mutlak; kedua,
isbal hukumnya haram jika disertai kesombongan; ketiga, isbal hukumnya
makruh jika tidak dilakukan dengan sombong; dan keempat, isbal hukumnya mubah
(boleh) jika tidak tidak didasari kesombongan.
Kalangan
Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) umumnya berpendapat bahwa pakaian
merupakan urusan keduniawian dan termasuk masalah sosial-budaya yang tergantung
kebiasaan di mana manusia berdomisili. Sunah Nabi yang disampaikan oleh hadis
merupakan anjuran dan contoh yang baik, disamping menghindari sifat sombong,
jangan sampai kain (pakaian, celana, dan sarung) yang kita kenakan sampai
menyentuh tanah agar senantiasa lebih terjaga kebersihan dan kesuciannya.
Dari Al
Asy’ats bin Sulaim, pamannya berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al
Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu
akan lebih bersih.’ Ternyata orang
yang berbicara itu adalah Rasulullah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan
aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung
beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” Hadis
diatas menunjukkan bahwa menaikkan ujung kain diatas mata kaki sebagai anjuran,
bukan sebagai perintah disertai ancaman.
Islam melalui
Al Quran dan hadis mengajarkan bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang,
Allah Maha Pengampun, dan Allah Maha Bijaksana. Bagaimana mungkin Allah akan
memasukkan neraka hanya karena alasan celananya melebihi mata kaki?
Bersambung ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar