Sabtu, 24 September 2016

Memahami Salafi, Wahabi, Isbal, Jenggot & Iktilaf

Pada acara bincang-bincang  ringan dan santai di kantor selepas shalat Jumat, seorang kawan menuturkan kejadian yang dialaminya saat shalat Jumat sehingga membuatnya sulit untuk khusu’.  Kakinya dipepet dan diinjak oleh seorang jamaah disebelahnya. Saat ia menarik rapat kakinya, orang itu justru melebarkan rentang kaki hingga kakinya terpepet lagi. Suatu kondisi yang tidak nyaman dan mempengaruhi kekhusukan.

Seorang kawan lainnya menanyakan, apakah orang itu berjenggot, celananya cungkrang dan berbaju gamis? Betul, ia berjenggot, celananya cungkrang tetapi bajunya biasa saja bukan gamis. Memang kenapa?. Si kawan kemudian menjelaskan, bahwa dia itu orang Salafi.  Bincang-bincang ringan yang berawal membahas masalah merapatkan kaki dengan jamaah lain saat shalat berjamaah itu akhirnya menjadi diskusi, yang berlanjut hingga beberapa hari kemudian. Topiknya mengupas tentang Salafi, Wahabi, Isbal, Jenggot, baju gamis dan iktilaf. Rangkuman diskusi sederhana itu seperti berikut ini.

Salafi.

Salafi adalah penyebutan terhadap pengikut aliran Salafiyah.  Aliran Salafiah mengklaim kelompoknya menjalankan syariat Islam secara “murni” sesuai syariat pada jaman nabi Muhammad dan tiga generasi berikutnya (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in).  Mereka menolak syariat Islam dengan berbagai inovasi yang disebabkan oleh pengaruh adat, budaya dan perkembangan jaman sehingga memunculkan  praktik-praktik yang dinilai sebagai perbuatan bid’ah, tahyul, dan khurafat.

Salafiah mempunyai prinsip bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa nabi Muhammad dan para sahabatnya. Salafi berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh. Salafi memegang teguh hadis yang menyatakan “semua bid’ah itu sesat dan masuk neraka”.
Salafi menjalankan syariat Islam berdasarkan Al quran dan hadis nabi yang dipahami secara tekstual tanpa adanya penafsiran, dan menolak berbagai praktik ritual lain yang dianggap sebagai perbuatan bid’ah seperti tahlilan, zikir berjamaah, ziarah kubur, peringatan maulid nabi, halal bi halal, dsb.   
Salafiah merupakan golongan Sunni modern. Apabila Sunni atau Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) mendasarkan syariat Islam pada Al Qur'an dan hadis sesuai pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in dengan berbagai penafsiran para ulama , maka Salafiah mengajarkan syariat Islam  berdasarkan Al Qur'an dan hadis “secara murni” tanpa adanya tambahan dan pengurangan, dengan menjauhi berbagai bentuk amalan yang dinilainya bidah, khurafat dan syirik.

Salafi mempraktikkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah apa adanya seperti dalam teks hadis, seperti bagaimana cara makan, berpakaian, berpenampilan, dan sebagainya. Bahkan bagi kelompok Salafi ekstrim, mereka mengharamkan mencium tangan orang tua, mengharamkan hormat bendera , zakat fitrah tidak boleh dengan uang, dan khutbah jumat harus berbahasa arab.
Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) menyebut kelompok Salafi memahami Al Quran dan hadis secara tekstual dengan pandangan yang sempit, tanpa pertimbangan rasionalitas konteks budaya dan kekinian melalui ijtihad ijma’ dan qias.
Ciri fisik penganut Salafi antara lain adalah berpakaian gamis, memelihara jenggot, bercelana cungkrang dan bagi wanita mengenakan cadar. 

Wahabi.

Wahabi adalah sebuah gerakan  “pemurnian akidah” yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam berdasarkan Qur'an dan hadis dengan cara membersihkan praktik-praktik bid'ah, syirik dan khurafat

Pemahaman Wahabi terhadap syariat Islam pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan Salafi. Bilamana Salafi merupakan sebuah faham yang “menolak” berbagai amalan yang dianggap sebagai bid’ah, maka Wahabi merupakan sebuah gerakan yang secara aktif “memberantas” berbagai praktik ritual Islam yang dianggap sesat yaitu bid’ah, tahyul dan khurafat. Maka bisa dikatakan bahwa Wahabi adalah Salafi yang ekstrim atau radikal.

Gerakan Wahabi pertama kali dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (abad 18). Nama Wahabi sesungguhnya bukan berasal dari dalam kelompok ini, tetapi merupakan sebutan yang diberikan oleh pihak lain yang tidak sepaham. 

Penganut  aliran Wahabi tidak mau menyebut dirinya Wahabi, mereka lebih senang menyebut dirinya dengan Salafi atau Salafiyah, atau dengan beberapa nama antara lain: Anshar as Sunnah, Anshar at Tauhid, Jama’ah at Takfir Wal Hijrah, Jam’iyyah an Nur Wal Iman, Al Jama’ah al Islamiyyah, dan lain-lain.  Mereka memiliki argumen bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengajarkan agama (aliran) baru dalam pemikiran atau penggambaran diri, ia hanya berusaha memurnikan Islam yang telah bercampur dengan adat istiadat lokal.
Wahabi mempunyai ideologi yang dikenal dengan takfir, yaitu klaim bid’ah, syirik, dan kafir terhadap kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengannya.

Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) lain menyebut kelompok Wahabi merupakan kelompok Islam garis keras. DR. Yusuf Qardawi, seorang intelektual Islam dan ahli fiqh terkenal asal Mesir, menyebut Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya paling benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu salah tanpa ada kebenaran sedikitpun. Gerakan Wahabi di Ghaza lebih suka memerangi dan membunuh sesama muslim dari pada membunuh Yahudi.

Merapatkan mata kaki pada orang sebelah (ngangkang) 

Orang Salafi berpandangan bahwa menempelkan mata kaki ketika shalat berjamaah (kaki ngangkang) adalah keharusan. Acuannya adalah hadis nabi:  An-Nu’man bin Basyir berkata: “Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Luruskanlah shaf-shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, luruskan shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul temannya dan bahu dengan bahu temannya.” (HR. Bukhori & Muslim).

Sebagian ahli (pembaca) hadis pengikut paham Salafi-Wahabi berpendapat bahwa ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu dengan orang disampingnya dalam shalat berjamaah) sebagai sunnah Nabi. Mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.  Tetapi sebagian ulama Salafi lain berpendapat bahwa “ilzaq” hanyalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana agar shaf shalat bisa rapat dan lurus

Sedangkan kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat bahwa nabi tidak pernah memerintahkan menempelkan kaki saat shalat berjamaah. Perhatikan hadisnya, “… Nu’man mengatakan dia melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya …” Cuma melihat seorang laki-laki yang tidak dikenal namanya, bukan sahabat utama nabi.  Jadi yang diperintahkan nabi adalah meluruskan shaf, bukan menempelkan mata kaki ke jamaah lain.

Rapat dan rapi dalam shaf shalat jamaah memang harus, karena merupakan bagian dari kesempurnaan shalat jamaah, tapi tidak menjadi syarat sah dan rukun shalat. Jikalau sampai mengganggu konsentrasi atau kekhusyuan, maka utamakan khusyu’, karena longgarnya shaf tidak menyebabkan batalnya shalat.

Memelihara Jenggot

Orang Salafi berpandangan bahwa memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi yang wajib dilaksanakan. Banyak dalil yang menerangkan masalah ini, salah satunya adalah  hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim)

Sedangkan kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) berpendapat  bahwa memanjangkan jenggot bukan sunah apalagi wajib. Bahkan Hanabilah dan Hanafiyyah berpendapat ada baiknya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Pendapat beliau ini dilandasi dengan atsar dari Ibn ‘Umar: “(Ibnu ‘Umar) ketika ber-‘umrah nelihat beliau menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut beliau potong.” (HR. Al-Bukhari)

Untuk memahami sebuah hadis harus meninjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan.  Hadits:  “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi”, Perintah nabi tersebut ditujukan kepada Majusi pedesaan, khususnya di negeri Ajam yang memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya. 

Masyarakat di daerah pedesaan Ajam memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot yang tidak beda dengan sahabat lain. Dan ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, masih memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.

Islam melalui Al Quran dan hadis mengajarkan nilai-nilai kebersihan, kerapihan dan keindahan.  Tidak ada satupun para ulama memperdebatkan nilai-nilai tersebut.  Jadi dalam hal jenggot maka harus disikapi dengan nilai-nilai bersih, rapih dan indah.  Riwayat menerangkan bahwa Rasulullah selalu merapihkan jenggotnya, sehingga nampak bersih dan indah.  Berbeda dengan kebanyakan kaum kafir di Mekah yang jenggotnya panjang berantakan tidak rapih dan tidak indah, bahkan nampak kusam dan menyebalkan.

Isbal

Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Bagi orang Salafi, isbal terlarang dalam Islam, hukumnya haram atau minimal makruh. Sehingga seluruh pengikut Salafi bercelana cungkrang (ujung kain diatas mata kaki).

Banyak sekali dalil dari hadis Nabi yang mendasari masalah isbal, diantaranya adalah: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:  “Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari); kemudian, Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Permasalahan isbal ini termasuk dalam masalah  khilafiyah, dimana para ulama banyak yang berselisih pendapat. Pertama, isbal hukumnya haram secara mutlak; kedua, isbal hukumnya  haram jika disertai kesombongan; ketiga, isbal hukumnya makruh jika tidak dilakukan dengan sombong; dan keempat, isbal hukumnya mubah (boleh) jika tidak tidak didasari kesombongan.

Kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) umumnya berpendapat  bahwa pakaian merupakan urusan keduniawian dan termasuk masalah sosial-budaya yang tergantung kebiasaan di mana manusia berdomisili. Sunah Nabi yang disampaikan oleh hadis merupakan anjuran dan contoh yang baik, disamping menghindari sifat sombong, jangan sampai kain (pakaian, celana, dan sarung) yang kita kenakan sampai menyentuh tanah agar senantiasa  lebih terjaga kebersihan dan kesuciannya.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, pamannya berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah.  Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.”  Hadis diatas menunjukkan bahwa menaikkan ujung kain diatas mata kaki sebagai anjuran, bukan sebagai perintah disertai ancaman.

Islam melalui Al Quran dan hadis mengajarkan bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Maha Pengampun, dan Allah Maha Bijaksana. Bagaimana mungkin Allah akan memasukkan neraka hanya karena alasan celananya melebihi mata kaki? 

Bersambung ….






Tidak ada komentar:

Posting Komentar