Minggu, 25 September 2016

Mengagumi Sang Istri; Sebuah Kontemplasi


Aku menatap istriku yang masih terlelap tidur disisiku. Matanya rapat terpejam,mulutnya menganga, dengkur nafasnya membawa aroma yang kurang sedap. Bunyi alarm hp tanda waktu shalat subuh tak dihiraukan. Baru kali ini aku bangun duluan, ia masih tertidur pulas.
 
Aku pandangi wajahnya dalam-dalam, ia tampak begitu lelah. Wajahnya tak secantik dulu, tubuhnyapun sudah tidak lagi langsing, perutnya juga sudah kendor, juga kulitnya sudah tidak kencang dan mulus lagi. Aku menahan untuk tidak membangunkan dari tidurnya.

Istriku sungguh sangat kelelahan. Biasanya, ia bangun duluan untuk menyiapkan sarapan pagi dan segala keperluan harian. Seperti biasa sehabis shalat subuh aku menikmati acara tv, tetapi ia sudah beraktivitas mencuci piring dan membersihkan perabotan kotor lainnya. Itu berlangsung hingga tiba waktu untuk berangkat kantor.   

Ketika sore hari, sepulang dari kantor ia sudah begitu sibuk mengurusi segala keperluan dan kerapihan rumah,  juga menyiapkan makan malam. Bahkan ia masih juga memikirkan keperluan anak-anak.  Rutinitas itu dilakukannya setiap hari. Ooo …betapa lelahnya.

Pernah suatu ketika aku sampai rumah duluan sepulang kantor. Kulihat tumpukan piring-piring dan peralatan dapur yang masih kotor berserakan di tempat cucian. Segera aku mencucinya untuk membantu meringankan tugas rumahnya. Sejakanak-anakku beranjak dewasa, ia memutuskan untuk tidak lagi mencari pembantuyang memang sudah sangat sulit didapat, kecuali tukang cuci baju yang datang dipagi hari. Ketika ia sampai rumah sepulang dari kantor, diraihnya tanganku dan dipeluk serta diciumnya diriku yang sedang nonton tv.   “Yeee… dapurnya sudah bersih. Siapa yang nyuci piring sayang? Trimakasih ya suamiku”. Sambil menciumku lagi ia berkata “Maaf tadi pagi tidak sempat nyuci, trima kasih ya…”.Aku hanya tersenyum meresponnya. Dalam hati aku tersenyum bangga, aku telah menunjukkan kasih sayang pada istriku.

Tetapi…. tak lama kemudian segera aku tersadar… Sesungguhnya kegiatan seperti itu telah dilakukan oleh istriku setiap hari... bahkan sejak dulu. Namun tak pernah sekalipun aku mengucapkan trimakasih padanya. Sedangkan aku baru sekali itu membantunya, namun ia tak henti-hentinya mengucapkan trimakasih sambil menciumi pipiku. Betapa tulus ikhlasnya dirimu sayang …

Urusan keperluan sekolah, buku, uang saku, serta transportasi, juga mencari sekolah lanjutan bagi anak-anak… istrikulah yang terus menerus memikirkan dan mengurusnya. Aku hanya sesekali membantunya, mengantarkannya ke sekolah yang dituju. Bahkan untuk bayar listrik, telepon, perpanjangan stnk mobilpun aku hampir tidak pernah memikirkan. Sehari-hari aku lebih sering menonton tv dan membaca buku, sementara ia sibuk di dapur.

Pantaslah bila ia kurang peduli dengan dirinya sendiri. Kurang peduli dengan penampilannya dan bahkan untuk merawat tubuhnya. Kalau saat ini badannya sudah tidak langsing lagi, di kening dan tepi matanya terdapat guratan kulit … itusemua karena rasa tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap rumah, demi aku, dan demi keluarga. Kalau ia sering ngomel dan salah paham hingga terjadi perselisihan, itu karena ia telah begitu lelah hingga emosinya tak terkontrol.

Masih kutatap wajah istriku yang masih dalam lelapan tidurnya. Dalam hati aku berkata, "Istriku… engkau begitu tulus dan ikhlas… Sungguh mengagumkan. Maafkanlah aku selama ini." Lalu kubacakan shalawat nabi dan kutiupkan lembut diubun-ubunnya. Ya Allah… ampunilah dosa-dosanya, berilah pahala berlipat atas perbuatan baiknya, karuniakanlah kesehatan padanya, lembutkan hatinya, dan teguhkanlah selalu imannya. Amin… 

Kubisikkan lembut ke telinganya, trimakasih dan maafkan aku. Sambil kuciumi pipinya hingga ia terbangun dari tidurnya.

(salam, De Kalimana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar