Berkaitan dengan harta dan gaya hidup,
KH Abdullah Gymnastiar (A'a Gym) dalam ceramahnya menjelaskan bahwa manusia
dibagi menjadi empat tipe:
Pertama, orang kaya yang hidup mewah. Orang
seperti ini masih dinilai wajar karena secara finansial sebenarnya tidak
terlalu bermasalah, sesuai dengan penghasilannya. Namun dia akan menjadi
hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak
selevel dengan dia. Apalagi kalau
bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya
dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.
Kedua, orang miskin yang hidup sederhana. Orang seperti ini juga dinilai wajar karena
secara finansial memang tidak mampu untuk hidup mewah, apalagi memperlihatkan
hartanya. Dia akan hina kalau menjadi beban bagi orang lain dengan
menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun dia akan menjadi mulia jika sangat
menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak
menunjukan kemiskinannya, ikhlas dan sabar dengan tetap menjaga harga diri.
Ketiga, orang miskin tapi hidup mewah. Orang
seperti ini juga dinilai tidak wajar alias aneh. Ini yang disebut orang dengan
istilah besar pasak daripada tiang. Orang
seperti ini tidak bisa menerima kenyataan, sehingga akan merasa malu dan
tersiksa bila dianggap sebagai orang yang tak mampu secara finansial. Dia akan memaksakan diri dengan berbagai cara
untuk menutupi kekurangannya, sekalipun dengan cara yang tercela bahkan tidak
halal. Orang seperti ini hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia
menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui
keadaan yang sebenarnya.
Keempat, orang kaya tapi hidup sederhana. Inilah orang yang
mulia, meskipun dia mampu membeli apapun yang dia inginkan namun
berhasil menahan dirinya untuk hidup sederhana. Orang seperti ini biasanya suka bersedekah, mempunyai kepedulian dan empati tinggi
terhadap sesama. Dia tidak akan menjadi bahan iri dengki orang lain, bahkan
akan menjadi kekaguman bagi banyak orang, Baginya tertutup peluang menjadi sombong dan
takabur. Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya menjadi
lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimilikinya. Hidup seperti ini biasa dikenal dengan hidup zuhud.
Apa itu Zuhud?
Zuhud sering diartikan oleh banyak
orang sebagai ungkapan atau refleksi sikap yang anti
dunia, atau menjauh dari hal-hal yang bersifat
duniawi, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan bahwa seseorang yang
sedangmenjalani hidup zuhud harus
mengosongkan diri dari segala hal yang berbau keduniawian. Kesan selanjutnya bahwa ia harus menjalani
kehidupan seorang yang miskin, berpakaian lusuh,
compang-camping, dan sebagainya.
Pandangan seperti ini tentu tidak
tepat. Perlu kita pahami
bahwa zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat
duniawi, semacam harta benda, sarana dan kekayaan lainnya, melainkan harta benda bukan menjadi kebanggaan apalagi tujuan.
Allah swt melarang
kita untuk hanya memikirkan akhirat saja, tetapi dunia juga harus kita
raih dengan sebaik-baiknya. Allah swt berfiman yang artinya: “Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al
Qashshash: 77).
Telah
dicontohkan oleh sejarah bahwa para Nabi itu kaya. Kabarnya nabi Ibrahim
berkurban seratus onta, yang menunjukkan bahwa dia orang kaya. Nabi Sulaiman
jelas terkaya di dunia hingga akhir jaman. Nabi Ayyub juga kaya. Demikian juga
Rasulullah Muhammad Saw. sebagai pengusaha kaya.
Ketika Rasulullah menikahi Siti
Khadijah, beliau memberikan mahar sebanyak 100 ekor unta. Bayangkan berapa
kekayaan yang dimiliki oleh Rasulullah saat itu (100 x Rp.15 juta = Rp. 1,5
miliar), tetapi dengan kekayaan yang melimpah beliau tidak hidup
bermewah-mewahan. Dan itulah perilaku
zuhud. Kesimpulannya
bahwa para nabi adalah orang kaya tetapi juga hidup
zuhud.
Hakikat zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi,
tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi terhadap masalah
duniawi. Zuhud terumuskan
dalam dua kalimat Alquran. ”Supaya kamu tidak
bersedih karena apa yang lepas
dari tanganmu, dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.” (QS.
Al-Hadid: 23).
Zahid, yaitu orang yang berperilaku zuhud diperbolehkan (bahkan
dianjurkan) untuk kaya harta, tetapi harta kekayaannya tidak untuk memenuhi
syahwat duniawi melainkan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Bagi
para sufi, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang
lebih dari kebutuhan hidup, walaupun sudah jelas kehalalannya. Harta merupakan sarana untuk memperoleh
kebaikan, bukan menjadi kebanggaan yang justru akan mencelakakan.
Prilaku dan hikmah hidup
Zuhud
Karena prinsip hidup zuhud adalah membebaskan
diri dari pengaruh dan godaan duniawi yang berbentuk kemewahan harta benda,
maka prilaku orang-orang
zuhud adalah: hidup sederhana (tidak mewah), rendah hati (tidak sombong), suka
bersedekah, dan sabar dalam menjalani kehidupan, serta bekerja dan beribadah
dengan sunguh-sungguh karena Allah.
Kehidupan yang mewah cenderung membawa perasaan sombong dan
membanggakan diri. Dua perasaan itu amat
tidak disukai oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).
Dengan hidup
sederhana maka orang beriman cenderung untuk bersikap rendah hati, dan harta
kekayaan yang dimilikinya akan cenderung digunakan untuk sedekah membantu orang
lain.
Perawi
hadis, Ibnu Majah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw
dan berkata, ”Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika
aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah dan juga oleh manusia.” Rasulullah menjawab, ”Berlaku zuhud-lah kamu
terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai
Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.”
Ayat
al-Quran dan hadis di atas mengisyaratkan bahwa Allah Swt tidak menyukai
prilaku orang yang sombong dan membanggakan diri. Sebaliknya perilaku zuhud
dapat mengantarkan seseorang meraih kebahagiaan, yaitu
meraih cinta Allah Swt dan cinta manusia.
Prilaku-prilaku mulia
orang yang zuhud itu akan melahirkan hikmah bagi orang yang mempraktekkannya. Diantara hikmah orang
yang hidup zuhud adalah hidupnya menjadi tenang, tidak mudah
gelisah, tidak menimbulkan iri dengki bagi orang lain, serta sabar dan ikhlas
dalam menerima ujian Allah Swt.
Kisah orang zuhud.
Adalah Zaenal, seorang manajer sebuah perusahaan swasta di
Jakarta yang cukup sukses. Dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Cipanas, ia
sempat mampir di masjid At Ta’awun , sebuah masjid
megah dan berarsitek sangat indah di Puncak Bogor.
Ketika
berada di koridor toilet dan tempat wudlu, Zaenal melihat seseorang seperti
sahabat lama semasa SMP dulu, namanya Ahmad.
Berkaos oblong dan celana digulung sampai lutut ia terlihat begitu tekun
membersihkan tempat wudlu dengan sikat bertangkai.
Setelah
di tegur, ternyata benar bahwa ia adalah Ahmad, sahabatnya yang sudah sekian
lama tidak pernah berjumpa. Dalam
perbincangan singkat, Zainal berniat mau menolong Ahmad untuk bekerja di
kantornya daripada sekedar sebagai pembantu marbot masjid.
Seusai
shalat, Zainal mencari Ahmad namun tidak menjumpainya. Setelah menemui salah
seorang marbot masjid, ia mendapat penjelasan bahwa Ahmad yang disangka sebagai
pembantu marbot yang membersihkan toilet tadi adalah orang kaya yang membangun
masjid At Ta’awun itu. Pak Haji Ahmad
adalah pemilik beberapa hotel dan penginapan di kawasan Puncak Bogor. Setiap
hari Jumat beliau selalu datang ke masjid untuk membantu marbot membersihkan
masjid.
Betapa
terkejut dan malu Zaenal, karena ia telah menyangka bahwa Ahmad adalah seorang
pembantu marbot masjid. Namun ia juga
bangga dan kagum mempunyai sahabat seperti Ahmad. Ia sangat bersyukur mendapatkan pelajaran
hikmah dari seorang yang zuhud.
Kisah
ini secara lengkap bisa kita browsing di google dengan judul “Kisah Inspiratif
dari Masjid At Ta’awun”.
Pelajaran
lain tentang hidup zuhud adalah kisah hidup pak
Abdullah, seorang mantan direktur bank swasta di
Pekalongan yang sudah pensiun.
Setiap Jumat pagi ia selalu datang ke masjid
At-Taqwa Wiradesa Pekalongan. Seperti biasanya, dia datang selalu dengan sepeda
ontel dan kostum kaos training. Kemudian
dia langsung mengambil ember dan kain lap lalu membersihkan kaca dan mimbar
khatib.
Ketika
ditanya kenapa ia selalu melakukan pekerjaan itu, dia menjawab, “Dulu sebelum
pensiun saya bekerja hanya untuk diri saya dan keluarga, tidak sempat untuk
sosial. Saat ini saya mempunyai banyak waktu bekerja untuk sesama.
Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan panjang umur untuk mengabdi”
Pak
Abdullah orang kaya di Wiradesa. Tetapi
kalau tidak kenal pasti menyangka dia orang biasa saja karena penampilannya
yang sederhana. Ia bahagia menjalani kehidupan zuhud. Kisah ini saya dapatkan
dari kakak saya yang tinggal di Wiradesa Pekalongan.
Penutup
Zuhud bukanlah sikap
hidup yang anti dunia, atau menghindari
kenikmatan duniawi, sehingga seseorang harus menjalani
kehidupan layaknya orang yang miskin. Zuhud
terhadap dunia bukan pula berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat
duniawi, melainkan harta benda bukan menjadi kebanggaan apalagi tujuan.
Zuhud adalah sikap hidup sederhana, sebagai upaya
membebaskan diri dari
pengaruh dan godaan duniawi berbentuk kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang
menjadi sombong dan membanggakan diri.
Dan sesungguhnya hakekat hidup zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang
lebih dari kebutuhan hidup walaupun sudah jelas kehalalannya, karena harta
merupakan sarana untuk memperoleh kebaikan, bukan menjadi kebanggaan yang
justru akan mencelakakan.
Setiap
Muslim hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar memperoleh kehidupan dunia yang tenang, tidak mudah
gelisah, tidak menimbulkan iri dengki bagi orang lain, serta sabar dan ikhlas
dalam menerima ujian Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar