REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Kekayaan
merupakan tema yang menarik diperbincangkan. Sedikit sekali penghuni dunia ini
yang tidak ingin kaya dalam hidupnya. Hidup kaya bisa dikatakan impian setiap
orang.
Kesuksesan
orang baru diakui kalau dia sudah menjadi orang kaya. Keberhasilan pendidikan
juga sering dilihat dari sejauh mana hasil pendidikan itu dapat mengantarkan
peserta didiknya menjadi orang kaya.
Lawan
dari kaya adalah miskin. Orang disebut kaya karena memiliki banyak harta. Yang
minim harta, itu miskin namanya. Dengan begitu, kekayaan selalu identik
dengan segala hal yang berbau materi atau benda. Memiliki rumah megah,
uang banyak, mobil berderet, pakaian necis, dan tanah luas adalah di antara
simbol orang kaya. Orang miskin berarti kebalikan dari semua itu.
Tidak
usah kita berdebat tentang definisi yang sudah sekian lama diamini secara luas
itu. Sekiranya definisi itu dianggap benar, kebenarannya tentu tidak mutlak.
Definisi demikian dimensinya serba fisik. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk
menerimanya.
Saya teringat penuturan
Rasulullah ketika mendefinisikan siapa gerangan orang kaya itu. Menurut
Rasulullah, seperti dikutip Bukhari dan Muslim, “Bukanlah yang dinamakan kaya
itu karena banyak harta, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kayanya
jiwa.”
Mencermati
makna hadis di atas, kita segera mendapatkan pemahaman bahwa Rasulullah
ternyata memiliki definisi berbeda dengan kebanyakan kita tentang siapa orang
kaya.
Barangkali hadis itu akan lebih
mudah dipahami ketika kita mengaitkannya dengan daftar orang terkaya di dunia
tahun 2013, sebagaimana dirilis majalah Forbes.
Keluarga
Budi Hartono, pemilik BCA dan Djarum, memiliki harta 8,5 miliar dolar AS. Michael
Hartono memiliki harta 8,2 miliar dolar AS. Dua orang ini jelas lebih
kaya tinimbang kita. Menurut Forbes, mereka menduduki peringkat pertama dan
kedua daftar orang terkaya di Indonesia. Tetapi, ternyata mereka tidak ada
apa-apanya jika dibanding Carlos Slim Helu dan Bill Gates. Harta
Carlos Slim Helu, CEO Telefonos de Mexico dan America Movil, mencapai 73
triliun dolar AS, sementara Bill Gates, yang mantan CEO Microsoft, memiliki
harta 67 miliar dolar AS.
Banyaknya
harta tidak pernah akan ada puncaknya. Di atas orang kaya, selalu ada orang yang
lebih kaya. Di sini berlaku rumus relativitas. Fulan yang tergolong orang
kaya di sini, belum tentu kaya di sana. Fulanah yang termasuk miskin di suatu
tempat, justru dia orang paling kaya di tempat lain. Demikian pula seterusnya.
Tegasnya, tidak ada orang yang paling kaya, sebagaimana juga tidak ditemukan
orang yang paling miskin.
Penting
pula dicatat, definisi kaya atau miskin semacam itu sesungguhnya muncul dari
orang luar. Pelakunya sendiri kerap tidak merasakan apakah dia kaya atau
miskin. Karena, kebanyakan orang masih saja merasa kurang. Meskipun orang
bilang kita ini sudah kaya, tetapi senyatanya kita juga tidak merasa kelebihan
harta. Selalu saja kita merasa miskin dan kurang.
Apalagi
jika definisi kaya atau miskin itu dikaitkan dengan unsur diri yang bernama keinginan
dan kebutuhan. Misalnya, petani desa yang saban hari mengantongi
uang lima juta, dia boleh dibilang kaya. Berbeda halnya dengan seorang
artis. Uang sejumlah itu tentu tidak dapat mendefinisikan dirinya
sebagai orang kaya. Ini soal keinginan dan kebutuhan. Gaya hidup petani desa
umumnya tidak menelan uang jutaan dalam sehari. Sementara, tuntutan profesi
artis mengharuskan pelakunya untuk selalu tampil mewah dan mahal, sebagaimana
rekan sesama artis.
Benarlah,
Islam tidak menisbahkan definisi kaya atau miskin dengan kepemilikan benda.
Definisi serba fisik itu sangat memusingkan. Karena itu, Rasulullah
menegaskan, kekayaan sejati itu ada di dada. Menjadi kaya atau miskin itu
murni soal mental. Inilah definisi berdimensi batin. Analoginya sederhana.
Orang yang lapang dada selalu merasa kaya, meskipun minim harta. Sebaliknya,
orang yang bermental miskin selalu merasa kurang, meskipun menggenggam emas
segudang. Pikirannya mengawang di langit harapan, berusaha menjangkau segala
yang belum digenggam tangan. Hidup berselimut harta tetapi tampil bagai
pecundang.
Alangkah
bahagia kehidupan orang yang hati, jiwa, dan pikirannya selalu merasa kaya.
Mensyukuri nikmat yang ada tanpa terus mengangankan segala yang dipunyai orang.
Harta sekadarnya selalu digunakan untuk memacu amal baik dan ibadah. Batinnya
tenang, karena tidak diperbudak dunia, tetapi justru merajai dunia. Rasulullah
memuji pribadi demikian. “Sungguh berbahagia orang yang masuk agama Islam
dan diberi rezeki cukup, serta dikaruniai Allah sifat qana’ah atas segala yang
diberikan kepadanya.” (HR Muslim).
Berbagai
penyimpangan menyeruak di segala tempat adalah bukti ketidakmampuan orang untuk
merajai dunia. Juga kebejatan moral yang berkecambah dan memperburuk
sendi-sendi kehidupan. Mereka itulah orang miskin dalam makna sesungguhnya.
Fisiknya mapan tetapi batinnya gersang, karena tidak pernah merasa kenyang oleh
kuantitas harta. Kembali renungkan penegasan Rasulullah berikut.
“Bukanlah
orang miskin itu orang yang berkeliling mendatangi rumah ke rumah lalu ditolak
ketika meminta sebiji atau dua biji kurma, atau ketika meminta sesuap atau dua
suap makanan. Tetapi orang miskin yang sebenarnya adalah orang yang tidak pernah
memiliki kekayaan untuk mencukupi keperluannya.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Sungguh
beruntung siapa saja yang dikaruniai Allah kelapangan harta sekaligus
batin yang selalu menerima, gemar bersedekah, sehingga hidup selalu
diliputi berkah dan jauh dari bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar