Sebelum awal perhitungan
Masehi, telah ada satu keyakinan Keesaan Tuhan di Jawa. Para leluhur orang Jawa sudah
menyadari bahwa keyakinan untuk dipercaya dan dijalankan ajarannya, bukan
menjadi bahan perdebatan atau sebagai sumber pertikaian dan perang. Karenanya
mereka sudah membekali diri dengan pengetahuan tentang Dzat Tertinggi dan
bagaimana menemukan-Nya.
Orang
Jawa telah percaya keberadaan suatu entitas tidak kasat mata namun memiliki
kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan
manusia. Mereka tidak pernah menyembah selain Tuhan. Karenanya mereka tidak
menyembah Dewa atau Bhatara yang diyaikini sebagai makhluk Tuhan. Mereka hanya
menyembah Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya.
Pada
masa itu orang Jawa belum memiliki kitab suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa
sandi yang disimbolkan (disiratkan) dalam semua sendi kehidupan dan
memercayai ajaran yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan karena
memiliki aturan baku. Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk
laku utama yaitu tata krama (aturan hidup yang luhur) serta menjadikan orang Jawa sebagai sosok
anjawani (berkepribadian orang jawa).
Orang Jawa yang memahami
etika senantiasa menerima ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran
(Hindu, Buddha, Islam, Nasrani, dan lainnya) selama memiliki sama dengan ujung
monoteisme. Karenanya banyak agama yang dibawa kaum migran memilih basis
dakwahnya dari Jawa.
Leluhur
orang Jawa selalu melihat bahwa agama sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang disertai dengan sejumlah laku. Ajaran mereka tidak
terpaku pada aturan ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan".
Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi
melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol
laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti: keris, wayang,
pembacaan mantra, atau penggunaan bunga-bunga tertentu ber makna
simbolik mengekspresikan wibawa magis, dan bukan inti ajarannya.
Memang tidak bisa
dipungkiri telah banyak penghayat Kejawen dengan mudah memanfaatkan ajaran
leluhur melalui praktik klenik dan perdukunan, padahal tindakan itu tidak ada
dalam ajaran para leluhur.
Dasar
Pemahaman Ajaran Kapitayan
Sebelum
masuknya agama Islam, sudah ada agama kuna di tanah Jawa yakni
Kapitayan -- yang menurut sejarawan Belanda sebagai Animisme dan
Dinamisme. Agama tersebut merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan
kepada Sang Hyang Taya.
Sang
Hyang Taya yang menjadi pujaan para penganut Kapitayan tersebut memiliki makna "hampa"
atau "kosong". Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya
dalam satu kalimat, "Tan kena kinaya ngapa" (Tidak bisa diapa-apakan
keberadaannya).
Karenanya agar bisa
disembah, Sang Hyang Taya memribadi dalam nama dan sifat "Tu"
atau "To", yang bermakna daya gaib dan bersifat
adikodrati.
Dalam
bahasa Jawa kuna, kata "taya" diartikan dengan kosong atau hampa namun
bukan berarti tidak ada. Istilah "taya" digunakan untuk
mendefinisikan kalimat “tan kena kinaya ngapa”, sesuatu yang tidak bisa dilihat atau
diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada.
Perlu
diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem
kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata
Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat
supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta,
mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu "Yang
Mutlak" yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan (niskala). Tidak bisa
didekati dengan panca indera.
Dipahami
bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut dengan nama Sang Hyang
Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan.
Tu bersifat kebaikan
disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu bersifat kejahatan disebut Sang Hyang
Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya
merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Karenanya baik Sang Hyang Tunggal,
Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat
didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui
sifatnnya.
Karena
Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka
untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam
pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai
kekuatan gaib dari pribadi tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam
segala sesuatu bernama Tu atau To.
Karenanya para pengikut
ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang,
tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san,
to-pong, to-wok, to-ya.
Dalam melakukan bakti
puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa
tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini
berkekuatan gaib.
Dalam
Islam, terdapat tingkatan-tingkatan ibadah seperti syari'ah, thariqah, hakikat,
dan ma'rifat. Sementara dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses
ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang
Tunggal.
Untuk para kaum sufi
Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan
gerakan-gerakan tertentu, yakni:
1.
Melakukan tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutuk (lubang)
sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di
dalam tutu-d (hati).
2.
Menurunkan tangan dan disedekapkan di dada yang disebut
swa-dingkep (memegang keakuan diri).
3.
Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah).
4.
Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit
diduduki).
5.
Melakukan to-ndhem (bersujud).
Di
dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam
yang menggunakan masjid, orang-odang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha
menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat
ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar. Suatu
bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai
lambang kehampaan.
Seorang
penganut Kapitayan sang pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan
dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat
negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah tersebut dianggap
berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu (cikal
bakal gelar ratu dan datu bagi para pemimpin kerajaan).
Mereka yang telah
dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi",
yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi.
Karena itulah, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan kata ganti diri:
pi-nakahulun.
Gerak-gerik
kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal:
berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar
pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika
memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi
keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut
pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia
disebut pi-tara.
Dengan
prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat
kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara
fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara
otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk
menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah. Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa
wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka
yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu.
Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam
memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.
Konsep
kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King
Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan
bukunya Republic justru terinspirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga
yang merupakan ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni
sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha
Esa." Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan
konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama
ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.
Ajaran
Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan
tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi
raja-raja Jawa pra Hindu sebagai penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem
kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh para penguasa di Jawa, namun
sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan
seorang raja atau maharaja misalnya selalu ditandai oleh kedudukan ganda
sebagai ra-tu atau dha-tu. Sehingga seorang raja dipastikan memiliki tempat
khusus yang disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri.
Selain itu, seorang raja
selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib
seperti wa-tu, tu-nggul, tu-mbak, tu-lang, to-san, to-pong, to-parem, to-wok,
dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Jawa mensyaratkan keberadaan ra-tu
atau dha-tu dengan benda-benda ber-tu-ah.
Prinsip
Ajaran Kapitayan
Dalam
ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Pada era
Walisanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah
dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa
kamitslih syai'un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena
kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan
seperti apapun.
Walisanga
juga menggunakan istilah 'sembahyang' dan tidak memakai istilah salat. Sembahyang adalah menyembah
'Hyang'. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan diubah menjadi
seperti langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, inipun merupakan
adopsi Kapitayan.
Tentang ajaran ibadah
tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan 'shaum'
karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah 'upawasa'
kemudian menjadi puasa.
Orang-orang
dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan
dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas
semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang
Tuhan-nya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas
masyarakat Jawa akan menolak.
Hindu
pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak
pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun
karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok
manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang
berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Pokok
Ajaran Kapitayan
Sebagai
agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya.
Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah "Hamemayu hayuning bawana". Menjaga
atau menata keindahan jagat baik jagat cilik (mikrokosmos) dan jagat gedhe
(makrokosmos).
Dalam
pemahaman orang Jawa, jagat cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagat
gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagat cilik
adalah raga manusia. Sedangkan jagat gedhe adalah metafisika atau spiritual
manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Karenanya
orang Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.
Agar
hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus
manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan
Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsa-nya dengan Sang Hyang Taya.
Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka,
alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.
Bila
hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagat akan
tampak indah. Jagat akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada
gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan
kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik
dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan
citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya.
Sekadar
Catatan
Seirama
gerak zaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai
tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman
Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul
penguasa berhasil menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung
Klotok dan Wilis. Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang
tersebar di kedua gunung itu.
Pada
era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha
menekan hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir
selatan Jawa. Selanjutnya pada era Kesultanan Demak, para
penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan kelompok Kapitayan. Hal ini
yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para kelompok Kapitayan bersikukuh
pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran agama impor begitu mudah masuh
di Jawa.
Ketika
Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan
tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama
Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan
pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisanga sebagai ulama kelas wahid
di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.
Ketika
semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya di mana agama itu
diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap
sempurna bila agama dijalankan sesuai adat di mana ia diturunkan. Maka jawabnya
salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan
adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan
berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu -- terutama
keyakinan -- tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.
Bila
pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta
akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak
adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha
Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih
saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan,
"Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja?"
Akan
tiba waktunya kebangkitan ajaran kuna yang pernah berjaya di masa silam. Bukan
hanya di Jawa, tetapi juga di nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran
kuna tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan
Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di
dunia.
[Sri Wintala Achmad]
------
AGAMA KAPITAYAN
Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang
mereka sebut Sanghyang Taya. Makna
dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan
serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua
sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya
tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu),
tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak
(jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.
Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen
yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak
(arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan agama
Kapitayan
Cara pemujaan yang dilakukan para penganut
Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk
menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat
keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa bangunan
beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata cara bersembahyang yang dilakukan para
ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil
Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya
dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di
hati yang disebut swa-dikep.
Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup
lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat
posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua
tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).
Proses beribadah yang dilakukan tersebut
berlangsung lebih dari satu jam dan
dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang
Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli
penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh
banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya,
pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek
moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan
yang mereka sebut Sang Hyang Taya.
-----------
KEJAWEN
Kepercayaan akan Sang Pencipta banyak di tafsirkan banyak cara dan arti oleh
masyarakat. Selain aliran kepercayaan yang di sebut Agama, juga terdapat aliran
kepercayaan lain.
Salah satunya yakni “Kejawen”. Kejawen (bahasa
Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa
oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya
ada sejak orang Jawa itu ada.
Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama
yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki
laku.
Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama
yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh
filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran
Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (“Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan”). Membentuk insan
se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (“Bersatunya Hamba dan Tuhan”).
Berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif
taat dengan agamanya. Dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan
perintah agamanya, namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi.
Hal tersebut karena ajaran filsafat kejawen
memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada
banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam
Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan)
dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan
agamanya.
Kata “Kejawen” berasal dari
kata “Jawa”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “segala sesuatu yang
berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)”. Penamaan “kejawen”
bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa
Jawa.
Dalam konteks umum, Kejawen
sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia).
Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika
mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh
orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Penganut ajaran kejawen biasanya
tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama
monoteistik, seperti Islam atau Kristen. Tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan
pada konsep “keseimbangan”. Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan
dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut
Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi
melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris,
wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti
simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat
kejawen sendiri). Hal tersebut yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan
praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam
ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah
aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam,
maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh
karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen. Ajaran tersebut tentunya yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). (bsn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar