Senin, 11 Januari 2021

Kejawen; Kapitayan Sebagai Agama Pertama di Jawa

Sebelum awal perhitungan Masehi, telah ada satu keyakinan Keesaan Tuhan di Jawa. Para leluhur orang Jawa sudah menyadari bahwa keyakinan untuk dipercaya dan dijalankan ajarannya, bukan menjadi bahan perdebatan atau sebagai sumber pertikaian dan perang. Karenanya mereka sudah membekali diri dengan pengetahuan tentang Dzat Tertinggi dan bagaimana menemukan-Nya.

Orang Jawa telah percaya keberadaan suatu entitas tidak kasat mata namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia. Mereka tidak pernah menyembah selain Tuhan. Karenanya mereka tidak menyembah Dewa atau Bhatara yang diyaikini sebagai makhluk Tuhan. Mereka hanya menyembah Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya.

Pada masa itu orang Jawa belum memiliki kitab suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang disimbolkan (disiratkan) dalam semua sendi kehidupan dan memercayai ajaran yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan karena memiliki aturan baku. Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu tata krama (aturan hidup yang luhur) serta menjadikan orang Jawa sebagai sosok anjawani (berkepribadian orang jawa).

Orang Jawa yang memahami etika senantiasa menerima ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani, dan lainnya) selama memiliki sama dengan ujung monoteisme. Karenanya banyak agama yang dibawa kaum migran memilih basis dakwahnya dari Jawa.

Leluhur orang Jawa selalu melihat bahwa agama sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang disertai dengan sejumlah laku. Ajaran mereka tidak terpaku pada aturan ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti: keris, wayang, pembacaan mantra, atau penggunaan bunga-bunga tertentu ber makna simbolik mengekspresikan wibawa magis, dan bukan inti ajarannya.

Memang tidak bisa dipungkiri telah banyak penghayat Kejawen dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur melalui praktik klenik dan perdukunan, padahal tindakan itu tidak ada dalam ajaran para leluhur.

Dasar Pemahaman Ajaran Kapitayan

Sebelum masuknya agama Islam, sudah ada agama kuna di tanah Jawa yakni Kapitayan -- yang menurut sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama tersebut merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan kepada Sang Hyang Taya.

Sang Hyang Taya yang menjadi pujaan para penganut Kapitayan tersebut memiliki makna "hampa" atau "kosong". Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat, "Tan kena kinaya ngapa" (Tidak bisa diapa-apakan keberadaannya).

Karenanya agar bisa disembah, Sang Hyang Taya memribadi dalam nama dan sifat "Tu" atau "To", yang bermakna daya gaib dan bersifat adikodrati.

Dalam bahasa Jawa kuna, kata "taya" diartikan dengan kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Istilah "taya" digunakan untuk mendefinisikan kalimat “tan kena kinaya ngapa”, sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada.

Perlu diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu "Yang Mutlak" yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan (niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera.

Dipahami bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan.

Tu bersifat kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu bersifat kejahatan disebut Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Karenanya baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui sifatnnya.

Karena Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib dari pribadi tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam segala sesuatu bernama Tu atau To.

Karenanya para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san, to-pong, to-wok, to-ya.

Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berkekuatan gaib.

Dalam Islam, terdapat tingkatan-tingkatan ibadah seperti syari'ah, thariqah, hakikat, dan ma'rifat. Sementara dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang Tunggal.

Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni:

1.    Melakukan tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati).

2.    Menurunkan tangan dan disedekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan diri).

3.    Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah).

4.    Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).

5.    Melakukan to-ndhem (bersujud).

Di dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam yang menggunakan masjid, orang-odang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar. Suatu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan.

Seorang penganut Kapitayan sang pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah tersebut dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu (cikal bakal gelar ratu dan datu bagi para pemimpin kerajaan).

Mereka yang telah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Karena itulah, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan kata ganti diri: pi-nakahulun.

Gerak-gerik kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal: berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia disebut pi-tara.

Dengan prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah. Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.

Konsep kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan bukunya Republic justru terinspirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga yang merupakan ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha Esa." Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.

Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi raja-raja Jawa pra Hindu sebagai penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh para penguasa di Jawa, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang. Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-tu atau dha-tu. Sehingga seorang raja dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri.

Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-tu, tu-nggul, tu-mbak, tu-lang, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Jawa mensyaratkan keberadaan ra-tu atau dha-tu dengan benda-benda ber-tu-ah.

Prinsip Ajaran Kapitayan

Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Budha. Pada era Walisanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslih syai'un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.

Walisanga juga menggunakan istilah 'sembahyang' dan tidak memakai istilah salat. Sembahyang adalah menyembah 'Hyang'. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan diubah menjadi seperti langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, inipun merupakan adopsi Kapitayan.

Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan 'shaum' karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah 'upawasa' kemudian menjadi puasa.

Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhan-nya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Jawa akan menolak.

Hindu pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

Pokok Ajaran Kapitayan

Sebagai agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya. Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah "Hamemayu hayuning bawana". Menjaga atau menata keindahan jagat baik jagat cilik (mikrokosmos) dan jagat gedhe (makrokosmos).

Dalam pemahaman orang Jawa, jagat cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagat gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagat cilik adalah raga manusia. Sedangkan jagat gedhe adalah metafisika atau spiritual manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Karenanya orang Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.

Agar hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsa-nya dengan Sang Hyang Taya. Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka, alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.

Bila hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagat akan tampak indah. Jagat akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya.

Sekadar Catatan

Seirama gerak zaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa berhasil menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung Klotok dan Wilis. Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang tersebar di kedua gunung itu.

Pada era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir selatan Jawa. Selanjutnya pada era Kesultanan Demak, para penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan kelompok Kapitayan. Hal ini yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para kelompok Kapitayan bersikukuh pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran agama impor begitu mudah masuh di Jawa.

Ketika Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisanga sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.

Ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya di mana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap sempurna bila agama dijalankan sesuai adat di mana ia diturunkan. Maka jawabnya salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu -- terutama keyakinan -- tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.

Bila pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan, "Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja?"

Akan tiba waktunya kebangkitan ajaran kuna yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga di nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran kuna tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di dunia.

[Sri Wintala Achmad]

 

------

 

AGAMA KAPITAYAN

Agama yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra.

Sanghyang Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda (bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang pohon) serta yang lain.

Dalam pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam), tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.

Tata cara pemujaan agama Kapitayan  

Cara pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).

Tata cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg (berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat di hati yang disebut swa-dikep.

Usai melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul (membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti janin dalam perut).

Proses beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).

Demikian sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Taya.

 

-----------

KEJAWEN

Kepercayaan akan Sang Pencipta banyak di tafsirkan banyak cara dan arti oleh masyarakat. Selain aliran kepercayaan yang di sebut Agama, juga terdapat aliran kepercayaan lain.

Salah satunya yakni “Kejawen”. Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada.

Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku.

Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan :
Sangkan Paraning Dumadhi (“Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan”). Membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (“Bersatunya Hamba dan Tuhan”).

Berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya. Dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya, namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi.

Hal tersebut karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

Kata “Kejawen” berasal dari kata “Jawa”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)”. Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.

Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia). Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen. Tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”).

Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.

Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri). Hal tersebut yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen. Ajaran tersebut tentunya yang tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). (bsn) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar