Rabu, 06 Januari 2021

Sidarta "Budha" Gautama

Agama Buddha adalah agama yang memiliki dasar ajaran yang berusia lebih dari 2000 tahun dan berasal dari India. Sekitar 350-550 juta orang di seluruh dunia saat ini menjadi penganut agama Buddha.

Arti dari Buddha sendiri yaitu “Yang Telah Sadar”, “Yang Telah Terjaga”, atau “Yang Telah Cerah”. Asal kata Buddha yaitu dari kata Budh yang artinya terjaga, menyadari, dan memahami dan juga menjadi akar dari kata – kata seperti bodhi, bodha, bodhati, dan buddhi.

Di Indonesia juga terdapat beberapa bukti penyebaran agama Buddha, seperti candi peninggalan Budha dan candi Budha di Indonesia.

Buddha adalah sebuah gelar untuk seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna. Ajaran agama ini mengedepankan mengenai cinta kasih dan kebijaksanaan, yang dianggap sesuai dengan pengertian filsafat atau jalan hidup oleh sebagian orang. Karena itulah istilah “isme” yang sering ditambahkan pada ajaran filsafat juga kerap disandingkan dengan kata Buddha, sehingga kata Buddhisme menjadi sebutan lain untuk agama Buddha.

 

Sejarah Buddha Gautama

Membahas tentang keberadaan agama Buddha tidak dapat dilepaskan dari sosok Siddharta Gautama sebagai penemu dan juga penyebar ajaran Buddha. Siddharta Gautama menemukan dan mengajarkan agama Buddha setelah mencapai suatu pencerahan secara sempurna atau disebut penyadaran penuh. Tahun kelahirannya bervariasi dan tidak ada sumber yang pasti.

Siddharta Gautama atau Buddha lahir sekitar abad 4 hingga 6 SM di kerajaan kecil yang terletak di bawah kaki gunung Himalaya, tepatnya di Lumbini, Nepal. Ayahnya, Raja Suddhodana, adalah seorang kepala suku klan Shakya. Ibunya meninggal tidak lama setelah Siddharta lahir.

Dikatakan bahwa 12 tahun sebelum kelahirannya, para Brahmana telah meramalkan bahwa ia akan menjadi pendeta legendaris atau seorang raja yang agung. Ia akan menjadi pertapa apabila melihat orang sakit, orang tua, orang meninggal dan seorang pertapa. Karena ia termasuk ke dalam wangsa Ksatriya, maka ayahnya tidak ingin Siddharta menjadi pertapa dan tidak meneruskan tahta sang ayah.

Untuk mencegahnya menjadi seorang pertapa, ayahnya menjaga agar Siddharta tetap berada di dalam lingkungan istana sehingga Gautama hidup di lingkungan kemewahan sebagai seorang pangeran dari sukunya, dilindungi dari dunia luar, diajar oleh para Brahmana, serta dilatih dalam bidang panahan, keahlian berpedang, gulat, berenang, dan lari.

Ketika sudah cukup umur, ia menikah dan mempunyai seorang anak lelaki. Walaupun memiliki segalanya, beliau tidak pernah merasa cukup. Selalu ada sesuatu yang menariknya untuk keluar ke dunia dibalik dinding istananya.

Pada suatu saat di jalanan Kapilavastu di usianya yang berada di akhir 20an, Ia menemukan tiga hal sederhana: seorang lelaki yang sakit, seorang lelaki tua, dan mayat yang sedang dibawa ke tempat pembakaran.

Tidak ada hal yang mempersiapkannya untuk pengalaman semacam ini selama hidupnya. Ia baru mengetahui bahwa semua orang akan menjadi tua, sakit dan bisa meninggal. Hal tersebut memicu berbagai pertanyaan yang membawanya terus mengeksplorasi dan melihat seorang pertapa yang mengundurkan diri dari kehidupan duniawi dan mencari pembebasan dari ketakutan manusia akan kematian dan penderitaan.

Pada usia 29 tahun, Siddharta meninggalkan kerajaannya, istri dan anaknya yang baru lahir untuk menjadi seorang pertapa dan bertujuan untuk menemukan cara untuk menghilangkan penderitaan universal yang dipahaminya sebagai salah satu ciri kehidupan manusia. Simak juga mengenai sejarah patung buddha tidursejarah candi sewusejarah kerajaan Mataram kuno yang berkaitan dengan penyebaran agama Buddha di Indonesia di zaman lampau.

 

Kehidupan Pertapaan dan Pencerahan

Selama enam tahun berikutnya Siddharta menjalani kehidupan pertapaan dan mengambil bagian dalam prakteknya, belajar dan bermeditasi menggunakan ajaran berbagai guru spiritual yang membimbingnya yaitu pertapa Alara Kalama dan Udaka Ramputra. Ia belajar cara baru untuk hidup dengan sekelompok yang terdiri dari lima pertapa yang kemudian menjadi pengikutnya berkat dedikasinya yang sangat tinggi.

Ketika jawaban untuk pertanyaan – pertanyaannya tidak juga muncul, ia menggandakan usahanya, menahan rasa sakit, berpuasa hingga hampir kelaparan, dan menolak minum air.

Apapun yang dicobanya, Siddharta tidak dapat mencapai tingkat kepuasan yang dicarinya, sampai suatu saat ketika seorang gadis muda menawarinya semangkuk susu. Ketika ia menerima, kemudian menyadari bahwa menahan diri secara jasmani bukanlah cara untuk mencapai kemerdekaan diri, dan bahwa hidup dibawah kekangan fisik yang keras tidak akan membantunya mencapai pelepasan spiritual. Jadi ia menerima susu tersebut, minum air dan mandi di sungai.  

Sejak saat itu, Siddharta mendorong orang – orang untuk mengikuti jalan keseimbangan daripada mengikuti jalan yang ekstrim. Jalan tersebut dinamakannya The Middle Way. Berkaitan dengan sejarah penyebaran agama Buddha di Indonesia, simak juga  peninggalan kerajaan Majapahit dan peninggalan kerajaan Sriwijaya.

 

Kemunculan Sang Buddha

Sejarah Buddha Gautama mencapai waktunya ketika suatu malam Siddharta duduk di bawah pohon Bodhi, bersumpah tidak akan bangun sampai kebenaran yang dicarinya datang dan bermeditasi sampai matahari terbit keesokan harinya. Ia tetap disana selama beberapa hari untuk memurnikan pikirannya, menelaah seluruh hidupnya dan kehidupan sebelumnya di dalam pikiran.

Pada pertapaan ini ia diganggu oleh Mara, dewa penggoda yang berkekuatan dahsyat. Ia menaklukkan dan melawan Mara ketika bintang pagi tampak di ufuk timur dengan kemauan yang keras dan keyakinan yang kukuh.

Sehingga pada saat itu Ia mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam Buddha, tepat ketika waktu bulan Purnama Siddhi di usianya yang ke 35 tahun di bulan Waisak. Dari tubuhnya memancar enam sinar Buddha ketika mencapai pencerahan sempurna. Keenam sinar Buddharasmi tersebut adalah warna biru/nila yang artinya bhakti, kuning/pita yang artinya kebijaksanaan dan pengetahuan, merah/lohita artinya kasih sayang dan belas kasih, putih/avadata yang berarti suci, jingga/mangasta yang artinya semangat, dan campuran semua sinar tersebut yang dinamakan prabhasvara.

 

Penyebaran Ajaran Buddha

Sejarah Buddha Gautama kemudian mendapatkan gelar setelah mencapai pencerahan sempurna, antara lain Buddha Gautama, Sakyamuni, Tathagata (Ia Yang Telah Datang, Ia Yang Telah Pergi), Sugata (Yang Maha Tahu), Bhagava (Yang Agung) dan masih banyak lagi gelar lainnya. Khotbah pertamanya yang disebut Dhammacakka Pavattana Sutta didengarkan oleh kelima pertapa pengikutnya. Isi khotbah tersebut adalah penjelasan mengenai Jalan Tengah yang ditemukannya, yaitu berupa Delapan Ruas Jalan Kemuliaan dan juga Empat Kebenaran Mulia yang menjadi pilar dari ajaran Buddha.

Kemudian Siddharta membentuk Sangha, suatu komunitas untuk para pertapa yang tidak mengacuhkan semua pembatas antara kelas, ras, jenis kelamin dan latar belakang manusia dengan hanya satu tujuan untuk mencapai pencerahan. Pada akhirnya ia bertemu kembali dengan ayahnya. Istrinya, Yasodhara, menjadi murid dan pertapa juga, sementara anaknya Rahula menjadi rahib di usia 7 tahun dan tinggal bersama ayahnya seumur hidup.

Selama empat puluh lima tahun kemudian Buddha Gautama menyebarkan Dharma dengan berkelana, kepada umat manusia lainnya dan menyebarkan dengan cinta dan kasih sayang hingga usianya 80 tahun dan menyadari bahwa tiga bulan setelahnya ia akan mencapai Parinibbana atau Parinirvana yaitu meninggalkan bentuk fisik tubuhnya.

Tubuh Buddha kemudian dikremasi, dan sisa abunya ditempatkan di kubah berbentuk stupa yang merupakan bentuk umum dalam agama Buddha, dan disebarkan dalam banyak lokasi termasuk China, Myanmar dan Srilanka.

Selama 2500 tahun kemudian ajaran Buddha tetap diikuti oleh banyak orang di dunia, terus menarik banyak pengikut dan merupakan salah satu agama yang tumbuh dengan cepat, walaupun banyak yang tidak menganggapnya sebagai agama namun sebagai ajaran hidup atau filosofi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar